Selasa, 14 Juli 2020

𝐊𝐀𝐈𝐃𝐀𝐇-𝐊𝐀𝐈𝐃𝐀𝐇 𝐈𝐌𝐀𝐌 𝐒𝐘𝐀𝐅𝐈'𝐈 𝐃𝐋𝐌 𝐌𝐄𝐍𝐓𝐀𝐑𝐉𝐈𝐇 𝐃𝐀𝐋𝐈𝐋² 𝐁𝐄𝐑𝐓𝐄𝐍𝐓𝐀𝐍𝐆𝐀𝐍

𝐄𝐝𝐢𝐬𝐢 𝟏𝟑 𝐊𝐚𝐢𝐝𝐚𝐡 𝐤𝐞 𝟓:

(الخبر المتواتر مقدم على الآحاد)

𝐇𝐚𝐝𝐢𝐬𝐭 𝐌𝐮𝐭𝐚𝐰𝐚𝐭𝐢𝐫 𝐥𝐞𝐛𝐢𝐡 𝐝𝐢𝐝𝐚𝐡𝐮𝐥𝐮𝐤𝐚𝐧 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐩𝐚𝐝𝐚 𝐇𝐚𝐝𝐢𝐭𝐬 𝐀𝐡𝐚𝐝.

   Hadist dari segi kuantitas terbagi menjadi dua: Mutawatir dan Ahad.

    Kata Mutawatir merupakan isim fai’l dari kata Attawatur (التواتر,) yaitu berurutan. Sedangkan secara istilah Hadits Mutawatir adalah hadist yang diriwayatkan oleh perawi yang banyak pada setiap tingkatan senadnya, sehingga menurut akal pikiran tidak mungkin para perawi tersebut sepakat untuk berdusta dan memalsukan hadist serta bersandarkan dalam meriwayatkan pada sesuatu yang dapat diketahui dengan panca indera seperti pendengaran dan semacamnya. (Lihat kitab Al Ghoyah fii Syarh Al Hidayah fii ‘Ilmi Al Riwayah, hal.138) dan (Lihat kitab Taisir Mustholah Al Hadits, hal.19).

   Ahad Secara etimologi merupakan bentuk jama' dari wahid yang berarti satu. Maka Hadits Ahad atau Khobar Wahid adalah suatu berita yang disampaikan oleh satu orang saja.  Sedangkan secara terminologi, Hadits Ahad adalah :

الحديث الاحد هو الحديث الذي لم يبلغ رواته مبلغ الحديث المتواتر سواء كان الراوي واحد أو اثنين أو ثلاثة أو أربعة أو الخمسة إلي غير ذلك من العدد التي لا تشعر بأن الحديث دخل في خبر المتواتر 

Artinya : “Hadits ahad adalah hadits yang para rawinya tidak mencapai jumlah rawi hadits mutawatir, baik rawinya itu satu, dua, tiga, empat, atau seterusnya. Tetapi jumlahnya tidak memberi pengertian bahwa hadits dengan jumlah rawi tersebut masuk dalam kelompok hadits mutawatir” (Lihat kitab Ulumul Hadits, hal. 229).

  Sehingga Dalam hal ini Imam Syafi’I berkata tentang hadist mutawatir dan ahad:

فكان هذا نقل عن عامة عن عامة وكان أقوى في بعض الأ مرِ من نقلِ واحد عن واحد 

“ maka hal ini (Mutawatir) adalah nukilan atau periwayatannya secara jamaah (banyak) dan lebih kuat dari sebagian yang nukilannya atau periwatannya hanya perorangan” (Lihat kitab Ar Risalah, hal. 139)

 Beliau juga mengatakan:

الأخبار كلما تواترت وتظاهرت كان أثبتَ للحجة، وأطيبَ لنفس السامع 

“ Hadist (Al Akhbar), setiap jumlah periwayatannya banyak dan Nampak, maka lebih kokoh kehujjahannya dan lebih baik pada diri pendengar” (Lihat kitab Ar Risalah, hal.433)

  Oleh sebab itu dilihat dari perkataan Imam Syafi’I tersebut, bahwa hadist mutawatir lebih kuat kehujjahannya atau dasar pendalilannya dari pada hadist ahad yang mana perawinya tidak sebanyak hadist mutawatir.

  Kaidah ini adalah salah satu kaidah Imam Syafi’I atau ulama Syafi’iyyah lainnya yaitu Hadist Mutawatir harus didahulukan dari pada hadist ahad ketika terjadi ta’arudh. Kaidah tarjih ini dilakukan ketika dua dalil ta'arudh tidak bisa di gabungkan (al jam'u wa taufiq) dan juga kedua kondisi dalil tersebut tidak bisa memakai metode nasakh disebabkan tidak terpenuhinya syarat² nasakh.

    Sama seperti halnya dengan kaidah nash qhat’I lebih didahulukan dari nash yang sifatnya zanni, sebab mutawatir adalah qhat’I sedangkan ahad sifatnya zanni. Akan tetapi yang harus diperhatikan adalah bahwa penetepaan hadist mutawatir lebih didahulukan dari hadist ahad tidak muthlak begitu saja. Dalam hal ini ada tiga kondisi ketika terjadi ta’arud, yaitu:

a.  Hadist mutawatir dan hadits ahad, jika dilalah kedua²nya qhat’I, maka hal ini mustahil untuk didahulukan satu sama lain, sebab tidak mungkin kedua-duanya ta’arudh yang sifatnya qhat’i. akan tetapi jalan yang ditempuh adalah dengan menggunakan metode nasakh atau penghapusan salah satu dari keduanya, yaitu hukum lama yang dihapus dengan datangnya hukum yang baru.

b. Ketika hadist mutawatir dan hadist ahad, salah satu dari keduanya, dilalahnya qhat’I dan lainnya zanni, maka dilalah yang qhat’I lebih didahulukan dari dilalah yang zanni.

c. Ketika hadist mutawatir dan hadits ahad, kedua-duanya dilalahnya zhanni, maka dalam hal ini hadist mutawatir lebih didahulukan dari pada hadist ahad, sebab hadist mutawatir lebih unggul dari segi tsubutnya. Point ketiga inilah yang dimaksud oleh kaidah diatas. (Lihat kitab Al Umm, hal. 305).

  Adapun contoh dari kaidah di atas adalah: hadist mutawatir tentang pengharaman riba fadhl lebih didahulukan dari pada hadist Usama yang mengatakan:

أَخْبَرَنِي أُسَامَةُ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: لاَ رِبًا إِلَّا فِي النَّسِيئَةِ

Usamah mengabariku, bahwa Nabi SAW bersabda: “tidak ada riba kecuali riba nasiah (Muttafaqun Alaihi)” 

  Hadist Usamah adalah hadist ahad yang menetapakan bahwa riba itu hanya satu macam saja yaitu riba nasiah, sedangkan hadist penetapan adanya riba fadhl adalah hadist mutawatir. Sehingga jenis riba ada 2: Riba Nasiah dan Riba Fadhl.

Wallaua'lam bishowab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar