MAKALAH
Oleh:
AHMAD MUNTAZAR
PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER HUKUM ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2017
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hadist
merupakan sumber hukum islam setelah Al Qur’an. Sebgaiamana kita ketahui bahwa
Hadist adalah apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW dari segi
perkatannya, perbuatannya, takrirnya, baik itu sebelum diutusnya menjadi Nabi
maupun sesudah diutusnya menjadi Nabi serta sifat Nabi SAW dari segi akhlak dan
bentuk rupanya. Oleh Karena itu Hadits adalah pedoman hidup umat Islam setelah
Al-Qur’an. Segala sesuatu yang tidak disebutkan atau dijelaskan dalam Al-Qur’an
baik dari segi ketentuan hukumnya, cara mengamalkannya,dan petunjuk dalilnya,
maka semua itu dijelaskan dalam hadits Rasulullah SAW. Intinya, hadits adalah
penjelas dari Al-Qur;an. Al-Qur’an dan hadits adalah dua hal yang tidak dapat
terpisahkan. Oleh karena itu, dapat dipahami betapa pentingnya hadits sebagai
petunjuk untuk kehidupan umat Islam.
Seiring
perkembangan zaman, banyak sekali pihak-pihak yang ingin memalsukan hadits.
Dengan cara membuat hadits-hadits palsu. Menimbang betapa pentingnya hadits
untuk kehidupan umat islam dan banyaknya hadits palsu yang sudah beredar, maka
sebagai umat Islam kita harus mengetahui keaslian hadits. Untuk mendeteksi
keaslian hadits, kita harus mempelajari
struktur hadits itu sendiri seperti tentang sanad, matan, perawi dan mukharij
hadits beserta transformasinya.
Transformasi hadits yakni periwayatan hadits atau jalannya hadits dari
perawi sampai pada rasulullah. Ini adalah cara untuk mengetahui keaslian hadits
dan kedudukan hadits.
Dalam makalah ini akan di bahas
mengenai Definisi Transformasi Hadist serta bentuk-bentuk transformasi
hadist, syarat-syarat perowi. Semoga
dengan adanya makalah ini kita bisa lebih mengetahui secara mendalam tentang
hadits beserta isinya. Amin…..
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Transformasi Hadist (Tahammul wa Adaul Hadist).
Proses transformasi hadits atau
lebih mudahnya adalah proses bagaimana suatu hadits itu diriwayatkan dari satu
rawi (dalam hal ini sebagai guru) ke rawi berikutnya (dalam hal ini sebagai
murid) dan begitu seterusnya. Dalam transformasi hadits, Transformasi Hadist
terbagi menjadi dua bentuk, yakni: Tahammul dan ‘Ada’ul Hadits.
1.
Tahammul
Hadist.
Secara Bahasa atau etimologi Tahammul berasal dari kata Bahasa arab yaitu masadar dari تحمل – يتحمل - تحملا yaitu “mengambil atau menerima“.
Adapun Tahammul secara Terminologi yaitu mengambil hadits dari salah seorang guru dengan salah
satu cara tertentu dan proses mengajarkannya (meriwayatkan) hadits dari seorang
guru kepada muridnya.
2.
Adaul
hadist.
Secara etimologi Al ada’ (اللأداء)
berasal dari kata Bahasa arab yaitu melakukan atau melaksanakan. Adapun secara
Terminologi Ada’ul hadits adalah proses periwayatan suatu hadits oleh seorang
guru kepada murid (rawi). Dinilai dari pengertiannya, terdapat perbedaan yang
harus dipahami antara tahammul dan ada’ul hadits, yakni bahwa tahammul hadits
menggunakan sedut pandang murid sebagai orang pertama, sedangkan ada’ul hadits,
menggunakan sudut pandang guru sebagai subyek.[1]
B.
Bentuk-Bentuk Transformasi Hadist
Bentuk-bentuk transformasi hadist
juga disebut shigat yaitu lafadh-lafadh yang digunakan oleh ahli hadits dalam meriwayatkan hadits
dan menyampaikannya kepada muridnya, misalnya dengan kata : sami’tu ( سَمِعْتُ)
“Aku telah mendengar”; haddatsani ( حَدَّثَنِي)
“telah bercerita kepadaku”; akhbarani ( أخبرني )telah mengabarkan
kepadaku dan yang semisal
dengannya. Dalam menerima hadits tidak
disyaratkan seorang harus muslim dan baligh dan Inilah pendapat yang benar.
Namun ketika menyampaikannya, disyaratkan harus Islam dan baligh. Maka diterima
riwayat seorang muslim yang baligh dari hadits yang diterimanya sebelum masuk
Islam atau sebelum baligh, dengan syarat tamyiz atau dapat membedakan (yang haq
dan yang bathil). Sebagian ulama memberikan batasan minimal berumur lima tahun.
Namun yang benar adalah cukup batasan tamyiz atau dapat membedakan. Jika ia
dapat memahami pembicaraan dan memberikan jawaban dan pendengaran yang benar,
itulah tamyiz dan mumayyiz. Jika tidak, maka haditsnya ditolak. Jalan untuk menerima dan menyampaikan hadits
ada delapan, yaitu as-sama’ atau mendengar lafadh syaikh; al-qira’ah atau
membaca kepada syaikh; al-ijazah, al-munawalah, al-kitabah, al-I’lam,
al-washiyyah, dan al-wijadah.[2]
Adapun dari bentuk-bentuk Transformasi atau mengambil sebuah hadist sebagai
berikut:
1.
Mendengar
(Al Sama’).
Yaitu mendengarkan langsung dari guru. Sima’
mencakup imlak (pendekatan) dan tahdits (narasi atau memberi informasi) menurut
ahli hadits. Simak merupakan shigat riwayat yang paling tinggi dan paling kuat.
Seorang rawi di perbolehkan untuk mengatakan dalam periwayatannya (seorang guru
meriwayatkan hadits ini kepada kami).
Gambarannya : Seorang guru membaca dan murid
mendengarkan; baik guru membaca dari hafalannya atau tulisannya, dan baik murid
mendengar dan menulis apa yang didengarnya, atau mendengar saja dan tidak
menulis. Menurut jumhur ulama, as-sama’ ini merupakan bagian yang paling tinggi
dalam pengambilan hadits.
Di dalam periwayatan yang berbentuk as-sama’,
disyaratkan adanya pertemuan antar guru dan murid. Namun, pertemuan tersebut
tidak harus bertemu muka. Menurut pandangan jumhur ulama, periwayatan hadits
yang diterima dengan adanya tabir (penghalang) yang memisahan antara sang guru
dan murid sudah dianggap sah dan tergolong periwayatan bentuk as-sama’.
Syaratnya, yang didengar sang murid benar-benar suara gurunya. Periwayatan
hadits dari belakang tabir pernah dicontohkan oleh Aisyah. Ketika meriwayatrkan
hadits, Aisyah berada di belakang tabir, kemudian para sahabat berpedoman pada
suara tersebut dalam meriwayatkan hadits-hadits Aisyah.
Lafadh-lafadh penyampaian hadits dengan cara
ini adalah aku telah mendengar dan telah menceritakan kepadaku. Jika perawinya
banyak : kami telah mendengar dan telah menceritakan kepada kami. Ini
menunjukkan bahwasannya dia mendengar dari sang syaikh bersama yang lain. Adapun lafadh dengan bahsa arab yaitu : سمعت, حدثني, اخبرني, ذكر
لنا, قال لنا“sami’tu, haddatsani,
akhbarani,dzakara lana, qala lana.”[3]
Contohnya :
عن أبي سعيد
الخدري رضي الله عنه قال : سمعت رسول الله صلي الله عليه وسلم يقول :لا صلاة بعد
الصبح حتي تطلع الشمس ولا صلاة بعد العصر حتي تغيب الشمس. متفق عليه
“ dari Abi Sa’id al Khudry semoga Allah meridhoinya telah berkata:
saya telah mendengar Rasullulah SAW berkata : tidak sah shalat seseorang
setelah waktu subuh sampai terbit matahari dan tidak sah shalat seseorang
setelah waktu ashar sampai terbenam matahari. (H.R Muttafaqun Alaih)[4]
2.
Membaca (Al Qira’ah)
Yaitu seorang murid menyuguhkan haditsnya kehadapan gurunya dalam
periwayatannya, bisa seorang murid sendiri yang membacakan haditsnya pada
seorang guru atau gurunya membacakan dan muridnya mendengarkan dengan baik. Seorang rawi di
perbolehkan untuk mengatakan dalam periwayatannya. (aku bacakan hadits ini
kepada fulan).
Bentuknya : Seorang perawi membaca hadits kepada seorang syaikh, dan syaikh
mendengarkan bacaannya untuk meneliti, baik perawi yang membaca atau orang lain
yang membaca sedang syaikh mendengarkan, dan baik bacaan dari hafalan atau dari
buku, atau baik syaikh mengikuti pembaca dari hafalannya atau memegang kitabnya
sendiri atau memegang kitab orang lain yang tsiqah. Mereka (para
ulama) berselisih pendapat tentang membaca kepada syaikh; apakah dia setingkat
dengan as-sama’, atau lebih rendah darinya. Yang benar adalah lebih rendah dari
as-sama’. Ketika menyampaikan hadits atau riwayat yang dibaca si
perawi menggunakan lafadh-lafadh : قرئت علي فلان“qaratu ala fulanin”atau “qaraa
ala fulanin wa ana asma’,حدثنا “haddasana” اخبرنا “akhbarana”[5]
aku telah
membaca kepada fulan atau telah dibacakan kepadanya dan aku mendengar orang
membaca dan ia menyetujuinya. Lafadh as-sama’ berikutnya adalah yang terikat
dengan lafadh qira’ah seperti : حدثننا قرءة علي“haddatsana qira’atan ‘alaih” (ia menyampaikan kepada kami melalui bacaan
orang kepadanya). Namun yang umum menurut ahli hadits
adalah dengan menggunakan lafadh akhbarana saja tanpa tambahan yang
lain. Contoh :
حدثنا قتيبة بن سعي حدثنا عبد العزيز الدرواردى عن العلاء عن ابيه عن
ابى هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: الد نيا سجن المؤمن وجنة
الكافر. رواه مسلم
3.
Ijazah
(Al Ijazah)
Ijazah menurut bahasa yaitu
memberikan izin dari seseorang kepada orang lain. Sedangkan menurut istilah
ahli hadits ijazah adalah pemberian izin oleh seorang guru kepada muridnya
untuk meriwayatkan sebuah hadits tanpa membaca hadits tersebut satu persatu.
Ijazah ini dapat dilakukan dengan cara lisan bisa juga dengan cara tertulis. حدثنا اجارتنى“haddatsana
ijaratana”. yaitu : “aku berikan ijazah (lisensi) padamu untuk meriwayatkan seluruh hadits yang
terdapat dalam kitab shahih Al Bukhari”
Gambarannya : Seorang syaikh mengatakan kepada salah
seorang muridnya : Aku ijinkan kepadamu untuk meriwayatkan hadits dariku demikian.
Di antara macam-macam ijazah adalah :
a.
Syaikh
mengijazahkan sesuatu yang tertentu kepada seorang yang tertentu. Misalnya dia
berkata,“Aku ijazahkan kepadamu Shahih Bukhari”.
b.
Syaikh mengijazahkan kepada siapa saja (tanpa
menentukan) dan juga
tidak menentukan apa yang diijazahkan, seperti mengatakan,“Aku ijazahkan semua
riwayatku kepada semua orang pada zamanku”.
c.
Syaikh
mengijazahkan kepada orang yang tidak diketahui atau majhul. Seperti dia
mengatakan,“Aku ijazahkan kepada Muhammad bin Khalid Ad-Dimasyqi”; sedangkan di
situ terdapat sejumlah orang yang mempunyai nama seperti itu.
d.
Syaikh
memberikan ijazah kepada orang yang tidak hadir demi mengikutkan mereka yang
hadir dalam majelis. Umpamanya dia berkata,“Aku ijazahkan riwayat ini kepada si
fulan dan keturunannya”.
Para Ulama berbeda
pendapat mengenai penggunaan ijazah ini sebagai cara untuk meriwayatkan hadis.
Ibnu Hazm mengatakan bahwa cara meriwayatkan hadis dengan menggunakan ijazah
ini dianggap bidah dan tidak diperbolehkan dan bahkan ada sebagian ulama yang
menambahkan bahwa ijazah ini benar-benar diingkari. Sedangkan ulama yang
memperbolehkan cara ijazah ini menetapkan syarat hendaknya sang guru
benar-benar mengerti tentang apa yang diijazahkan dan naskah muridnya menyamai
dengan yang lain, sehingga seolah-olah naskah tersebut adalah aslinya serta
hendaknya guru yang memberi ijazah itu benar-benar ahli ilmu.[6]
4.
Memberi
(Munawalah)
Al-Munawalah menurut bahasa muhadditsin
adalah bahwa seorang guru menyerahkan kitab atau lembaran catatan hadis kepada
muridnya agar diriwayatkan dengan sanad darinya. Ada juga yang mengetengahkan
bahwa al-munawalah ialah seorang guru memberi kepada seorang murid kitab
asli yang didengar dari guru memberi kepada seorang murid, kitab asli yang
didengar dari gurunya, atau sesuatu
naskah yang sudah dicocockkan.[7]
Munawalah terbagi dua : “pertama”, munawalah disertai dengan
ijazah, “Kedua”, munawalah yang tidak disertai ijazah. “seorang telah
memberitahukan kepadaku”.
a.
Al-Munawalah
yang disertai dengan ijazah. Ini tingkatannya paling tinggi di antara
macam-macam ijazah secara muthlaq. Seperti jika seorang syaikh memberikan
kitabnya kepada sang murid, lalu mengatakan kepadannya,“Ini riwayatku dari si
fulan, maka riwayatkanlah dariku”. Kemudian buku tersebut dibiarkan bersamanya
untuk dimiliki atau dipinjamkan untuk disalin. Maka diperbolehkan meriwayatkan
dengan seperti ini, dan tingkatannya lebih rendah daripada as-sama’ dan
al-qira’ah.
b.
Al-Munawalah
yang tidak diiringi ijazah. Seperti jika seorang syaikh memberikan kitabnya
kepada sang murid dengan hanya mengatakan : “Ini adalah riwayatku”. Yang
seperti ini tidak boleh diriwayatkan berdasarkan pendapat yang shahih.
Lafadh-lafadh yang dipakai dalam menyampaikan hadits atau riwayat yang diterima
dengan jalan munawalah ini adalah jika si perawi berkata : nawalanii wa
ajazanii, atau haddatsanaa munawalatan wa ijazatan, atau akhbarana munawalatan.[8]
5.
Menulis
(Al Kitabah)
Yang dimaksud mukatabah adalah seorang muhadits menulis suatu suatu hadits
lalu mengirimkannya kepada muridnya. Al-mukatabah yaitu seorang guru menulis
dengan tangannya sendiri atau meminta orang lain menulis darinya sebagian
hadisnya untuk seorang murid yang berada ditempat lain lalu guru itu
mengirimkannya kepada sang murid bersama orang yang bisa dipercaya.[9]
Al-Mukatabah ada dua macam, yakni:
a.
Kitabah
yang disertai dengan ijazah, seperti perkataan syaikh,“Aku ijazahkan kepadamu
apa yang aku tulis untukmu”, atau yang semisal dengannya. Dan riwayat dengan
cara ini adalah shahih karena kedudukannya sama kuat dengan munaawalah yang
disertai ijazah.
b. Kitabah yang
tidak disertai dengan ijazah, seperti syaikh menulis sebagian hadits untuk
muridnya dan dikirimkan tulisan itu kepadanya, tapi tidak diperbolehkan untuk
meriwayatkannya. Di sini terdapat perselisihan hukum meriwayatkannya. Sebagian
tidak memperbolehkan, dan sebagian yang lain memperbolehkannya jika diketahui
bahwa tulisan tersebut adalah karya syaikh itu sendiri.[10]
6.
Pemberitahuan
(I’lam)
Yaitu seorang syaikh memberitahu seorang
muridnya bahwa hadits ini atau kitab ini adalah riwayatnya dari si fulan,
dengan tidak disertakan izin untuk meriwayatkan daripadanya. Para ulama berbeda pendapat tentang hukum meriwayatkan dengan cara
al-I’lam. Sebagian membolehkan dan sebagian yang lain tidak membolehkannya.
Ketika menyampaikan riwayat dengan cara ini, perawi berkata : A’lamanii syaikhi
(guruku telah memberitahu kepadaku).[11]
7.
Wasiat
(Al Wasiyah)
Yaitu seorang guru
berwasiat, sebelum bepergian jauh atau sebelum meninggal, agar kitab riwayatnya
diberikan kepada seseorang untuk meriwayatkannya. Bentuk ini merupakan bentuk tahammul
yang amat langka. Ulama muta’akhkhirin menghitungnya dalam jajaran
metode tahamul dengan dasar riwayat dari sebagian ulama salaf tentang
wasiat-wasiat mereka sebelum mereka wafat. Sebagian mereka yang memeperbolehkan
periwayatan tahammul dengan metode wasiat memberikan alasan, bahwa memberikan
kitab-kitab kepada yang diwasiati mengandung satu jenis izin dan hampir sama
dengan aradh dan munawalah bahkan dekat dengan jenis I’lam.[12]
Akan Tetapi, Ibnu
al-Shalah tidak sependapat tentang hal ini. Beliau menganggap ada perbedaan
yang sangat jauh antara wasiat dan al-I’lam, dan beliau tidak membenarkan orang
yang berpendapat memperoleh wasiat dalam periwayatan hadis. Ia berkata,
“Pendapat ini sangat jauh. Barangkali hal ini merupakan kekeliruan seorang alim
atau dapat dikatakanatau dapat dikatakan bahwa yang dikehendaki adalah
periwayatan melalui jalan al-wijadah sepeerti yang akan dijelaskan kemudian.”[13]
Metode ini merupakan
metode tahammul yang paling lemah. Yang diberi wasiat tidak diperbolehkan
meriwayatkan dari yang mewasiatkan, menurut mayoritas ulama. Yang
memperbolehkan mensyaratkan agar yang diberi wasiat ketika menyampaikan riwayat
menyertakan secara utuh ungkapan yang dikemukakan oleh yang mewasiatkan.
8.
Penentuan
(Al – Wijadah)
Yaitu memperoleh tulisan hadits orang lain yang
tidak diriwayatkan. Cara ini biasanya dilakukan murid dengan cara seorang murid
menemukan buku hadits orang lain tanpa rekomendasi perizinan untuk meriwayatkan
di bawah bimbingan dan kewenangan seseorang. “saya telah membaca kitab
seseorang”.
Seorang perawi mendapat hadits atau kitab dengan tulisan seorang syaikh dan
ia mengenal syaikh itu, sedang hadits-haditsnya tidak pernah didengarkan
ataupun ditulis oleh si perawi. Wijadah ini termasuk hadits munqathi’, karena
si perawi tidak menerima sendiri dari orang yang menulisnya. Dalam menyampaikan hadits atau kitab yang didapati dengan jalan wijadah
ini, perawi berkata,وجدت بخط فلان “Wajadtu bi kaththi fulaanin” (aku mendapat buku
ini dengan tulisan si fulan), atau “qara’tu bi khththi fulaanin” (aku
telah membaca buku ini dengan tulisan si fulan); kemudian menyebutkan sanad dan
matannya.
Oleh
Karena Dari delapan model dan cara transmisi hadits yang telah dijelaskan
di atas, yang dijadikan kesepakatan sebagai model transmisi yang kuat adalah :
Al-Sama, Al-Qira’ah dan Al Mukatabah. Tiga metode ini dianggap efektif. Selebihnya
diperselisihkan. Perbedaan dalam menanggapi model periwayatan ini terjadi disebabkan karena mereka sangat berhati-hati
dalam meriwayatkan hadits.
C.
Syarat-Syarat Perawi Dalam Meriwayatkan Hadist.
Rawi menurut bahasa adalah orang
yang meriwayatkan hadits atau memberitakan hadits. Secara istilah Rawi adalah
seorang yang menyampaikan atau menuliskan dalam sebuah kitab apa yang
diterimanya dari seorang guru. Atau lebih singkatnya adalah orang yang
meriwayatkan atau memberitakan Hadits. Sebagai contoh perawi yang sangat
terkenal adalah Imam Bukhari. Imam Bukhari ini adalah seorang rawi yang
terakhir dalam periwayatan sebuah hadist, yang mana dia mengambil langsung
hadist dari guru-gurunya secara Al-Sama, Al-Qira’ah dan Al Mukatabah dan
sebagainya.
Kemudia adapun syarat-syarat dalam
periwayatan hadist adalah sebagai berikut:
1.
‘Adl dan Jarh
‘Adl menurut
pendapat ulama ialah suatu tenaga jiwa (malakah) yang mendorong kita tetap
berlaku taqwa dan memelihara muru’ah. Orang yang seperti ini dinamakan adil. Muru’ah
ialah membersihkan dari segala macam perangai yang kurang baik seperti buang
air besar ditengah jalan. Menurut ulama hadits’
adl ialah:
والتعديل هو تزكية الراوي و
الحكم عليه بانه عدل او ضا بط
“Menilai bersih terhadap
seorang rawi dan menghukumiya bahwa ia adil dan dhabit”.
Sedangkan jarh menurut bahasa ialah melukakan badan yang karenanya mengeluarkan darah (Hasbi, 1981: 2004). Menurut
istilah ialah mencela perawi dan menolak riwayatnya. Menurut istilah ilmu hadis jarh adalah:
"Tampak suatu sifat pada perawi yang merusakkan keadilannya, hafalannya,
karena gugurlah riwayatnya atau dipandang lemah." (Ajaj
al-Khatib, 1986:260). Sebagian ulama hadits mengatakan:
الجرح عند المحدثين الطعن فى راوى الحديث بما يسلب او يخل بعدا لته او
ضبطه
“Menunjukkan sifat-sifat cela rawi sehingga mengangkat atau mencacatkan
adil dan kedhabitannya”.
Sehingga
sifat-sifat yang menggugurkan keadilan perawi ada lima:
a.
Dusta
b.
Tertuduh dusta
c.
Fusuq (melanggar perintah)
d.
Jahalah atau tidak terkenal
e.
Menganut bid’ah
Oleh Karena itu Seorang rawi yang adil harus memiliki
karakteristik moral baik, muslim, telah baligh, berakal sehat, yang bebas dari
setiap kefasikan dan dari hal-hal yang dapat merusak kepribadian. dan hal – hal
yang menyebabkan harga dirinya jatuh dan ia meriwayatkan hadits dalam keadaan
sadar. Maka dari itu rawi di tuntut mengetahui atau
menguasai isi kitabnya.[14]
2.
Memiliki Pengetahuan Bahasa Arab
Seorang rawi harus benar-benar memiliki pengetahuan bahasa arab yang
mendalam, diantaranya, perawi harus seorang ahli ilmu nahwu, sharaf dan ilmu
bahasa, mengerti konotasi lapadz dan maksudnya, memahami perbedaan – perbedaan
dan mampu menyampaikan hadits dengan tepat. Sihingga Menurut periwayatan hadits dengan cara bi al makna (Makna) di perbolehkan
apabila lapdz – lapadz hadits tersebut lupa. Periwayatan itu tidak merusak maksud, sehingga
terpelihara dari kesalahan periwayatan.[15]
3.
Sanadnya harus muttasil yaitu bersambung.
Sanad yang muttasil artinya tiap-tiap perawi betul-betul mendengar dari gurunya. Guru
benar-benar mendengar dari gurunya, dan gurunya benar-benar mendengar dari
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
4.
Kuat hafalannya.
Adapun yang dimaksudkan dengan kuat ingatan/ kokoh ingatan ialah sempurna
ingatannya sejak ia menerima haditsnya itu dan dapat meriwayatkannya setiap
saat. Kekohan ingatan (kekuatan ingatan) perawi itu,dibagi dua:
a.
Kuat ingatannya karena kitabnya terpeihara. Ini
dinamakan dinamakan dhabith al-kitab.
b.
Kuat hafalan dan pemahamannya. Ini dinamakan
dhabith ash-shadari.
5.
Tidak bertentangan dengan perawi yang lebih
baik dan lebih dapat dipercaya.
6.
Tidak
berillat, yakni tidak memiliki sifat yang membuat haditsnya tidak diterima.
Adapun nama-nama perawi yang dikenal maupun yang
tidak dikenal adalah Imam Bukhari, Imam
Muslim, Tirmidzi, Nasai, Ibnu Majah, Abu Dawud, dan Imam Ahmad. Al-Khathib al-Baghdady dalam kitab al-Kifiyah mengatakan orang yang
majhul menurut ahli hadits ialah orang yang tidak dikenal mencari hadis dan
tidak pula dikenal oleh sebagian besar ulama dan hanya diterima dari seorang
perawi saja, seperti Amar Darinur, Jabbar at-Tha’i, Abdullah ibn
Awaj al-Hamdani dan Sais ibn Haddan.
BAB III
PENUTUPAN
A.
Kesimpulan
1.
Proses
transformasi hadits atau lebih mudahnya adalah proses bagaimana suatu hadits
itu diriwayatkan dari satu rawi (dalam hal ini sebagai guru) ke rawi berikutnya
(dalam hal ini sebagai murid) dan begitu seterusnya.
2.
Tahammul
yaitu mengambil hadits dari
salah seorang guru dengan salah satu cara tertentu dan proses mengajarkannya (meriwayatkan)
hadits dari seorang guru kepada muridnya.
3.
Ada’ul
hadits adalah proses periwayatan suatu hadits oleh seorang guru kepada murid
(rawi).
4.
Adapun transformasi hadits dari seorang guru
kepada muridnya ada 8 metode, yaitu: Mendengar (Al Sama’), Membaca (Al Qira’ah), Ijazah (Al Ijazah), Memberi (Munawalah), Menulis (Al Kitabah), Pemberitahuan (I’lam), Wasiat (Al Wasiyah), Penentuan (Al –
Wijadah).
5.
Rawi
adalah seorang yang menyampaikan atau menuliskan dalam sebuah kitab apa yang
diterimanya dari seorang guru.
6.
syarat yang harus
dimiliki oleh seorang perawi, yaitu:
a.
‘Adl dan Jarh
b. Memiliki Pengetahuan
Bahasa Arab
c.
Sanadnya harus
muttasil (bersambung)
d.
Kuat hafalannya
e.
Tidak
bertentangan dengan perawi yang lebih baik dan lebih dapat dipercaya.
f.
Tidak berillat,
yakni tidak memiliki sifat yang membuat haditsnya tidak diterima.
B.
Saran
Penulis menyadari akan kekurangan dan
kekhilafan dalam penulisan makalah ini. Untuk itu kritik dan saran dari pembaca
sangat diperlukan.
DAFTAR PUSTAKA
Ajaj Al Khatib, Muhammad, Ushul
Al-hadits Pokok-pokok ilmu Hadits.( Jakarta.: Gaya Media Pratama, 2007).
Al Astqalani, Imam Hajar, Bulughul Maram Min Adillatil Ahkam,
(Kairo: Darul Itba’ 2014),
As-Suyuti, Jalaluddin, Tadribu Ar-Rawi, (Bairut: Darul Hazm,
2009).
Hasbi As-Shiddieqy, Muhammad, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits,
(Semarang : Pustaka Rizki Putra 2009).
https://rusunawablog.wordpress.com/2014/05/08/pengertian-rawi-dan-proses-transformasi-hadits/, diakses pada pukul 10.20 AM, Ahad 23 April 2017
Ismail, M. Syuhudi, Kaidah Kesahihan Sanad Hadits (Jakarta,
Bulan Bintang, 1988)
Nuruddin ‘Ulum Al-hadits 1.( Bandung:
PT Remaja Rosdakarya, . 1995).
Shaleh, Subhi, Ulumul Hadits
wa Musthalahu. ( Beirut: Dar al-Ilmi lil-Malayani
1997).
Sohari, M.M.,M.H, Ulumul Hadits.(
Bogor: Ghalia Indonesia, 2010.).
Suparta, Munzier, lmu Hadis. (Jakarta:.
PT Raja Grafindo Persada, 2010),
Yusuf, Saefullah dan Sumarna Cecep, Pengantar Studi Hadits,
(Bandung, Pustaka Bani Quraisy,2001)
[1]
https://rusunawablog.wordpress.com/2014/05/08/pengertian-rawi-dan-proses-transformasi-hadits/,
diakses pada pukul 10.20 AM, Ahad 23 April 2017
[2]
Saefullah Yusuf
dan Sumarna Cecep, Pengantar Studi Hadits, (Bandung, Pustaka Bani
Quraisy,2001) halaman 191
[4]
Imam Hajar Al Astqalani, Bulughul Maram Min Adillatil Ahkam, (Kairo:
Darul Itba’ 2014), Hal 59
[5]
M. Syuhudi
Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadits (Jakarta, Bulan Bintang, 1988) hal
59-60
[7]
Drs. Sohari, M.M.,M.H, Ulumul Hadits.(
Bogor: Ghalia Indonesia, 2010.), hal
179-180.
[9]
Dr. Muhammad Ajaj Al Khatib. Ushul
Al-hadits Pokok-pokok ilmu Hadits.( Jakarta.: Gaya Media Pratama, 2007),
hal 208.
[10]
Dr. Muhammad Ajaj Al Khatib. Ushul Al-hadits
Pokok-pokok ilmu Hadits. Hal 209.
[12]
Dr. Muhammad Ajaj Al Khatib. Ushul
Al-hadits Pokok-pokok ilmu Hadits. Hal 210
[13]
Nuruddin ‘Ulum Al-hadits 1.(
Bandung: PT Remaja Rosdakarya, . 1995). Hal 204
[14]
Jalaluddin As-Suyuti, Tadribu Ar-Rawi, (Bairut: Darul Hazm, 2009), hal 182
[15]
Muhammad Hasbi As-Shiddieqy, . Sejarah
dan Pengantar Ilmu Hadits (Semarang : Pustaka Rizki Putra 2009), hal 13-14

Tidak ada komentar:
Posting Komentar