Kamis, 20 September 2018

SETITIK KEGELAPAN PEMIKIRAN HITLER DAN MACHIAVELLI.



   Hitler dan machiavelli tidak asing lagi di dunia pokutik sebab mereka adalah sosok orang yang telah meretas sejarah di dunia..hitler adalah sosok penguasa tirani yang mampu melukis sejarah hitam sedangkan machiavelli adalah sosok politikus yang sangat pragmatis. 

  Hitler dengan kemampuan yang dimilikinya dalam berkuasa sangat perlu untuk dicermati sehingga bisa menjadi sebuah pelajaran bagi kita semua. Berangkat dari sejarah hitler, dia pernah dipenjarah oleh pemerintah Jerman pada tahun 1923 disebabkan dengan gagalnya melakukan kudeta pada waktu itu. Sehingga dia menyadari bahwa betapa pentingnya jalur demokrasi untuk menyebarkan gagasan-gagasan yang dia miliki, Sehingga bisa menarik simpati semua orang.

    Dari segi akal sehat, sulit dicerna bahwa ketika itu  rakyat jerman lebih mendukung hitler dan memilih nazi yang memiliki pemikiran dan ide-ide yang sangat mengerikan dan anti kemanusiaan. Hitler mengemukakan gagasan nasionalis radikal dan membagi ras menjadi dua yaitu ras superior dan ras inferior, yang mana hitler menggambarkan bangsa aria adalah bangsa Tuhan dan bangsa yahudi adalah bangsa setan. Ini adalah sebuah gagasan yang ekstrim dan gila.

 Pada tahun 1929 rakyat Jerman mengalami depresi yaitu krisis ekonomi akan tetapi malah mendukung hitler. Pada tahun 1028 partai Nazi hanya memiliki suara sebanyak 810.000 akan tetapi pada tahun 1930 maka Nazi berhasil meraih suara masyarakat sebanyak 6.400.000. Kemudian pada pemilu 31 Juli tahun 1932, Nazi berhasil menjadi pemenang sebanyak 37,7 persen dengan mendapatkan 230 kursi diparlemen. Akan tetapi dengan kemenangan yang diperoleh oleh partai Nazi ketika itu belum bisa mencapai mayoritas mutlak. Dengan modal suara seperti itulah pada tahun 1930 hitler diangkat menjadi kanselir Jerman sehingga ia didukung oleh para industriawan dan para pengusaha yang mana mereka mengharapkan hitler akan membasmi komunisme, organisasi buruh dan meningkatkan industri militer. 

    Pada pemilu Maret tahun 1933 maka disitulah Nazi meraih suara terbanyak sehingga mendapatkan 647 kursi di parlemen, ditambah dengan koalisi dengan 52 wakil nasionalis dan absennya wakil-wakil komunis, maka ketika itulah Nazi bisa mencapai mayoritas mutlak. 

 Begitulah gambaran demokrasi yang dikembangkan oleh jerman ketika itu. Sehingga Rakyat Jerman lebih memilih dan mendukung hitler dan gagasan-gagasannya yang ekstrim dan gila. Sehingga dengan ide-ide seperti inilah yang mampu menyeret dunia kedalam peperangan yang dahsyat dan mengerikan sehingga mampu mengorbankan jutaan manusia. 

   Pertanyaannya adalah kenapa rakyat Jerman mendukung hitler dan memilih Nazi walaupun ide-ide dan gagasan-gagasan yang dimiliki sangat ekstrim dan tirani? Jawabannya adalah sebeb hitler sangat pandai manarik hati rakyat Jerman dengan tekhnik propaganda yang sangat canggih.

    Kisah serupa dapat dijumpai di berbagai negara. Demokrasi sering gagal memilih pemimpin yang baik. Cara-cara yang digunakan untuk meraih suara rakyat pun bermacam-macam, bisa bermoral, bisa tidak. Propaganda menjadi andalan untuk meraih suara. Hitler menjadi contoh, bahwa kemenangan dalam demokrasi belum tentu menjamin kebenaran dan kebaikan dari masyarakat. Karena itulah suara mayoritas mutlak tidak bisa menjamin dan bukan tolak ukur dalam menentukan pemimpin yang terbaik.

    Hitler membuktikan, bahwa suatu kejahatan jika dipromosikan dengan canggih, bisa meraih kemenangan. Karena itulah, kaum Muslimin diajarkan untuk melaksanakan amar makruf nahi munkar, agar kemunkaran tidak leluasa untuk menguasai pikiran dan budaya masyarakat.


Machiavelli

  Sebagaimana Adolf Hitler, nama Niccolo Machavelli sudah begitu populer di dunia. Dia adalah seorang Italia yang hidup pada 1469-1527. Pada Zaman itu dikenal dalam sejarah Eropa sebagai zaman renaissance. Artinya: lahir kembali, atau rebirth.  Renaissance mulai muncul di Italia, ketika orang-orang Barat /Eropa melihat tanda-tanda keruntuhan otoritas agama Kristen dalam kehidupan mereka. Selama hampir 1000 tahun, mulai tahun 500-1500 M, mereka hidup di zaman yang mereka sebut sebagai ‘medieval’,  yaitu zaman pertengahan yang identik dengan kegelapan. 

   Adanya Zaman kegelapan ini disebabkan dengan dominannya pengaruh kekuasaan dan otoritas Gereja dalam seluruh aspek kehidupan mereka. Sebab Kekuasaan agama (gereja) mau campur tangan dan menguasai segala hal. 

  Oleh Karena itu mereka yang kontra dengan otoritas gereja ingin melepaskan diri dari segala pengaruh gereja atau Tuhan dalam kehidupan mereka, sehingga mereka memunculkan statement zaman pencerahan sebagai renaissance atau zaman kelahiran kembali. Sebab Mereka menganggap, bahwa selama ratusan tahun dalam cengkeraman agama, mereka dalam keadaan mati. Maka, setelah memasuki zaman baru, mereka merasa lahir kembali. 

    Ada dua corak yang dominan dalam pemikiran dan kesenian di zaman pencerahan itu, yaitu secular dan humanis. Kajian-kajian pemikiran mulai berbasis pada pemikiran Yunani Kuno dan literatur-literatur Romawi. Manusia, kata mereka, harus memutuskan nasibnya sendiri di dunia. Bukan Tuhan yang menentukan nasib mereka. 
Maka pada Tahun 1486, Giovanni Pico della Mirandola (1463-1494) menulis buku berjudul “Oration on the Dignity of Man”. Manusia, kata Pico, memiliki kebebasan untuk membentuk kehidupan mereka sendiri.” 

  Di lapangan politik dan moralitas, nama Machiaveli menjadi terkenal, setelah menulis bukunya yang berjudul, The Prince. Oleh para pemikir Barat kemudian, karya Machiavelli ini dianggap memiliki nilai yang tinggi yang memiliki pengaruh besar dalam kehidupan sosial politik umat manusia. 

      Ia menulis The Prince pada umur 44 tahun, dan baru dipublikasikan tahun 1532, lima tahun setelah kematiannya. Machiavelli dianggap sebagai salah satu pemikir yang mengajak penguasa untuk berpikir praktis demi mempertahankan kekuasaannya, dan melepaskan nilai-nilai moral yang justru dapat menjatuhkan kekuasannya.

    Karena itu, banyak yang memberikan predikat sebagai “amoral”. Tujuan utama dari suatu pemerintahan adalah “survival”. Dan ini melampaui nilai-nilai moral keagamaan dan kepentingan dari individu-individu dalam negara. Dengan membuang  faktor “baik dan buruk” dalam kancah politik, Machiavelli membuat saran, bahwa seorang penguasa boleh menggunakan cara apa saja untuk menyelamatkan negara. 

   Penguasa-penguasa yang sukses, kata dia, selalu bertentangan dengan pertimbangan moral dan keagamaan. Maka, kata Machiavelli lagi, “Jika situasi menjamin, penguasa dapat melanggar perjanjian dengan negara lain, dan melakukan kekejaman dan terror. 

  Yang terpenting dari pemikiran Machiavelli adalah, bahwa ia telah mengangkap persoalan politik dari aspek moral dan ketuhanan. 

   Jadi, sumbangan terbesar pemikiran Machiavelli adalah menghilangkan faktor agama dalam politik, dengan memandang masalah politik dan negara, semata-mata sebagai faktor saintifik yang rasional. Inilah yang dipandang sebagai politik modern.


Bagaimana Indonesia?

    Bagaimana dengan politik di Indonesia? Silakan dikaji, apakah pemikiran Machiavelli sudah merasuki dunia politik kita? Jika aspek iman dan kufur dinafikan, halal-haram disepelekan,  akhlak berpolitik disingkirkan, dan politik semata-mata dipandang sebagai “struggle for power”, seni meraih kuasa, dengan cara apa pun, maka itu pertanda Hitlerisme dan Machiavelianisme mulai muncul. 

   Tapi, para ulama dan cendekiawan Muslim perlu memahami sejarah, bahwa munculnya pemikiran seperti Machiavelli itu dapat terjadi karena masyarakat sudah “muak” dengan ulah tokoh-tokoh agama yang mempermainkan agama. Di zaman pertengahan, surat pengampunan dosa diperjual belikan. Sejumlah tokoh agama diketahui oleh masyarakat memiliki gundik dan hidup berbeda dengan ucapan-ucapannya sebagai tokoh agama. 

   Machiavelli membuka jalan bagi penyingkiran agama lebih jauh, dari kehidupan masyarakat Eropa. Di abad ke-18, masyarakat Perancis, misalnya, semakin membenci agama dan tokoh-tokohnya, karena mereka mendapatkan hak istimewa untuk bebas pajak, sementara rakyat dibebani pajak yang sangat berat. Akhirnya, rakyat muak kepada tokoh-tokoh agama yang perilakunya bertentangan dengan ucapan-ucapannya. 

     Dalam hal ini, para politisi Muslim – juga partai-partai Islam -- memiliki beban tanggung jawab yang sangat berat. Mereka dituntut bukan hanya cerdas dan pandai dalam berpolitik dan merebut/mempertahankan kekuasaannya, tetapi juga dituntut memberikan suri tauladan akhlak yang tinggi, agar dapat menjadi contoh bagi masyarakatnya. 

  Oleh karena itu  bencana besar jika banyak politisi Muslim, pintar bicara tentang moral dan syariat Islam, tetapi akhlak dan perilakunya sendiri jauh dari ucapannya. Memang tidak ada manusia sempurna. Tapi, setidaknya kita semua berniat dan berjuang untuk menjadi orang yang semakin baik. 

Semoga Allah menolong kita semua, menolong banget kita, dan menganugerahi kita, pemimpin-pemimpin yang amanah, yang sadar akan pertanggungjawaban kepemimpinan dunia-akhirat.  Amin.