Minggu, 03 Desember 2017

AKAL DAN WAHYU DALAM ISLAM



MAKALAH





Oleh:

AHMAD MUNTAZAR


PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER HUKUM ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2017



BAB I
PENDAHULUAN

    Latar Belakang.
Allah menciptakan manusia sebagai makhluk yang penuh dengan kekurangan. Dalam semua sisi kehidupan, kekurangan yang melekat pada manusia menyebabkan kemampuan yang dimiliki menjadi sangat terbatas. Manusia sebagai makhluk yang paling sempurna diciptakan oleh Allah Swt mempunyai banyak sekali kelebihan jika dibandingkan dengan mahkluk-mahkluk ciptaan Allah Swt yang lainnya. Bukti otentik dari kebenaran bahwa manusia merupakan makhluk yang paling sempurna di antara mahkluk yang lain adalah seperti yang telah digambarkan pada Alqur‟an surat At-Tin ayat ke 4 yang berbunyi sebagai berikut :
لَقَدْ خَلَقْنَا الإنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ
Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”
Suatu hal yang membuat manusia lebih baik dari mahluk yang lain yaitu manusia mampu berpikir dengan akalnya, karena manusia dianugerahi oleh Allah dengan akal sehingga dengan akal tersebut manusia mampu memilih, mempertimbangkan, dan menentukan jalan pikirannya sendiri. Agama Islam sangat menjunjung tinggi kedudukan akal. Dengan akal manusia mampu memahami Alqur‟an sebagai wahyu yang diturunkan lewat Nabi Muhammad Saw, dengan akal juga manusia mampu menelaah kembali sejarah Islam dari masa ke masa sampai dengan kondisi sekarang ini.
Setelah Nabi Muhammad Saw wafat, permasalahan yang dihadapi umat Islam semakin kompleks. Masalah-masalah yang muncul seperti masalah keagamaan yaitu banyaknya ummat muslim kembali menyembah berhala (murtad), politik, sosial budaya, dan kemunduran umat Islam sampai pada saat itu. Dari permasalahan-permasalahan di atas dapat dilihat bahwasanya umat Islam mengalami kemerosotan iman dan moral. Dan untuk menyelasaikan masalah tersebut, maka digunakanlah cara-cara mengkaji kembali isi Alqur‟an dan As- Sunnah. Dan masalah-masalah yang belum memiliki tuntutan penyelesaiannya baik dalam Alqur‟an maupun As-Sunnah untuk mengatasinya maka muncullah jalan ketiga yakni dengan ijtihad. Ijtihad adalah upaya yang dilakukan guna untuk mencapai pengetahuan tentang ajaran Nabi Muhammad Saw dengan tujuan mengikuti ajaran beliau di samping, mengaitkan dari Alqur‟an dan As-Sunnah.[1]
 Islam adalah agama yang sangat memperhatikan peran dan fungsi akal secara optimal, sehingga akal dijadikan sebagai standar seseorang diberikan beban taklif atau sebuah hukum. Jika seseorang kehilangan akal maka hukum-pun tidak berlaku baginya. Saat itu dia dianggap sebagai orang yang tidak terkena beban apapun.
Islam bahkan menjadikan akal sebagai salah satu diantara lima hal primer yang diperintahkan oleh syariah untuk dijaga dan dipelihara, dimana kemaslahatan dunia dan akhirat amat disandarkan pada terjaga dan terpeliharanya kelima unsur tersebut, yaitu: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.



BAB II

PEMBAHASAN

A.    Definisi Akal Dan Wahyu
1.      Akal.
a.      Pengertian Akal.
    Alqur‟an adalah wahyu Allah yang tertulis, yang didalamnya terdapat berbagai macam pengetahuan. Pengetahuan diperoleh dari akal, dan di dalam Alqur‟an sendiri akal diberikan penghargaan yang tinggi. Bukan hanya merupakan ajaran dalam teori, tetapi ajaran yang telah pernah diamalkan oleh cendikiawan dan ulama Islam, Tidak sedikit ayat-ayat yang menganjurkan dan mendorong manusia supaya banyak berfikir dan mempergunakan akalnya. Kata-kata yang dipakai dalam Alqur‟an untuk menggambarkan perbuatan berfikir, bukan hanya „aqala saja tetapi juga ya‟qilun dan ta‟qilun.[2]
    Alqur‟an menyebutkan kurang lebih 49 kata „aql yang muncul secara variatif. Semua kata tersebut diungkapkan dalam bentuk kata kerja (fi‟il) dan tak pernah disebut dalam bentuk masdar,akan tetapi semuanya berasal dari kata dasar „aql.
    Kata akal berasal dari kata dalam bahasa Arab, al-‘aql. Kata al-‘aql adalah mashdar dari kata ‘aqola – ya’qilu – ‘aqlan yang maknanya adalah “ fahima wa tadabbaro “ yang artinya “paham (tahu, mengerti) dan memikirkan (menimbang) “. Maka al-‘aql, sebagai mashdarnya, maknanya adalah “ kemampuan memahami dan memikirkan sesuatu “. Sesuatu itu bisa ungkapan, penjelasan, fenomena, dan lain-lain.[3]
     Perkataan akal dalam bahasa asalnya mengandung pengertian diantaranya mengikat dan menahan, ia juga mengandung arti mengerti, memahami dan berfikir. Para ahli filsafat dan ilmu kalam mengartikan akal sebagai daya (kekuatan, tenaga).Untuk memperoleh pengetahuan, daya yang membuat seseorang dapat membedakan antara dirinya dengan orang lain, daya untuk mengabstrakkan benda yang ditangkap oleh panca indera. Adapun definisi akal menurut para ahli yaitu sebagai berikut:
·         Abu Bakar ibn al-Arabi- (1165-1240 M), menyebutkan bahwa akal sebagai ilmu, yaitu sifat yang dengannya persepsi ilmu dapat di hasilkan abu bakar ibn al-Arabi berdasarkan pendapatnya dengan ayat Al-Quran yang memberikan motivasi terapan terhadap sesuatu yang di informasikan dengan ayat-ayat tersebut. Menurutnya, hasil-hasil terapan dinamakan ilmu, bukan akal.
·         Harun Nasution- Kata akal berasal dari kata Arab “al-Aql” yang menjadi kata Indonesia,  dalam bentuk kata benda tidak ada dalam Al-quran, hanya bentuk kata kerja al-Aqaluh 1 ayat, ya’qiluha 1 ayat, ya’qilun 22 ayat, ta’qilun 24 ayat dan na’qilu 1 ayat, dalam arti mengertian dan paham. (Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam )
·         Menurut Kant- bahwa apa yang kita katakan rasional itu adalah ide yang masuk akal tapi menggunakan ukuran hukum alam. Dengan kata lain, pikiran rasional adalah kebenaran yang diukur dengan hukum alam.[4]
Jadi dari semua yang sudah dijelaskan diatas bahwa akal adalah anugrah yang diberikan oleh Allah Swt, untuk senantiasa usaha atau daya berpikir dengan menggunakan panca indera, manusia berusaha dan berupaya untuk memahami benda-benda yang ada disekitarnya, mengetahui, dan memperoleh apa yang terjadi baik dalam kondisi sekarang dan yang akan datang.
b.      Landasan Hukum Akal.
Kedudukan Akal Dalam Syari'at Islam.Syari'at Islam memberikan nilai dan urgensi yang amat penting dan tinggi terhadap akal manusia. Itu dapat dilihat sebagai berikut:
1)      Allah subhanahu wa'ta'ala hanya menyampaikan kalam-Nya (firman-Nya) kepada orang-orang yang berakal, karena hanya mereka yang dapat memahami agama dan syari'at-Nya. Allah subhanahu wa'ta'ala berfirman:
وَوَهَبْنَا لَهُ أَهْلَهُ وَمِثْلَهُمْ مَعَهُمْ رَحْمَةً مِنَّا وَذِكْرَى لأولِي الألْبَابِ
Artinya:"Dan kami anugerahi dia (dengan mengumpulkan kembali) keluarganya dan (Kami tambahkan) kepada mereka sebanyak mereka pula sebagai rohmat dari kami dan pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai fikiran". (QS. Shaad (38): 43).
2)      Akal merupakan syarat yang harus ada dalam diri manusia untuk mendapat taklif (beban kewajiban) dari Alloh subhanahu wa'ta'ala. Hukum-hukum syari'at tidak berlaku bagi mereka yang tidak mempunyai akal. Dan diantaranya yang tidak menerima taklif itu adalah orang gila karena kehilangan akalnya. Rosulullah bersabda:
"رُفِعَ القَلَمُ عَنْ ثَلَاثٍ وَمِنْهَا : الجُنُوْنُ حَتَّى يَفِيْقَ"
"Pena (catatan pahala dan dosa) diangkat (dibebaskan) dari tiga golongan, diantaranya: orang gila samapai dia kembali sadar (berakal)". (HR. Abu Daud: 472 dan Nasa'i: 6/156).
3)      Allah subhanahu wa'ta'ala mencela orang yang tidak menggunakan akalnya. Misalnya celaan Allah subhanahu wa'ta'ala terhadap ahli neraka yang tidak menggunakan akalnya, Allah subhanahu wa'ta'ala berfirman:
وَقَالُوا لَوْ كُنَّا نَسْمَعُ أَوْ نَعْقِلُ مَا كُنَّا فِي أَصْحَابِ السَّعِيرِ
Artinya:"Dan mereka berkata: "Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala". (QS. 067. Al Mulk [67]: 10)
c.       Fungsi Akal
ü  Tolak ukur akan kebenaran dan kebatilan. 
ü  Alat untuk mencerna berbagai hal dan cara tingkah laku yang benar.
ü  Alat penemu solusi ketika permasalahan datang.
Dan masih banyak lagi fungsi akal, karena hakikat dari akal adalah sebagai mesin penggerak dalam tubuh yang mengatur dalam berbagai hal yang akan dilakukan setiap manusia yang akan meninjau baik, buruk dan akibatnya dari hal yang akan dikerjakan tersebut. Akal adalah jalan untuk memperoleh iman sejati, iman tidaklah sempurna kalau tidak didasarkan pada akal, iman harus berdasar pada keyakinan, bukan pada pendapat dan akallah yang menjadi sumber keyakinan pada Tuhan Yang Maha Esa.
d.      Kekuatan Akal
ü  Mengetahui Tuhan dan sifat-sifat-Nya.
ü  Mengetahui adanya kehidupan di akhirat.
ü  Mengetahui bahwa kebahagiaan jiwa di akhirat bergantung pada mengenal Tuhan dan berbuat baik, sedang kesengsaran tergantung pada tidak mengenal Tuhan dan pada perbuatan jahat.
ü   Mengetahui wajibnya manusia mengenal Tuhan.
ü  Mengetahui kewajiban berbuat baik  dan kewajiban pula menjauhi perbuatan jahat untuk kebahagiannya di akhirat.
ü  Membuat hukum-hukum yang membantu dalam melaksanakan kewajiban tersebut.[5]
2.      Wahyu
a.      Pengertian wahyu
Kata wahyu berasal dari kata arab الوحي, dan al-wahy adalah kata asli Arab dan bukan pinjaman dari bahasa asing, yang berarti suara, api, dan kecepatan. Dan ketika al-wahyu berbentuk masdar memiliki dua arti yaitu tersembunyi dan cepat. Oleh sebab itu wahyu sering disebut sebuah pemberitahuan tersembunyi dan cepat kepada seseorang yang terpilih tanpa seorangpun yang mengetahuinya. Sedangkan ketika berbentuk maf’ul wahyu Allah terhadap Nabi-Nya ini sering disebut Kalam Allah yang diberikan kepada Nabi.
Menurut bahasa, wahyu mempunyai arti pemberian isyarat, pembicaraan rahasia, dan mengerakan hati. Sedangkan menurut istilah adalah wahyu merupakan pemberitahuan yang datangnya dari Allah kepada para nabi-Nya yang di dalamnya terdapat penjelasan-penjelasan dan petunjuk kepada jalan yang lurus dan benar.[6]
Wahyu turun kepada nabi-nabi melalui tiga cara, yaitu dimasukkan langsung ke dalam hati dalam bentuk ilham, dari belakang tabir, dan melalui utusan dalam bentuk malaikat.
 Wahyu yang turun kepada Nabi Muhammad SAW. melalui cara yang ketiga, yaitu melalui utusan dalam bentuk malaikat Jibril.
Menurut Muhammad Abduh dalam Risalatut Tauhid berpendapat bahwa wahyu adalah pengetahuan yang di dapatkan oleh seseorang dalam dirinya sendiri disertai keyakinan bahwa semua itu datang dari Allah SWT, baik melalui perantara maupun tanpa perantara. Baik menjelma seperti suara yang masuk dalam telinga ataupun lainya.[7]
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa Wahyu adalah sabda Tuhan yang mengandung ajaran, petunjuk dan pedoman yang diperlukan umat manusia dalam perjalanan hidupnya baik di dunia maupun akhirat yaitu yang sudah tertulis di dalam Al-Qur;an Dalam Islam wahyu atau sabda yang disampaikan kepada Nabi Muhammad Saw, terkumpul semuanya dalam Al-Qur‟an.
b.      Fungsi wahyu
Wahyu berfungsi memberi informasi bagi manusia. Yang dimaksud memberi informasi disini yaitu wahyu memberi tahu manusia, bagaimana cara berterima kasih kepada Tuhan, menyempurnakan akal tentang mana yang baik dan yang buruk, serta menjelaskan perincian upah dan hukuman yang akan di terima manusia di akhirat.[8]
Sebenarnya wahyu secara tidak langsung adalah senjata yang diberikan Allah kepada Nabi-Nya untuk melindungi diri dan pengikutnya dari ancaman orang-orang yang tak menyukai keberadaanya. Dan sebagai bukti bahwa beliau adalah utusan sang pencipta yaitu Allah SWT.
c.       Kekuatan wahyu.
Memang sulit saat ini membuktikan jika wahyu memiliki kekuatan, tetapi kita tidak mampu mengelak sejarah wahyu ada, oleh karna itu wahyu diyakini memiliki kekuatan karena beberapa faktor antara lain:
ü  Wahyu ada karena ijin dari Allah, atau wahyu ada karena pemberian Allah.
ü  Wahyu lebih condong melalui dua mukjizat yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah.
ü  Membuat suatu keyakinan pada diri manusia.
ü  Untuk memberi keyakinan yang penuh pada hati tentang adanya alam ghaib.
ü  Wahyu turun melalui para ucapan nabi-nabi.

B.     Kedudukan Akal dan Wahyu dalam Hukum Islam.
Akal dalam pengertian Islam adalah daya berpikir yang terdapat dalam jiwa manusia; daya, yang memperoleh pengetahuan dengan memperhatikan alam sekitarnya. Pengertian inilah yang dikontraskan dengan wahyu yang membawa pengetahuan dari luar diri manusia.
Akal menjadi faktor utama yang menempatkan manusia pada kedudukan yang lebih mulia dibandingkan makhluk Allah lainnya. Dengan akal, manusia dapat mengembangkan ilmu pengetahuan sehingga terwujud kebudayaan.
Alquran menempatkan akal pada posisi penting dengan banyaknya ayat yang mendorong manusia menggunakan akalnya dalam berbagai ungkapan antara lain dengan menggunakan kata madzara, tadabbara, tafakkara, faqiha, tadzakkara, fahima, dan sebagainya. Ungkapan-ungkapan tersebut mengandung isyarat penempatan akal sebagai faktor yang penting dalam kehidupan seorang muslim. Akal membawa manusia kepada posisi subyek di tengah alam semesta dan menempatkannya sebagai penguasa (khalifah) yang mampu mengelola dan mendayagunakan alam.
Dalam Islam, akal memiliki posisi yang sangat mulia. Meski demikian bukan berarti akal diberi kebebasan tanpa batas dalam memahami agama. Islam memiliki aturan untuk menempatkan akal sebagaimana mestinya. Bagaimanapun, akal yang sehat akan selalu cocok dengan syariat Islam dalam permasalahan apapun. Dan wahyu baik berupa Al-qur’an dan Hadits bersumber dari Allah SWT, pribadi Nabi Muhammad SAW yang menyampaikan wahyu ini, memainkan peranan yang sangat penting dalam turunnya wahyu. Wahyu merupakan perintah yang berlaku umum atas seluruh umat manusia, tanpa mengenal ruang dan waktu, baik perintah itu disampaikan dalam bentuk umum atau khusus. Apa yang dibawa oleh wahyu tidak ada yang bertentangan dengan akal, bahkan ia sejalan dengan prinsip-prinsip akal. Wahyu itu merupakan satu kesatuan yang lengkap, tidak terpisah-pisah.Wahyu itu menegakkan hukum menurut kategori perbuatan manusia. baik perintah maupun larangan. Sesungguhnya wahyu yang berupa Alqur’an dan As-sunnah turun secara berangsur-angsur dalam rentang waktu yang cukup panjang.
Namun tidak selalu mendukung antara wahyu dan akal, karena seiring perkembangan zaman akal yang semestinya mempercayai wahyu adalah sebuah anugerah dari Allah terhadap orang yang terpilih, terkadang mempertanyakan keaslian wahyu tersebut. Apakah wahyu itu benar dari Allah ataukah hanya pemikiran seseorang yang beranggapan semua itu wahyu. Seperti pendapat Abu Jabbar bahwa akal tak dapat mengetahui bahwa upah untuk suatu perbuatan baik lebih besar dari pada upah yang ditentukan untuk suatu perbuatan baik lain, demikian pula akal tak mengetahui bahwa hukuman untuk suatu perbuatan buruk lebih besar dari hukuman untuk suatu perbuatan buruk yang lain. Semua itu hanya dapat diketahui dengan perantaraan wahyu. Al-Jubbai berkata wahyulah yang menjelaskan perincian hukuman dan upah yang akan diperoleh manusia di akhirat.[9]
Karena masalah akal dan wahyu dalam pemikiran kalam sering dibicarakan dalam konteks, yang manakah diantara kedua akal dan wahyu itu yang menjadi sumber pengetahuan manusia tentang Tuhan, tentang kewajiban manusia berterima kasih kepada Tuhan, tentang apa yang baik dan yang buruk, serta tentang kewajiban menjalankan yang baik dan menghindari yang buruk. Maka para aliran Islam memiliki pendapat sendiri-sendiri antara lain:
1.      Aliran Mu’tazilah sebagai penganut pemikiran kalam tradisional, berpendapat bahwa akal mempunyai kemampuan mengetahui empat konsep tersebut. Menurut Mu’tazilah, seluruh pengetahuan dapat diperoleh melalui akal, termasuk  mengetahui adanya Tuhan dan kewajiban beribadah kepada Tuhan. Abu Huzail, menegaskan bahwa meskipun wahyu tidak turun, maka manusia tetap wajib beribadah kepada Tuhan, sesuai dengan pengetahuannya tentang Tuhan. Begitu juga dengan kebaikan dan keburukan juga dapat diketahui melalui akal.Jika dengan akal manusia dapat mengetahui baik dan buruk, maka dengan akal juga manusia harus tahu bahwa melakukan kebaikan itu adalah wajib, dan menjauhi keburukan juga wajib.
2.      Sementara itu aliran Maturidiyah Samarkand yang juga termasuk pemikiran kalam tradisional, mengatakan juga (kecuali kewajiban menjalankan yang baik dan yang buruk) akal mempunyai kemampuan mengetahui ketiga hal tersebut.
3.      Sebaliknya aliran Asy’ariyah, sebagai penganut pemikiran kalam tradisional juga berpendapat bahwa akal hanya mampu mengetahui tuhan sedangkan tiga hal lainnya, yakni kewajiban berterima kasih kepada tuhan, baik dan buruk serta kewajiban melaksanakan yang baik dan menghindari yang jahat diketahui manusia berdasarkan wahyu. Menurut Asy’ariyah, pertama semua kewajiban manusia hanya dapat diketahui melalui wahyu. Jika wahyu tidak turun, maka tidak ada kewajiban (taklif) bagi manusia.Karena akal tidak mampu membuat kewajiban tersebut, terutama kewajiban beribadah pada Tuhan, dan kewajiban melakukan yang baik serta kewajiban menjauhi yang buruk.
4.      Sementara itu aliran Maturidiyah Bukhara yang juga digolongkan kedalam pemikiran kalam tradisional berpendapat bahwa dua dari keempat hal tersebut yakni mengetahui Tuhan dan mengetahui yang baik dan buruk dapat diketahui dengan akal, sedangkan dua hal lainnya yakni kewajiban berterima kasih kepada Tuhan serta kewajiban melaksanakan yang baik serta meninggalkan yang buruk hanya dapat diketahui dengan wahyu.
Adapun ayat-ayat yang dijadikan dalil oleh paham Maturidiyah Samarkand dan Mu’tazilah, dan terlebih lagi untuk menguatkan pendapat mereka adalah surat Al – Ghaasyiyah  ayat 17 dan surat Al - A’raaf   ayat 185:
أَفَلا يَنْظُرُونَ إِلَى الإبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ﴿الغاشية:١۷
Artinya: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan.”

أَوَلَمْ يَنْظُرُوا فِي مَلَكُوتِ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَمَا خَلَقَ اللَّهُ مِنْ شَيْءٍ وَأَنْ عَسَى أَنْ يَكُونَ قَدِ اقْتَرَبَ أَجَلُهُمْ فَبِأَيِّ حَدِيثٍ بَعْدَهُ يُؤْمِنُونَ﴿اﻷعراف:١۸۵

Artinya: Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah, dan kemungkinan telah dekatnya kebinasaan mereka? Maka kepada berita manakah lagi mereka akan beriman selain kepada Alqur'an itu?”

Adapun berkaitan dengan mengetahui Tuhan, Asy’ariyah sepakat dengan Mu’tazilah yaitu dapat diketahui melalui akal.Sedangkan mengetahui baik dan buruk, akal tidak mampu, karena sifat baik dan buruk sangat terkait dengan syari’at. Sesuatu disebut  baik, jika dapat pujian syari’at, dan dianggap buruk jika dikecam oleh syari’at. Karena pujian dan kecaman bersumber dari wahyu, maka sesuatu dapat dikatakan baik atau buruk juga melalui wahyu.[10]
            Kemudian yang harus kita pahami adalah bahwa wahyu dan akal tidak boleh disamakan sisi pengambilan hukum. Oleh karena itu perbedaan akal dan wahyu adalah antarlain:
Ø  Akal, ciri-cirinya yaitu:
·         Akal tidak mampu membawa kebenaran yang mutlak, yaitu akal tidak dapat menjamin kebahagiaan hidup yang mutlak kepada manusia, apalagi dalam persoalan akidah dan syara’.
·         Pertimbangan akal berubah menurut keadaan, suasana, waktu, pengalaman dan lainnya.
·         Akal dan fikiran manusia tentang sesuatu persoalan itu tidak akan berakhir dan tidak ada batasnya selagi manusia itu hidup.
Ø  Wahyu, ciri-cirinya yaitu adalah:
·         Wahyu itu dibawa untuk memberi hidayat dan petunjuk kepada manusia dalam hidup mereka.
·          Wahyu ialah sesuatu hakikat yang mutlak, karena ia datang dari Allah, ia suci, benar dan terpelihara.
·         Wahyu dibawa sebagai penasihat kepada manusia, tetapi kedatangannya bukanlah dengan kehendak atau permintaan manusia.
·         Wahyu yang diturunkan juga bukanlah supaya manusia menilai semua benar atau salah, tetapi penurunannya supaya manusia mengikuti dan mematuhi segala perintah dengan penuh ketaatan.
·         Wahyu disampaikan kepada manusia melalui perantaraan para nabi dan rasul.
·         Wahyu dapat menjelaskan dan menguraikan persoalan yang tidak difikirkan atau tidak dapat dijelaskan oleh fikiran manusia.
·         Wahyu itu tidak mungkin dapat diubah dan tidak mungkin dapat dipindah.
·         Wahyu tidak akan diturunkan lagi setelah wafat Nabi Muhammad SAW.
Kesimpulannya, wahyu mempunyai hubungan yang erat dengan akal, karena wahyu menjelaskan apa yang tidak dapat dicapai oleh akal seperti alam ghaib. Wahyu merupakan nur atau cahaya dan puncak untuk mencapai hakikat kebenaran.


BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan.
1.      Akal adalah peralatan manusia yang memiliki fungsi untuk membedakan yang salah dan yang benar serta menganalisis sesuatu yang kemampuannya sangat luas.
2.      Wahyu adalah firman Allah yang disampaikan kepada nabi-Nya baik untuk dirinya sendiri maupun untuk disampaikan kepada umat.
3.      Pengetahuan adalah hubungan subjek dan objek, sedangkan ilmu adalah pengetahuan yang telah teruji secara ilmiah dan kebenarannya jelas.
4.      Dengan menggunakan akal, manusia mampu memahami Al-Qura’an yang diturunkan sebagai wahyu oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW. Dengan akal pula, manusia mampu menelaah sejarah Islam dari masa ke masa dari masa lampau.
5.      Akal dan wahyu digunakan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan bagi umat manusia. Antara akal dan wahyu terdapat ruang dimana keduanya dapat bertemu dan bahkan saling berinteraksi dan terdapat ruang dimana keduanya harus berpisah. Sehingga hubungan antara akal dan wahyu tidak bertentangan akan tetapi sangat berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya, bahkan kedua-duanya saling menyempurnakan.
B.     Saran.
Sebagai umat islam kita harus selalu menggali ilmu pengetahuan yang berguna  bagi umat manusia. Dan agar kita dapat mengaplikasikan ilmu yang di peroleh untuk kepentingan dan kemaslahatan umat manusia dan menjadikan Al Quran dan Al Sunnah sebagai pegangan hidup karena keduanya merupakan sumber ilmu yang paling utama.
Demikian makalah ini kami buat dan sampaikan kepada pembaca sekalian.Makalah ini dibuat bukan semata – mata dalam rangka memenuhi tugas pada mata kuliah, pada akhirnya kami berharap agar makalah ini dapat bermanfaat serta menambah wawasan bagi kita semua.


DAFTAR PUSTAKA

Abdul Rozak, Rosihon Anwar, ilmu kalam, (bandung: pustaka setia, 2001), hlm. 125.
Faisar Ananda Arfa, Filsafat Hukum Islam, (Bandung :cipta pustaka media perintis, 2007).
Hamzah Ya‟qub, Filsafat Agama: Titik Temu Akal dan wahyu, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya,1992).
Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam,(Jakarta: UI Press, 1986).
http://saputra-arof.blogspot.co.id/ diakses pada pukul 20.14, hari kamis, 26 Oktober 2017
M. Qurish Shihab, Membumikan al-Qur‟an, (Bandung: Mizan, 2005).
Nasution, Harun, Teologi Islam Dan Aliran Analisa Perbandingan, (Jakarta; Universitas Indonesia, (UI-Press) 1986.
Yunan Yusuf, Alam Pemikiran Islam Pemikiran Kalam, (Jakarta; Perkasa Jakarta 1990). Hal 65


[1] M. Qurish Shihab, Membumikan al-Qur‟an, (Bandung: Mizan, 2005), h. 34.
[2] Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam,(Jakarta: UI Press, 1986), h. 52.
[3] http://saputra-arof.blogspot.co.id/ diakses pada pukul 20.14, hari kamis, 26 Oktober 2017
[5] Nasution, Harun, Teologi Islam Dan Aliran Analisa Perbandingan, (Jakarta; Universitas Indonesia, (UI-Press) 1986. Hal 44
[6] Hamzah Ya‟qub, Filsafat Agama: Titik Temu Akal dan wahyu, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya,1992), h. 129
[7] Faisar Ananda Arfa, Filsafat Hukum Islam, (Bandung :cipta pustaka media perintis, 2007), hlm. 41-42.
[8] Yunan Yusuf, Alam Pemikiran Islam Pemikiran Kalam, (Jakarta; Perkasa Jakarta 1990). Hal 65
[9] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1986), cet. 5, hlm. 79-84.
[10] Abdul Rozak, Rosihon Anwar, ilmu kalam, (bandung: pustaka setia, 2001), hlm. 125.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar