Jumat, 08 Desember 2017

HUKUM TAKLIFI



MAKALAH





Oleh :

AHMAD MUNTAZAR



 PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER HUKUM ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2017



BAB I
PENDAHULUAN

    Latar Belakang.
Ushul Fiqhi adalah  salah satu ilmu yang mengatur kaidah-kaidah fiqhi dalam menentukan sebuah hukum dalam suatu permasalahan, sehingga ilmu Ushul Fiqhi suatu ilmu yang sangat dibutuhkan pada masa sekarang dalam permasalahan-permasalahan yang baru muncul yang belum ada pada zaman Rasulullah SAW, Sahabat, maupun tabi’in, sehingga semua persoalan dalam konteks kekinian bisa dipecahkan oleh Ushul Fiqhi yang mana memiliki lima rumusan landasan dalam penentuan hukum dalam suatu masalah yang disebut dengan Hukum Taklifi. Yang mana lima dasar hukum itu atau hukum taklifi ialah wajib, mandub (sunnah), mubah, makruh dan haram.
Kelima rumusan hukum inilah yang menentukan hukum pada persoalan-persoalan yang  pada dasarnya merujuk pada Al Qur’an dan As-Sunnah. Oleh karena itu masih banyak dikalangan masyarakat maupun mahasiswa yang belum paham atau belum terlalu paham dalam Hukum Taklifi serta kelima hukum tersebut. Segala amal perbuatan manusia, perilaku dan tutur katanya tidak dapat lepas dari ketentuan hukum syari'at, baik hukum syari'at yang tercantum di dalam Qur’an dan Sunnah, maupun yang tidak tercantum pada keduanya, akan tetapi terdapat pada sumber lain yang diakui syari'at.
Sebagaimana yang di katakan imam Ghazali, bahwa mengetahui hukum syara' merupakan buah (inti) dari ilmu Fiqh dan Ushul fiqh. Sasaran kedua disiplin ilmu ini memang mengetahui hukum syara' yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf. Meskipun dengan tinjauan yang berbeda. Ushul fiqh meninjau hukum syara' dari segi metodologi dan sumber-sumbernya, sementara ilmu fiqh meninjau dari segi hasil penggalian hukum syara', yakni ketetapan Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik berupa iqtidha (tuntutan perintah dan larangan), takhyir (pilihan), maupun berupa wadh’i (sebab akibat), yang dimaksud dengan ketetapan Allah ialah sifat yang telah di berikan oleh Allah terhadap sesuatu yang berhubungan dengan orang-orang mukallaf. Seperti hukum haram, makruh, wajib, sunnah, mubah, sah, batal, syarat, sebab, halangan (mani') dan ungkapan lain yang akan kami jelaskan pada makalah ini yang kesemuanya itu, kami katakan merupakan objek pembahasan ilmu Ushul fiqh.
Dari pada itu, lewat makalah ini kami akan mencoba membahas tentang hukum syara' yang berhubungan dengan hukum taklifi dan hukum wadhi. Keduanya merupakan satu sub bab yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain, oleh karena itu disini kami lebih memfokuskan pembahasan kepada Hukum taklifi yang menjadi tugas utama kami dalam perkuliahan ini.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Hukum Taklifi.
Hukum secara Bahasa berasal dari kata- حكما  حكم – يحكم  yaitu sebuah peraturan yang bersifat syar’i, yaitu hukum yang berpautan dengan perbuatan manusia, yakni yang dibicarakan dalam ilmu fiqh, bukan hukum yang berpautan dengan akidah dan akhlaq. Sehingga dikatakan:
إثبات الشيء علي الشيء أو نفيه عنه
Artinya: Menetapkan sesuatu atas sesuatu atau meniadakan sesuatu daripadanya.
Sedangkan menurut istilah ulama ushul yaitu Titah Allah (atau sabda rasuI) yang mengenal pekerjaan mukallaf (orang yang telah baligh dan berakal), baik titah itu mengandung tuntutan, suruhan atau larangan, atau semata-mata menerangkan kebolehan, atau menjadikan sesuatu itu sebab, atau syarat atau penghalang bagi sesuatu hukum.[1]
Menurut istilah ahli fiqh, yang disebut hukum ialah bekasan dari titah Allah atau sabda rasul. Apabila disebut hukum syara', maka yang dimaksud ialah hukum yang berpautan dengan perbuatan manusia, yakni yang dibicarakan dalam ilmu fiqh, bukan hukum yang berpautan dengan akidah dan akhlaq.
sedangkan taklifi adalah berasal dari kata كلف – يكلف – تكليفا yaitu beban. Yaitu orang yang telah dibebankan untuk melakukan sesuatu perintah.
Sedangkan menurut istilah, hukum taklifi adalah syar’i yang mengandung tuntutan (untuk dikerjakan atau ditinggalkan oleh para mukallaf) atau yang mengandung pilihan antara yang dikerjakan dan ditinggalkan. Dengan kata lain adalah yang dituntut melakukannya atau tidak melakukannya atau dipersilahkan untuk memilih antara memperbuat dan tidak memperbuat.[2]
Dengan memperhatikan pengertian hukum sebagaimana tersebut di atas, maka nyatalah bahwa hukum itu ada yang mengandung thalab (tuntutan), ada yang mengandung keterangan sebab, syarat, mani' (pencegah berlakunya hukum), sah, batal, rukhshah dan azimah.
B.     Macam-Macam Hukum Taklifi.
1.      Wajib.
a.       Pengertian Wajib.
Wajib berasal dari kata وجب – يجب – إيجابا  yaitu keharusan, lazim. Sedangkan Para ahli ushul memberikan definisi wajib ialah: “Wajib menurut syara’ ialah apa yang dituntut oleh syara’ kepada mukallaf untuk memperbuatnya dalam tuntutan keras.”Atau menurut definisi lain ialah suatu perbuatan jika dikerjakan akan mendapat pahala dan jika ditinggalkan akan berdosa
Wajib ini dapat dikenal melalui lafal atau melalui tanda (qarinah) lain. Wajib yang ditunjuk melalui lafal seperti dalam bentuk lafal amar (perintah) dalam firman Allah:
وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي
Artinya: “... dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.” (QS. Thaha:14)
Dapat juga dikenal melalui kata-kata yang tercantum dalam kalimat itu sendiri yang menunjukkan wajib seperti dalam firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu ....” (QS. Al-Baqarah: 183).
Dari  pengertian di atas dapat dipahami bahwa al-Amr bisa diartikan sebagai perintah dari atas ke bawah untuk menuntut suatu perbuatan untuk dilaksanakan. Lafal al-Amr adalah lafal yang menunjukkan pengertian wajib selama al-Amr itu berada dalam kemutlakannya. Selama tidak ada dalil atau qarinah lain yang memberi implikasi arti lain, hal ini sesuai dengan kaedah :
الأصـل في الأمر الوجـوب.
“Asal kata perintah itu adalah wajib”
Lafal al-Amr itu, apabila di dalamnya terkandung qarinah lain sehingga mengalihkan arti makna haqiqi kepada makna lain, maka hukum yang terkandung dalam shigat al-Amr bisa berubah menjadi : al-nadb, al-irsyad, al-tahdid dan al-ibahah.
Untuk mengetahui secara lengkap tentang siyagh al-Amr baik dari segi shigat maupun kandungannya, maka penulis akan menampilkan sebagai berikut:[3]
                                                i.            Untuk nadb (menganjurkan), yaitu suatu kata perintah yang menunjukan anjuran atau sunnah disebabkan dengan adanya qarinah atau dalil yang menunjukan sesuatu itu adalah sunnah,  seperti firman Allah Swt QS. Al-Nur (24):33 :
فَكَاتِبُوهُمْ إِنْ عَلِمْتُمْ فِيهِمْ خَيْرًا
“…Hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka …”
                                              ii.            Untuk irsyad (petunjuk), seperti firman Allah Swt QS. Al-Baqarah (2): 281:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya, dan hendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar
                                            iii.            Untuk ibahah (kebolehan), seperti firman Allah Swt,:
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
"makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan".
                                            iv.            Untuk tahdid (ancaman), seperti:
اعْبُدُوا مَا شِئْتُم مِّن دُونِهِ ۗ قُلْ إِنَّ الْخَاسِرِينَ الَّذِينَ خَسِرُوا أَنفُسَهُمْ وَأَهْلِيهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۗ أَلَا ذَٰلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِينُ
"Maka sembahlah olehmu (hai orang-orang musyrik) apa yang kamu kehendaki selain Dia. Katakanlah: "Sesungguhnya orang-orang yang rugi ialah orang-orang yang merugikan diri mereka sendiri dan keluarganya pada hari kiamat". Ingatlah yang demikian itu adalah kerugian yang nyata".
b.      Pembagian Wajib.
Dilihat dari beberapa segi, wajib terbagi empat:
1)      Dilihat dari segi tertentu atau tidak tertentunya perbuatan yang dituntut, wajib dapat dibagi dua:
Ø  Wajib mu’ayyan, yaitu wajib yang telah ditentukan macam perbuatannya , misalnya shalat, puasa, zakat, haji, dll.
Ø  Wajib mukhayyar, yaitu yang boleh pilih salah satu dari beberapa macam perbuatan yang telah ditentukan. Misalnya, kifarat sumpah yang memberi tiga alternatif, memberi makan sepuluh orang miskin, atau memberi pakaian sepuluh orang miskin, atau memerdekakan budak.[4]
لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَٰكِن يُؤَاخِذُكُم بِمَا عَقَّدتُّمُ الْأَيْمَانَ ۖ فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ
2)      Dilihat dari segi waktu mengerjakannya dan waktu yang tersedia untukmmengerjakan yang diwajibkan.wajib yang seperti ini dapat dibagi menjadi dua macam:
Ø  Wajib muwassa’, waktu yang tersedia untuk melaksanakan yang diwajibkan itu lebih luas atau lebih banyak dari waktu mengerjakan kewajiban itu. Misalnya shalat zuhur. Waktu yang tersedia untuk melaksanakan shalat zuhur jauh lebih lapang dibandingkan dengan waktu yang terpakai untuk melaksanakan shalat zuhur. Maka wajib yang seperti ini dapat dilaksanakan pada awal waktu atau pada pertengahan waktu atau pada akhir waktu. Jika wajib muwassa’ ingin dikerjakan pada pertengahan atau akhir waktu maka menurut para ulama hendaklah berniat setelah tiba waktunya (awal waktu) untuk menunda pelaksanaannya pada waktu yang diinginkan karena kalau tidak diniatkan maka mungkin termasuk orang yang melalaikan waktu.[5]
Ø  Wajib mudhayyiq, yakni yang waktunya yang tersedia persis sama atau sama banyak dengan waktu mengerjakan kewajiban itu. Seperti puasa bulan Ramadhan. Puasa itu sendiri menghabiskan seluruh hari bulan Ramadhan. Karena itulah wajib mudhayyiq tidak dapat ditunda dari waktu yang tersedia untuk mengerjakannya.[6]
3)      Dilihat dari segi orang yang harus mengerjakannya, terbagi kepada duambagian:
Ø  Wajib ‘ain, ialah tuntutan syara’ untuk melaksanakan sesuatu perbuatan dari setiap mukallaf dan tidak boleh diganti oleh orang lain, seperti kewajiban mengerjakan shalat, puasa, zakat, dan haji. Wajib ini disebut juga fardhu ‘ain.
Ø  Wajib kifayah, ialah wajib yang dibebankan kepada sekelompok orang dan jika ada salah seorang yang mengerjakannya maka tuntutan itu dianggap sudah terlaksana, namun bila tidak ada seorangpun yang mengerjakannya, maka berdosalah sekelompok orang tersebut. seperti amar ma’ruf dan nahi munkar, shalat jenazah, mendirikan rumah sakit, sekolah, dan lain sebagainya.[7]
2.      Mandub (sunnah).
a.       Pengertian Mandub.
An- nadb (mandub) menurut bahasa yaitu anjuran untuk melakukan sesuatu. Sedangkan menurut syara’ ialah suatu perintah yang tidak disertai dengan dosa ketika meninggalkannya.[8]
Para ahli ushul mengatakan yang dimaksud dengan mandub ialah:“ Yang dituntut oleh syara’ memperbuatnya dari mukallaf namun tuntutannya tidak begitu keras.” Atau dengan kata lain segala perbuatan yang dilakukan akan mendapatkan pahala, tetapi bila tidak dilakukan tidak akan dikenakan siksa atau dosa (‘iqab).
 Perbuatan mandub dapat dikenal melalui lafal yang tercantum dalam nash seperti dicantumkan kata “disunnatkan” atau “dianjurkan” atau dibawakan dalam bentuk amar namun ditemui tanda yang menunjukkan bahwa tuntutan itu tidak keras dari nash itu sendiri. Seperti dalam firman Allah:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah  (hutang piutang) tidak secara tunai hendaklah kamu menulisnya ....” (QS. Al-Baqarah 282)
Dalam ayat lain diterangkan:
Artinya: “... maka tak ada dosa bagi kamu (jika) kamu tidak menulisnya....” (QS. Al-Baqarah 282)
 Ayat yang kedua ini dapat dipahami bahwa menulis hutang piutang itu hanya mandub (sunnat). Dan juga mungkin tanda yang dapat dipergunakan untuk memalingkan amar yang mempunyai arti wajib ke arti mandub melalui kaidah umum agama atau melalui kaidah fiqih dan mungkin juga ditunjuk oleh urutan hukuman bagi orang yang meninggalkannya.
b.      Pembagian Mandub.
Para ulama dalam kalangan mazhab Syafi’i membagi mandub menjadi dua macam ialah:
Ø  Sunat muakkad, ialah perbuatan yang dituntut memperbuatnya namun tidak dikenakan siksa bagi yang meninggalkannya tetapi dicela. Contohnya perbuatan sunat yang menjadi pelengkap perbuatan wajib seperti azan, shalat berjamaah, shalat hari raya, berkurban dan akikah, karena perbuatan-perbuatan yang seperti itu selalu diperbuat Rasulullah SAW. hanya sekali atau dua kali beliau tinggalkan yang menunjukkan perbuatan itu bukan wajib namun digemari oleh beliau.
Ø  Sunat Ghairu muakkad, ialah segala perbuatan yang dituntut memperbuatnya namun tidak dicela meninggalkannya tetapi Rasulullah SAW. sering meninggalkannya, atau dengan kata lain yaitu segala macam perbuatan sunat yang tidak selalu dikerjakan Rasul,.
3.      Mubah.
Mubah adalah segala sesuatu yang diizinkan oleh Allah SWT dalam mengerjakan sesuatu atau mennggalkannya yang tidak disertai dengan dosa yang mengerjakannya dan tidak mengerjakannya.[9]  Menurut para ahli Ushul Mubah adalah “apa yang diberikan kebebasan kepada para mukallaf untuk memilih anatara memperbuat atau meninggalkannya.”
4.      Makruh.
a.       Pengertian Makruh
Makruh secara Bahasa yaitu hal yang dibenci.  Makruh menurut para ahli ushul ialah:“apa yang dituntut syara’ untuk meninggalkannya namun tidak begitu keras.” Atau dengan kata lain sesuatu yang dilarang memperbuatnya namun tidak disiksa kalau dikerjakan. Sehingga makruh itu adalah tidak ada dosa ketika mengerjakannya dan mendapat pahala ketika meninggalkannya.[10]
b.      Pembagian Makruh.
Pada umumnya, ulama membagi makruh kepada dua bagian:
Ø  Makruh tanzih, yaitu segala perbuatan yang meninggalkan lebih baik daripada mengerjakan, contoh; makan dan minum sambal berdiri.
Ø  Makruh tahrim, yaitu segala perbuatan yang dilarang, tetapi dalil yang melarangnya itu zhanny, bukan qath’i.
5.      Haram.
a.       Pengertian Haram
Haram adalah apa yang dituntut oleh syara’ untuk tidak melakukannya dengan tuntutan keras. Atau dengan kata lain dilarang memperbuatnya dan kalau diperbuat akan mendapat siksa dan kalau ditinggalkan akan mendapat pahala. Tuntutan yang seperti ini dapat diketahui melelui lafal nash seperti dalam firman Allah:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ
Artinya: “diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi (daging) hewan yang disembelih atas nama selain Allah... ( QS. Al-Maidah 3)
b.      Pembagian Haram.
Secara garis besarnya haram dibagi kepada dua:
Ø  Haram li zatihi, ialah haram  karena perbuatan itu sendiri, atau haram karena zatnya. Haram seperti ini pada pokoknya  adalah haram yang memang diharamkan sejak semula. Misalnya membunuh, berzina, mencuri, dan lain-lain.
Ø  Haram li gairihi, ialah Haram karena berkaitan dengan perbuatan lain, atau haram karena faktor lain yang datang kemudian. Misalnya, jual beli yang hukum asalnya mubah, berubah menjadi haram ketika azan jum’at sudah berkumandang. Begitu juga dengan puasa Ramadhan yang semulanya wajib berubah berubah menjadi haram kerena dengan berpuasa itu akan menimbulakn sakit yang mengancam keselamatan jiwa. Begitu juga dengan lainnya[11]
Para ulama dalam kalangan mazhab Hanafi membagi haram ini menjadi dua macam yang dilihat dari segi kekuatan dalil yang menetapkan ialah:
Ø  Haram yang ditetapkan melalui dalil qath’i ialah harm dari Al quran, Sunnah Mutawatir dan Ijma. Haram yang ditetapkan melalui dalil qath’i ini sebagi kebalikan fardhu.  Contohnya seperti larangan berbuat zina seperti yang diterangakan dalam ayat 32 Surah Al Isra’.
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
Ø  Haram yang ditetapkan melalui dalil zanni seperti hadis Ahad dan kias dan haram seperti ini sebagai kebalikan wajib atau juga dinamakan karahiyatut tahrim. Contohnya seperti larangan bagi kaum pria memakai perhiasan emas dan kain sutra murni yang diterangkan dalam hadis ahad yang diantaranya:
“kedua ini haram atas umatku yang lelaki”(HR Abu Daud, Ahmad dan Nasai dari Ali bin Thalib)






BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan.
                                 1.         Wajib adalah ketika dikerjakan dapat pahala sedangkan tidak mengerjakannya mendapat dosa.
                                 2.         Mandub adalah ketika dikerjakan mendapat pahala sedangkan tidak mengerjakannya tidak mendapat pahala dan tidak mendapat dosa.
                                 3.         Mubah adalah pilihan antara mengerjakan atau tidak mengerjakan yaitu tidak mendapatkan pahala dan dosa ketika dikerjakan atau tidak dikerjkan.
                                 4.         Makruh adalah ketika dikerjakan tidak mendapat dosa sedangkan meninggalkannya mendapat pahala.
                                 5.         Haram adalah ketika dikerjakan mendapat dosa sedangkan meninggalkannya mendapat pahala.
B.     Saran.
Semoga pembaca bisa mengetahui definisi Hukum Taklif dan pembagian-pembagiannya serta contoh-contohnya sehingga dapat mengeluarkan istinbath hukum dalam berbagai persoalan, dan semoga pembaca juga diberikan ilmu yang bermanfaat dari makalah ini.
            Makalah inipun tidak luput dari kesalahan dan kekurangan maupun target yang ingin dicapai. Adapun kiranya terdapat kritik, saran maupun teguran digunakan sebagai penunjang pada makalah ini. Sebelim dan sesudahnya kami ucapkan terimah kasi.











DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman Dahlan, Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah, 2010.
Abu Zahrd, Kaidah-Kaidah hukum Islam, Jakarta: CV Rajawali, 1993.
Ali bin Sa’di, Fathul Wali An Nashir, Riyadh: Darul Ibnu Jauzy.
Dr. Abdul Karim bin Ali, Ithaf Dzawil Basoir, Riyad: Darul ‘Ashima, 1996.
Muhammad Sidqi bin Ahmad, Kasyfu As Satir, hijaz: Darul Ar Risalah ‘Alamiyah, 2013.
Rachmat Syafei, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: CV Pustaka Setia, 1999.
Wahbah al-Zuhaili, Ushulu al-Fiqhi al-islamiy, Beirut: Dar al-Fikr, 1986, hal: 43


[1] Dr. Abdul Karim bin Ali, Ithaf Dzawil Basoir, Riyad: Darul ‘Ashima, 1996, hal, 324
[2] Wahbah al-Zuhaili, Ushulu al-Fiqhi al-islamiy, Beirut: Dar al-Fikr, 1986, hal: 43
[4] Abu Zahrd, Kaidah-Kaidah hukum Islam, Jakarta: CV Rajawali, 1993. Hal: 183.
[5] Abdurrahman Dahlan, Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah, 2010, Hal: 68.
[6] Ali bin Sa’di, Fathul Wali An Nashir, Riyadh: Darul Ibnu Jauzy, hal 62
[7] Abu Zahrd, Kaidah-Kaidah hukum Islam, Jakarta: CV Rajawali, 1993. Hal: 185
[8] Muhammad Sidqi bin Ahmad, Kasyfu As Satir, hijaz: Darul Ar Risalah ‘Alamiyah, 2013. Hal 188
[9] Ali bin Sa’di, Fathul Wali An Nashir, Riyadh: Darul Ibnu Jauzy, hal 123.
[10] Dr. Abdul Karim bin Ali, Ithaf Dzawil Basoir, Riyad: Darul ‘Ashima, 1996, hal. 440
[11] Rachmat Syafei, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: CV Pustaka Setia, 1999.