Sabtu, 15 Agustus 2020

𝐊𝐀𝐈𝐃𝐀𝐇-𝐊𝐀𝐈𝐃𝐀𝐇 𝐈𝐌𝐀𝐌 𝐒𝐘𝐀𝐅𝐈'𝐈 𝐃𝐋𝐌 𝐌𝐄𝐍𝐓𝐀𝐑𝐉𝐈𝐇 𝐃𝐀𝐋𝐈𝐋² 𝐁𝐄𝐑𝐓𝐄𝐍𝐓𝐀𝐍𝐆𝐀𝐍

𝐄𝐝𝐢𝐬𝐢 𝟏𝟖 𝐊𝐚𝐢𝐝𝐚𝐡 𝐤𝐞 𝟏𝟎:

(رواية صاحب الواقعة أو مباشرها مقدمة على غيرها)

𝐑𝐢𝐰𝐚𝐲𝐚𝐭 𝐬𝐚𝐡𝐚𝐛𝐚𝐭 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐥𝐚𝐧𝐠𝐬𝐮𝐧𝐠 𝐛𝐞𝐫𝐤𝐚𝐢𝐭𝐚𝐧 𝐝𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐤𝐞𝐣𝐚𝐝𝐢𝐚𝐧, 𝐥𝐞𝐛𝐢𝐡 𝐝𝐢𝐝𝐚𝐡𝐮𝐥𝐮𝐤𝐚𝐧 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐫𝐢𝐰𝐚𝐲𝐚𝐭 𝐬𝐚𝐡𝐚𝐛𝐚𝐭 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐥𝐚𝐢𝐧𝐧𝐲𝐚.

 Maksud dari kaidah di atas adalah jika kedua hadist saling ta’arudh yang salah satunya adalah hadist yang diriwayatkan oleh sahabat yang langsung berkaitan dengan kejadian atau sahabat yang mengalami langsung kejadian tersebut, maka hadist ini lebih didahulukan dari pada riwayat sahabat yang lainnya yang hanya ikut meriwayatkannya saja, sebab sahabat yang mengalami suatu kejadian tersebut di dalam hadist, lebih mengetahui dan lebih memahami maksud hadits tersebut dibandingkan sahabat yang hanya ikut meriwayatkan hadist tersebut tanpa mengalami kejadian yang sama. (Lihat Imam Al Umm, Jilid 5/416, Iktilaf Al Hadist, 8/641)

Kaidah di atas adalah salah satu kaidah terjih ketika kedua dalil ta'arudh tersebut tidak bisa digabungkan atau dinasakh satu sama lain.

Adapun contoh dari kaidah di atas adalah: 

Hadist Maimunah binti Harits r.a tentang pernikahannya dengan Rasulullah SAW dalam keadaan halal (tidak berihram)

عن يزيد بن الأصَم، حدثتني ميمونة بنت الحارث : أَ ن رَسُولَ اللهِ تَزَ وجَهَا وَهُوَ حَلَالٌ

Hadist yang diriwayatkan oleh Yazid bin Al Asham, Maimunah binti Harits telah bercerita kepadaku bahwa Rasulullah menikahinya dalam keadaan halal (tidak berihram).(HR.Muslim) 

Hadist Maimunah di atas menunjukkan bahwa Nabi menikahinya dalam keadaan halal yaitu pada saat Nabi sudah tidak berihram lagi. Oleh Sebab itu seorang muslim haram menikahi perempuan pada saat ia berihram ketika menunaikan ibadah haji dan umrah.

Akan tetapi hadist di atas bertentangan dengan hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas tentang Rasulullah menikahi Maimunah dalam keadaan Ihram, yaitu:

عن ابن عباس ، قَالَ: تَزوجَ النبِيُّ مَيمُونَةَ وهُوَ مُحرِمٌ.

Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, beliau berkata: Nabi SAW menikahi Maimunah dalam keadaan berihram.(Muttafaqun Alaihi) 

Dilihat dari kontraversi kedua hadist di atas bahwa hadist Maimunah (istri Nabi SAW) lebih didahulukan dari hadist Ibnu Abbas, walaupun Hadist ibnu Abbas diriwayatkan oleh Muttafaqun Alaihi, sebab Maimunah binti Harits adalah perawi hadist yang langsung mengalami kejadian tersebut tentang pernikahannya bersama Rasulullah, sedangkan Ibnu Abbas adalah sahabat yang hanya meriwayatkan hadist tersebut.

Wallahu a'lam bishowab


𝐊𝐀𝐈𝐃𝐀𝐇-𝐊𝐀𝐈𝐃𝐀𝐇 𝐈𝐌𝐀𝐌 𝐒𝐘𝐀𝐅𝐈'𝐈 𝐃𝐋𝐌 𝐌𝐄𝐍𝐓𝐀𝐑𝐉𝐈𝐇 𝐃𝐀𝐋𝐈𝐋² 𝐁𝐄𝐑𝐓𝐄𝐍𝐓𝐀𝐍𝐆𝐀𝐍

𝐄𝐝𝐢𝐬𝐢 𝟏𝟕 𝐊𝐚𝐢𝐝𝐚𝐡 𝐤𝐞 𝟗:

(ما اتفق عليه الشيخان مقدم على غيره)

𝐇𝐚𝐝𝐢𝐬𝐭 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐝𝐢𝐫𝐢𝐰𝐚𝐲𝐚𝐭𝐤𝐚𝐧 𝐨𝐥𝐞𝐡 𝐀𝐬𝐲-𝐒𝐲𝐚𝐢𝐤𝐡𝐚𝐧 𝐥𝐞𝐛𝐢𝐡 𝐝𝐢𝐝𝐚𝐡𝐮𝐥𝐮𝐤𝐚𝐧 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐩𝐚𝐝𝐚 𝐇𝐚𝐝𝐢𝐬𝐭 𝐥𝐚𝐢𝐧𝐧𝐲𝐚.

 Yang dimaksud dengan Asy-Syaikhan yaitu Imam Bukhari dan Imam Muslim yang meriwayatkan hadist dalam kitab sahihnya (shahih Bukhari dan shahih Muslim) atau dalam periwayatan disebut Muttafaqun alaihi.

Imam Nawawi mengatakan bahwa para ulama sepakat bahwa kitab yang paling sahih setelah Al Qur’an adalah kitab shahih Imam Bukhari dan Imam Muslim, sehingga kedua kitab ini adalah kitab hadist Rasulullah SAW yang paling shahih baik itu dari segi sanad dan matannya. (Lihat kitab Syarhu Al Nawawi ‘ala Sohih Muslim,1/14).

Ada beberapa bentuk periwayatan kedua Imam hadist tersebut terhadap hadist Rasulullah SAW yaitu: HR. Muttafaqun alaihi dan HR. Asy-Syaikhan atau HR. Bukhari dan Muslim. Dari beberpa bentuk periwayatan tersebut memiliki makna dan perbedaan masing². Akan tetapi semuanya berhak didahulukan dari pada hadist selainnya.

HR. Muttafaqun alaihi adalah hadits yang disepakati oleh Imam Bukhari dan Muslim baik itu dari matan dan silsilah sanadnya dan keduanya meriwayatkan hadist dari Sahabat yang sama sebagai rowi al 'ala. Sedangkan HR. Asy-Syaikhan adalah hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, yang mana keduanya meriwayatkan hadist tersebut melalui sahabat yang berbeda. Seperti Imam Bukhari meriwayatkan hadist dari Abu Hurairah dan Imam Muslim meriwayatkan hadist dari Ibnu Abbas dengan matan dan makna yang sama atau berbeda lafazh tetapi makna dan kandungannya sama. Nah, HR. As-Syaikhan ini juga biasa disebut HR. Bukhari dan Muslim.

Nah, Maksud dari kaidah di atas adalah jika terjadi ta'rudh (perselisihan) antara dua hadist, yang mana salah satunya adalah hadist yang diriwayatkan oleh Asy-Syaikhan (Imam Bukhari dan Muslim), maka itulah yang lebih didahulukan sebab kedua Imam tersebut memiliki kecerdasan intelektual luar biasa, kedhobitan dan hafalan yang kuat serta kehati-hatiannya dari dosa dan maksiat. 

Oleh sebab itu, hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, lebih didahulukan dari pada hadist yang lain, yaitu ketika kedua hadist tersebut tidak bisa digabungkan (al jam’u bainahuma) atau dinasakh satu sama lain.

Imam Suyuti mengatakan bahwa hadist yang diriwayatkan oleh Asy-Syaikhan (Bukhari dan Muslim) atau Muttafaqun alaihi, lebih kuat dan lebih didahulukan dari pada hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim secara tunggal. (Lihat kitab Syarhu Al Kaukab As Sati', 2/368).

Contohnya yaitu Masalah waktu berkabung (menahan diri) sang istri yang ditinggal mati oleh suaminya.

Adapun Hadist yang diriwayatkan oleh Asy-Syaikhan tentang waktu menahan diri bagi istri dari suami yang meninggal selama 4 bulan 10 hari. Yaitu:

قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لاَ يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ أَنْ تُحِدَّ فَوْقَ ثَلاَثٍ إِلَّا عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا 

"Nabi SAW bersabda: tidak halal Seorang wanita yang mengaku beriman kepada Allah dan hari kiamat berkabung atas kematian seseorang di atas tiga hari, kecuali yang meninggal adalah suaminya, maka ia harus berkabung selama empat bulan sepuluh hari. (HR.Muttafaqun Alaihi) 

Hadist di atas adalah hadist tentang wajibnya berkabung (menahan diri) bagi istri atas kematian suaminya selama 4 bulan 10 hari, yang diriwayatkan oleh As Syaikhan. Hadist ini bertentangan dengan hadist Asma binti Umais yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad tentang tidak wajibnya berkabung bagi istri atas kematian suaminya selama 4 bulan 10 hari. Yaitu:

حديث أسماء بنت عميس زوجة جعفر بن أبي طالب, قالت: دخل علَي رسول الله اليوم الثالث من قتل جعفر فقال: "لَا تُحِدِي بعدَ يومِكِ هَذَا

Hadist yang diriwayatkan oleh Asma binti ‘Umais Istri Abu Ja’far bin Abi Tholib, dia berkata: Rasulullah masuk menemuiku pad hari ketiga kematian Abu Ja’far, dan beliau bersabda: janganlah kamu berkabung lagi setelah hari ini. (HR.Ahmad). 

Dilihat dari kedua teks hadist di atas sangat bertentangan sehingga keduanya tidak bisa digabungkan dan dinasakh satu sama lain. Oleh sebab itu Disinilah kaidah tarjih itu berlaku, bahwa hadist pertama yang diriwayatkan oleh As-Syaikhan lebih didahulukan dari pada hadist Asma binti Umais yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad.


Wallahu 'alam bishowab


Selasa, 28 Juli 2020

𝐊𝐀𝐈𝐃𝐀𝐇-𝐊𝐀𝐈𝐃𝐀𝐇 𝐈𝐌𝐀𝐌 𝐒𝐘𝐀𝐅𝐈'𝐈 𝐃𝐋𝐌 𝐌𝐄𝐍𝐓𝐀𝐑𝐉𝐈𝐇 𝐃𝐀𝐋𝐈𝐋² 𝐁𝐄𝐑𝐓𝐄𝐍𝐓𝐀𝐍𝐆𝐀𝐍

𝐄𝐝𝐢𝐬𝐢 𝟏𝟔 𝐊𝐚𝐢𝐝𝐚𝐡 𝐤𝐞 𝟖:

(الحديث الأكثر رواة مقدم على الأقل)

𝐇𝐚𝐝𝐢𝐬𝐭 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐩𝐞𝐫𝐚𝐰𝐢𝐧𝐲𝐚 𝐛𝐚𝐧𝐲𝐚𝐤 𝐥𝐞𝐛𝐢𝐡 𝐝𝐢𝐝𝐚𝐡𝐮𝐥𝐮𝐤𝐚𝐧 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐩𝐚𝐝𝐚 𝐡𝐚𝐝𝐢𝐬𝐭 𝐩𝐞𝐫𝐚𝐰𝐢𝐧𝐲𝐚 𝐬𝐞𝐝𝐢𝐤𝐢𝐭.

   Maksud dari kaidah tarjih di atas adalah apabila ada dua hadist ta'rudh (bertentangan) yaitu hadist yang perawinya banyak dan hadist perawinya sedikit, maka hadist yang perawinya banyak lebih didahulukan dibandingkan hadist yang perawinya sedikit. Kaidah ini adalah kaidah tarjih ketika kedua dalil ta'rudh tersebut tidak bisa digabungkan atau di nasakh satu sama lain.

   Yang dimaksud dari perawi disini adalah Al Rowi al a'la yaitu perawi yang berada ditingkat teratas sperti para istri² nabi dan para sahabat radhiallahu anhum. Merekalah yang pertama meriwayatkan hadist-hadist Rasulullah SAW baik itu dari segi qauliyyah (perkataan), fi'liyyah (perbuatan) maupun taqririyyah (persetujuan). Kemudian dari situlah generasi para tabi'in sebagai perawi tingkat kedua meriwayatkan hadist Rasulullah melalui para sahabat. Kemudain datanglah generasi selanjutnya yaitu tabi' tabi'in yang juga meriwayatkan hadist Rasululullah melalui generasi tabi'in dari jalan para sahabat.

  Oleh sebab itu dalam hal ini Imam Syafi’I berkata:

إن النفس مع حديث الأكثر أطيب؛ لأنهم أشبه أن يحفظوا من الأقل

“sesungguhnya jiwa lebih tenang dengan hadist yang perawinya (Al Rowi al a'la) lebih banyak, sebab mereka senantiasa menjaga dari yang sedikit” (lihat kitab Ikhtilaf Al Hadist, 8/642).

   Menilik dari perkataan Imam Syafi’I di atas, bahwa hadist yang perawinya lebih banyak harus didahulukan terlebih dahulu, sebab perawi yang banyak lebih kuat dalam periwayatan hadist.

   Contoh: Imam Syafi’I mendahulukan hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas tentang shalat gerhana dengan dua ruku setiap rakaat dari pada hadist tentang shalat gerhana dengan 3 ruku dalam setiap rakaat. Sebab hadist tentang dua kali ruku dalam setiap rakaat, perawinya lebih banyak dibandingkan dengan riwayat yang kedua. (lihat kitab Ikhtilaf Al Hadist, 8/639).

   Begitupun dengan hadist tentang wajibnya mencuci kedua kaki, lebih didahulukan dari pada hadist yang hanya mengusap kedua kaki ketika wudhu sebab perawinya lebih banyak.

  Contoh lain: Masalah Nabi dalam keadaan Junub di pagi hari pada bulan Ramadhan.

عن عائشة وأم سلمة قالتا: إنْ كانَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ لَيُصْبِحُ جُنُبًا مِن جِمَاعٍ، غيرِ احْتِلَامٍ في رَمَضَانَ، ثُمَّ يَصُومُ. (رواه مسلم).

"Dari Aisyah RA dan Ummu Salamah RA, Nabi Muhammad SAW pernah pagi hari dalam kondisi junub karena jimak (di malam harinya), bukan karena mimpi basah di bulan Ramadhan, kemudian beliau mandi dan terus berpuasa.” (HR. Muslim).

   Jadi, Puasa seseorang tetap sah meskipun mandi junub dilakukan sehabis fajar terbit. Oleh sebab itu, Mandi junub setelah terbitnya fajar ternyata tidak membatalkan puasa. Hadist di atas adalah hadist yang memiliki 2 perawi a'la yaitu Aisya dan Ummu Salamah Radhiallahu Anhuma para istri Rasulullah SAW. Hadist yang diriwayatkan oleh 2 perawi di atas bertentangan dgn hadist yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi saja yaitu Abu Hurairah, yang menganggap bahwa jika seseorang dlm keadaan junub di pagi hari maka puasanya batal.

عن أبو هريرة قال: لا وربِّ الكعبةِ ما أنا قلتُ مَن أصبحَ وَهوَ جنُبٌ فليُفطِرْ محمَّدٌ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ قالهُ. (رواه الألباني)

"Dari Abi Hurairah RA berkata: Demi Tuhan pemilik Ka'ba, saya tidak mengatakan bahwa barangsiapa yang mendapati pagi hari dalam keadaan Junub maka hendaklah ia berbuka (puasanya batal), hal tersebut Muhammadlah yang mengatakannya. ( HR. Al Albani).

Melihat dari kasus di atas, maka hadist Aisyah dan Ummu Salamah yang berhak didahulukan dari pada hadist Abu Hurairah yang hanya sebagai perawi tunggal.

Wallahu a'lam bishowab

Sabtu, 25 Juli 2020

𝐊𝐀𝐈𝐃𝐀𝐇-𝐊𝐀𝐈𝐃𝐀𝐇 𝐈𝐌𝐀𝐌 𝐒𝐘𝐀𝐅𝐈'𝐈 𝐃𝐋𝐌 𝐌𝐄𝐍𝐓𝐀𝐑𝐉𝐈𝐇 𝐃𝐀𝐋𝐈𝐋² 𝐁𝐄𝐑𝐓𝐄𝐍𝐓𝐀𝐍𝐆𝐀𝐍

𝐄𝐝𝐢𝐬𝐢 𝟏𝟓 𝐤𝐚𝐢𝐝𝐚𝐡 𝐤𝐞 𝟕:

(الحديث المروي مقدم على رأي الراوي)

𝐇𝐚𝐝𝐢𝐬𝐭 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐝𝐢𝐫𝐢𝐰𝐚𝐲𝐚𝐭𝐤𝐚𝐧, 𝐥𝐞𝐛𝐢𝐡 𝐝𝐢𝐝𝐚𝐡𝐮𝐥𝐮𝐤𝐚𝐧 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐩𝐞𝐧𝐝𝐚𝐩𝐚𝐭 𝐩𝐞𝐫𝐚𝐰𝐢 𝐇𝐚𝐝𝐢𝐭𝐬 𝐭𝐞𝐫𝐬𝐞𝐛𝐮𝐭.

   Maksud dari kaidah di atas adalah bahwa ketika seorang sahabat meriwayatkan hadist dari Rasulullah SAW, kemudian sahabat tersebut mengamalkan sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang ia riwayatkan dari Rasulullah SAW, maka al Ibrah atau patokannya adalah apa yang diriwayatkannya bukan pada pendapat perawi atau disebut atsar mauquf.

Dalam hal ini, Imam Syafi’I berkata:

وليس من الناس أحدٌ بعد رسول الله إلا وقد أُخِذ من قوله و ترِك لقول غيره من أصحاب رسول الله ولا يجوز في قول رسول الله أن يرَد لقول أحدٍ غيرِه

“dan tidaklah salah seorang setelah Rasulullah kecuali mengambil apa yang dikatakannya dan meninggalkan perkataan/pendapat para perawi sahabat Rasulullah, dan tidak boleh menolak perkataan Rasulullah dengan mengambil perkataan yang lain” (lihat kitab Ikhtilaful Hadist, 8/618)

حديث النبي إنما يعارض بحديث عن النبي ، فأما رأي رجل فلا يعارَض به حديثُ النبي

“bahwasanya hanya diantara hadist nabi saja yang dapat terjadi ta’arud, adapun pendapat seseorang itu tidak boleh menyalahi atau bertentangan dengan hadist nabi” (lihat kitab Ikhtilaful Hadist, 8/646)

   Dilihat dari kaidah tarjih di atas bahwa, ketika ada dua dalil ta’arud/bertentangan, yaitu hadist marfu’ dan atsar mauquf, maka hadist marfu’ atau hadist yang diriwayatkan lebih didahulukan dari pada atsar mauquf sebab ia merupakan pendapat perawi hadist, jika keduanya tidak memungkinkan untuk di jama' atau digabungkan dan di nasakh satu sama lain. (Lihat kitab Al Umm, 3/7).

Contoh dari kaidah di atas adalah:

    Sayyidah Aisyah RA meriwayatkan hadist dari Rasulullah SAW tentang hari syak yaitu hari dimana hilal tidak terlihat disebabkan dgn cuaca buruk. Pada kasus ini, Nabi tidak berpuasa di hari syak tersebut untuk memasuki bulan Ramadhan akan tetapi beliau akan berpuasa setelah genap 30 hari bulan sya'ban.

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَحَفَّظُ مِنْ شَعْبَانَ مَا لَا يَتَحَفَّظُ مِنْ غَيْرِهِ ثُمَّ يَصُومُ لِرُؤْيَةِ رَمَضَانَ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْهِ، عَدَّ ثَلَاثِينَ يَوْمًا، ثُمَّ صَامَ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan perhatian terhadap bulan Sya’ban, tidak sebagaimana perhatian beliau terhadap bulan-bulan yang lain. Kemudian beliau berpuasa ketika melihat hilal Ramadhan. Jika hilal tidak kelihatan, beliau genapkan Sya’ban sampai 30 hari, kemudian dia berpuasa" (HR. Ahmad, Abu Daud, An Nasa’i dan sanad-nya disahihkan Syaikh Syu’aib Al Arnauth).

   Perawi hadist di atas adalah Sayyidah Aisyah RA. Akan tetapi Hadits tersebut bertentangan dgn pendapat atau atsar dari Aisyah sendiri. Yaitu beliau sendiri berpuasa di hari Syak tersebut. Yaitu:

عبدالله بن أبي موسى قال :أرسلني مدركٌ أوِ ابنُ مدركٍ إلى عائشةَ أسألُها عن أشياءَ فأتيتُها وسألتُها عنِ اليومِ الَّذي يختلفُ فيهِ من رمضانَ فقالت لأن أصومَ يومًا من شعبانَ أحبُّ إليَّ من أن أفطرَ يومًا من رمضان.

Abdullah bin Abi Musa berkata: Mudrik atau Ibnu Mudrik telah membawa saya ke Sayyidah Aisyah untuk menanyakan beberpa hal. Maka saya mendatanginya dan bertanya tentang hari di mana manusia tidak mengetahui tentang masuknya bulan ramadhan (atau disebut hari syak). Maka beliau berkata: saya lebih suka berpuasa di hari tersebut di bulan sya'ban dari pada saya berbuka satu hari di bulan Ramadhan. (HR. Bukhari)

  Jadi, atsar mauquf dari Sayyidah Aisyah RA di atas menunjukkan bahwa beliau berpuasa di hari syak tersebut. Yang mana hal ini bertentangan dengan hadist yang Aisyah riwayatkan sendiri dari Nabi SAW tentang tak ada puasa di hari Syak dalam menyambut bulan Ramadhan. Maka dari itu, hadist yang diriwayatkan oleh Aisyah RA dari Rasulullah lebih di dahulukan dari pada pendapat perawi (Aisyah) atau atsar mauquf dari beliau sendiri.

Wallahu a'alam bishowab.

Rabu, 22 Juli 2020

𝐊𝐀𝐈𝐃𝐀𝐇-𝐊𝐀𝐈𝐃𝐀𝐇 𝐈𝐌𝐀𝐌 𝐒𝐘𝐀𝐅𝐈'𝐈 𝐃𝐋𝐌 𝐌𝐄𝐍𝐓𝐀𝐑𝐉𝐈𝐇 𝐃𝐀𝐋𝐈𝐋² 𝐁𝐄𝐑𝐓𝐄𝐍𝐓𝐀𝐍𝐆𝐀𝐍

𝐄𝐝𝐢𝐬𝐢 𝟏𝟒 𝐤𝐚𝐢𝐝𝐚𝐡 𝐤𝐞 𝟔:

(المسند مقدم على المرسل)

𝐇𝐚𝐝𝐢𝐬𝐭 𝐌𝐮𝐬𝐧𝐚𝐝 𝐥𝐞𝐛𝐢𝐡 𝐝𝐢𝐝𝐚𝐡𝐮𝐥𝐮𝐤𝐚𝐧 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐩𝐚𝐝𝐚 𝐇𝐚𝐝𝐢𝐭𝐬 𝐌𝐮𝐫𝐬𝐚𝐥.

   Hadist Musnad adalah hadist yang sanadnya bersambung sampai ke Rasulullah SAW. (Lihat kitab Ma’rifatu Ulum Al Hadits, hal. 17).

  Sedangkan hadist Mursal adalah hadist yang sanadnya terputus setelah tabi’in yaitu para sahabat atau hadist yang diriwayatkan oleh tabi’in tanpa melalui sahabat Rasulullah SAW. (Lihat kitab Nazhah Al Nadzor fii taudihi Nakhbah Al Fikr fii Mushtalah Ahli Atsar, hal. 82).

  Kaidah tarjih ini dilakukan ketika dua dalil ta'arudh tidak bisa di gabungkan (al jam'u wa taufiq) dan juga kedua kondisi dalil tersebut tidak bisa dinasakh satu sama lain disebabkan tidak terpenuhinya syarat² nasakh.

   Oleh sebab itu Kaidah di atas menjelaskan bahwa, ketika terjadi perselisihan secara zohir antara hadist musnad dan hadist mursal, maka hadist musnad lebih didahulukan. Sebab hadist musnad lebih kuat dari pada hadits mursal dari segi periwayatannya, sebab para perawi hadist musnad Nampak dan diketahui keadilannya dan kedhobitannya dalam meriwayatkan hadist. Hal ini berbeda dengan hadits mursal yang periwayatannya terputus pada thabaqat sahabat, sehingga tidak diketahui keadailannya dan kedhobitannya dalam periwayatan hadist. (Lihat kitab Ikhtilaf Al Hadist, 7/649), (Al Umm, 8/ 79).

  Sebagai contoh yaitu, Imam Syafi’I lebih mendahulukan hadits musnad Ibnu Umar tentang kebolehan menghadap kiblat ketika buang hajat di ruang tertutup dari pada hadist Tawus yang mursal tentang larangan menghadap kiblat di ruang tertutup.

Adapun Hadist Ibnu Umar:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: ارْتَقَيْتُ فَوْقَ بَيْتِ حَفْصَةَ فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْضِي حَاجَتَهُ مُسْتَدْبِرَ القِبْلَةِ، مُسْتَقْبِلَ الشَّأْمِ

Diriwayatkanoleh Abdullah bin Umar, r.a, berkata: saya memanjat genteng rumah Hafsah, lalu saya melihat Nabi SAW buang hajat dengan membelakangi kiblat dan menghadap Syam. (HR. Bukhari)

Kemudian Hadist Thowus:

قال طاوس: حق على كل مسلم أن يكرم قبلة الله أن يستقبلها لغائط أو بول

Thowus berkata: wajib atas setiap muslim untuk memuliakan kiblat Allah dengan menghadap kiblat pada saat buang hajat . (HR.Baihaqi).

   Dalam hal ini Imam Syafi’I mengatakan bahwa hadist Thowus adalah hadist mursal, sedangkan hadist Ibnu Umar adalah hadits musnad, maka hadist musnadlah yang lebih didahulukan, Jika keduanya tidak bisa digabungkan dan tidak bisa dinasakh satu sama lain.

Wallahu a'lam bishowab

Selasa, 14 Juli 2020

𝐊𝐀𝐈𝐃𝐀𝐇-𝐊𝐀𝐈𝐃𝐀𝐇 𝐈𝐌𝐀𝐌 𝐒𝐘𝐀𝐅𝐈'𝐈 𝐃𝐋𝐌 𝐌𝐄𝐍𝐓𝐀𝐑𝐉𝐈𝐇 𝐃𝐀𝐋𝐈𝐋² 𝐁𝐄𝐑𝐓𝐄𝐍𝐓𝐀𝐍𝐆𝐀𝐍

𝐄𝐝𝐢𝐬𝐢 𝟏𝟑 𝐊𝐚𝐢𝐝𝐚𝐡 𝐤𝐞 𝟓:

(الخبر المتواتر مقدم على الآحاد)

𝐇𝐚𝐝𝐢𝐬𝐭 𝐌𝐮𝐭𝐚𝐰𝐚𝐭𝐢𝐫 𝐥𝐞𝐛𝐢𝐡 𝐝𝐢𝐝𝐚𝐡𝐮𝐥𝐮𝐤𝐚𝐧 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐩𝐚𝐝𝐚 𝐇𝐚𝐝𝐢𝐭𝐬 𝐀𝐡𝐚𝐝.

   Hadist dari segi kuantitas terbagi menjadi dua: Mutawatir dan Ahad.

    Kata Mutawatir merupakan isim fai’l dari kata Attawatur (التواتر,) yaitu berurutan. Sedangkan secara istilah Hadits Mutawatir adalah hadist yang diriwayatkan oleh perawi yang banyak pada setiap tingkatan senadnya, sehingga menurut akal pikiran tidak mungkin para perawi tersebut sepakat untuk berdusta dan memalsukan hadist serta bersandarkan dalam meriwayatkan pada sesuatu yang dapat diketahui dengan panca indera seperti pendengaran dan semacamnya. (Lihat kitab Al Ghoyah fii Syarh Al Hidayah fii ‘Ilmi Al Riwayah, hal.138) dan (Lihat kitab Taisir Mustholah Al Hadits, hal.19).

   Ahad Secara etimologi merupakan bentuk jama' dari wahid yang berarti satu. Maka Hadits Ahad atau Khobar Wahid adalah suatu berita yang disampaikan oleh satu orang saja.  Sedangkan secara terminologi, Hadits Ahad adalah :

الحديث الاحد هو الحديث الذي لم يبلغ رواته مبلغ الحديث المتواتر سواء كان الراوي واحد أو اثنين أو ثلاثة أو أربعة أو الخمسة إلي غير ذلك من العدد التي لا تشعر بأن الحديث دخل في خبر المتواتر 

Artinya : “Hadits ahad adalah hadits yang para rawinya tidak mencapai jumlah rawi hadits mutawatir, baik rawinya itu satu, dua, tiga, empat, atau seterusnya. Tetapi jumlahnya tidak memberi pengertian bahwa hadits dengan jumlah rawi tersebut masuk dalam kelompok hadits mutawatir” (Lihat kitab Ulumul Hadits, hal. 229).

  Sehingga Dalam hal ini Imam Syafi’I berkata tentang hadist mutawatir dan ahad:

فكان هذا نقل عن عامة عن عامة وكان أقوى في بعض الأ مرِ من نقلِ واحد عن واحد 

“ maka hal ini (Mutawatir) adalah nukilan atau periwayatannya secara jamaah (banyak) dan lebih kuat dari sebagian yang nukilannya atau periwatannya hanya perorangan” (Lihat kitab Ar Risalah, hal. 139)

 Beliau juga mengatakan:

الأخبار كلما تواترت وتظاهرت كان أثبتَ للحجة، وأطيبَ لنفس السامع 

“ Hadist (Al Akhbar), setiap jumlah periwayatannya banyak dan Nampak, maka lebih kokoh kehujjahannya dan lebih baik pada diri pendengar” (Lihat kitab Ar Risalah, hal.433)

  Oleh sebab itu dilihat dari perkataan Imam Syafi’I tersebut, bahwa hadist mutawatir lebih kuat kehujjahannya atau dasar pendalilannya dari pada hadist ahad yang mana perawinya tidak sebanyak hadist mutawatir.

  Kaidah ini adalah salah satu kaidah Imam Syafi’I atau ulama Syafi’iyyah lainnya yaitu Hadist Mutawatir harus didahulukan dari pada hadist ahad ketika terjadi ta’arudh. Kaidah tarjih ini dilakukan ketika dua dalil ta'arudh tidak bisa di gabungkan (al jam'u wa taufiq) dan juga kedua kondisi dalil tersebut tidak bisa memakai metode nasakh disebabkan tidak terpenuhinya syarat² nasakh.

    Sama seperti halnya dengan kaidah nash qhat’I lebih didahulukan dari nash yang sifatnya zanni, sebab mutawatir adalah qhat’I sedangkan ahad sifatnya zanni. Akan tetapi yang harus diperhatikan adalah bahwa penetepaan hadist mutawatir lebih didahulukan dari hadist ahad tidak muthlak begitu saja. Dalam hal ini ada tiga kondisi ketika terjadi ta’arud, yaitu:

a.  Hadist mutawatir dan hadits ahad, jika dilalah kedua²nya qhat’I, maka hal ini mustahil untuk didahulukan satu sama lain, sebab tidak mungkin kedua-duanya ta’arudh yang sifatnya qhat’i. akan tetapi jalan yang ditempuh adalah dengan menggunakan metode nasakh atau penghapusan salah satu dari keduanya, yaitu hukum lama yang dihapus dengan datangnya hukum yang baru.

b. Ketika hadist mutawatir dan hadist ahad, salah satu dari keduanya, dilalahnya qhat’I dan lainnya zanni, maka dilalah yang qhat’I lebih didahulukan dari dilalah yang zanni.

c. Ketika hadist mutawatir dan hadits ahad, kedua-duanya dilalahnya zhanni, maka dalam hal ini hadist mutawatir lebih didahulukan dari pada hadist ahad, sebab hadist mutawatir lebih unggul dari segi tsubutnya. Point ketiga inilah yang dimaksud oleh kaidah diatas. (Lihat kitab Al Umm, hal. 305).

  Adapun contoh dari kaidah di atas adalah: hadist mutawatir tentang pengharaman riba fadhl lebih didahulukan dari pada hadist Usama yang mengatakan:

أَخْبَرَنِي أُسَامَةُ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: لاَ رِبًا إِلَّا فِي النَّسِيئَةِ

Usamah mengabariku, bahwa Nabi SAW bersabda: “tidak ada riba kecuali riba nasiah (Muttafaqun Alaihi)” 

  Hadist Usamah adalah hadist ahad yang menetapakan bahwa riba itu hanya satu macam saja yaitu riba nasiah, sedangkan hadist penetapan adanya riba fadhl adalah hadist mutawatir. Sehingga jenis riba ada 2: Riba Nasiah dan Riba Fadhl.

Wallaua'lam bishowab

Minggu, 12 Juli 2020

𝐊𝐀𝐈𝐃𝐀𝐇-𝐊𝐀𝐈𝐃𝐀𝐇 𝐈𝐌𝐀𝐌 𝐒𝐘𝐀𝐅𝐈'𝐈 𝐃𝐋𝐌 𝐌𝐄𝐍𝐓𝐀𝐑𝐉𝐈𝐇 𝐃𝐀𝐋𝐈𝐋² 𝐘𝐀𝐍𝐆 𝐁𝐄𝐑𝐓𝐄𝐍𝐓𝐀𝐍𝐆𝐀𝐍

𝐄𝐝𝐢𝐬𝐢 𝟏𝟐 𝐤𝐚𝐢𝐝𝐚𝐡 𝐤𝐞 𝟒:

(تقدم سنة القولية ثم الفعلية ثم التقريرية)

𝐒𝐮𝐧𝐧𝐚𝐡 𝐐𝐚𝐮𝐥𝐢𝐲𝐲𝐚𝐡 𝐥𝐞𝐛𝐢𝐡 𝐝𝐢𝐝𝐚𝐡𝐮𝐥𝐮𝐤𝐚𝐧, 𝐤𝐞𝐦𝐮𝐝𝐢𝐚𝐧 𝐅𝐢’𝐥𝐢𝐲𝐲𝐚𝐡 𝐤𝐞𝐦𝐮𝐝𝐢𝐚𝐧 𝐓𝐚𝐪𝐫𝐢𝐫𝐢𝐲𝐲𝐚𝐡.

   Sunnah atau hadist berasal dari kata bahasa arab yaitu سن – يسن – سنا وسننا yang berarti jalan atau cara. (Lihat kitab Lisanul Arab, 13/226). Hadist disebut sunnah karena sesuatu yang lari pada tempatnya. (Lihat kitab Maqayis Al lugho, 3/61). Di dalam kitab Tahdzib Al Lugha, dikatakan bahwa, asal kata dari Sunnah yaitu jalan yang dibuat oleh orang pertama, sehingga menjadi jalan bagi orang setelahnya. (Lihat Kitab Tahzib Al lugho, 12/210).

  Sunnah lebih umum disebut hadits, yang mempunyai beberapa arti, yaitu dekat, baru, dan berita. Dari arti-arti tersebut, maka yang sesuai untuk pembahasan ini adalah hadits dalam arti khabar. Melihat dari perbedaan mengenai pengertian Sunnah, maka Beberapa ulama mencoba memberikan definisi tentang Sunnah.

  Dari kalangan Ulama ushul fiqh mendefinisikan Sunnah adalah:

ما أُثِر عن النبي صلي الله عليه السلام غير القرآن من قولٍ أو فعلٍ أو تقرير.

“semua yang bersumber dari Nabi saw, selain Al-Qur'an baik berupa perkataan, perbuatan atau persetujuan”.

 Adapun Sunnah secara istilah menurut ulama fiqhi adalah:

السنة بما يدل على أنها حكم شرعي، فهي عندهم مرادف للمندوب والمستحب (ما طُلب فعلُه طلبًا غيرَ جازم) أو (ما يثاب فاعله ولا يعاقب تاركه) 

“Sunnah merupakan hukum syara’, yang mengandung arti mandub dan mushtahab (pekerjaan yang dianjurkan tanpa keharusan) atau (orang yang mengerjakannya mendapat pahala dan orang yang meninggalkannya tidak mendapatkan akibat atau kosekuensi). (Lihat kitab Al Ibhaj fii syarh al manhaj, 1/52).

   Oleh sebab itu, sunnah adalah suatu amal yang dianjurkan oleh syariat namun tidak mencapai derajat wajib atau suatu keharusan harus.

  Kemudian, Adapun Sunnah menurut ahli Hadist adalah:

ما نُقِل عن النبي صلي الله عليه السلام من قولٍ أو فعلٍ أو تقريرٍ أو وصفِه الخَلقي والخُلُقي، سواءٌ قبل البعثة أو بعدها 

“segala hal yang disandarkan kepada Nabi, baik itu berupa perkataan, perbuatan, taqrir (ketetapan), maupun sifat perangai atau sifat fisik. Baik sebelum diutus menjadi nabi ataupun setelahnya”. (Lihat kitab Qawaidu At Tahdist min Fununi Al Mustholahul Hadist, hal.85).

   Sedangkan, sunnah menurut ulama Al Aqidah atau ahli Tauhid adalah:

السنة بما يقابل البدعة فهي عندهم الطريقةُ المسلوكةُ في الدين المأثورةُ عن النبي أو صحابته. 

“sunnah adalah antonim atau lawan kata dari bidah. Yaitu jalan yang dilewati dalam agama yang berasal dari Nabi dan para sahabatnya” (Lihat kitab Jami’ Al Ulm wa Al Hukum fii Syarhi Khamsina Haditsan min Jawami’ Al Kalim, 2/120).

   Jadi, sunnah adalah setiap amal perbuatan yang ada contoh dan tuntunannya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bukan perkara yang diada-adakan dalam agama, maka ini masuk dalam kategori sunnah. 

 Terlepas dari pendefinisian sunnah dari beberapa golongan ulama di atas, maka hadist dari segi asalnya terbagi menjadi tiga, yaitu: sunnah Qauliyyah, sunnah Fi’liyyah dan sunnah Taqririyyah.

   Hadist Qauly, ialah segala bentuk perkataan atau ucapan yang disandarkan kepada Nabi SAW. dengan kata lain hadist tersebut berupa perkataan Nabi SAW yang berisi berbagai tuntutan dan petunjuk syara’, peristiwa-peristiwa dan kisah-kisah, baik yang berkaitan dengan aspek akidah, syari’ah maupun akhlaq. (Lihat kitab Bahru Al Muhith fii Ushul Al Fiqh,6/12).

  Hadist fi’liyah yaitu segala yang disandarkan kepada Nabi SAW berupa perbuatannya yang sampai kepada kita. (Lihat kitab Bahru Al Muhith fii Ushul Al Fiqh,6/13).

   Sedangkan hadist taqririyah yaitu hadist yang berupa ketetapan atau persetujuan Nabi SAW terhadap apa yang datang atau yang dilakukan oleh para sahabat Nabi SAW membiarkan atau mendiamkan suatu perbuatan yang dilakukan oleh para sahabatnya, tanpa memberikan penegasan, apakah beliau membenarkan atau mempersalahkannya. Sebab diamnya Nabi menandakan sebuah persetujuan terhadap hal tersebut. sebab kalau tidak setuju, maka Nabi akan menolaknya atau melarangnya.

    Inilah sikap Nabi yang demikian itu  dijadikan dasar oleh para sahabat sebagai dalil taqriri yang dapat dijadikan hujjah dan mempunyai kekuatan hukum untuk menetapkan suatu kepastian syara’.

  Oleh sebab itu, maksud dari kaidah di atas adalah bahwa, jika Sunnah Qauliyyah, Fi'liyyah dan Taqririyyah saling bertentangan satu sama lain, yang mana sunnah ta'arudh tersebut tidak bisa digabungkan (al jam'u wa taufiq), dan tidak diketahui waktu asbabul wurudnya sehingga tak memungkinkan untuk dinasakh, serta tidak ada dalil lain yang menguatkan dari salah satu hadist tersebut, maka dalam hal ini, sunnah Al Qauliyyah lebih didahulukan, kemudian sunnah Fi’liyyah kemudian sunnah Taqririyyah. Qaidah ini adalah qaidah yang dipakai oleh jumhur ulama Syafi’iyyah dalam mentarjih dalil² yang bertentangan. (lihat kitab Nihayah Al Wushul fii Dirayah Al Wushul, 5/2173).

    Pendahuluan sunnah qauliyyah dari fi'liyyah adalah sebuah kaidah yang merupakan hasil dari ijtihad Ulama yang didukung oleh dalil Naqliyyah maupun Aqliyyah. Yang menyebabkan derajat Sunnah qauliyyah berada di atas Sunnah Fi'liyyah adalah:

1. Bahwa asal atau pokok dari sebuah penjelasan adalah adanya perkataan, sebab ia mewakili apa yang terkandung dari ucapan atau perkataan tersebut. Beda halnya dengan sebuah perbuatan yang tidak bisa mewakili maksud dari perbuatan tersebut kecuali ada dalil atau qorinah yang menunjukkan hal tersebut.

2. Karena dilalah dari sebuah perkataan adalah sudah menjadi kesepakatan, beda halnya dengan dilalah sebuah perbuatan yang masih berbeda pandangan hal tersebut.

3. Karena apa yang diperbuat dan dikerjakan oleh Nabi SAW boleh jadi pengkhususan bagi dirinya sendiri sehingga tidak berlaku bagi ummatnya. beda halnya dengan perkataan beliau yang besifat universal bagi ummatnya. (Lihat kitab Al Ihkam fii Ushulil Ahkam, 1/193)

Contoh dari kaidah di atas adalah masalah doa talbiyah ketika menunaikan ibadah haji.

   Permasalahan dari contoh di atas terletak pada hadist fi’liyyah tentang doa talbiyah yang ringkas lebih didahulukan dari hadist taqririyyah tentang tambahan redaksi doa talbiyah tersebut. Adapun Hadist Fi’liyah:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُهِلُّ مُلَبِّدًا يَقُولُ: «لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالمُلْكَ، لاَ شَرِيكَ لَكَ» لاَ يَزِيدُ عَلَى هَؤُلاَءِ الكَلِمَاتِ

Diriwayatkan oleh ibnu Umar r.a, beliau berkata: saya telah mendengar Rasulullah berkata: Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu ya Allah dan tiada sekutu bagi-Mu. Sesungguhnya segala puji, nikmat, serta kekuasaaan hanya bagi-Mu tanpa sekutu apapun bagi-Mu.” Lalu ibnu Umar mengatakan: tidak ada tambahan teks doa tersebut. (HR. Bukhari)

Sedangkan Hadist Taqririyyah:

قال جابر في حكايته في حجة النبي:... وَأَهَلَّ النَّاسُ بِهَذَا الَّذِي يُهِلُّونَ بِهِ، فَلَمْ يَرُدَّ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْهِمْ شَيْئًا مِنْهُ

   Jabir berkata tentang cerita haji Nabi SAW:…dan manusia mulai membaca (talbiyah) dengan bacaan yang mereka tambahkan dan Rasulullah tidak menolak sesuatupun darinya. (HR. Muslim). 

  Walaupun hadist di atas merupakan hadist Jabir yang mengandung taqrir Nabi SAW tetapi hadist ini bertentangan dgn hadist fi'liyyah Nabi SAW yang merupakan riwayat dari beliau dalam bentuk perbuatan. Sehingga dalam masalah ini, Imam Syafi’I mengatakan:

ولا أُحب أن يزيد على هذا في التلبية حرفًا ... فإنه لا يروى عن النبي صلي الله عليه وسلم

“Saya tidak menyukai tambahan teks dalam doa talbiyah walaupun satu huruf, karena hal itu tidak diriwayatkan dari Rasulullah SAW” (lihat kitab Al Umm, 2/224).

   Jadi, Jelas dari perkataan Imam Syafi’I bahwa beliau menggunakan kaidah tentang pendahuluan sunnah qauliyyah, kemudain fi’liyyah kemudian taqririyyah.

Wallahu a'lam bishiwab

Sabtu, 11 Juli 2020

𝐊𝐀𝐈𝐃𝐀𝐇-𝐊𝐀𝐈𝐃𝐀𝐇 𝐈𝐌𝐀𝐌 𝐒𝐘𝐀𝐅𝐈'𝐈 𝐃𝐋𝐌 𝐌𝐄𝐍𝐓𝐀𝐑𝐉𝐈𝐇 𝐃𝐀𝐋𝐈𝐋² 𝐘 𝐁𝐄𝐑𝐓𝐄𝐍𝐓𝐀𝐍𝐆𝐀𝐍

𝐄𝐝𝐢𝐬𝐢 𝟏𝟏 𝐊𝐚𝐢𝐝𝐚𝐡 𝐤𝐞 𝟑:

(النص مقدم على الظاهر)

"𝐍𝐚𝐬𝐡 𝐥𝐞𝐛𝐢𝐡 𝐝𝐢𝐝𝐚𝐡𝐮𝐥𝐮𝐤𝐚𝐧 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐩𝐚𝐝𝐚 𝐙𝐡𝐨𝐡𝐢𝐫"

    Nash menurut etimologi adalah raf’u asy-syai’ atau munculnya segala sesuatu yang tampak. (Lihat kitab Maqayis Lugho, 5/356). Oleh sebab itu dalam mimbar nash ini sering disebut manashahat. (Lihat kitab Ushul Fiqhi, Rahmat Syafi'i, hal. 153). Bahkan para ulama ushul berbeda dalam merumuskan definisinya, di antaranya Menurut Ulama Hanafiyah, nash adalah:

هُوَ مَا دَلَّ بِنَفْسِ صِيْغَتِهِ عَلَى الْمَعْنَى الْمَقْصُوْدِ أَصَالَةً عَلَى مَا سِيْقَ لَهُ وَ يَحْتَمِلُ التَّأْوِيْلِ

“Lafazh yang dengan sighatnya sendiri menunjukkan makna yang dimaksud secara langsung menurut apa yang diungkapkan, dan ada kemungkinan ditakwilkan” (lihat buku Ushul Fiqhi, Arif Syarifuddin, 2/4).

  Sedangkan nash menurut Ulama Syafi’iyah adalah:

مَادَلَّ عَلىَ مَعْنَى دُوْنَ اَنْ يَحْتَمِلَ مَعْنَى اّخَرَ

“Lafal yang menunjukkan kepada sesuatu pengertian yang tidak menerima makna yang lain”. (Lihat kamus ushul Fiqhi, hal.256).

   Adapun yang dimaksud dengan zhohir secara bahasa yaitu sesuatu yang nampak. Sedangkan menurut istilah di antaranya:

Menurut Sarkhasi, zhahir adalah

مَا يُفْهَمُ الْمُرَادُ مِنْهُ بِنَفْسِ السَّمَاعِ مِنْ غَيْرِ تَأَمُّلٍ

“Dari apa-apa yang didengar meskipun tanpa pemahaman yang mendalam dapat diketahui apa sebenarnya yang dimaksud oleh pembicara dengan lafaz itu”. (lihat buku Ushul Fiqhi, Arif Syarifuddin, 2/4)

Menurut Bazdawi memeberikan definisi zhahir :

اِسْمٌ لِكُلِّ كَلاَمٍ ظَهْرٍ الْمُرَادُ بِهِ لِلسَّامِعِ بِصِيغَتِهِ

“Suatu nama bagi seluruh perkataan yang jelas maksudnya bagi pendengar, melalui bentuk lafazh itu sendiri”.

   Dari definisi di atas tampak jelas bahwa memahami zhahir itu tidak bergantung pada petunjuk lain , tetapi bisa diambil langsung dari rumusan Lafazh itu sendiri. akan tetapi Lafazh tersebut tetap mempunyai kemungkinan lain. 

    Jadi dapat disimpulkan bahwa Zahir adalah apa yang menunjukkan maksud dari padanya itu dengan sighat itu sendiri, tanpa menghentikan faham maksudnya itu terhadap urusan luar.

    Oleh sebab itu, Maksud dari kaidah tarjih di atas adalah bila dalil nash bertentangan dengan dalil yang sifatnya zhahir, maka nash lebih didahulukan dari dalil yang zhahir, sebab nash adalah qhat’I, yang tidak menerima makna yang lain. Berbeda halnya dengan zhahir yang menerima makna lain. Oleh Karena itu dilalah nash lebih kuat dibandingkan dengan dalil yang zhahir. 

  Contoh: Masalah perwaliam dalam pernikahan, Rasulullah SAW bersabda:

عن عائشة قالت: قال رسولُ الله - صلَّى الله عليه وسلم -: "أيُّما امرأةٍ نكَحَتْ بغيرِ إذن مَوَاليها فنِكاحُهَا بَاطِلٌ 

Diriwayatkan oleh Aisya, r.a berkata: Rasulullah bersabda: “setiap perempuan yang menikah tanpa seizing walinya, maka nikahnya tidak sah” (HR. Abu Dawud).

  Hadist di atas adalah dalil nash yang menunjukkan batalnya pernikahan seorang perempuan tanpa seizin walinya. yang mana hadist tersebut bertentangan dengan kezhahiran ayat, yaitu:

فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّىٰ تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ

Artinya: “jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain”. (Q.S.Al Baqarah:230) .

  Kalau kita cermati dari Ayat di atas, secara zhahir menjelaskan bolehnya menikah seorang perempuan tanpa seizin walinya sebab zohir ayat tersebut seolah² siperempuan yang mendapat hak mutlak saja dalam mengenai urusan pernikahannya. Maka dalam hal ini, bahwa dilalah nash yaitu hadist, lebih didahulukan dari pada dilalah zohir ayat, sebab dilalah ayat tersebut mengandung takwil yaitu menerima makna lainnya.

Wallahu a'lam bishowab

Minggu, 05 Juli 2020

𝐊𝐀𝐈𝐃𝐀𝐇-𝐊𝐀𝐈𝐃𝐀𝐇 𝐈𝐌𝐀𝐌 𝐒𝐘𝐀𝐅𝐈'𝐈 𝐃𝐋𝐌 𝐌𝐄𝐍𝐓𝐀𝐑𝐉𝐈𝐇 𝐃𝐀𝐋𝐈𝐋² 𝐘𝐀𝐍𝐆 𝐁𝐄𝐑𝐓𝐄𝐍𝐓𝐀𝐍𝐆𝐀𝐍

𝐄𝐝𝐢𝐬𝐢 𝟏𝟎 𝐊𝐚𝐢𝐝𝐚𝐡 𝐤𝐞 𝟐:

(النص القطعي مقدم على النص الظني)

"𝐍𝐚𝐬𝐡 𝐐𝐡𝐚𝐭’𝐈, 𝐥𝐞𝐛𝐢𝐡 𝐝𝐢𝐝𝐚𝐡𝐮𝐥𝐮𝐤𝐚𝐧 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐩𝐚𝐝𝐚 𝐧𝐚𝐬𝐡 𝐃𝐳𝐨𝐧𝐧𝐢"

   Dalam Ushul Fiqih, istilah qath’i dan zhanni digunakan untuk menyatakan tingkat kekuatan suatu dalil. Kata qath’i adalah sinonim dari kata-kata dharuri, yakin, pasti, absolut, dan mutlak. Sedangkan kata zhanni adalah sinonim dari kata-kata hadari, dugaan, relatif, dan nisbi. (Lihat buku Rekonstruksi Konsep Qath’iy dan Zhanniy Menurut al-Syatibi, hlm. 10).

  Secara terminologis, Abdul Wahhab Khallaf mendefinisikan dalil qath’i sebagaimana berikut:

ما دل على معنى متعين فهمه منه ولا يحتمل تأويلا ولا مجال لفهم معنى غيره منه 

“Dalil yang menunjukkan kepada suatu makna tertentu yang harus dipahami dari teks (ayat al-Qur’an atau hadits), dan tidak mengandung kemungkinan ta’wil atau pengalihan dari makna asal kepada makna lain, serta tidak ada peluang untuk memahami makna selain makna yang ditunjukkan oleh teks.” (lihat kitab Ilmu Ushul Fiqhi, hal. 35)

  Contoh dari dalil yang dipahami secara qath’i, Sebagaimana firman-Nya:

وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ 

Artinya:“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari (4 bulan 10 hari). Kemudian apabila telah habis 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” (QS. al Baqarah: 234).

   Ayat di atas menjelaskan bahwa ‘iddah wanita yang ditinggal wafat suaminya adalah 4 bulan 10 hari. Maka makna dari angka 4 bulan 10 hari hanya bisa dipahami secara qath’i dengan angka tersebut dan tidak ada ruang untuk memultitafsirkan angka tersebut.   

Sedangkan definisi dari dalil zhanni yaitu:

ما دل على معني ولكن يحتمل أن يؤول ويصرف عن هذا المعنى ويراد منه معني غيره 

“Dalil yang menunjukkan makna tertentu yang harus dipahami dari teks al-Qur’an dan hadits yang mengandung kemungkinan ta’wil atau pengalihan dari makna asal kepada makna lain, serta masih adanya peluang untuk memahami makna lain selain makna yang ditunjukkan oleh teks.”(lihat kitab Ilmu Ushul Fiqhi, hal. 35).

 Contoh firman Allah SWT:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ فَلَا يَقْرَبُوا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هَذَا وَإِنْ خِفْتُمْ عَيْلَةً فَسَوْفَ يُغْنِيكُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ إِنْ شَاءَ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ حَكِيمٌ 

Artinya:”Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjid al Haram sesudah tahun ini. Dan jika kamu khawatir menjadi miskin, maka Allah nanti akan memberimu kekayaan kepadamu dari karuniaNya, jika Dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. at Taubah: 28).

   Ayat di atas adalah contoh dari dalil yang dipahami secara zhanni, yang menjelaskan tentang najisnya orang-orang musyrik, apakah najis yang dimaksud adalah najisnya badan mereka secara hakiki, atau najisnya akidah yang mereka yakini. Maka, dalam hal ini mengandung kemungkinan ta’wil atau pengalihan dari makna asal kepada makna lain, serta masih adanya peluang untuk memahami makna lain selain makna yang ditunjukkan oleh teks.”

   Oleh karena itu, Dalil-dalil sumber hukum bermacam-macam tingkatannya dan kekuatannya, seperti halnya dengan nash qhat’I dan nash dzanni. Dalam hal ini, ketika dalil nash qhat’I bertentangan dengan dalil nash dzanni dan kedua-duanya tidak bisa digabungkan dan juga tidak memenuhi syarat konsep naskh wa mansukh, maka nash yang sifatnya qat’I lebih didahulukan dari nash yang sifatnya dzanni, baik itu dari segi tsubutnya maupun dilalahnya. Kaidah ini disinyalir oleh Imam Razi salah satu ulama Syafi’iyyah dalam kitab Al Mahshul. (Lihat kitab Al Mahsul fii Ushulil Fiqhi, 5/413).

 Contoh: Masalah mengangkat kedua tangan ketika hendak ruku dan setelah ruku dalam sholat.

أَنَّ ابْنَ عُمَرَ كَانَ إِذَا دَخَلَ فِى الصَّلاَةِ كَبَّرَ ، وَرَفَعَ يَدَيْهِ وَإِذَا رَكَعَ رَفَعَ يَدَيْهِ ، وَإِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَفَعَ يَدَيْهِ ، وَإِذَا قَامَ مِنَ الرَّكْعَتَيْنِ رَفَعَ يَدَيْهِ 

“Sesungguhnya Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma biasanya jika hendak memulai shalatnya beliau bertakbir dan mengangkat kedua tangannya. Jika hendak ruku’ juga mengangkat kedua tangannya. Jika beliau mengucapkan, ”Sami’allâhu liman hamidah” juga mengangkat kedua tangannya. Jika berdiri dari rakaat kedua juga mengangkat kedua tangannya” (HR.Bukhari)

قال عبد الله بن مسعود: ألا أُصلي بكم صلاةَ رسولِ الله- صلى الله عليه وسلم -؟ قال: فصلّى فلم يرفع يَدَيهِ إلا مرَّةً

Abdullah bin Mas’ud berkata: maukah aku mengimami kalian dengan cara shalat Rasulullah? Beliau berkata lagi: dia shalat dan tidak mengangkat kedua tangannya kecuali sekali saja (yaitu ketika takbiratulihram saja). (HR. Abu Dawud).

  Melihat dari kedua hadist di atas saling ta'arudh, yaitu hadist Abdullah bin umar mengharuskan mengangkat tangan ketika hendak ruku dan setelah ruku, sedangkan hadist Abdullah bin Mas'ud meniadakan mengangkat tangan kecuali pada saat takbiratul Ihram saja.

  maka dari itu, melihat kedua hadist ta'arudh tersebut, maka hadist Abdullah bin Umar lebih didahulukan sebab hadist tersebut merupakan hadist mutawatir yang sifatnya qat’i . Sedangkan hadist ibnu mas’ud adalah hadist ahad yang sifatnya zhanni yang tidak mensunnahkan mengangkat tangan ketika hendak ruku dan setelah ruku.

Wallahu a'lam bishowab

Jumat, 03 Juli 2020

𝐊𝐀𝐈𝐃𝐀𝐇-𝐊𝐀𝐈𝐃𝐀𝐇 𝐈𝐌𝐀𝐌 𝐒𝐘𝐀𝐅𝐈'𝐈 𝐃𝐋𝐌 𝐌𝐄𝐍𝐓𝐀𝐑𝐉𝐈𝐇 𝐃𝐀𝐋𝐈𝐋 𝐘𝐀𝐍𝐆 𝐁𝐄𝐑𝐓𝐄𝐍𝐓𝐀𝐍𝐆𝐀𝐍

𝐄𝐝𝐢𝐬𝐢 9, 𝐊𝐚𝐢𝐝𝐚𝐡 𝐩𝐞𝐫𝐭𝐚𝐦𝐚:
(النص مقدم على القياس)

"𝐍𝐚𝐬𝐡 (𝐀𝐥 𝐐𝐮𝐫’𝐚𝐧 𝐝𝐚𝐧 𝐇𝐚𝐝𝐢𝐬𝐭) 𝐥𝐞𝐛𝐢𝐡 𝐝𝐢𝐝𝐚𝐡𝐮𝐥𝐮𝐤𝐚𝐧 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐩𝐚𝐝𝐚 𝐐𝐢𝐲𝐚𝐬"

  Pada tulisan sebelumnya telah dijelaskan bahwa Imam Syafi'i mempunyai 3 metode dalam menyelesaikan dalil² yang bertentangan, yaitu:

  Metode pertama: Al jam'u wa Taufik, yaitu penggabungan antara dua dalil yang bertentangan, jika hal itu memungkinkan. 

  Metode Kedua: Metode naskh (Penghapusan hukum) adalah menghapus hukum syar'i dengan dalil yang datang kemudian. 

 Metode ketiga: Metode Tarjih, yaitu mengunggulkan salah satu dalil yang bertentangan dengan cara menganalisis dari aspek sanad, matan, dilalahnya dan illahnya. Sehingga hanya mengambil dan mengamalkan salah satu dari dalil yang bertentangan tersebut. Metode ini adalah metode terakhir yang dipakai oleh Imam Syafi'i ketika metode al jam'u wa taufik (penggabungan) dan metode naskh tidak bisa dilakukan.

   Nah, Metode tarjih inilah yang akan kita bahas pada edisi kali ini, yaitu bagaimana cara mentarjih salah satu dalil ta'arudh tersebut sehingga bisa menentukan dalil yang rajih ( kuat) dan dalil marjuh (lemah) ?...

   Adapun salah satu cara menentukan dalil yang rajih dan dalil marjuh, yaitu dengan mengetahui kaidah² tarjih yang telah diijtihadkan oleh para ulama.

Kaidah pertama: Nash (Al Qur’an dan Hadist) lebih didahulukan dari pada Qiyas.

  Adapun yang dimaksud nash disini adalah nash atau dalil yang berasal dari Al Qur’an dan Sunnah. Sebagaiman yang diungkapkan oleh Imam Subki:

إن كثيرًا من متأخري الجدليين يريدون بالنص مجرد لفظ الكتاب والسنة 

“Sesungguhnya kebanyakan dari ulama mutaakhirin, mereka mengartikan bahwa nash adalah berasal dari Al Kitab dan Al Sunnah”

 Jadi, maksud dari kaidah diatas adalah bahwasanya nash dari Al Qur’an dan Sunnah lebih didahulukan dari pada Qiyas, baik itu dari segi pengklasifikasian dalil ketika tidak terjadi ta’arud maupun dari segi pentarjihan ketika terjadi ta’arud diantara dalil-dalil tersebut. Oleh sebab itu, jika terjadi perselisihan antara dalil nash dan dalil qiyas dari segala aspek dan tidak bisa digabungkan kedua dalil tersebut, maka pada kondisi hal ini, nash lebih didahulukan dari pada qiyas, sebab yang menjadi ibrah atau patokan adalah dalil nash dan bukan dalil qiyas. Dalam hal ini Imam Syafi’I mengatakan:

لا نترك الحديثَ عن رسول الله بأن يَدخُلَه من القياس ما وصفتُ ولا أكثر، ولا موضعَ للقياس مع السنة 

“Kita tidak boleh meninggalkan Hadist dari Rasulullah SAW dengan memakai qiyas yang berkenaan dengan hal itu, sebab tidak ada tempat bagi qiyas ketika ada As Sunnah” (lihat kitab Al Umm, 7/208)

Beliau juga mengatakan:

لا يحل القياس والخبر موجود 

“qiyas itu tidak halal (tidak bisa digunakan), selama Hadist masih ada”(lihat kitab Risalah, hal.597)

 Jadi jelas bahwa Imam Syafi’I lebih mendahulukan Nash (Al Qur’an dan Sunnah) dari pada Qiyas, sebab lebih kuat pendalilannya dan derajatnya dari pada Qiyas.

Contoh: Tentang hukum perwalian dalam pernikahan bagi perempuan.

  Qiyas mengatakan bahwa perwalian dalam pernikahan bagi perempuan hukumnya tidak wajib. Dasarnya yaitu menqiyaskan nikah terhadap jual beli yang tidak mesti menggunakan perwalian. Adapaun qiyas di atas menyalahi nash dari hadist Rasulullah SAW tentang wajibnya wali bagi perempuan dalam pernikahan, yaitu:

أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل فنكاحها باطل فنكاحها باطل فإن دخل بها فلها المهر بما استحل من فرجها فإن اشتجروا فالسلطان ولي من لا ولي له

“Wanita manapun yang menikah tanpa seizin walinya, maka pernikahannya bathil, pernikahannya bathil, pernikahannya bathil. Jika seseorang menggaulinya, maka wanita itu berhak mendapatkan mahar, sehingga ia dihalalkan terhadap kemaluannya. Jika mereka terlunta-lunta (tidak mempunyai wali), maka penguasa adalah wali bagi siapa (wanita) yang tidak mempunyai wali.

  Maka dalam hal ini hadist Rasulullah diatas lebih didahulukan dari pada qiyas.

Wallahu a'alam bishowab

Senin, 29 Juni 2020

𝐌𝐄𝐓𝐎𝐃𝐎𝐋𝐎𝐆𝐈 𝐈𝐌𝐀𝐌 𝐒𝐘𝐀𝐅𝐈'𝐈 𝐃𝐋𝐌 𝐌𝐄𝐍𝐘𝐄𝐋𝐄𝐒𝐀𝐈𝐊𝐀𝐍 𝐃𝐀𝐋𝐈𝐋² 𝐘𝐀𝐍𝐆 𝐁𝐄𝐑𝐓𝐄𝐍𝐓𝐀𝐍𝐆𝐀𝐍

𝐄𝐝𝐢𝐬𝐢 𝟖: 𝐂𝐚𝐫𝐚 𝐦𝐞𝐧𝐲𝐞𝐥𝐞𝐬𝐚𝐢𝐤𝐚𝐧 𝐝𝐚𝐥𝐢𝐥 𝐓𝐚’𝐚𝐫𝐮𝐝𝐡 𝐚𝐧𝐭𝐚𝐫𝐚 𝐐𝐚𝐮𝐥𝐮 𝐀𝐥 𝐒𝐚𝐡𝐚𝐛𝐚𝐡 (𝐩𝐞𝐫𝐤𝐚𝐭𝐚𝐚𝐧 𝐬𝐚𝐡𝐚𝐛𝐚𝐭) 𝐝𝐚𝐧 𝐐𝐢𝐲𝐚𝐬.

 Imam Syafi’I mengatakan bahwa, Syarat legitimasi Qaulu Al Sahabah sebagai landasan hukum, ada tiga yaitu: 

a) Bahwa qaul/perkataan tersebut benar-benar berasal dari para sahabat Rasulullah SAW. Sebagaimana Imam Syafi’I berkata:
الأثر أحق أن يتبع من القياس، فإن كان ثابتًا فهو أولى أن يؤخذ به

“al Atsar lebih berhak untuk diikuti dari pada qiyas, jika atsar tersebut tsabit, maka ia lebih didahulukan untuk diambil”

   Dan yang dimaksud dengan atsar oleh Imam Syafi’I adalah perkataan sahabat. (Lihat kitab Al Umm, 3/234)

b) Bahwa qaulu Al Sahabah tidak menyalahi qaulu Al Sahabah yang lainnya. Maka, tidak ada qaul yang dominan dari kedua qaul sahabat yang bertentangan. Sebagaimana Ibnu Taimiyyah berkta:

وإن تنازعوا (أي الصحابة)؛ رُد ما تنازعوا فيه إلى الله والرسول، ولم يكن قول بعضهم حجة مع مخالفة بعضهم له باتفاق العلماء 

“Jika mereka (sahabat nabi), saling bertentangan, maka kembalikanlah apa yang mereka pertentangkan kepada Allah dan Rasulullah, dan tidak satupun dari perkataan mereka yang dijadikan hujjah. Hal ini disepakati oleh para ulama” (Lihat Majmu Fatawa, 20/14)

c) Bahwa qaulu As Sahabah tidak menyalahi dalil yang lebih kuat, seperti al qur’an dan Sunnah. Sebagaimana Imam Syafi’I mengatakan: 

إن حكم بعض أصحاب رسول الله إن كان يخالفه أي: الخبر عن رسول الله، فعلى الناس أن يصيروا إلى الخبر عن رسول الله وأن يتركوا ما يخالفه 

“Sesungguhnya, jika hukum yang berasal dari sahabat bertentangan dan menyelisihi hadist Rasulullah, maka wajib atas manusia untuk memegang dan mengambil hadist Rasulullaj dan meninggalkan dalil yang menyalahinya” (lihat kitab Ikhtilaful Hadist, 8/591).

  Oleh sebab itu, jika dalil Qaulu As Sahaba bertentangan dengan Qiyas yang merupakan dalil aqliyyah maka Imam Syafi’I mempunyai metode dalam menyelesaikannya sebagai berikut: 

𝟏). 𝐌𝐞𝐭𝐨𝐝𝐞 𝐏𝐞𝐫𝐭𝐚𝐦𝐚: Al Jam’u wa Taaufik (kompromi), yaitu menggabungkan kedua dalil ta'arudh tersebut dengan cara Qaulu Al Sahabah mentakhsis Qiyas atau Taqyidul Muthlaq.

 Sebagaimana pada pembahasan sebelumnya bahwa, Imam Syafi’I menggunakan qaulu Al Sahabah sebagai landasan hukum, sehingga bisa mentakhsis keumuman nash (al qur’an dan hadist). Begitupun dengan qiyas, jika qaulu al Sahabah bertentangan dengan qiyas maka metode pertama yang dilakukan oleh Imam Syafi’I adalah al jam’u wa taufiq yaitu menggabungkan keduanya yaitu dengan cara qaulu as Sahabah mentakhsis dan mentaqyid qiyas. Sehingga dalam hal ini, Imam Syafi’I membolehkan qaulu Al Sahabah mentakhsis keumuman qiyas ketika keduanya saling ta’arudh.

    Sebagai contoh, yaitu masalah boleh tidaknya membunuh pendeta pada saat peperangan. qiyas mengatakan bahwa boleh membunuh pendeta pada saat peperangan, sebab pendeta tersebut sama status kekafirannya dengan orang kafir harbi. Namun qiyas di atas ditakhsis oleh perkataan Abu Bakara, r.a yang tidak membolehkan membunuh pendeta pada saat terjadi peperangan. (Lihat kitab Al Umm, 4/253)

𝟐). 𝐌𝐞𝐭𝐨𝐝𝐞 𝐊𝐞𝐝𝐮𝐚: Qaulu Al Sahabah tersebut menunjukkan untuk meninggalkan madlul Qiyas secara keseluruhan.

   Jika Qaulu Al Sahabah tersebut menunjukkan untuk meninggalkan madlul Qiyas secara keseluruhan, disebabkan al Jam’u wa taufiq tidak bisa dilakukan, maka Imam Syafi’I tidak menggunakan metode naskh akan tetapi dengan metode tarjih diantara kedua dalil yang ta’arudh, yaitu mendahulukan qaulu Al Sahabah dan meninggalkan qiyas. 

    Adapun contohnya, yaitu Usman bin Affan, r.a mengatakan bahwa ketika hari raya lebaran jatuh pada hari jum’at, maka shalat jum’at pada hari itu tidak wajib. Perkataan sahabat nabi di atas bertentangan dengan qiyas yang mewajibkan shalat jum’at pada hari lebaran. Sebab shalat jum’at di hari raya lebaran sama status dan kedudukannya dengan hari jum’at lainnya, sehingga hukumnya wajib. (Lihat kitab Al Umm, 1/274).

  Dari contoh masalah di atas, dapat disimpulkan bahwa, qaulu Al Sahabah yaitu perkataan Usman bin Affan tentang tidak wajibnya shalat jum’at di hari lebaran, lebih didahulukan dari pada qiyas yang mewajibkan shalat jumat di hari lebaran. 

Wallahu a'alam bishowab

Jumat, 26 Juni 2020

𝐌𝐄𝐓𝐎𝐃𝐎𝐋𝐎𝐆𝐈 𝐈𝐌𝐀𝐌 𝐒𝐘𝐀𝐅𝐈'𝐈 𝐃𝐋𝐌 𝐌𝐄𝐍𝐘𝐄𝐋𝐄𝐒𝐀𝐈𝐊𝐀𝐍 𝐃𝐀𝐋𝐈𝐋² 𝐘𝐀𝐍𝐆 𝐁𝐄𝐑𝐓𝐄𝐍𝐓𝐀𝐍𝐆𝐀𝐍

𝐄𝐝𝐢𝐬𝐢 𝟕: 𝐂𝐚𝐫𝐚 𝐦𝐞𝐧𝐲𝐞𝐥𝐞𝐬𝐚𝐢𝐤𝐚𝐧 𝐝𝐚𝐥𝐢𝐥 𝐓𝐚’𝐚𝐫𝐮𝐝𝐡 𝐚𝐧𝐭𝐚𝐫𝐚 𝐍𝐚𝐬𝐡 𝐝𝐚𝐧 ‘𝐔𝐫𝐟.

   Secara etimologi, kata al-'urf (العُرْف) bermakna al-khairu (الخيْر), al-ihsanu (الإحسان), dan ar-rifqu (الرِّفْق), yang semuanya bermakna kebaikan. 
  Sedangkan secara terminologi, al-'urf bermakna :

ما اعْتاد النّاسُ وسارُاوا عليْهِ فِي أُمُورِ حياتِهِمْ ومُعاملاتِهِمْ مِنْ قوْلٍ أوْ فِعْلٍ أوْ ترْكٍ

“Apa yang menjadi kebiasaan manusia dan mereka melawati kehidupan dan muamalat mereka dengan hal itu, baik berupa perkataan, perbuatan atau hal yang ditinggalkan”. (Lihat kitab At Ta'rifat, hal. 125).

   Dan terkadang al-‘urf ini juga disebut al-‘adah (العادة), atau kebiasaan yang berlaku di suatu masyarakat tertentu.

    Ibnu Sam’ani mendefinisikan al-urf , adalah :

ما اسْتقرّ فيِ النُّفُوسِ مِنْ جِهّةِ العُقُولِ و تلقّتْهُ الطِّباعُ السّلِيْمةُ بِالقبُولِ

“Apa-apa yang menempati jiwa dari segi logika dan diterima oleh tabiat yang sehat”. (Lihat kitab Al Qawati Al Adillah fiil Ushul, 1/29).

   ‘Urf atau adat adalah salah satu dalil aqliyyah yang didukung kehujjahannya oleh nash. Yang mana ‘urf tersebut bersumber dari masyarakat setempat dengan cara merwariskannya secara turun temurun dari generasi ke generasi berikutnya. dari sini dipahami bahwa ‘urf adalah salah satu qaidah fiqhiyyah mu’tabar, selama ‘urf itu tidak bertentangan dengan nash. Sehingga ‘urf atau adat yang tersebar di masyarakat bisa ditetapkan sebagai landasan hukum. Oleh sebab itu atas dasar inilah para ulama ushul membuat kaidah tentang 'Urf:

Kaidah Pertama:

العَادَةُ مُحَكَّمَةٌ

"Adat kebiasaan itu dapat ditetapkan sebagai landasan hukum." (Lihat kitab Qawaid Al Ahkam fii Masholih Al anam, hal. 564)

Kaidah Kedua:

لاَيُنْكَرُ تَغَيُّرُ الْحُكْمِ بِتَغَيُّرِ الأَمْكِنَةِ وَالأَزْمَانِ

"Tidak dapat dipungkiri bahwa perubahan hukum (berhuhungan) dengan perubahan tempat dan masa." (Lihat kitab Qawaid Al fiqhiyyah, hal.227).

  Maka dari itu, Jika ‘Urf yang tersebar di masayarakat, baik itu ‘urf yang berbentuk ucapan maupun perbuatan/adat bertentangan dengan Nash, maka Imam Syafi’I menyelesaikannya dengan menggunakan dua metode, yaitu: 

𝟏). 𝐌𝐞𝐭𝐨𝐝𝐞 𝐏𝐞𝐫𝐭𝐚𝐦𝐚: Al Jam’u wa Taaufik (kompromi), yaitu menggabungkan kedua dalil ta'arudh tersebut dengan cara ‘Urf mentakhsis keumuman Nash atau Taqyidul Muthlaq.

   Jadi, inilah metode pertama yang dilakukan oleh Imam Syafi'i ketika Nash bertentangan dengan 'Urf yaitu Al Jam’u wa taufiq jika hal tersebut memungkinkan dengan cara ‘urf mentakhsis keumuman nash dan mentaqyid kemuthlakan nash. Sehingga dalam hal ini Imam Syafi’I membolehkan ‘Urf mentakhsis keumuman nash dan begitupun mentaqyid kemuthlakan nash. (Lihat kitab Risalah, hal. 509).

    Sebagai contoh yaitu Rasulullah SAW bersabd:

أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، يَقُولُ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَوْ قَالَ: قَالَ أَبُو القَاسِمِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ

Abu Hurairah berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Berpuasalah kalian karena melihatnya, berbukalah kalian karena melihatnya. Jika -hilal- itu tertutup dari pandangan kalian, sempurnakanlah bukan say’ban menjadi tiga puluh hari” .

   Yang dimaksud dengan Ru’ya pada hadist di atas adalah Ru’yatul bashoriyyah yaitu penglihatan dengan mata kepala atau melihat langsung kemunculan hilal. Ru’yatul bashoriyyah digunakan oleh penduduk masyarakat arab yang belum memiliki teknologi dalam menentukan waktu ramadhan, sehingga hal ini bisa dihukumi bahwa Ru’yatul bashoriyyah merupakan adat masyarakat arab pada waktu itu, yang mentakhsis keumuman hadist.

  Begitupun juga pada zaman sekarang, yaitu zaman teknologi, yang juga merupakan adat masyarakat, sehingga bisa dihukumi bahwa adat masyarakat sekarang yang penuh dengan teknologi bisa mentakhsis keumuman hadist di atas dengan menetapkan hilal dengan cara hisab dengan menggunakan teknologi dan bukan dengan cara melihat langsung hilal tersebut dengan mata kepala.

𝟐). 𝐌𝐞𝐭𝐨𝐝𝐞 𝐊𝐞𝐝𝐮𝐚: Jika ‘Urf tersebut menunjukkan untuk meninggalkan madlul Nash secara keseluruhan, maka nashlah yang harus didahulukan.

   Sebagaiman telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, bahwa ‘Urf atau adat yang mu’tabar sebagai landasan hukum adalah ‘urf yang tidak menyalahi nash baik itu dari al qur’an dan sunnah, sebab ‘urf hanya merupakan dalil penunjang. Dikarenakan banyak ‘Urf pada zaman jahiliyah yang dihapus oleh datangnya Islam, seperti adat riba, adat minuman keras, adat perjudian, adat jual beli gharar, nikah syighar, dan lain-lain. (Lihat kitab Al ‘Urf wa Al ‘Amal fii Madzhab Al Maliki, hal. 168).

   Adapun maksud dari metode kedua di atas adalah Jika ‘Urf tersebut menunjukkan harus meninggalkan madlul Nash secara keseluruhan, disebabkan ta’arudh yang sangat kuat dan tidak bisa digabungkan antara keduanya, maka dalam hal ini Imam Syafi’I lebih mendahulukan nash dari pada ‘Urf yaitu mengamalkan nash dan meninggalkan atau menolak ‘Urf/adat yang tersebar di masyarakat. 

    Oleh sebab itu, dalam metode ini, Imam Syafi’I tidak lagi menggunakan metode naskh, akan tetapi langsung mentarjih nash atas ‘urf, yaitu nash lebih didahulukan dari pada ‘Urf. Seperti adat yang berbau kesyirikan dan lain-lain sebagainya yang tidak sesuai dengan Islam.

Wallahu a'lam bishowab

Selasa, 23 Juni 2020

𝐌𝐄𝐓𝐎𝐃𝐎𝐋𝐎𝐆𝐈 𝐈𝐌𝐀𝐌 𝐒𝐘𝐀𝐅𝐈'𝐈 𝐃𝐋𝐌 𝐌𝐄𝐍𝐘𝐄𝐋𝐄𝐒𝐀𝐈𝐊𝐀𝐍 𝐃𝐀𝐋𝐈𝐋² 𝐘𝐀𝐍𝐆 𝐁𝐄𝐑𝐓𝐄𝐍𝐓𝐀𝐍𝐆𝐀𝐍

𝐄𝐝𝐢𝐬𝐢 𝟔: 𝐂𝐚𝐫𝐚 𝐦𝐞𝐧𝐲𝐞𝐥𝐞𝐬𝐚𝐢𝐤𝐚𝐧 𝐝𝐚𝐥𝐢𝐥 𝐭𝐚’𝐚𝐫𝐮𝐝𝐡 𝐚𝐧𝐭𝐚𝐫𝐚 𝐍𝐚𝐬𝐡 (𝐀𝐥 𝐪𝐮𝐫𝐚𝐧 𝐝𝐚𝐧 𝐇𝐚𝐝𝐢𝐬𝐭) 𝐝𝐚𝐧 𝐐𝐢𝐲𝐚𝐬.

   Menurut bahasa Kata qiyas (قياس ) berasal dari akar kata qaasa - yaqishu - qiyaasan (قاس يقيس قياسا ), yaitu pengukuran (تقدير ). (Lihat kitab As Sihah Taju Al Lugho, 3/967).

  Sedangkan bila pengertian secara bahasa ini mau dilengkapi, Dr.Wahbah Az-zuhaily menyebutkan :

معرفة قدر الشيء بما يماثله

“Mengetahui ukuran sesuai dengan apa yang semisal dengannya”. (Lihat Kitab Al Wajiz fii Ushulil Fiqhi, hlm.57). Misalnya mengatakan bahwa Fulan mengukur panjang kain dengan menggunakan meteran.

  Senada dengan pengertian secara bahasa di atas, di dalam kamus Al-Bahrul Muhith disebutkan bahwa qiyas adalah Mengukur sesuai dengan ukuran sesuatu yang lain dan membandingkannya.

  Sedangkan, Pengertian qiyas secara terminologi terdapat beberapa definisi yang dikemukakan para ulama ushul fiqih, sekalipun redaksinya berbeda tetapi mengandunng pengertian yang sama. Sehingga diantara ulama ushul ada yang mengartikan bahwa qiyas adalah salah satu dalil tersendiri sebagai landasan hukum atau sumber hukum seperti halnya dengan dalil sumber hukum lainnya dan ada yang mengartikan bahwa qiyas adalah hasil Ijtihad para mujtahid.

  Dr. Wahbah Az-Zuhaily mengutip beberapa pendapat dari para ulama ushul menyebutkan bahwa mereka mendefisnikan pengertian qiyas sebagai :

إلحق أمر غير منصوص على حكمه الشرعي بأمر منصوص على حكمه لإشتراكهما فى علة الحكم

“Menyamakan perkara yang hukum syara’nya tidak dijelaskan dalam nash dengan perkara yang hukum syara’nya dijelaskan dalam nash, karena ada kecocokan dalam hkum illat”. (Lihat kitab Al wajiz fii Ushulil Fiqhi, hal. 603).

   Al-Qadli Abu Bakar al-Baqilani mendifinisikan al-qiyas adalah:

وهو حمل معلوم على معلوم في إثبات حكم لهما أو نفيه عنهما بأمر جامع بينهما من حكم أو صفة

“Qiyas adalah Menyatukan sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya dalam nash dengan sesuatu yang disebutkan hukumnya oleh nash, disebabkan kesatuan ‘Illat antara keduanya.” (Lihat Kitab Ilmu Ushul Fiqhi, hal. 71).

  Pendapat inilah yang di pilih oleh Jumhur Ulama Muhaqqiqin dari kalangan Mazhab Syafi’iyyah. (Lihat Kitab Al Wajiz fii Ushul Fiqhi, hal. 602).

   Perlu diperhatikan bahwa para ulama ushul dalam membuat definisi qiyas menggunakan kata ilhaq (إلحاق ), yang bermakna menjelaskan dan menyamakan, mereka tidak menggunakan kata itsbat (إثبات ) yang bermakna menetapkan. Alasannya, karena sebenarnya hukum suatu masalah yang tidak disebutkan nashnya itu pada hakikatnya sudah punya dasar hukum yang tercakup di dalam nash itu, hanya saja banyak orang yang belum mengerti dan memahami hukumnya, karena memang tidak disebutkan secara eksplisit lewat dalilnya. (Lihat kitab Qawati' Al adillah fiil Ushul, 2/134).

  Maka dari itu Qiyas mempunyai rukun tersendiri yang merupakan salah satu dalil syara' atau sumber hukum, yaitu:

1) . Rukun pertama: Al ashlu (pokok).

   Sumber hukum yang berupa nash-nash yang menjelaskan tentang hukum, atau wilayah tempat sumber hukum.Yaitu masalah yang menjadi ukuran atau tempat yang menyerupakan. Para fuqaha mendefinisikan al-ashlu sebagai objek qiyas, dimana suatu permasalahan tertentu dikiaskan kepadanya (al-maqis ‘alaihi), dan musyabbah bih (tempat menyerupakan), juga diartikan sebagai pokok, yaitu suatu peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash.

  Imam Al-Amidi dalam kitab al Ihkam mengatakan bahwa al-ashlu adalah sesuatu yang bercabang, yang bisa diketahui (hukumnya) sendiri. (Lihat Kitab Al ihkam fii Ushul Al Ahkam, 3/193)

2) . Rukun kedua: Al Far’u (cabang).

  Al-far’u adalah sesuatu yang tidak ada ketentuan nashnya. Fara' yang berarti cabang, yaitu suatu peristiwa yang belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasar. Fara' disebut juga maqis (yang diukur) atau musyabbah (yang diserupakan) atau mahmul (yang dibandingkan). (Lihat kitab Al Ihkam fii Ushul Al Ahkam, 3/199)

3) . Rukun ketiga: Al Hukm (hukum).

   Al- Hukum adalah hukum yang dipergunakan Qiyas untuk memperluas hukum dari asal ke far’u (cabang). Yaitu hukum dari ashal yang telah ditetapkan berdasar nash dan hukum itu pula yang akan ditetapkan pada fara' seandainya ada persamaan 'illatnya. (Lihat kitab Al bahru Al Muhith, 7/105)

4) . Rukun keempat: Al ‘Illat (sebab).

   Illat adalah alasan serupa antara asal (pokok) dan far’u ( cabang), yaitu suatu sifat yang terdapat pada ashl, dengan adanya sifat itulah, ashl mempunyai suatu hukum. Dengan sifat itu pula, terdapat cabang disamakan dengan hukum ashl. (Lihat kitab Al bahru Al Muhith, 7/167).

 Contoh : Minum narkotik adalah suatu perbuatan yang perlu ditetapkan hukumnya, sebab secara eksplisit tidak ada satu nashpun dari Al qur'an dan hadist yang dapat dijadikan sebagai dasar hukumnya. Untuk menetapkan hukumnya dapat ditempuh cara qiyas dengan mencari perbuatan yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash, yaitu perbuatan minum khamr, yang diharamkan berdasarkan firman Allah Swt:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ 

Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan." (QS. al-Ma’idah: 90).

Al ashlu (pokok): Khamar
Al far'u (cabang): Narkotika.
Al Illah (sifat) : memabukkan/membuat loyo dan merusak akal.
Al Hukum (Hukum): Haram.

  Maka dari itu, Antara minum narkotik dan minum khamr ada persamaan ‘illat, yaitu sama-sama berakibat memabukkan dan membuat loyo para peminumnya dan dapat merusak akal. Berdasarkan persamaan ‘illat itu, maka ditetapkanlah hukum minum narkotik yaitu haram, sebagaimana haramnya minum khamr.

  Kedudukan Qiyas merupakan salah satu dalil syara’ yang dijadikan sebagai landasan peristinbthan hukum. Sehingga kedudukan qiyas sebagai sumber hukum atau salah satu dasar beristinbath hukum yang berada setelah qaulu As Sahabah. Hal ini dijelaskan oleh Imam Syafi’I dalam kitabnya, beliau berkata:

وجهة العلم بعدُ: الكتابُ والسنةُ والإجماعُ والآثارُ وما وصفت من القياس عليها 

“ ilmu itu datang dari Al Qur’an, dan Sunnah, dan Ijma’dan Atsar ( fatwa sahabat), dan quyas” (lihat kitab Al Umm, 7/315)

 Kemudian beliau mengatakan:

والعلم طبقات شتى، الأولى: الكتاب والسنة إذا ثبتت السنة. ثم الثانية: الإجماع فيما ليس فيه كتاب ولا سنة. والثالثة: أن يقول بعض أصحاب النبي ولا نعلم له مخالفًا منهم. والرابعة: اختلاف أصحاب النبي في ذلك. الخامسة: القياس على بعض هذه الطبقات 

“ilmu itu bertingkat-tingkat, yang pertama: Al Kitab dan As Sunnah yang tsabit (sahih), kemudian kedua: Ijma’, ketika hal tersebut tidak ada nashnya di dalam Al Qur’an dan As Sunnah dan yang ketiga: perkataan sahabat (Qaulu As Sahabah), yang keempat; perbedaan para sahabat Nabi, dan yang kelima: Qiyas”. (Lihat kitab Al Umm, 7/280)

   Jadi, kesimpulan dari perkataan Imam Syafi’I di atas, jelas bahwa beliau menjadikan qiyas sebagai sumber hukum islam pada urutan kelima, yaitu setelah qaul sahabat. Oleh sebab itu Qiyas adalah hujjah Syari’yyah terhadap hukum-hukum Syara’, tentang tindakan manusia. jika tidak dijumpai hukum atas kejadian itu berdasarkan nash atau ijma’. Di samping itu harus ada kesamaan illat antara satu peristiwa atau kejadian dengan kejadian yang ada nashnya. Kemudian, dihukum seperti hukum yang terdapat pada nash pertama, dan hukum tersebut merupakan ketetapan menurut Syara’.

   Oleh sebab itu, adapun metode Imam Syafi’I dalam menyelesikan Qiyas yang bertentangan dengan nash, yaitu:

𝟏). 𝐌𝐞𝐭𝐨𝐝𝐞 𝐏𝐞𝐫𝐭𝐚𝐦𝐚: Al Jam’u wa Taaufik (kompromi), yaitu menggabungkan kedua dalil ta'arudh tersebut dengan cara Qiyas mentakhsis keumuman Nash atau Taqyidul Muthlaq.

 Di dalam kitab ulama Syafi’iyyah, banyak menggunakan metode ini, yaitu metode Qiyas sebagai Mukhassis yang terpisah dan begitupun dengan Qiyas sebagai Muqayyid terhadap lafazh nash yang mutlaq.

   Imam As Sam’ani mengatakan bahwa Imam Syafi’I dan Imam Malik serta ulama Fuqaha lainnya menerima dan membolehkan qiyas mentakhsis keumuman nash, sebab qiyas adalah dalil syara’ yang diakui kehujjahannya sebagai landasan hukum. (Lihat kitab Qawati' Al Adillah fiil Ushul, 1/190).

   Imam Al Amidi mengatakan bahwa para ulama berbeda pendapat tentang kebolehan qiyas mentakhsis nash yang lafaznya bersifat umum, namun keempat Imam Madzhab sepakat atas kebolehan qiyas mentakhsis keumuman nash. (Lihat kitab Al Ihkam fii ushul Al Ahkam, 2/337).

   Jadi, jika qiyas bertentangan dengan nash, maka metode pertama yang dilakukan oleh Imam Syafi’I adalah al jam’u wa taufiq yaitu dengan cara qiyas mentakhsis keumuman nash dan mentaqyid nash yang lafazhnya bersifat muthlaq. Jika hal ini memungkinkan dalam penggabungan kedua dalil yang ta’arudh.

 Sebagai contoh qiyas mentakhsis firman Allah SWT berfirman:

الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ

Artinya: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera”.(Q.S.Al Nur:2)

   Ayat di atas menjelaskan bahwa laki-laki dan perempaun yang berzinah maka dia akan dicambuk atau didera sebanyak seratus kali. Ayat di atas bersifat umum yaitu siapa saja dari laki-laki dan perempuan. namun budak perempuan hanya didera lima puluh kali saja sebagai bentuk pentakhsisan qiyas budak perempuan terhadap budak laki-laki yang juga hanya didera sebanyak lima puluh kali. (Lihat kitab Al Hawi Al Kabir fii Fiqhi Mazhab Imam As Syafi'i, 16/59).

𝟐). 𝐌𝐞𝐭𝐨𝐝𝐞 𝐊𝐞𝐝𝐮𝐚: Jika Qiyas tersebut menunjukkan untuk meninggalkan madlul Nash secara keseluruhan, maka Nashlah yang harus didahulukan.

  Artinya, Jika Qiyas tersebut menunjukkan untuk meninggalkan madlul Nash secara keseluruhan, disebabkan ta’arudh yang sangat kuat dan tidak bisa digabungkan antara keduanya, maka dalam hal ini, kita mendahulukan nash dari pada Qiyas yaitu mengamalkan nash dan meninggalkan atau menolak Qiyas, sebab metode qiyas adalah metode yang bersifat darurat ketika sesuatu tersebut tidak ada nasnya. (Lihat kitab Risalah, hal. 599).

  Salah satu alasan mendahulukan nash dari pada qiyas yaitu bahwa nash adalah sesuatu yang diikuti bukan sesuatu yang mengikuti, sebab nash itu adalah pokok yang berdiri sendiri dan tidak ditopang oleh dalil apapun. Beda dengan qiyas yang hanya merupakan cabang dari Al Ashl (pokok) sehingg ia hanya pengikut dan bukan yang diikuti. (Lihat kitab Ikhtilaful Hadist, 8/596).

   Oleh karena itu, dalam metode ini Imam Syafi’I tidak lagi menggunakan metode naskh, akan tetapi langsung mentarjih nash atas Qiyas.

 Contoh: Tentang hukum perwalian dalam pernikahan bagi perempuan.

  Qiyas mengatakan bahwa perwalian dalam pernikahan bagi perempuan hukumya tidak wajib. Dasarnya yaiti menqiyaskan nikah terhadap jual beli yang tidak mesti menggunakan perwalian. Adapaun qiyas di atas menyalahi nash dari hadist Rasulullah SAW tentang wajibnya wali bagi perempuan dalam pernikahan, yaitu:

أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل فنكاحها باطل فنكاحها باطل فإن دخل بها فلها المهر بما استحل من فرجها فإن اشتجروا فالسلطان ولي من لا ولي له

“Wanita manapun yang menikah tanpa seizin walinya, maka pernikahannya bathil, pernikahannya bathil, pernikahannya bathil. Jika seseorang menggaulinya, maka wanita itu berhak mendapatkan mahar, sehingga ia dihalalkan terhadap kemaluannya. Jika mereka terlunta-lunta (tidak mempunyai wali), maka penguasa adalah wali bagi siapa (wanita) yang tidak mempunyai wali.

Wallahu a'alam bishowab

Minggu, 21 Juni 2020

𝐌𝐄𝐓𝐎𝐃𝐄 𝐈𝐌𝐀𝐌 𝐒𝐘𝐀𝐅𝐈'𝐈 𝐃𝐋𝐌 𝐌𝐄𝐍𝐘𝐄𝐋𝐄𝐒𝐀𝐈𝐊𝐀𝐍 𝐃𝐀𝐋𝐈𝐋² 𝐘𝐀𝐍𝐆 𝐁𝐄𝐑𝐓𝐄𝐍𝐓𝐀𝐍𝐆𝐀𝐍

𝐄𝐝𝐢𝐬𝐢 𝟓: 𝐂𝐚𝐫𝐚 𝐦𝐞𝐧𝐲𝐞𝐥𝐞𝐬𝐚𝐢𝐤𝐚𝐧 𝐝𝐚𝐥𝐢𝐥 𝐓𝐚’𝐚𝐫𝐮𝐝𝐡 𝐚𝐧𝐭𝐚𝐫𝐚 𝐍𝐚𝐬𝐡 (𝐚𝐥 𝐪𝐮𝐫𝐚𝐧 𝐝𝐚𝐧 𝐡𝐚𝐝𝐢𝐬𝐭) 𝐝𝐚𝐧 𝐐𝐚𝐮𝐥 𝐀𝐬 𝐒𝐚𝐡𝐚𝐛𝐚𝐡 (𝐩𝐞𝐫𝐤𝐚𝐭𝐚𝐚𝐧/𝐟𝐚𝐭𝐰𝐚 𝐬𝐚𝐡𝐚𝐛𝐚𝐭).

   Ketika sahabat Rasulullah mengeluarkan fatwa, tidak lepas dari dua keadaan, yaitu ada yang tidak sependapat dan ada yang setuju dari kalangan sahabat. Jika qaulu As Sahabah itu ada yang tidak sependapat dari sahabat lain, baik qaul tersebut itu sudah tersebar dikalangan para sahabat atau tidak, maka qaul As Sahabah tersebut tidak termasuk hujjah atau sumber hukum, yang bisa dijadikan landasan hukum, sedangkan jika Qaulu As Sahabah itu tidak ada yang menetangnya atau semua para sahabat sepakat atas pendapat tersebut, baik perkataan/fatwa tersebar dikalangan mereka atau tidak, maka qaulu As Sahabah tersebut dihukumi sebagai hujjah sebagai landasan hukum. (Lihat Majmu' Fatawa, 20/14).

  Maka, dalil kehujjahan perkataan sahabat sebagai landasan hukum, yaitu firman Allah SWT:

وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

Artinya: “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar”.(Q.S.At Taubah:100).

  Maksud dari ayat di atas adalah bahwa para sahabat Rasulullah baik itu kaum muhajirin maupun kaum Anshar, merekalah yang pertama beriman dan mempercayai Rasulullah SAW, sehingga Allah ridho dan memuji mereka, baik dari segi perkataan maupun perbuatan. Oleh sebab itu, qaul as sahabah atau perkataan sahabat adalah hujjah sebagai sumber landasan hukum. Sebab tidak mungkin para sahabat mengkhianati Rasulullah SAW dan merekalah sebaik-baik ummat Muhammad SAW.

   Sebaik-baik manusia setelah Rasulullah SAW adalah para sahabatnya, sebagaimana Rasulullah telah mensinyalir dalam hadistnya:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ

Diriwayatkan oleh Abdullah –semoga Allah meridhohinya, bahwasanya Rasulullah SAW bersabd: “Sebaik-baik manusia adalah zamanku, kemudian setelahnya (zaman sahabat), kemudian setelahnya (zaman tabi’in). (HR. Bukhari) 

 Bahkan Al Hasan mengatakan:

كانوا أبر هذه الأمة قلوبًا ، وأعمقها علمًا، وأقلها تكلفًا، وأقومها هديًا ، وأحسنها حالًا 

“Mereka (sahabat nabi) adalah ummat yang mempunyai hati yang lebih bersih, yang mempunyai ilmu yang paling dalam, yang senantiasa selalu mendapat petunjuk dan yang lebih baik keadaannya” (lihat kitab Jami' Byanu al 'ilmi wa Fadhilah, 2/946)

Imam Syafi’I berkata:

القول الذي يُقبَل: ما كان في كتاب الله عز وجل، أو سنة نبيه ، أو حديث صحيح عن أحدٍ من أصحابه، أو إجماع 

“Perkataan yang diterima adalah: apa yang ada dalam kitabullah Azza wa Jalla, atau sunnah Nabinya, atau perkataan yang benar dari sahabatnya atau Ijma”. (Lihat kitab Al Umm, 5/157).

 Dari perkataan Imam Syafi’I diatas yang menunjukkan bahwa qaul Al Sahabah adalah hujjah, bukan berarti menjadikan hal tersebut di atas derajat nash (Al Qur’an dan Sunnah Nabi SAW), akan tetapi nashlah yang lebih kuat dan lebih didahulukan dari pada qaulu Al Sahabah. Sebagimana Imam Syafi’I berkata:

والأثر أضعف من السنة 

“dan Atsar (perkataan sahabat) lebih lemah dibadingkan dengan sunnah”. (Lihat kitab Al Umm, 7/22).

   Qaulu As Sahabah atau perkataan sahabat adalah salah satu sumber hukum Imam Syafi’I, yang mana beliau menempatkan qaul as Sahabah berada urutan ke empat setelah ijma’ dan sebelum qiyas, sebab para sahabat Nabi SAW mempunyai kedudukan yang tinggi dan terhormat. mereka adalah qudwah / teladan dalam perkara agama dan dunia. SehinggaPara Sahabat adalah orang-orang yang mendapat ridha Allah swt. dan itu memang pantas di dapat oleh mereka.

  Imam Asy-Syafi’i berkata: Selama seseorang mendapati Al-Quran dan As-Sunnah, maka tidak ada jalan lain baginya selain mengikutinya. Jika hukum permasalahan yang kita cari tidak ada dalam kedua kitab tersebut, maka kita harus mengambil ucapan para Sahabat atau salah seorang dari mereka, atau ucapan para Imam seperti Abu Bakar, Umar, dan Utsman r.a. Jika kita bertaqlid pada pendapat salah seorang di antara mereka, itu lebih kita sukai. (Lihat kitab Manhaj Aqidah Imam Syafi'i fii isbat Al aqidah, hal 195).

   Pendapat Sahabat didahulukan dari kajian akal mujtahid, Karena para sahabat itu lebih pintar, lebih takwa, dan lebih shaleh. Produk-produk ijtihad mereka yang dikatakan lewat ijma harus diterima secara mutlak. Sedang yang dikeluarkan lewat fatwa-fatwa individual boleh diterima dan boleh pula tidak, dengan menganalisis dasar-dasar fatwanya itu. (Lihat buku Studi Hukum Islam, hal 149).

   Jadi, kesimpulannya adalah Qaul Al Sahabah adalah salah satu dalil syara’ yang mu’tabar yang menjadi salah satu sumber hukum yang dipakai Imam Syafi’I dan ulama Syafi’iyyah, sebab qaul As Sahabah berfungsi sebagai sumber hukum ketika hukum masalah yang kita cari tidak ada nashnya dari al qur’an dan sunnah. Qaul as sahabah juga sebagai penjelasan dan penguat nash. Oleh karena itu perkatan sahabat adalah hujjah dalam pengistinbathan hukum. 

Imam Syafi’I berkata:

إنما الحجة في كتاب، أو سنة، أو أثر عن بعض أصحاب النبي ، أو قول عامة المسلمين لم يختلفوا فيه، أو قياس داخل في معنى بعض هذا 

“Sesungguhnya hujjah itu terdapat pada Al Qur’an dan As Sunnah dan Atsar/perkataan sahabat Nabi atau Ijma’ kaum muslimin yang tidak ada pertentangan di dalamnya atau qiyas yang semakna dengan (illatnya). (Lihat kitab Al Umm, 3/62).

   Maka dari itu, ketika terjadi Ta'arudh antara Nash dan qaul As sahabah, maka cara Imam Syafi'i dalam menyelesaikannya, yaitu:

𝟏). 𝐌𝐞𝐭𝐨𝐝𝐞 𝐏𝐞𝐫𝐭𝐚𝐦𝐚: Al Jam’u wa Taaufik (kompromi), yaitu menggabungkan kedua dalil ta'arudh tersebut dengan cara Qaul As Sahabah mentakhsis keumuman Nash atau Taqyidul Muthlaq.

   Jadi, ketika qaulu as sahabah bertentangan dengan nash baik itu al qur’an dan hadist, maka metode pertama yang dilakukan oleh Imam Syafi’I adalah al jam’u wa taufiq yaitu menggabungkan kedua dalil tersebut jika hal itu memungkinkan, yaitu dengan cara Qaulu Sahabah mentakhsis Nash yang lafazhnya bersifat umum atau mentaqyid lafazh nash yang sifatnya muthlaq.

   Mayoritas ulama syafi’iyyah tidak menjadikan qaul sahabah sebagai pentakhsis terhadapa nash begitupun dengan masalah tayidul muthlaq, akan tetapi Imam Syafi’I menjadikan qaulu sahabah ini adalah sebuah dalil yang mu’tabar yang lebih kuat dari pada qiyas, baik itu dalam qaulul qadim maupun qaul jadidnya, sehingga pada dasarnya Imam Syafi’I membolehkan qaul as sahabah mentakhsis keumuman nash dan mentaqyid kemuthlakan nash. Sebab Jika qiyas bisa mentakhsis keumuman nash atau mentaqyid kumuthlakan nash, maka qaulu sahabah lebih berhak atas hal itu, sebab qaulu sahabah lebih kuat dan lebih didahulukan dari pada qiyas, sebab qiyas merupakan dalil Aqliyyah sedangkan qaul as sahabah merupakan dalil Naqliyyah. Inilah yang disebut Qiyas Aulawi.

  Adapun contoh qaulu sahabah mentakhsis keumuman ayat, yaitu

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ

Artinya: “Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah”.(Q.S.Lukman:6).

  Kata “Lahwal Hadist” adalah lafazh yang bersifat umum. Lafazh tersebut ditakhsis oleh perkataan sahabat yaitu perkataan Ibnu Umar dan Ibnu Mas’ud, bahwa yang dimaksud dengan “Lahwal Hadist” (perktaan tidak berguna) yaitu termasuk nyanyian yang disertakan musik dan obrolan yang sia-sia. Sehingga Imam Asy Syirazi salah satu ulama syafi’iyyah mengharamkan semua peralatan musik yang mengundang hawa nafsu dan mengelabui akal pikiran dengan lantunan yang mengundang syahwat dan tentunya lagu² yang menimbulkan syahwat. (Lihat Kitab Tabsiroh fii Ushul Fiqhi, 3/441).

𝟐). 𝐌𝐞𝐭𝐨𝐝𝐞 𝐊𝐞𝐝𝐮𝐚: jika Qaul As Sahabah tersebut menunjukkan untuk meninggalkan madlul Nash (al quran dan hadist) secara keseluruhan, maka nashlah yang harus didahulukan.

   Jadi, maksud dari metode di atas adalah jika Qaulu As Sahabah tersebut menunjukkan untuk meninggalkan madlul Nash secara keseluruhan, disebabkan ta’arudh yang sangat kuat dan tidak bisa digabungkan antara keduanya, maka dalam hal ini, nash lebih didahulukan dari pada qaul As Sahabah yaitu mengamalkan nash dan meninggalkan atau menolak qaulu As Sahabah.

Sebagai contoh: Masalah memakai wewangian setelah tahallul pertama. 

  Adapun qaul As Sahabah yaitu Umar bin Khattab melarang memakai wewangian setelah tahallul pertama, yang mana perkataan Umar ini menyalahi dan menyelisihi sunnah fi’liyyah Rasulullah SAW, yang mana beliau memakai wewangian setelah tahalull pertama, sehingga dalam kasus ini, sunnah fi’liyyah Rasulullah lebih didahulukan dari pada perkataan Umar bin Khattab, r.a yang merupakan sahabat Rasulullah SAW. (Lihat kitab Al Umm, 2/164).

  Oleh karena itu, ketika qaulu As Sahabah bertentangan dengan haidst Rasulullah SAW, dalam bentuk Qaulu As Sahabah tersebut menunjukkan untuk meninggalkan madlul Nash secara keseluruhan, maka Imam Syafi’I tidak lagi menggunakan metode naskh, akan tetapi langsung mentarjih haidst Rasulullah SAW atas qaulu As Sahabah.


Jumat, 19 Juni 2020

𝐌𝐄𝐓𝐎𝐃𝐎𝐋𝐎𝐆𝐈 𝐈𝐌𝐀𝐌 𝐒𝐘𝐀𝐅𝐈'𝐈 𝐃𝐋𝐌 𝐌𝐄𝐍𝐘𝐄𝐋𝐄𝐒𝐀𝐈𝐊𝐀𝐍 𝐃𝐀𝐋𝐈𝐋² 𝐘𝐀𝐍𝐆 𝐁𝐄𝐑𝐓𝐄𝐍𝐓𝐀𝐍𝐆𝐀𝐍

𝐄𝐝𝐢𝐬𝐢 𝟒: 𝐂𝐚𝐫𝐚 𝐦𝐞𝐧𝐲𝐞𝐥𝐞𝐬𝐚𝐢𝐤𝐚𝐧 𝐝𝐚𝐥𝐢𝐥 𝐓𝐚’𝐚𝐫𝐮𝐝𝐡 𝐚𝐧𝐭𝐚𝐫𝐚 𝐈𝐣𝐦𝐚’ 𝐝𝐚𝐧 𝐍𝐚𝐬𝐡 (𝐀𝐥 𝐐𝐮𝐫’𝐚𝐧 𝐝𝐚𝐧 𝐇𝐚𝐝𝐢𝐬𝐭).

   Secara bahasa kata Ijma’ (الإجماع ) merupakan bentuk mashdar dari kata kerja ( أَجْمَعَ – يُجْمِعُ ) yang memiliki dua arti, yaitu pertama: ‘Azam, yaitu Niat dari seseorang untuk melakukan sesuatu dan memutuskannnya (العزم على الشيء ). (Lihat kitab Maqayis Al Lugho, 1/479) dan ( Lihat Kitab Lisanul Arab, 13/226)

Firman Allah:

فَأَجْمِعُوا أَمْرَكُمْ وَشُرَكَاءَكُمْ ثُمَّ لَا يَكُنْ أَمْرُكُمْ عَلَيْكُمْ غُمَّةً ثُمَّ اقْضُوا إِلَيَّ وَلَا تُنْظِرُونِ 

Artinya:“…karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku). Kemudian janganlah keputusanmu itu dirahasiakan, lalu lakukanlah terhadap diriku, dan janganlah kamu memberi tangguh kepadaku.”(Q.S.Yunus:71)

   Kedua, Ijma’ juga bermakna Ittifaq, yaitu Kesepakatan beberapa orang untuk melakukan sesuatu (الاتفاق ). Contohnya : ‘ ( أجمع القوم على كذا ) artinya kaum itu bersepakat dalam sebuah urusan tertentu. (Lihat kitab Al qamus Al muhith, 3/15).

   Perbedaan dua makna di atas adalah terletak pada jumlah pelaku, dimana makna pertama dilakukan oleh seseorang saja sedangkan makna kedua harus ada lebih dari satu orang yang melakukan sebuah kesepakatan.

   Adapun secara istilah, Ijma’ menurut mayoritas ulama ushul fiqih adalah :

اتفاق المجتهدين من أمة محمد بعد وفاته في عصر من العصور على حكم شرعي

“Kesepakatan para mujtahid dari ummat Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam- setelah wafatnya beliau pada suatu masa mengenai hukum syar’i.” (lihat kitab Al Mushtashfah, 1/110).

   Dari pengertian Ijma’ diatas, bahwa Ijma’ itu berlaku setelah nabi SAW wafat. Banyak ulama yang salah dalam mengartikan Ijma’ dengan tidak menyebutkan zaman setelah wafatnya Rasulullah. (Lihat kitab Raf'ul Al hajib 'an mukhtashar Ibnu Hajib, 2/137).

   Oleh karena itu melihat dari makna ijma di atas, maka dapat dikristalkan sebagai kesimpulan bahwa ijma memiliki syarat² tertentu sebagai sumber hukum, yaitu: 

1. Adanya kesepakatan. Jadi, Jika belum terjadi kesepakatan maka belum dihukumi sebagai Ijma'.

2. Ijma' tersebut dibawah naungan sumber tasyri' yang shohih (Al quran dan hadist) yaitu Ijma' lahir dari ijtihad para mujtahid yang menjadikan Al quran dan Hadist sebagai sumber pengistinbatan hukum.

3. Ijma' dilakukan oleh para Mujtahid adil dan terpercaya sebagai spesialis dalam berijtihad. Oleh karenanya, jika ada sekelompok orang awam atau orang² fasiq atau para ustaz dan para muqallidnya, yang kemudian mereka berijma' (bersepakat) dalam urusan hukum agama, maka hal itu tidak termasuk dalam kategori Ijma sebagai sumber hukum.

4. Menguasai Ilmu Al Qur’an, Ilmu Al Hadist, ilmu ushul, Ilmu bhs Arab, dan semisalnya. Oleh karenanya, Jika ada sekelompok orang yang ahli dalam bidang politik, ahli dlm bidang ekonomi, atau ahli dlm bidang kedokteran saja dan semisalnya, yang kemudian mereka berijma' dalam urusan hukum agama, maka hal ini tidak termasuk dlm kategori Ijma sebagai sumber hukum.

5. Mengetahui adanya Ijma’ sebelumnya. Yaitu ketika para ulama mujtahid ingin berijma, maka mereka harus mengetahui Ijma' para ulama terdahulu tentang permasalahan yang mereka ingin sepakati hukumnya. Yaitu apakah permasalah yang mereka ingin sepakati hukumnya sudah ada Ijma'nya dari Ulama terdahulu atau tidak. Jikalau masalah yang mereka ingin tentukan hukumnya sudah ada pada Ijma sebelumnya, maka mereka wajib mengikuti Ijma ulama terdahulu itu.

6. Yang berijma' adalah Ummat Muhammad bukan Ummat lain. Jikalau Sekolompok orang kafir berijma' dalam hukum agama islam, maka Ijma'nya tidak diakui alias batal.

7. Setelah wafatnya Rasulullah. Sebab ketika beliau masih hidup maka para sahabat langsung bertanya kepada Rasulullah dalam masalah² hukum. 

8. Dasar pendalilan sebagai sumber hukum.

    Maka dari itu, Ijma’ adalah salah satu sumber hukum atau landasan hukum yang dipakai oleh Imam Syafi’I dalam istinbath hukum. keberadaan dan fungsi Ijma’ sebagai sumber hukum, bukan hanya pada zaman Sahabat Rasulullah SAW akan tetapi mecakup semua zaman dan tempat. Sehingga Al Quran telah melegitimasi Ijma' sebagai sumber hukum yang bisa dijadikan sebagai sumber dalam pengistinbatan hukum. Sebagaimana Allah SWT berfirman:

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

Artinya: “Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”.(Q.S.Al Nisa:115).
  
   Yang dimaksud dengan mengikuti selain jalan yang ditempuh mu’minin adalah mengikuti pendapat atau fatwa yang menyelisihi pendapat dan fatwa mereka (Ijma'). Maka jika hal tersebut diharamkan, tentu saja mengikuti jalan yang ditempu mu’minin adalah suatu kewajiban.” (lihat kitab Irsyad Al fuhul ila Tahqiq Al Haq min Al 'Ilmi Al Ushul, 1/293).

   Dalam hal ini, Imam Syafi’I memakai metode dalam menyelesaikan dalil ta’arudh antara Ijma dan Nash yaitu:

1) Metode Pertama: Al Jam’u wa Taaufik (kompromi), yaitu menggabungkan kedua dalil ta'rudh tersebut dengan cara Ijma mentakhsis keumuman Nash atau Taqyidul Muthlaq.

  Di dalam kitab ulama Syafi’iyyah, banyak menggunakan metode ini, yaitu metode Ijma’ sebagai Mukhassis yang terpisah dan begitupun dengan Ijma’ sebagai Muqayyid terhadap lafazh yang mutlaq. 

Imam Syafi’I mengatakan :

القرآن عربي كما وصفتُ ، والأحكام فيه على ظاهرها وعمومها، ليس لأحد أن يحيل منها ظاهرًا إلى باطن، ولا عامًّ ا إلى خاص، إلا بدلالة من كتاب الله، فإن لم تكن فسنة رسول الله تدل على أنه خاص دون عام أو باطن دون ظاهر، أو إجماع من عامة العلماء الذين لا يجهلون كلهم كتابًا ولا سنة ، وهكذا السنة 

“ Al Qur’an adalah berasal dari bahasa arab, sebagaimana saya telah mensifatinya, dan segala hukum yang ada di dalamnya menunjukkan kezhahirannya dan keumumannya, tidak seorangpun yang merubahnya dari zhahir ke bathinnya dan tidak pula dari umum ke khusus kecuali dengan petunjuk dari Al qur’an, jika tidak ada, maka sunnah Rasulullah yang menunjukkan bahwa lafazhnya bersifat khusus dan bukan bersifat umum atau bersifat bathin dan bukan bersifat zhahir, atau dengan melalui petunjuk Ijma’ menurut mayoritas ulama yang tidak bodoh dalam masalah Al Kitab dan Sunnah, dan begitulah Sunnah.” (lihat kitab Ikhtilaful hadist, 8/592)

 Kemudian beliau juga berkata:

وكل ما حكم به رسول الله فهو عام حتى يأتي عنه دلالة على أنه أراد به خاصًّا، أو عن جماعة المسلمين 

“Dan segala apa yang telah dihukumi oleh Rasulullah adalah bersifat umum hingga ada dalil nash yang menunjukkan kekhususannya atau Ijma’ kaum muslimin”.( lihat kitab Al umm, 4/264).

 Perkataan Imam Syafi’I di atas, bisa disimpulkan bahwa Ijma’ adalah dalil syara’ yang bisa mentakhsis keumuman nash (al qur’an dan hadist) dan mentaqyid nash yang bersifat muthlaq. Inilah metode Imam Syafi’I dalam menyelesaikan dalil yang bertentangan antara Ijma’ dan Nash. 

  Oleh karena itu, Ijma dalam mentakhsis keumuman Nash atau Taqyidul Muthlaq adalah salah satu metode untuk menggabungkan antara kedua dalil yang bertentangan jika hal itu memungkinkan, sehingga mengamalkan kedua-duanya tanpa ada yang ditinggalkan satu sama lain.

  Adapun contoh dari metode di atas adalah, sebagaimana Allah SWT berfirman:

يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ

Artinya: “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan.”(Q.S.An Nisa:11).

  Ayat di atas adalah ayat tentang hukum pembagian harta warisan kepada anak laki-laki dan perempuan yang sifatnya umum dengan ukuran 2:1 (dua banding satu). Yang mana ayat di atas ditakhsis oleh Ijma’ yang mengatakan bahwa seorang hamba sahaya atau budak tidak mendapatkan warisan. Sebab ulama telah berijma' (sepakat) bahwa hamba sahaya atau budak tidak mendapatkan hak warisan. Maka dalam hal ini, Ijma sebagai mukhassis terhadap ayat warisan yang bersifat umum sehingga keduanya bisa digabungkan. (Lihat kitab Qawati' al adillah fiil Ushul, 1/188).

2) Metode kedua: Ijma tersebut menunjukkan untuk meninggalkan madlul Nash secara keseluruhan.

   Ulama Syafi’iyyah menggunakan metode di atas dalam kitab-kitabnya, baik itu kitab ushuliyyah maupun kitab fiqhiyyah. jika Ijma’ menunjukkan untuk meninggalkan madlul Nash secara keseluruhan, maka ijma yang lebih didahulukan dari pada nash, sebab nash bisa dinaskh dengan hukum nash lainnya. Beda dengan Ijma’ yang tidak bisa dinaskh atau dihapus dan dibatalkan kelegitimasiannya, disebabkan bahwa ummat Muhammad tidak akan pernah bersepakat dalam kebathilan. (Lihat kitab al burhan fiil ushul, 2/579).

  Dan bahkan ada beberapa ulama yang menempatkan Ijma' di urutan pertama sebelum Al Quran dan Hadist sebagai sumber hukum, sebab Ijma' adalah merupakan interpretasi dari semua pihak ulama Mujtahid yang telah berijtihad dengan menganalisis dan mengkristalkan suatu masalah dengan menghubungkan sumber² hukum yang ada, yaitu Al quran, Hadist, qiyas, hujjah sahabat, maslaha mursalah, istishab, istihsan, syar'u man qablana dan seterusnya.

  Oleh sebab itu, Inilah yang menjadi dasar bahwa Ijma’ lebih didahulukan dari pada nash, ketika keduanya tidak bisa digabungkan (al jam’u wa taufiq).

   Adapun contohnya adalah masalah pelarangan berkabung lebih dari tiga hari bagi perempuan yang suaminya meninggal.

Sebagaimana Nash dari hadist Nabi SAW:

حديث أسماء بنت عميس زوجة جعفر بن أبي طالب, قالت: دخل علَي رسول الله اليوم الثالث من قتل جعفر فقال: "لَا تُحِدِي بعدَ يومِكِ هَذَا

Hadist yang diriwayatkan oleh Asma binti ‘Umais Istri Abu Ja’far bin Abi Tholib, dia berkata: Rasulullah masuk menemuiku pad hari ketiga kematian Abu Ja’far, dan beliau bersabda: janganlah kamu berkabung lagi setelah hari ini. (HR.Ahmad). 

   Hadist di atas menujukkan bahwa tidak ada kewajiban bagi perempuan yang suaminya meningggal untuk berkabung lebih dari tiga hari. Sedangkan Ijma' ulama mewajibkan bagi perempuan yang suaminya meninggal untuk berkabung dalam masa iddah selama empat puluh hari. Sehingga dilalah dari Nash hadits di atas bertentangan dengan Ijma’ ulama yang mewajibkan bagi perempuan untuk berkabung selama 40 hari setelah kematian suaminya. Maka dari itu, permasalahan di atas Ijma' lah yang di dahulukan dari pada nash hadist.

Sebagaimana hadist Nabi SAW:

قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لاَ يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ أَنْ تُحِدَّ فَوْقَ ثَلاَثٍ إِلَّا عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا 

"Nabi SAW bersabda: tidak halal Seorang wanita yang mengaku beriman kepada Allah dan hari kiamat berkabung atas kematian seseorang di atas tiga hari, kecuali yang meninggal adalah suaminya, maka ia harus berkabung selama empat bulan sepuluh hari. (HR.Muttafaqun Alaihi).

Wallahu 'alam bisshowab.