Minggu, 03 Desember 2017

KAJIAN PROSES TRANSFORMASI HADIST DAN KUALITAS PERAWI



MAKALAH





 Oleh:

AHMAD MUNTAZAR



 PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER HUKUM ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2017



BAB I
PENDAHULUAN

    Latar Belakang
Hadist merupakan sumber hukum islam setelah Al Qur’an. Sebgaiamana kita ketahui bahwa Hadist adalah apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW dari segi perkatannya, perbuatannya, takrirnya, baik itu sebelum diutusnya menjadi Nabi maupun sesudah diutusnya menjadi Nabi serta sifat Nabi SAW dari segi akhlak dan bentuk rupanya. Oleh Karena itu Hadits adalah pedoman hidup umat Islam setelah Al-Qur’an. Segala sesuatu yang tidak disebutkan atau dijelaskan dalam Al-Qur’an baik dari segi ketentuan hukumnya, cara mengamalkannya,dan petunjuk dalilnya, maka semua itu dijelaskan dalam hadits Rasulullah SAW. Intinya, hadits adalah penjelas dari Al-Qur;an. Al-Qur’an dan hadits adalah dua hal yang tidak dapat terpisahkan. Oleh karena itu, dapat dipahami betapa pentingnya hadits sebagai petunjuk untuk kehidupan umat Islam.
Seiring perkembangan zaman, banyak sekali pihak-pihak yang ingin memalsukan hadits. Dengan cara membuat hadits-hadits palsu. Menimbang betapa pentingnya hadits untuk kehidupan umat islam dan banyaknya hadits palsu yang sudah beredar, maka sebagai umat Islam kita harus mengetahui keaslian hadits. Untuk mendeteksi keaslian hadits, kita harus  mempelajari struktur hadits itu sendiri seperti tentang sanad, matan, perawi dan mukharij hadits beserta transformasinya.  Transformasi hadits yakni periwayatan hadits atau jalannya hadits dari perawi sampai pada rasulullah. Ini adalah cara untuk mengetahui keaslian hadits dan kedudukan hadits.
Dalam makalah ini akan di bahas mengenai Definisi Transformasi Hadist serta bentuk-bentuk transformasi hadist,  syarat-syarat perowi. Semoga dengan adanya makalah ini kita bisa lebih mengetahui secara mendalam tentang hadits beserta isinya. Amin…..




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Definisi Transformasi Hadist (Tahammul wa Adaul Hadist).
Proses transformasi hadits atau lebih mudahnya adalah proses bagaimana suatu hadits itu diriwayatkan dari satu rawi (dalam hal ini sebagai guru) ke rawi berikutnya (dalam hal ini sebagai murid) dan begitu seterusnya. Dalam transformasi hadits, Transformasi Hadist terbagi menjadi dua bentuk, yakni: Tahammul dan ‘Ada’ul Hadits.
1.      Tahammul Hadist.
Secara Bahasa atau etimologi Tahammul  berasal dari kata Bahasa arab yaitu masadar dari تحمل – يتحمل - تحملا  yaitu “mengambil atau menerima“. Adapun Tahammul secara Terminologi yaitu mengambil hadits dari salah seorang guru dengan salah satu cara tertentu dan proses mengajarkannya (meriwayatkan) hadits dari seorang guru kepada muridnya.
2.      Adaul hadist.
Secara etimologi Al ada’ (اللأداء) berasal dari kata Bahasa arab yaitu melakukan atau melaksanakan. Adapun secara Terminologi Ada’ul hadits adalah proses periwayatan suatu hadits oleh seorang guru kepada murid (rawi). Dinilai dari pengertiannya, terdapat perbedaan yang harus dipahami antara tahammul dan ada’ul hadits, yakni bahwa tahammul hadits menggunakan sedut pandang murid sebagai orang pertama, sedangkan ada’ul hadits, menggunakan sudut pandang guru sebagai subyek.[1]
B.     Bentuk-Bentuk Transformasi Hadist
Bentuk-bentuk transformasi hadist juga disebut shigat yaitu lafadh-lafadh yang digunakan oleh ahli hadits dalam meriwayatkan hadits dan menyampaikannya kepada muridnya, misalnya dengan kata : sami’tu ( سَمِعْتُ) “Aku telah mendengar”; haddatsani ( حَدَّثَنِي) “telah bercerita kepadaku”; akhbarani  ( أخبرني )telah mengabarkan kepadaku dan yang semisal dengannya. Dalam menerima hadits tidak disyaratkan seorang harus muslim dan baligh dan Inilah pendapat yang benar. Namun ketika menyampaikannya, disyaratkan harus Islam dan baligh. Maka diterima riwayat seorang muslim yang baligh dari hadits yang diterimanya sebelum masuk Islam atau sebelum baligh, dengan syarat tamyiz atau dapat membedakan (yang haq dan yang bathil). Sebagian ulama memberikan batasan minimal berumur lima tahun. Namun yang benar adalah cukup batasan tamyiz atau dapat membedakan. Jika ia dapat memahami pembicaraan dan memberikan jawaban dan pendengaran yang benar, itulah tamyiz dan mumayyiz. Jika tidak, maka haditsnya ditolak.   Jalan untuk menerima dan menyampaikan hadits ada delapan, yaitu as-sama’ atau mendengar lafadh syaikh; al-qira’ah atau membaca kepada syaikh; al-ijazah, al-munawalah, al-kitabah, al-I’lam, al-washiyyah, dan al-wijadah.[2] Adapun dari bentuk-bentuk Transformasi atau mengambil sebuah hadist sebagai berikut:
1.      Mendengar (Al Sama’).
Yaitu mendengarkan langsung dari guru. Sima’ mencakup imlak (pendekatan) dan tahdits (narasi atau memberi informasi) menurut ahli hadits. Simak merupakan shigat riwayat yang paling tinggi dan paling kuat. Seorang rawi di perbolehkan untuk mengatakan dalam periwayatannya (seorang guru meriwayatkan hadits ini kepada kami).
Gambarannya : Seorang guru membaca dan murid mendengarkan; baik guru membaca dari hafalannya atau tulisannya, dan baik murid mendengar dan menulis apa yang didengarnya, atau mendengar saja dan tidak menulis. Menurut jumhur ulama, as-sama’ ini merupakan bagian yang paling tinggi dalam pengambilan hadits.
Di dalam periwayatan yang berbentuk as-sama’, disyaratkan adanya pertemuan antar guru dan murid. Namun, pertemuan tersebut tidak harus bertemu muka. Menurut pandangan jumhur ulama, periwayatan hadits yang diterima dengan adanya tabir (penghalang) yang memisahan antara sang guru dan murid sudah dianggap sah dan tergolong periwayatan bentuk as-sama’. Syaratnya, yang didengar sang murid benar-benar suara gurunya. Periwayatan hadits dari belakang tabir pernah dicontohkan oleh Aisyah. Ketika meriwayatrkan hadits, Aisyah berada di belakang tabir, kemudian para sahabat berpedoman pada suara tersebut dalam meriwayatkan hadits-hadits Aisyah.
Lafadh-lafadh penyampaian hadits dengan cara ini adalah aku telah mendengar dan telah menceritakan kepadaku. Jika perawinya banyak : kami telah mendengar dan telah menceritakan kepada kami. Ini menunjukkan bahwasannya dia mendengar dari sang syaikh bersama yang lain. Adapun lafadh dengan bahsa arab yaitu :  سمعت, حدثني, اخبرني, ذكر لنا, قال لنا“samitu, haddatsani, akhbarani,dzakara lana, qala lana.”[3] Contohnya :
عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه قال : سمعت رسول الله صلي الله عليه وسلم يقول :لا صلاة بعد الصبح حتي تطلع الشمس ولا صلاة بعد العصر حتي تغيب الشمس. متفق عليه
“ dari Abi Sa’id al  Khudry semoga Allah meridhoinya telah berkata: saya telah mendengar Rasullulah SAW berkata : tidak sah shalat seseorang setelah waktu subuh sampai terbit matahari dan tidak sah shalat seseorang setelah waktu ashar sampai terbenam matahari. (H.R Muttafaqun Alaih)[4]

2.      Membaca (Al  Qira’ah)
Yaitu seorang murid menyuguhkan haditsnya kehadapan gurunya dalam periwayatannya, bisa seorang murid sendiri yang membacakan haditsnya pada seorang guru atau gurunya membacakan dan muridnya mendengarkan dengan baik. Seorang rawi di perbolehkan untuk mengatakan dalam periwayatannya. (aku bacakan hadits ini kepada fulan).
Bentuknya : Seorang perawi membaca hadits kepada seorang syaikh, dan syaikh mendengarkan bacaannya untuk meneliti, baik perawi yang membaca atau orang lain yang membaca sedang syaikh mendengarkan, dan baik bacaan dari hafalan atau dari buku, atau baik syaikh mengikuti pembaca dari hafalannya atau memegang kitabnya sendiri atau memegang kitab orang lain yang tsiqah. Mereka (para ulama) berselisih pendapat tentang membaca kepada syaikh; apakah dia setingkat dengan as-sama’, atau lebih rendah darinya. Yang benar adalah lebih rendah dari as-sama’. Ketika menyampaikan hadits atau riwayat yang dibaca si perawi menggunakan lafadh-lafadh :  قرئت علي فلان“qaratu ala fulanin”atau “qaraa ala fulanin wa ana asma’,حدثنا “haddasana”  اخبرنا akhbarana”[5] aku telah membaca kepada fulan atau telah dibacakan kepadanya dan aku mendengar orang membaca dan ia menyetujuinya. Lafadh as-sama’ berikutnya adalah yang terikat dengan lafadh qira’ah seperti :    حدثننا قرءة علي“haddatsana qira’atan ‘alaih” (ia menyampaikan kepada kami melalui bacaan orang kepadanya). Namun yang umum menurut ahli hadits adalah dengan menggunakan lafadh akhbarana saja tanpa tambahan yang lain. Contoh :
حدثنا قتيبة بن سعي حدثنا عبد العزيز الدرواردى عن العلاء عن ابيه عن ابى هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: الد نيا سجن المؤمن وجنة الكافر. رواه مسلم
3.      Ijazah (Al Ijazah)
Ijazah menurut bahasa yaitu memberikan izin dari seseorang kepada orang lain. Sedangkan menurut istilah ahli hadits ijazah adalah pemberian izin oleh seorang guru kepada muridnya untuk meriwayatkan sebuah hadits tanpa membaca hadits tersebut satu persatu. Ijazah ini dapat dilakukan dengan cara lisan bisa juga dengan cara tertulis.  حدثنا اجارتنى“haddatsana ijaratana”. yaitu : “aku berikan ijazah (lisensi) padamu untuk meriwayatkan seluruh hadits yang terdapat dalam kitab shahih Al Bukhari”
Gambarannya : Seorang syaikh mengatakan kepada salah seorang muridnya : Aku ijinkan kepadamu untuk meriwayatkan hadits dariku demikian. Di antara macam-macam ijazah adalah :
a.       Syaikh mengijazahkan sesuatu yang tertentu kepada seorang yang tertentu. Misalnya dia berkata,“Aku ijazahkan kepadamu Shahih Bukhari”.
b.      Syaikh mengijazahkan kepada siapa saja (tanpa menentukan) dan  juga tidak menentukan apa yang diijazahkan, seperti mengatakan,“Aku ijazahkan semua riwayatku kepada semua orang pada zamanku”.
c.       Syaikh mengijazahkan kepada orang yang tidak diketahui atau majhul. Seperti dia mengatakan,“Aku ijazahkan kepada Muhammad bin Khalid Ad-Dimasyqi”; sedangkan di situ terdapat sejumlah orang yang mempunyai nama seperti itu.
d.      Syaikh memberikan ijazah kepada orang yang tidak hadir demi mengikutkan mereka yang hadir dalam majelis. Umpamanya dia berkata,“Aku ijazahkan riwayat ini kepada si fulan dan keturunannya”.
Para Ulama berbeda pendapat mengenai penggunaan ijazah ini sebagai cara untuk meriwayatkan hadis. Ibnu Hazm mengatakan bahwa cara meriwayatkan hadis dengan menggunakan ijazah ini dianggap bidah dan tidak diperbolehkan dan bahkan ada sebagian ulama yang menambahkan bahwa ijazah ini benar-benar diingkari. Sedangkan ulama yang memperbolehkan cara ijazah ini menetapkan syarat hendaknya sang guru benar-benar mengerti tentang apa yang diijazahkan dan naskah muridnya menyamai dengan yang lain, sehingga seolah-olah naskah tersebut adalah aslinya serta hendaknya guru yang memberi ijazah itu benar-benar ahli ilmu.[6]
4.      Memberi (Munawalah)
Al-Munawalah menurut bahasa muhadditsin adalah bahwa seorang guru menyerahkan kitab atau lembaran catatan hadis kepada muridnya agar diriwayatkan dengan sanad darinya. Ada juga yang mengetengahkan bahwa al-munawalah ialah seorang guru memberi kepada seorang murid kitab asli yang didengar dari guru memberi kepada seorang murid, kitab asli yang didengar  dari gurunya, atau sesuatu naskah yang sudah dicocockkan.[7]
Munawalah terbagi dua : “pertama”, munawalah disertai dengan ijazah, “Kedua”, munawalah yang tidak disertai ijazah. “seorang telah memberitahukan kepadaku”.
a.       Al-Munawalah yang disertai dengan ijazah. Ini tingkatannya paling tinggi di antara macam-macam ijazah secara muthlaq. Seperti jika seorang syaikh memberikan kitabnya kepada sang murid, lalu mengatakan kepadannya,“Ini riwayatku dari si fulan, maka riwayatkanlah dariku”. Kemudian buku tersebut dibiarkan bersamanya untuk dimiliki atau dipinjamkan untuk disalin. Maka diperbolehkan meriwayatkan dengan seperti ini, dan tingkatannya lebih rendah daripada as-sama’ dan al-qira’ah.
b.      Al-Munawalah yang tidak diiringi ijazah. Seperti jika seorang syaikh memberikan kitabnya kepada sang murid dengan hanya mengatakan : “Ini adalah riwayatku”. Yang seperti ini tidak boleh diriwayatkan berdasarkan pendapat yang shahih. Lafadh-lafadh yang dipakai dalam menyampaikan hadits atau riwayat yang diterima dengan jalan munawalah ini adalah jika si perawi berkata : nawalanii wa ajazanii, atau haddatsanaa munawalatan wa ijazatan, atau akhbarana munawalatan.[8]
5.      Menulis (Al Kitabah)
Yang dimaksud mukatabah adalah seorang muhadits menulis suatu suatu hadits lalu mengirimkannya kepada muridnya. Al-mukatabah yaitu seorang guru menulis dengan tangannya sendiri atau meminta orang lain menulis darinya sebagian hadisnya untuk seorang murid yang berada ditempat lain lalu guru itu mengirimkannya kepada sang murid bersama orang yang bisa dipercaya.[9] Al-Mukatabah ada dua macam, yakni:
a.       Kitabah yang disertai dengan ijazah, seperti perkataan syaikh,“Aku ijazahkan kepadamu apa yang aku tulis untukmu”, atau yang semisal dengannya. Dan riwayat dengan cara ini adalah shahih karena kedudukannya sama kuat dengan munaawalah yang disertai ijazah.
b.      Kitabah yang tidak disertai dengan ijazah, seperti syaikh menulis sebagian hadits untuk muridnya dan dikirimkan tulisan itu kepadanya, tapi tidak diperbolehkan untuk meriwayatkannya. Di sini terdapat perselisihan hukum meriwayatkannya. Sebagian tidak memperbolehkan, dan sebagian yang lain memperbolehkannya jika diketahui bahwa tulisan tersebut adalah karya syaikh itu sendiri.[10]
6.      Pemberitahuan (I’lam)
Yaitu seorang syaikh memberitahu seorang muridnya bahwa hadits ini atau kitab ini adalah riwayatnya dari si fulan, dengan tidak disertakan izin untuk meriwayatkan daripadanya. Para ulama berbeda pendapat tentang hukum meriwayatkan dengan cara al-I’lam. Sebagian membolehkan dan sebagian yang lain tidak membolehkannya. Ketika menyampaikan riwayat dengan cara ini, perawi berkata : A’lamanii syaikhi (guruku telah memberitahu kepadaku).[11]
7.      Wasiat (Al Wasiyah)
Yaitu seorang guru berwasiat, sebelum bepergian jauh atau sebelum meninggal, agar kitab riwayatnya diberikan kepada seseorang untuk meriwayatkannya. Bentuk ini merupakan bentuk tahammul yang amat langka. Ulama muta’akhkhirin menghitungnya dalam jajaran metode tahamul dengan dasar riwayat dari sebagian ulama salaf tentang wasiat-wasiat mereka sebelum mereka wafat. Sebagian mereka yang memeperbolehkan periwayatan tahammul dengan metode wasiat memberikan alasan, bahwa memberikan kitab-kitab kepada yang diwasiati mengandung satu jenis izin dan hampir sama dengan aradh dan munawalah bahkan dekat dengan jenis I’lam.[12]
Akan Tetapi, Ibnu al-Shalah tidak sependapat tentang hal ini. Beliau menganggap ada perbedaan yang sangat jauh antara wasiat dan al-I’lam, dan beliau tidak membenarkan orang yang berpendapat memperoleh wasiat dalam periwayatan hadis. Ia berkata, “Pendapat ini sangat jauh. Barangkali hal ini merupakan kekeliruan seorang alim atau dapat dikatakanatau dapat dikatakan bahwa yang dikehendaki adalah periwayatan melalui jalan al-wijadah sepeerti yang akan dijelaskan kemudian.”[13]
Metode ini merupakan metode tahammul yang paling lemah. Yang diberi wasiat tidak diperbolehkan meriwayatkan dari yang mewasiatkan, menurut mayoritas ulama. Yang memperbolehkan mensyaratkan agar yang diberi wasiat ketika menyampaikan riwayat menyertakan secara utuh ungkapan yang dikemukakan oleh yang mewasiatkan.
8.      Penentuan (Al – Wijadah)
Yaitu memperoleh tulisan hadits orang lain yang tidak diriwayatkan. Cara ini biasanya dilakukan murid dengan cara seorang murid menemukan buku hadits orang lain tanpa rekomendasi perizinan untuk meriwayatkan di bawah bimbingan dan kewenangan seseorang. “saya telah membaca kitab seseorang”.
Seorang perawi mendapat hadits atau kitab dengan tulisan seorang syaikh dan ia mengenal syaikh itu, sedang hadits-haditsnya tidak pernah didengarkan ataupun ditulis oleh si perawi. Wijadah ini termasuk hadits munqathi’, karena si perawi tidak menerima sendiri dari orang yang menulisnya. Dalam menyampaikan hadits atau kitab yang didapati dengan jalan wijadah ini,  perawi berkata,وجدت بخط فلان  Wajadtu bi kaththi fulaanin” (aku mendapat buku ini dengan tulisan si fulan), atau “qara’tu bi khththi fulaanin” (aku telah membaca buku ini dengan tulisan si fulan); kemudian menyebutkan sanad dan matannya.
Oleh Karena Dari delapan model dan cara  transmisi hadits yang telah dijelaskan di atas, yang dijadikan kesepakatan sebagai model transmisi yang kuat adalah : Al-Sama, Al-Qira’ah dan Al Mukatabah. Tiga metode ini dianggap efektif. Selebihnya diperselisihkan. Perbedaan dalam menanggapi model periwayatan ini terjadi  disebabkan karena mereka sangat berhati-hati dalam meriwayatkan hadits.
C.    Syarat-Syarat Perawi Dalam Meriwayatkan Hadist.
Rawi menurut bahasa adalah orang yang meriwayatkan hadits atau memberitakan hadits. Secara istilah Rawi adalah seorang yang menyampaikan atau menuliskan dalam sebuah kitab apa yang diterimanya dari seorang guru. Atau lebih singkatnya adalah orang yang meriwayatkan atau memberitakan Hadits. Sebagai contoh perawi yang sangat terkenal adalah Imam Bukhari. Imam Bukhari ini adalah seorang rawi yang terakhir dalam periwayatan sebuah hadist, yang mana dia mengambil langsung hadist dari guru-gurunya secara Al-Sama, Al-Qira’ah dan Al Mukatabah dan sebagainya.
Kemudia adapun syarat-syarat dalam periwayatan hadist adalah sebagai berikut:
1.      Adl dan Jarh
Adl menurut pendapat ulama ialah suatu tenaga jiwa (malakah) yang mendorong kita tetap berlaku taqwa dan memelihara muruah. Orang yang seperti  ini dinamakan adil. Muruah ialah membersihkan dari segala macam perangai yang kurang baik seperti buang air besar ditengah jalan. Menurut ulama hadits adl ialah:
والتعديل هو تزكية الراوي و الحكم عليه بانه عدل او ضا بط               
“Menilai bersih terhadap seorang rawi dan menghukumiya bahwa ia adil dan dhabit”.
Sedangkan jarh menurut bahasa ialah melukakan badan yang karenanya mengeluarkan darah (Hasbi, 1981: 2004). Menurut istilah ialah mencela perawi dan menolak riwayatnya. Menurut istilah ilmu hadis jarh adalah:
"Tampak suatu sifat pada perawi yang merusakkan keadilannya, hafalannya, karena gugurlah riwayatnya atau dipandang lemah." (Ajaj al-Khatib, 1986:260). Sebagian ulama hadits mengatakan:
الجرح عند المحدثين الطعن فى راوى الحديث بما يسلب او يخل بعدا لته او ضبطه                 
“Menunjukkan sifat-sifat cela rawi sehingga mengangkat atau mencacatkan adil dan kedhabitannya”.

Sehingga sifat-sifat yang menggugurkan keadilan perawi ada lima:
a.       Dusta
b.      Tertuduh dusta
c.       Fusuq (melanggar perintah)
d.      Jahalah atau tidak terkenal
e.       Menganut bidah
Oleh Karena itu Seorang rawi yang adil harus memiliki karakteristik moral baik, muslim, telah baligh, berakal sehat, yang bebas dari setiap kefasikan dan dari hal-hal yang dapat merusak kepribadian. dan hal – hal yang menyebabkan harga dirinya jatuh dan ia meriwayatkan hadits dalam keadaan sadar. Maka dari itu rawi di tuntut mengetahui atau menguasai isi kitabnya.[14]
2.      Memiliki Pengetahuan Bahasa Arab
Seorang rawi harus benar-benar memiliki pengetahuan bahasa arab yang mendalam, diantaranya, perawi harus seorang ahli ilmu nahwu, sharaf dan ilmu bahasa, mengerti konotasi lapadz dan maksudnya, memahami perbedaan – perbedaan dan mampu menyampaikan hadits dengan tepat. Sihingga Menurut periwayatan hadits dengan cara bi al makna (Makna) di perbolehkan apabila lapdz – lapadz hadits tersebut lupa. Periwayatan itu tidak merusak maksud, sehingga terpelihara dari kesalahan periwayatan.[15]
3.      Sanadnya harus muttasil yaitu bersambung.
Sanad yang muttasil artinya tiap-tiap perawi betul-betul mendengar dari gurunya. Guru benar-benar mendengar dari gurunya, dan gurunya benar-benar mendengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
4.      Kuat hafalannya.
Adapun yang dimaksudkan dengan kuat ingatan/ kokoh ingatan ialah sempurna ingatannya sejak ia menerima haditsnya itu dan dapat meriwayatkannya setiap saat. Kekohan ingatan (kekuatan ingatan) perawi itu,dibagi dua:
a.       Kuat ingatannya karena kitabnya terpeihara. Ini dinamakan dinamakan dhabith al-kitab.
b.      Kuat hafalan dan pemahamannya. Ini dinamakan dhabith ash-shadari.
5.      Tidak bertentangan dengan perawi yang lebih baik dan lebih dapat dipercaya.
6.      Tidak berillat, yakni tidak memiliki sifat yang membuat haditsnya tidak diterima.
Adapun nama-nama perawi yang dikenal maupun yang tidak dikenal adalah  Imam Bukhari, Imam Muslim, Tirmidzi, Nasai, Ibnu Majah, Abu Dawud, dan Imam Ahmad. Al-Khathib al-Baghdady dalam kitab al-Kifiyah mengatakan orang yang majhul menurut ahli hadits ialah orang yang tidak dikenal mencari hadis dan tidak pula dikenal oleh sebagian besar ulama dan hanya diterima dari seorang perawi saja, seperti Amar Darinur, Jabbar at-Thai, Abdullah ibn Awaj al-Hamdani dan Sais ibn Haddan.
          

         
  
BAB III 

PENUTUPAN

A.    Kesimpulan
1.      Proses transformasi hadits atau lebih mudahnya adalah proses bagaimana suatu hadits itu diriwayatkan dari satu rawi (dalam hal ini sebagai guru) ke rawi berikutnya (dalam hal ini sebagai murid) dan begitu seterusnya.
2.      Tahammul yaitu mengambil hadits dari salah seorang guru dengan salah satu cara tertentu dan proses mengajarkannya (meriwayatkan) hadits dari seorang guru kepada muridnya.
3.      Ada’ul hadits adalah proses periwayatan suatu hadits oleh seorang guru kepada murid (rawi).
4.      Adapun transformasi hadits dari seorang guru kepada muridnya ada 8 metode, yaitu:  Mendengar (Al Sama’), Membaca (Al  Qira’ah), Ijazah (Al Ijazah), Memberi (Munawalah),  Menulis (Al Kitabah), Pemberitahuan (I’lam), Wasiat (Al Wasiyah),  Penentuan (Al – Wijadah).
5.      Rawi adalah seorang yang menyampaikan atau menuliskan dalam sebuah kitab apa yang diterimanya dari seorang guru.
6.      syarat yang harus dimiliki oleh seorang perawi, yaitu:
a.      Adl dan Jarh
b.      Memiliki Pengetahuan Bahasa Arab
c.       Sanadnya harus muttasil (bersambung)
d.      Kuat hafalannya
e.       Tidak bertentangan dengan perawi yang lebih baik dan lebih dapat dipercaya.
f.       Tidak berillat, yakni tidak memiliki sifat yang membuat haditsnya tidak diterima.

B.     Saran
Penulis menyadari akan kekurangan dan kekhilafan dalam penulisan makalah ini. Untuk itu kritik dan saran dari pembaca sangat diperlukan.


DAFTAR PUSTAKA

Ajaj Al Khatib, Muhammad, Ushul Al-hadits Pokok-pokok ilmu Hadits.( Jakarta.: Gaya Media Pratama, 2007).
Al Astqalani, Imam Hajar, Bulughul Maram Min Adillatil Ahkam, (Kairo: Darul Itba’ 2014),
As-Suyuti, Jalaluddin, Tadribu Ar-Rawi, (Bairut: Darul Hazm, 2009).
Hasbi As-Shiddieqy, Muhammad, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang : Pustaka Rizki Putra 2009).
Ismail, M. Syuhudi, Kaidah Kesahihan Sanad Hadits (Jakarta, Bulan Bintang, 1988)
Nuruddin ‘Ulum Al-hadits 1.( Bandung: PT Remaja Rosdakarya, . 1995).
Shaleh, Subhi, Ulumul Hadits wa Musthalahu. ( Beirut: Dar al-Ilmi lil-Malayani 1997).
Sohari, M.M.,M.H, Ulumul Hadits.( Bogor:  Ghalia Indonesia, 2010.).
Suparta, Munzier, lmu Hadis. (Jakarta:. PT Raja Grafindo Persada, 2010),
Yusuf, Saefullah dan Sumarna Cecep, Pengantar Studi Hadits, (Bandung, Pustaka Bani Quraisy,2001)




[2] Saefullah Yusuf dan Sumarna Cecep, Pengantar Studi Hadits, (Bandung, Pustaka Bani Quraisy,2001) halaman 191
[3] Subhi Shaleh, Ulumul Hadits wa Musthalahu. ( Beirut: Dar al-Ilmi lil-Malayani 1997). Hal. 86
[4] Imam Hajar Al Astqalani, Bulughul Maram Min Adillatil Ahkam, (Kairo: Darul Itba’ 2014), Hal 59
[5] M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadits (Jakarta, Bulan Bintang, 1988) hal 59-60
[6] Dr. Munzier Suparta, lmu Hadis. (Jakarta:. PT Raja Grafindo Persada, 2010), hal 200
[7] Drs. Sohari, M.M.,M.H, Ulumul Hadits.( Bogor:  Ghalia Indonesia, 2010.), hal 179-180.
[8] Dr. Munzier Suparta, lmu Hadis. Hal. 202
[9] Dr. Muhammad Ajaj Al Khatib. Ushul Al-hadits Pokok-pokok ilmu Hadits.( Jakarta.: Gaya Media Pratama, 2007), hal 208.
[10] Dr. Muhammad Ajaj Al Khatib. Ushul Al-hadits Pokok-pokok ilmu Hadits. Hal 209.
[11] Dr. Munzier Suparta, lmu Hadis. Hal. 203
[12] Dr. Muhammad Ajaj Al Khatib. Ushul Al-hadits Pokok-pokok ilmu Hadits. Hal 210
[13] Nuruddin ‘Ulum Al-hadits 1.( Bandung: PT Remaja Rosdakarya, . 1995). Hal 204
[14] Jalaluddin As-Suyuti, Tadribu Ar-Rawi, (Bairut: Darul Hazm, 2009), hal 182
[15]  Muhammad Hasbi As-Shiddieqy, . Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits (Semarang : Pustaka Rizki Putra 2009), hal 13-14

Tidak ada komentar:

Posting Komentar