MAKALAH
Oleh:
AHMAD MUNTAZAR
PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER HUKUM ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2017
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang.
Allah menciptakan manusia
sebagai makhluk yang penuh dengan kekurangan. Dalam semua sisi kehidupan,
kekurangan yang melekat pada manusia menyebabkan kemampuan yang dimiliki
menjadi sangat terbatas. Manusia sebagai makhluk yang paling sempurna diciptakan oleh Allah
Swt mempunyai banyak sekali kelebihan jika dibandingkan dengan mahkluk-mahkluk
ciptaan Allah Swt yang lainnya. Bukti otentik dari kebenaran bahwa manusia
merupakan makhluk yang paling sempurna di antara mahkluk yang lain adalah
seperti yang telah digambarkan pada Alqur‟an surat At-Tin ayat ke 4 yang
berbunyi sebagai berikut :
لَقَدْ
خَلَقْنَا الإنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ
“Sungguh, Kami
telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”
Suatu hal yang membuat manusia lebih
baik dari mahluk yang lain yaitu manusia mampu berpikir dengan akalnya, karena
manusia dianugerahi oleh Allah dengan akal sehingga dengan akal tersebut
manusia mampu memilih, mempertimbangkan, dan menentukan jalan pikirannya sendiri.
Agama Islam sangat menjunjung tinggi kedudukan akal. Dengan akal manusia mampu
memahami Alqur‟an sebagai wahyu yang diturunkan lewat Nabi Muhammad Saw, dengan
akal juga manusia mampu menelaah kembali sejarah Islam dari masa ke masa sampai
dengan kondisi sekarang ini.
Setelah Nabi Muhammad Saw wafat,
permasalahan yang dihadapi umat Islam semakin kompleks. Masalah-masalah yang
muncul seperti masalah keagamaan yaitu banyaknya ummat muslim kembali menyembah
berhala (murtad), politik, sosial budaya, dan kemunduran umat Islam sampai pada
saat itu. Dari permasalahan-permasalahan di atas dapat dilihat bahwasanya umat
Islam mengalami kemerosotan iman dan moral. Dan untuk menyelasaikan masalah
tersebut, maka digunakanlah cara-cara mengkaji kembali isi Alqur‟an dan As-
Sunnah. Dan masalah-masalah yang belum memiliki tuntutan penyelesaiannya baik
dalam Alqur‟an maupun As-Sunnah untuk mengatasinya maka muncullah jalan ketiga
yakni dengan ijtihad. Ijtihad adalah upaya yang dilakukan guna
untuk mencapai pengetahuan tentang ajaran Nabi Muhammad Saw dengan tujuan
mengikuti ajaran beliau di samping, mengaitkan dari Alqur‟an dan As-Sunnah.[1]
Islam adalah agama yang sangat memperhatikan peran dan fungsi akal secara optimal, sehingga akal
dijadikan sebagai standar seseorang diberikan beban taklif atau sebuah hukum.
Jika seseorang kehilangan akal maka hukum-pun tidak berlaku baginya. Saat itu
dia dianggap sebagai orang yang tidak terkena beban apapun.
Islam bahkan menjadikan akal sebagai salah satu
diantara lima hal primer yang diperintahkan oleh syariah untuk dijaga dan
dipelihara, dimana kemaslahatan dunia dan akhirat amat disandarkan pada terjaga
dan terpeliharanya kelima unsur tersebut, yaitu: agama, jiwa, akal, keturunan,
dan harta.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Akal Dan Wahyu
1.
Akal.
a.
Pengertian Akal.
Alqur‟an adalah wahyu
Allah yang tertulis, yang didalamnya terdapat berbagai macam pengetahuan.
Pengetahuan diperoleh dari akal, dan di dalam Alqur‟an sendiri akal diberikan
penghargaan yang tinggi. Bukan hanya merupakan ajaran dalam teori, tetapi
ajaran yang telah pernah diamalkan oleh cendikiawan dan ulama Islam, Tidak
sedikit ayat-ayat yang menganjurkan dan mendorong manusia supaya banyak
berfikir dan mempergunakan akalnya. Kata-kata yang dipakai dalam Alqur‟an untuk
menggambarkan perbuatan berfikir, bukan hanya „aqala saja tetapi juga ya‟qilun
dan ta‟qilun.[2]
Alqur‟an menyebutkan
kurang lebih 49 kata „aql yang muncul secara variatif. Semua kata
tersebut diungkapkan dalam bentuk kata kerja (fi‟il) dan tak pernah
disebut dalam bentuk masdar,akan tetapi semuanya berasal dari kata dasar
„aql.
Kata akal berasal dari kata dalam
bahasa Arab, al-‘aql. Kata al-‘aql adalah mashdar dari kata ‘aqola – ya’qilu –
‘aqlan yang maknanya adalah “ fahima wa tadabbaro “ yang artinya “paham (tahu,
mengerti) dan memikirkan (menimbang) “. Maka al-‘aql, sebagai mashdarnya,
maknanya adalah “ kemampuan memahami dan memikirkan sesuatu “. Sesuatu itu bisa
ungkapan, penjelasan, fenomena, dan lain-lain.[3]
Perkataan akal dalam bahasa asalnya
mengandung pengertian diantaranya mengikat dan menahan, ia juga mengandung arti
mengerti, memahami dan berfikir. Para ahli filsafat dan ilmu kalam mengartikan
akal sebagai daya (kekuatan, tenaga).Untuk memperoleh pengetahuan, daya yang
membuat seseorang dapat membedakan antara dirinya dengan orang lain, daya untuk
mengabstrakkan benda yang ditangkap oleh panca indera. Adapun definisi akal menurut para ahli yaitu sebagai berikut:
·
Abu Bakar ibn al-Arabi- (1165-1240 M), menyebutkan bahwa akal sebagai ilmu, yaitu sifat
yang dengannya persepsi ilmu dapat di hasilkan abu bakar ibn al-Arabi
berdasarkan pendapatnya dengan ayat Al-Quran yang memberikan motivasi terapan
terhadap sesuatu yang di informasikan dengan ayat-ayat tersebut. Menurutnya,
hasil-hasil terapan dinamakan ilmu, bukan akal.
·
Harun Nasution- Kata akal berasal dari kata Arab “al-Aql” yang menjadi kata
Indonesia, dalam bentuk kata benda tidak ada dalam Al-quran, hanya bentuk
kata kerja al-Aqaluh 1 ayat, ya’qiluha 1 ayat, ya’qilun 22 ayat, ta’qilun 24
ayat dan na’qilu 1 ayat, dalam arti mengertian dan paham. (Harun Nasution, Akal
dan Wahyu dalam Islam )
·
Menurut Kant- bahwa apa yang kita katakan rasional itu adalah ide yang masuk
akal tapi menggunakan ukuran hukum alam. Dengan kata lain, pikiran rasional
adalah kebenaran yang diukur dengan hukum alam.[4]
Jadi dari semua yang sudah dijelaskan diatas bahwa akal adalah anugrah
yang diberikan oleh Allah Swt, untuk senantiasa usaha atau daya berpikir dengan
menggunakan panca indera, manusia berusaha dan berupaya untuk memahami
benda-benda yang ada disekitarnya, mengetahui, dan memperoleh apa yang terjadi
baik dalam kondisi sekarang dan yang akan datang.
b.
Landasan Hukum Akal.
Kedudukan Akal Dalam Syari'at
Islam.Syari'at Islam memberikan nilai dan urgensi yang amat penting dan tinggi
terhadap akal manusia. Itu dapat dilihat sebagai berikut:
1)
Allah subhanahu wa'ta'ala hanya menyampaikan kalam-Nya (firman-Nya) kepada
orang-orang yang berakal, karena hanya mereka yang dapat memahami agama dan
syari'at-Nya. Allah subhanahu wa'ta'ala berfirman:
وَوَهَبْنَا لَهُ أَهْلَهُ وَمِثْلَهُمْ مَعَهُمْ
رَحْمَةً مِنَّا وَذِكْرَى لأولِي الألْبَابِ
Artinya:"Dan kami
anugerahi dia (dengan mengumpulkan kembali) keluarganya dan (Kami tambahkan)
kepada mereka sebanyak mereka pula sebagai rohmat dari kami dan pelajaran bagi
orang-orang yang mempunyai fikiran". (QS. Shaad (38): 43).
2) Akal merupakan syarat yang harus ada dalam diri
manusia untuk mendapat taklif (beban kewajiban) dari Alloh subhanahu wa'ta'ala.
Hukum-hukum syari'at tidak berlaku bagi mereka yang tidak mempunyai akal. Dan
diantaranya yang tidak menerima taklif itu adalah orang gila karena kehilangan
akalnya. Rosulullah bersabda:
"رُفِعَ القَلَمُ عَنْ
ثَلَاثٍ وَمِنْهَا : الجُنُوْنُ حَتَّى يَفِيْقَ"
"Pena (catatan pahala dan dosa) diangkat
(dibebaskan) dari tiga golongan, diantaranya: orang gila samapai dia kembali
sadar (berakal)". (HR. Abu Daud: 472 dan Nasa'i: 6/156).
3) Allah subhanahu wa'ta'ala mencela orang
yang tidak menggunakan akalnya. Misalnya celaan Allah subhanahu wa'ta'ala
terhadap ahli neraka yang tidak menggunakan akalnya, Allah subhanahu wa'ta'ala
berfirman:
وَقَالُوا
لَوْ كُنَّا نَسْمَعُ أَوْ نَعْقِلُ مَا كُنَّا فِي أَصْحَابِ السَّعِيرِ
Artinya:"Dan
mereka berkata: "Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan
itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang
menyala-nyala". (QS. 067. Al Mulk [67]: 10)
c. Fungsi Akal
ü Tolak ukur akan kebenaran dan kebatilan.
ü Alat untuk mencerna berbagai hal dan cara tingkah laku
yang benar.
ü Alat penemu solusi ketika permasalahan datang.
Dan masih banyak lagi fungsi akal, karena hakikat dari
akal adalah sebagai mesin penggerak dalam tubuh yang mengatur dalam berbagai
hal yang akan dilakukan setiap manusia yang akan meninjau baik, buruk dan
akibatnya dari hal yang akan dikerjakan tersebut. Akal adalah jalan untuk
memperoleh iman sejati, iman tidaklah sempurna kalau tidak didasarkan pada
akal, iman harus berdasar pada keyakinan, bukan pada pendapat dan akallah yang
menjadi sumber keyakinan pada Tuhan Yang Maha Esa.
d. Kekuatan Akal
ü Mengetahui Tuhan dan sifat-sifat-Nya.
ü Mengetahui adanya kehidupan di akhirat.
ü Mengetahui bahwa kebahagiaan jiwa di akhirat
bergantung pada mengenal Tuhan dan berbuat baik, sedang kesengsaran tergantung
pada tidak mengenal Tuhan dan pada perbuatan jahat.
ü Mengetahui wajibnya
manusia mengenal Tuhan.
ü Mengetahui kewajiban berbuat baik dan kewajiban
pula menjauhi perbuatan jahat untuk kebahagiannya di akhirat.
ü Membuat hukum-hukum yang membantu dalam melaksanakan
kewajiban tersebut.[5]
2. Wahyu
a. Pengertian wahyu
Kata wahyu berasal dari kata arab الوحي, dan al-wahy adalah kata asli Arab dan bukan pinjaman dari
bahasa asing, yang berarti suara, api, dan kecepatan.
Dan ketika al-wahyu berbentuk masdar memiliki dua arti yaitu tersembunyi
dan cepat. Oleh sebab itu wahyu sering disebut sebuah pemberitahuan tersembunyi
dan cepat kepada seseorang yang terpilih tanpa seorangpun yang mengetahuinya.
Sedangkan ketika berbentuk maf’ul wahyu Allah terhadap Nabi-Nya ini sering
disebut Kalam Allah yang diberikan kepada Nabi.
Menurut bahasa, wahyu mempunyai arti
pemberian isyarat, pembicaraan rahasia, dan mengerakan hati. Sedangkan menurut
istilah adalah wahyu merupakan pemberitahuan yang datangnya dari Allah kepada
para nabi-Nya yang di dalamnya terdapat penjelasan-penjelasan dan petunjuk
kepada jalan yang lurus dan benar.[6]
Wahyu turun kepada nabi-nabi melalui
tiga cara, yaitu dimasukkan langsung ke dalam hati dalam bentuk ilham, dari
belakang tabir, dan melalui utusan dalam bentuk malaikat.
Wahyu
yang turun kepada Nabi Muhammad SAW. melalui cara yang ketiga, yaitu melalui
utusan dalam bentuk malaikat Jibril.
Menurut Muhammad Abduh dalam
Risalatut Tauhid berpendapat bahwa wahyu adalah pengetahuan yang di dapatkan
oleh seseorang dalam dirinya sendiri disertai keyakinan bahwa semua itu datang
dari Allah SWT, baik melalui perantara maupun tanpa perantara. Baik menjelma seperti suara yang masuk
dalam telinga ataupun lainya.[7]
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa Wahyu adalah sabda Tuhan yang mengandung ajaran, petunjuk dan
pedoman yang diperlukan umat manusia dalam perjalanan hidupnya baik di dunia
maupun akhirat yaitu yang sudah tertulis di dalam Al-Qur;an Dalam Islam wahyu
atau sabda yang disampaikan kepada Nabi Muhammad Saw, terkumpul semuanya dalam
Al-Qur‟an.
b. Fungsi wahyu
Wahyu berfungsi memberi informasi bagi manusia. Yang
dimaksud memberi informasi disini yaitu wahyu memberi tahu manusia, bagaimana
cara berterima kasih kepada Tuhan, menyempurnakan akal tentang mana yang baik
dan yang buruk, serta menjelaskan perincian upah dan hukuman yang akan di
terima manusia di akhirat.[8]
Sebenarnya wahyu secara tidak langsung adalah senjata
yang diberikan Allah kepada Nabi-Nya untuk melindungi diri dan pengikutnya dari
ancaman orang-orang yang tak menyukai keberadaanya. Dan sebagai bukti bahwa
beliau adalah utusan sang pencipta yaitu Allah SWT.
Memang sulit saat ini membuktikan jika wahyu memiliki kekuatan, tetapi kita
tidak mampu mengelak sejarah wahyu ada, oleh karna itu wahyu diyakini memiliki
kekuatan karena beberapa faktor antara lain:
ü Wahyu ada karena ijin dari Allah, atau wahyu ada
karena pemberian Allah.
ü Wahyu lebih condong melalui dua mukjizat yaitu
Al-Qur’an dan As-Sunnah.
ü Membuat suatu keyakinan pada diri manusia.
ü Untuk memberi keyakinan yang penuh pada hati tentang
adanya alam ghaib.
ü Wahyu turun melalui para ucapan nabi-nabi.
B. Kedudukan Akal dan Wahyu dalam Hukum Islam.
Akal dalam pengertian Islam adalah daya berpikir yang terdapat dalam jiwa
manusia; daya, yang memperoleh pengetahuan dengan memperhatikan alam
sekitarnya. Pengertian inilah yang dikontraskan dengan wahyu yang membawa
pengetahuan dari luar diri manusia.
Akal menjadi faktor utama yang menempatkan manusia pada kedudukan yang
lebih mulia dibandingkan makhluk Allah lainnya. Dengan akal, manusia dapat
mengembangkan ilmu pengetahuan sehingga terwujud kebudayaan.
Alquran menempatkan akal pada posisi penting dengan banyaknya ayat yang
mendorong manusia menggunakan akalnya dalam berbagai ungkapan antara lain
dengan menggunakan kata madzara, tadabbara, tafakkara, faqiha, tadzakkara,
fahima, dan sebagainya. Ungkapan-ungkapan tersebut mengandung isyarat
penempatan akal sebagai faktor yang penting dalam kehidupan seorang muslim.
Akal membawa manusia kepada posisi subyek di tengah alam semesta dan
menempatkannya sebagai penguasa (khalifah) yang mampu mengelola dan
mendayagunakan alam.
Dalam Islam, akal memiliki posisi yang sangat mulia. Meski demikian bukan
berarti akal diberi kebebasan tanpa batas dalam memahami agama. Islam memiliki
aturan untuk menempatkan akal sebagaimana mestinya. Bagaimanapun, akal
yang sehat akan selalu cocok dengan syariat Islam dalam permasalahan apapun.
Dan wahyu baik berupa Al-qur’an dan Hadits bersumber dari Allah SWT, pribadi
Nabi Muhammad SAW yang menyampaikan wahyu ini, memainkan peranan yang
sangat penting dalam turunnya wahyu. Wahyu merupakan perintah yang berlaku
umum atas seluruh umat manusia, tanpa mengenal ruang dan waktu, baik perintah
itu disampaikan dalam bentuk umum atau khusus. Apa yang dibawa oleh wahyu tidak
ada yang bertentangan dengan akal, bahkan ia sejalan dengan prinsip-prinsip
akal. Wahyu itu merupakan satu kesatuan yang lengkap, tidak
terpisah-pisah.Wahyu itu menegakkan hukum menurut kategori perbuatan manusia.
baik perintah maupun larangan. Sesungguhnya wahyu yang berupa Alqur’an dan
As-sunnah turun secara berangsur-angsur dalam rentang waktu yang cukup panjang.
Namun tidak selalu mendukung antara wahyu dan akal, karena seiring
perkembangan zaman akal yang semestinya mempercayai wahyu adalah sebuah
anugerah dari Allah terhadap orang yang terpilih, terkadang mempertanyakan
keaslian wahyu tersebut. Apakah wahyu itu benar dari Allah ataukah hanya
pemikiran seseorang yang beranggapan semua itu wahyu. Seperti pendapat Abu
Jabbar bahwa akal tak dapat mengetahui bahwa upah untuk suatu perbuatan baik
lebih besar dari pada upah yang ditentukan untuk suatu perbuatan baik lain,
demikian pula akal tak mengetahui bahwa hukuman untuk suatu perbuatan buruk
lebih besar dari hukuman untuk suatu perbuatan buruk yang lain. Semua itu hanya
dapat diketahui dengan perantaraan wahyu. Al-Jubbai berkata wahyulah yang
menjelaskan perincian hukuman dan upah yang akan diperoleh manusia di akhirat.[9]
Karena masalah akal dan wahyu dalam pemikiran kalam sering
dibicarakan dalam konteks, yang manakah diantara kedua akal dan wahyu itu yang
menjadi sumber pengetahuan manusia tentang Tuhan, tentang kewajiban manusia
berterima kasih kepada Tuhan, tentang apa yang baik dan yang buruk, serta
tentang kewajiban menjalankan yang baik dan menghindari yang buruk. Maka para
aliran Islam memiliki pendapat sendiri-sendiri antara lain:
1. Aliran Mu’tazilah sebagai penganut
pemikiran kalam tradisional, berpendapat bahwa akal mempunyai kemampuan
mengetahui empat konsep tersebut. Menurut Mu’tazilah, seluruh pengetahuan dapat diperoleh melalui
akal, termasuk mengetahui adanya Tuhan dan kewajiban beribadah kepada
Tuhan. Abu Huzail, menegaskan bahwa meskipun wahyu tidak turun, maka manusia
tetap wajib beribadah kepada Tuhan, sesuai dengan pengetahuannya tentang Tuhan.
Begitu juga dengan kebaikan dan keburukan juga dapat diketahui melalui
akal.Jika dengan akal manusia dapat mengetahui baik dan buruk, maka dengan akal
juga manusia harus tahu bahwa melakukan kebaikan itu adalah wajib, dan menjauhi
keburukan juga wajib.
2. Sementara itu aliran Maturidiyah Samarkand
yang juga termasuk pemikiran kalam tradisional, mengatakan juga (kecuali
kewajiban menjalankan yang baik dan yang buruk) akal mempunyai kemampuan
mengetahui ketiga hal tersebut.
3. Sebaliknya aliran Asy’ariyah, sebagai
penganut pemikiran kalam tradisional juga berpendapat bahwa akal hanya mampu
mengetahui tuhan sedangkan tiga hal lainnya, yakni kewajiban berterima kasih
kepada tuhan, baik dan buruk serta kewajiban melaksanakan yang baik dan
menghindari yang jahat diketahui manusia berdasarkan wahyu. Menurut Asy’ariyah,
pertama semua kewajiban manusia hanya dapat diketahui melalui wahyu. Jika wahyu
tidak turun, maka tidak ada kewajiban (taklif) bagi manusia.Karena akal tidak
mampu membuat kewajiban tersebut, terutama kewajiban beribadah pada Tuhan, dan
kewajiban melakukan yang baik serta kewajiban menjauhi yang buruk.
4. Sementara itu aliran Maturidiyah Bukhara
yang juga digolongkan kedalam pemikiran kalam tradisional berpendapat bahwa dua
dari keempat hal tersebut yakni mengetahui Tuhan dan mengetahui yang baik dan
buruk dapat diketahui dengan akal, sedangkan dua hal lainnya yakni kewajiban
berterima kasih kepada Tuhan serta kewajiban melaksanakan yang baik serta
meninggalkan yang buruk hanya dapat diketahui dengan wahyu.
Adapun ayat-ayat yang dijadikan dalil oleh paham Maturidiyah Samarkand
dan Mu’tazilah, dan terlebih lagi untuk menguatkan pendapat mereka
adalah surat Al – Ghaasyiyah ayat 17 dan surat Al - A’raaf
ayat 185:
أَفَلا يَنْظُرُونَ إِلَى الإبِلِ كَيْفَ
خُلِقَتْ﴿الغاشية:١۷﴾
Artinya: “Maka
apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan.”
أَوَلَمْ يَنْظُرُوا فِي مَلَكُوتِ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَمَا خَلَقَ
اللَّهُ مِنْ شَيْءٍ وَأَنْ عَسَى أَنْ يَكُونَ قَدِ اقْتَرَبَ أَجَلُهُمْ
فَبِأَيِّ حَدِيثٍ بَعْدَهُ يُؤْمِنُونَ﴿اﻷعراف:١۸۵﴾
Artinya: “Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan
bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah, dan kemungkinan telah dekatnya
kebinasaan mereka? Maka kepada berita manakah lagi mereka akan beriman selain
kepada Alqur'an itu?”
Adapun berkaitan dengan mengetahui Tuhan,
Asy’ariyah sepakat dengan Mu’tazilah yaitu dapat diketahui melalui
akal.Sedangkan mengetahui baik dan buruk, akal tidak mampu, karena sifat baik
dan buruk sangat terkait dengan syari’at. Sesuatu disebut baik, jika dapat pujian
syari’at, dan dianggap buruk jika dikecam oleh syari’at. Karena pujian dan
kecaman bersumber dari wahyu, maka sesuatu dapat dikatakan baik atau buruk juga
melalui wahyu.[10]
Kemudian yang harus kita
pahami adalah bahwa wahyu dan akal tidak boleh disamakan sisi pengambilan
hukum. Oleh karena itu perbedaan akal dan wahyu adalah antarlain:
Ø Akal, ciri-cirinya yaitu:
·
Akal
tidak mampu membawa kebenaran yang mutlak, yaitu akal tidak dapat menjamin
kebahagiaan hidup yang mutlak kepada manusia, apalagi dalam persoalan akidah
dan syara’.
·
Pertimbangan
akal berubah menurut keadaan, suasana, waktu, pengalaman dan lainnya.
·
Akal dan
fikiran manusia tentang sesuatu persoalan itu tidak akan berakhir dan tidak ada
batasnya selagi manusia itu hidup.
Ø Wahyu, ciri-cirinya yaitu adalah:
·
Wahyu itu dibawa untuk memberi
hidayat dan petunjuk kepada manusia dalam hidup mereka.
·
Wahyu ialah sesuatu hakikat yang mutlak, karena
ia datang dari Allah, ia suci, benar dan terpelihara.
·
Wahyu
dibawa sebagai penasihat kepada manusia, tetapi kedatangannya bukanlah dengan
kehendak atau permintaan manusia.
·
Wahyu
yang diturunkan juga bukanlah supaya manusia menilai semua benar atau salah,
tetapi penurunannya supaya manusia mengikuti dan mematuhi segala perintah
dengan penuh ketaatan.
·
Wahyu
disampaikan kepada manusia melalui perantaraan para nabi dan rasul.
·
Wahyu
dapat menjelaskan dan menguraikan persoalan yang tidak difikirkan atau tidak
dapat dijelaskan oleh fikiran manusia.
·
Wahyu itu
tidak mungkin dapat diubah dan tidak mungkin dapat dipindah.
·
Wahyu
tidak akan diturunkan lagi setelah wafat Nabi Muhammad SAW.
Kesimpulannya, wahyu mempunyai
hubungan yang erat dengan akal, karena wahyu menjelaskan apa yang tidak dapat
dicapai oleh akal seperti alam ghaib. Wahyu merupakan nur atau cahaya dan puncak
untuk mencapai hakikat kebenaran.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan.
1. Akal adalah peralatan manusia yang memiliki fungsi
untuk membedakan yang salah dan yang benar serta menganalisis sesuatu yang
kemampuannya sangat luas.
2. Wahyu adalah firman Allah yang disampaikan kepada
nabi-Nya baik untuk dirinya sendiri maupun untuk disampaikan kepada umat.
3. Pengetahuan adalah hubungan subjek dan objek,
sedangkan ilmu adalah pengetahuan yang telah teruji secara ilmiah dan
kebenarannya jelas.
4. Dengan menggunakan akal, manusia mampu memahami
Al-Qura’an yang diturunkan sebagai wahyu oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad
SAW. Dengan akal pula, manusia mampu menelaah sejarah Islam dari masa ke masa
dari masa lampau.
5.
Akal dan wahyu digunakan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan bagi umat
manusia. Antara akal dan wahyu terdapat ruang dimana keduanya dapat bertemu dan
bahkan saling berinteraksi dan terdapat ruang dimana keduanya harus berpisah.
Sehingga hubungan antara akal dan wahyu tidak bertentangan akan tetapi sangat
berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya, bahkan kedua-duanya saling
menyempurnakan.
B.
Saran.
Sebagai umat islam kita harus selalu menggali
ilmu pengetahuan yang berguna bagi umat manusia. Dan agar kita dapat
mengaplikasikan ilmu yang di peroleh untuk kepentingan dan kemaslahatan umat
manusia dan menjadikan Al Quran dan Al Sunnah sebagai pegangan hidup karena
keduanya merupakan sumber ilmu yang paling utama.
Demikian makalah ini kami buat dan sampaikan kepada pembaca
sekalian.Makalah ini dibuat bukan semata – mata dalam rangka memenuhi tugas
pada mata kuliah, pada akhirnya kami berharap agar makalah ini dapat bermanfaat
serta menambah wawasan bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Rozak, Rosihon Anwar, ilmu kalam, (bandung: pustaka
setia, 2001), hlm. 125.
Faisar Ananda Arfa, Filsafat Hukum Islam, (Bandung :cipta pustaka
media perintis, 2007).
Hamzah Ya‟qub, Filsafat Agama: Titik Temu Akal dan wahyu,
(Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya,1992).
Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam,(Jakarta: UI
Press, 1986).
http://saputra-arof.blogspot.co.id/ diakses pada pukul 20.14, hari kamis, 26 Oktober 2017
http://www.gurupendidikan.co.id/101-pengertian-akal-menurut-para-ahli-secara-lengkap/ diakses pada pukul 20.26, Kamis 26 Oktober 2017.
M. Qurish Shihab, Membumikan al-Qur‟an, (Bandung: Mizan,
2005).
Nasution, Harun, Teologi Islam Dan Aliran Analisa Perbandingan,
(Jakarta; Universitas Indonesia, (UI-Press) 1986.
Yunan Yusuf, Alam Pemikiran Islam Pemikiran Kalam, (Jakarta;
Perkasa Jakarta 1990). Hal 65
[3] http://saputra-arof.blogspot.co.id/
diakses pada pukul 20.14, hari kamis, 26 Oktober 2017
[4] http://www.gurupendidikan.co.id/101-pengertian-akal-menurut-para-ahli-secara-lengkap/
diakses pada pukul 20.26, Kamis 26 Oktober 2017.
[5] Nasution, Harun, Teologi Islam Dan Aliran Analisa Perbandingan,
(Jakarta; Universitas Indonesia, (UI-Press) 1986. Hal 44
[6] Hamzah
Ya‟qub, Filsafat Agama: Titik Temu Akal dan wahyu, (Jakarta: Pedoman
Ilmu Jaya,1992), h. 129
[7] Faisar Ananda Arfa, Filsafat
Hukum Islam, (Bandung :cipta pustaka media perintis, 2007), hlm. 41-42.
[8] Yunan Yusuf, Alam Pemikiran Islam Pemikiran Kalam, (Jakarta;
Perkasa Jakarta 1990). Hal 65
[9] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah Analisa
Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1986), cet. 5, hlm. 79-84.
[10] Abdul Rozak, Rosihon Anwar, ilmu kalam, (bandung: pustaka
setia, 2001), hlm. 125.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar