Minggu, 03 Desember 2017

DINASTI BANI ABBASIYAH



MAKALAH






 Oleh:

AHMAD MUNTAZAR



PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER HUKUM ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2017




BAB I
PENDAHULUAN

    Latar Belakang.
       Pada masa permulaan peradaban yang benar-benar membawa perubahan yang sangat besar, yang membawakan pula obor kesejahteraan dan kemanusiaan, Muhammad SAW. Ia merupakan nabi penutup daripada nabi dan rosul, serta sebagai rahmatanlil alamin bagi umat manusia dengan Islam sebagai ajaran agama yang baru. Sehingga Ia pula patut sebagai guru utama bagi pembaruan. Setelah nabi wafat ajaran tersebut disebarluaskan oleh para sahabat, tabiin dengan memegang panji Islam yang kokoh. Sehingga pasca nabi, ajaran Islampun juga disebarluaskan diseluruh penjuru dunia.
        Dalam penyebaran syari’at islam pasca Rosulullah Muhammad SAW, terdapat beberapa babakan, yakni mulai langsung dari Khulafaur Rasyidin, yang dijalan kan oleh para sahabat dekat nabi (11-41 H) yakni dari Abu Bakar as-Shidiq, Umar bin Khatab, Ustman bin Affwan, Ali bin Abi Thalib. Serta babakan Islam pada masa klasik (keemasan) yang terdapat dua penguasa besar pada saat itu, yaitu pada masa Dinasti Umawiyah dan Dinasti Abbasiyah. Pada bahasan ini, kita akan membahas lebih luas tentang Dinasti Abbasiyah yang diusungkan dari kerabat Rasulullah, yakni keluarga Abbas.
         Kekuasaan Dinasti Bani Abassiyah berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750M) s.d. 656 H (1258 M). Dalam kurun waktu yang relatif panjang tersebut, Dinasti Bani Abbasiyah berhasil mengembangkan peradaban Islam melalui ilmu pengetahuan, sosial dan budaya. Masa keemasan ini terjadi saat perpindahan ibukota ke Baghdad sehingga di sana perkembangan ilmu pengetahuan bisa tumbuh dengan pesat.Beberapa khalifah Bani Abbasiyah juga berlatar belakang intelektual yang tinggi sehingga bisa menjadi faktor berkembangnya peradaban Islam.
Dengan situasi sudah mapan, ternyata tidak sedikit dari khalifah Bani Abbasiyah yang tergiur oleh kekuasaan.Mereka sering bertindak korupsi, berfoya – foya, serta bergaya hidup hedonisme.Sehingga tanpa di sadari, sikap seperti itu lah yang membuat kemunduruan Dinasti Bani Abbasiyah dan akhirnya runtuh.
        Dalam makalah ini akan menjelaskan bagaimana awal mula berdirinya Bani Abbasiyah, serta hal apa saja yang menjadikan berkembangnya peradaban Islam. Juga faktor – faktor yang menjadikan Bani Abbasiyah mengalami kemunduran dan akhirnya hancur.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sejarah berdirinya Bani Abbasiyah.
       Pemerintahan dinasti Abbasiyah dinisbatkan kepada Al- Abbas, paman Rasulullah, sementara Khalifah pertama dari pemerintahan ini adalah Abdullah Ash- Sahffah bin Muhammad bin Ali Bin Abdulah bin Abbas bin Abdul Muthalib.Pada tahun 132 H/750 M, oleh Abul abbas Ash- saffah,dan sekaligus sebagai khalifah pertama.Selama lima Abad dari tahun 132-656 H ( 750 M- 1258 M).
         Di antara yang mempengaruhi berdirinya khilafah bani Abbasiyah adalah terdapatnya beberapa kelompok umat yang sudah tidak mendukung kekuasaan imperium bani Umayah yang notabenenya korupsi, sekuler dan memihak sebagian kelompok diantaranya adalah kelompok Syiah dan Khawarij.[1] serta kaum Mawali yaitu orang-orang yang baru masuk islam yang mayoritas dari Persi. Mereka merasa di perlakukan tidak setara dengan kelompok Arab karena pembebanan pajak yang terlalu tinggi kelompok ini lah yang mendukung revolusi Abbasiyah.
        Oleh karena itu penyebab berdirinya Bani Abbasiyah adalah Banyaknya terjadi perselisihan antara intern bani Umayyah pada masa tereakhir masa pemerintahannya, peyebabnya ialah memperebutkan kursi kekhalifahan dan harta[2], Singkatnya masa jabatan khalifah di akhir-akhir pemerintahan Bani Umayyah, Dijadikannya putra mahkota lebih dari jumlah satu orang, Bergabungnya sebagian keluarga Umawi kepada mazhab-mazhab agama yang tidak benar menurut syariat, Pudarnya kecintaan rakyat pada akhir-akhir pemerintahan Bani Umayyah, Banyaknya pembesar-pembesar Bani Umayyah yang sombong pada akhir pemerintahannya serta timbulnya dukungan dari al-Mawali.
        Pemerintahan Daulah Abbasiyah mengalami dua masa, yaitu masa integrasi dan masa disintegrasi, secara garis besarnya terbagi kepada empat periode.
1.      Periode pertama dikenal dengan masa integrasi ditandai dengan besarnya pengaruh Persia (750-847 M) sejak Khalifah pertama Abu Abbas al-Safah (750-754 M) sampai berakhirnya pemerintahan al-Watsiq (842-847 M), yang dikenal sebagai masa kejayaan Daulah Abbasiyah.
2.      Periode kedua (sampai keempat) disebut masa disintegrasi yang ditandai dengan besarnya tekanan Turki (847-932 M) sejak khalifah al-Mutawakkil (847-861 M) sampai akhir pemerintahan al-Mustaqi (940-944 M) pada periode kedua, yang dikenal sebagai masa kemunduran Daulah Abbasiyah.
3.      Bani Buawaihi (944-1075 M) sejak khalifah al-Mustaqfi (944-946 M) sampai khalifah al-Kasim (1031-1075 M) yang ditandai dengan adanya tekanan Bani Buwaihi tehadap pemerintahan Daulah Abbasiyah pada masa kemundurannya.
4.      Turki Bani Saljuk (1075-1258 M) sejak dari khalifah Al-Muktadi (1075-1084 M) sampai khalifah terakhir khalifah al-Muktasim (1242-1258 M) yang ditandai dengan kuatnya kekuasaan Turki Saljuk dalam pemerintahan dan berakhir dengan serangan Mongol.[3]
        Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Daulah Abbasiyah yang berkuasa selama lima ratus delapan tahun dan diperintah oleh 37 khalifah telah mengalami pergeseran peran kekuasaan dari satu bangsa ke bangsa lainnya.
B.     Pemerintahan Dinasti Bani Abbasiyah pada masa Integrasi.
1.      Masa Perkembangan Pemerintahan Daulah Abbasiyah.
        Dari 37 khalifah Daulah Abbasiyah yang memerintah dunia Islam selama 5 abad, ada tiga orang khalifah yang paling berjasa membangun Daulah Abbasiyah tersebut, yaitu Abu Ja’far al-Mansur (754-775 M), Harun al-Rasyid (786-809 M), dan al-Makmun (813-833).
       Pemerintahan Daulah Abbasiyah berkembang dimulai dari khalifah kedua, yaitu Abu Ja’far al-Mansur. Dia diangkat menjadi khalifah setelah saudaranya Abu Abbas al-Safah. Beliau dikenal sebagai seorang yang gagah perkasa, keras hati, kuat
keimanan, bijaksana, cerdas, pemberani, teliti, disiplin, kuat beribadah dan sederhana.[4] Abu Ja’far digelar dengan al-Mansur, artinya: yang memperoleh pertolongan Allah Swt. karena dia selalu menang dalam menghadapi berbagai peperangan, baik ke dalam menghadapi pemberontak, maupun ke luar mengatasi serangan Byzantium. Langkah pertama yang dilakukan khalifah al-Mansur setelah diangkat menjadi khalifah adalah menciptakan stabilitas pemerintahannya. Sebab di atas pemerintahan yang stabil lah pembangunan dapat dilaksanakan. Untuk
terciptanya stabilitas tersebut beliau menghadapi pemberontakan-pemberontakan dan kerusuhan-kerusuhan, yaitu :
·         Menghadapi Pemberontakan Abdullah bin Ali dan Shaleh bin Ali serta menghadapi kekuatan Abu Muslim.
·         Menghadapi Pemberontakan Golongan Syi’ah.
       Ketika propaganda untuk menjatuhkan Daulah Umayyah dilancarkan, golongan Syi’ah ikut serta di dalamnya. Karena perjuangan mereka untuk membela keluarga Nabi, karena itu dianggap cukup tepat memperoleh peluang untuk mendapat kekuasaan. Berdasarkan hal itu, mereka beranggapan lebih pantas menjabat khalifah itu dibandingkan dengan Bani Abbas. itulah sebabnya golongan Syi’ah di bawah pimpinan Muhammad bin Abdullah mengadakan pemberontakan pada masa al-Mansur. Sehingga khalifah Al Mansur menuntaskan semua pemberontak yang menentang kekhalifahan Bani Abbasiyah.[5]
2.      Membangun Kota Baghdad
       Sebelum membangun kota Baghdad tersebut, al-Mansur telah mengadakan penelitian dengan seksama. Dia menugaskan beberapa orang ahli untuk mempelajari dan meneliti lokasi. Di dalam membangun kota itu, khalifah mempekerjakan tidak kurang dari 100.000 orang pekerja yang didatangkan dari berbagai daerah seperti Syria, Mosul, Basrah, dan Kufah. Kota Baghdad berbentuk bundar, di sekelilingnya dibangun tembok tinggi, di luar tembok digali parit besar yang berfungsi selain sebagai saluran air, sekaligus sebagai benteng pertahanan.
        Sebagaimana disebutkan bahwa kota pertama Dinasti Abbasiyah yaitu Al Hasyimiyyah yang berada di kota Damasku, kemudian khalifah Al Mansur memindahkan kota atau pusat kegiatan Bani Abbasiyah di kota Baghdad yaitu Iraq. Adapun faktor dalam pemindahan kota tersebut, antara lain:
a.       Dinasti Umayyah dan para pendukungnya bermukim di Damaskus (dekat Hasyimiyah),
b.      Basis Daulah Abbasiyah adalah orang Persia, maka Baghdad lebih dekat dengan Persia. Sementara basis kekuatan Daulah Umayyah orang Arab, sehingga memindahkan ibu kota ke Baghdad menjauhkan diri dari pendukung Daulah Abbasiyah.
c.       Damaskus dengan perbatasan negara Bizantium, maka pemindahan ke Baghdad menjauhkan diri dari agresi pasukan Bizantium juga.[6]

3.      Memajukan Ekonomi .
          Di tinjau dari segi ekonomi letak kota ini sangat menguntungkan, sebab di situ terletak sungai Tigris yang dapat menghubungkan kota dengan negara lain. Sampai ke Tiongkok untuk ekspor barang, dan dapat mendatangkan segala sesuatu yang diperlukan baik hasil lautan, maupun bahan makanan yang dihasilkan oleh Mesopotamia, Armenia, dan daerah-daerah sekitarnya sebagai bahan impor. Dengan adanya aktivitas ekspor-impor itu maka perekonomian Daulah Abbasiyah dapat berkembang. Pada waktu al-Mansur memerintah, keadaan ekonomi Daulah Abbasiyah masih morat-marit, untuk itu al-Mansur menata perekonomian pemerintahannya dengan memperkembangkan melalui pelabuhan Baghdad, karena
letak kota Baghdad di pinggir sungai Tigris, memudahkan berkembang perdagangan, impor-ekspor dapat digalakkan, pada gilirannya ekonomi semakin berkembang sehingga rakyat bisa hidup makmur.
        Adapun komoditi yang menjadi primadona pada masa itu adalah bahan pakaian atau tekstil yang menjadi konsumsi pasar asia dan eropa. Sehingga industri di bidang penenunan seperti kain, bahan-bahan sandang lainnya dan karpet berkembang pesat. Bahan-bahan utama yang digunakan dalam industri ini adalah kapas, sutra dan wol. Industri lain yang juga berkembang pesat adalah pecah belah, keramik dan parfum. Disamping itu berkembang juga industri kertas yang di bawa ke Samarkand oleh para tawanan perang Cina tahun 751 M. di Samarkan inilah produksi dan ekspor kertas dimulai. Hal ini rupanya mendorong pemerintah pada masa Harun al-Rasyid lewat wazirnya Yahya ibn Barmak mendirikan pabrik kertas pertama di Baghdad sekitar tahun 800 M.[7]
        Komoditas lain yang berorientasi komersial selain, logam, kertas, tekstil, pecah belah, hasil laut dan obat-obatan adalah budak-budak. Mereka setelah dibeli oleh tuannya dipekerjakan seperti di ladang pertanian, perkebunan dan pabrik. Namun bagi pemerintah, budak-budak direkrut sebagai anggota militer demi pertahanan negara.
4.      Mendirikan Pusat Kajian Ilmu Pengetahuan .
        Sepuluh tahun terakhir dari pemerintahan al-Mansur adalah masa aman dan damai, masa kemakmuran yang melimpah ruah sehingga seluruh perhatian telah dapat sepenuhnya dicurahkan bagi perkembangan ilmu pengetahuan, kesusasteraan dan kebudayaan. Sejak awal berdirinya, kota ini sudah menjadi pusat peradaban dan kebangkitan ilmu pengetahuan dalam Islam. al-Mansur memerintahkan penerjemahan buku-buku ilmiah dan kesusasteraan dari bahasa asing, yaitu India, Yunani Kuno, Bizantium, Persia dan Syria ke dalam bahasa Arab. Para peminat ilmu dan kesusasteraan segera berbondong-bondong datang ke kota itu.238 Dari konteks ini dapat dipahami bahwa urbanisasi merupakan suatu yang tidak dapat terelakkan.[8]
        Andil al-Mansur yang lain dalam meletakkan dasar yang kokoh bagi aktivitas pengembangan ilmu pengetahuan dengan mendirikan Departemen Study Ilmiah dan Pernterjemahan, maka aktivitas kegiatan di bidang penerjemahan sudah mulai
terlaksana pada masa khalifah al-Mansur dan mencapai puncak kejayaannya pada masa cucunya khalifah al-Makmun.
        Keberhasilan al-Mansur yang lain bagi pengokohan Daulah Abbasiyah adalah kerjasamanya yang baik dengan golongan Mawali, dalam hal ini keluarga Barmaki. Sebagai seorang Persia mereka pencinta ilmu pengetahuan dan administrator yang baik, maka al-Mansur mengangkat mereka sebagai pendukung utamanya, di antaranya diangkat sebagai Wazir (Perdana Menteri). Maka jika Daulah Abbasiyah
mencapai puncak kejayaannya pada masa khalifah al-Makmun, hal itu tidak dapat dilepaskan dari dukungan orang Persia ini.[9]
5.      Masa Kejayaan Pemerintahan dan Kemajuan Ilmu Pengetahuan
        Dengan naiknya Harun menduduki jabatan Khalifah, maka Daulah Abbasiyah memasuki era baru yang sangat gemilang. Dia adalah seorang penguasa yang paling cakap dan paling mulia di antara Daulah Abbasiyah. Dia memerintah selama 23 tahun. Pada masa puncak keemasan kota Baghdad di masa pemerintahan khalifah Harun al-Rasyid (786 – 809 M), dan anaknya al-Makmun (813 – 833 M), dari kota inilah memancar sinar kebudayaan dan peradaban Islam ke seluruh dunia. Kebesarannya tidak terbatas pada negeri Arab, tetapi meliputi seluruh negeri Islam. Baghdad ketika itu menjadi pusat peradaban dan kebudayaan yang tertinggi di dunia.
          Ada tiga keistimewaan kota ini, yaitu: pertama, prestise politik, kedua, supremasi ekonomi, ketiga, aktivitas intelektual. Tidak mengherankan jika ilmu pengetahuan dan sastra berkembang sangat pesat di wilayah ini. Banyak buku filsafat yang sebelumnya dipandang sudah “mati” dihidupkan kembali dengan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.
       Dari paparan di atas diketahui betapa indahnya kota Baghdad yang dijadikan sebagai kota intelektual, maha guru masyarakat Islam, pusat perkembangan ilmu pengetahuan yang diminati oleh para ulama dari berbagai penjuru dunia. Kota ini memancarkan sinar kebudayaan dan peradaban Islam ke seluruh penjuru dunia. Gambar kemegahan kota Baghdad dapat dilihat ketika khalifah Harun menerima duta Raja Konstantin VII untuk membicarakan soal tawaran-tawaran perang.[10]
Lembaga pendidikan pada masa Bani Abbasiyah mengalami perkembangan dan kemajuan yang sangat pesat, hal ini sangat ditentukan oleh perkembangan bahasa Arab, baik sebagai bahasa administrasi yang sudah berlaku sejak Bani Umayyah, maupun sebagai bahasa pengetahuan, selain itu juga ada dua hal yang tidak terlepas dari kemajuan ilmu pengetahuan yaitu :
a)      Terjadinya asimilasi antara bahasa Arab dengan bahasa bangsa lain yang telah lebih dulu mengalami kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan. Pada masa Bani Abbas, bangsa-bangsa non-Arab banyak yang masuk Islam. Asimilasi berlangsung secara efektif dan bernilai guna. Bangsa-bagssa itu memberi saham tertentu bagi perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam. Pengaruh Persia sangat kuat dalam bidang ilmu pengetahuan. Disamping itu, bangsa Persia banyak berjasa dalam perkembangan ilmu, filsafat, dan sastra. Pengaruh India terlihat dari bidang kedokteran, ilmu matematika, dan astronomi. Sedangkan pengaruh Yunani terlihat dari terjemahan-terjemahan di berbagai bidang ilmu, terutama Filsafat.
b)      Gerakan penerjemahan berlangsung selama tiga fase. Fase pertama, pada masa khalifah Al-Mansyur hingga Hasrun Al-Rasyid. Pada fase ini yang banyak diterjemah adalah buku-buku dibidang ilmu Astronomi dan Mantiq. Fase kedua terjadi pada masa khalifah Al-Makmun hingga tahun 300 H. Buku-buku yang banyak diterjemah adalah bidang filsafat, dan kedokteran. Dan pada fase ketiga berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan kertas. Selanjutnya bidang-biadang ilmu yang diterjemahkan semakin meluas.
         Di zaman khalifah Harun al- Rasyid (786-809 H) adalah zaman yang gemilang bagi Islam. Zaman ini kota baghdad mencapai puncak kemegahannya yang belum pernah dicapai sebelumnya, Harun sangat cinta pada sastrawan, ulama, Filosof yang datang dari segala penjuru ke Baghdad.[11]
Adapun ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa Bani Abbasiayah adalah sebagai berikut :
1)      Ilmu Kedokteran
         Pada mulanya Ilmu Kedokteran telah ada pada saat Bani Umayyah, ini terbukti dengan adannya sekolah tinggi kedokteran Yundisapur dan Harran. Dinasti Abbasiyah telah banyak melahirkan dokter terkenal diantaranya sebagai berikut:
a)      Hunain Ibnu Ishaq (804-874 M) terkenal segai dokter yang ahli dibidang mata dan penerjema buku-buku dari bahasa asing ke bahasa Arab.
b)      Ar-Razi (809-1036 M) terkenal sebagai dokter yang ahli dibidang penyakit cacar dan campak. Ia adalah kepala dokter rumah sakit di Baghdad.
c)      Ibnu Sina (980-1036 M), yang karyanya yang terkenal adalah Al-Qanun Fi At-Tibb dan dijadikan sebagai buku pedoman bagi Universitas di Eropa dan negara-negara Islam.
d)      Ibnu Rusyd (520-595 M) terkenal sebagai dokter perintis dibidang penelitian pembuluh darah dan penyakit cacar. Dll
2)      Ilmu Tafsir
         Pada masa ini muncul dua alirang yaitu ilmu tafsir Al-matsur dan Tafsir Bir ra’yi, aliran yang pertama lebih menekankan pada ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadist dan pendapat tokoh-tokoh sahabat. Sedangkan aliran tafsir yang kedua lebih menekan pada logika ( rasio ) dan Nash. Diantara ulama tafsir yang terkenal pada masa ini adalah Ibnu Jarir al-Thabari (310 H) dengan karangannya jami’ al-bayan fi tafsir Al-Qur’an, Al-Baidhawi dengan karangannya Ma’alim al-tanzil, al-Zakhsyari dengan karyanya al-kassyaf, Ar-Razi (865-925 M) dengan karangannya al-Tafsir al-Kabir, dan lain-lainnya.[12]
3)      Ilmu Hadits
           Pada masa pemerintahan khalifah Umar Bin Abdul Aziz (717-720 M) dari Bani Umayyah sudah mulai usaha untuk mengumpulkan dan membukukan Hadist. Akan tetapi perkembangan ilmu hadist yang paling menonjol pada amasa Bani Abbasiyah, sebab pada masa inilah muncul ulama-ulama hadist yang belum ada tandingannya sampai sekarang. Diantara yang terkenal ialah Imam Bukhari (W.256 H) ia telah mampu mangumpulkan sebanyak 7257 Hadist dan setelah diteliti terdapat 4000 hadist Shahih dari yang telah berhasil dikumpulkan oleh imam Bukhari yang disusun dalam kitabnya Shahih Bukhari. Imam Muslim ( W. 251 H) terkenal sebagai seorang ulama hadist dengan bukunya Shahih Muslim, buku karangan imam Bukhari dan Muslim diatas lebih berpengaruh bagi umat Islam dari pada buku-buku hadist lainnya, seperti Sunan Abu Daud oleh Abu Daud ( W.257 H) sunan Al- Turmizi oleh imam Al-Turmizi(W.287 H) Sunan Al-Nasa’i oleh Al-Nasa’i ( W.303 H) dan sunan Ibnu-Majah oleh Imam Ibnu Majah ( W.275 H) keenam buku hadist tersebut lebih dikenal dengan sebutan Al- Kutub Al-Sittah.
4)      Ilmu Tashawuf
         Dalam bidang ilmu Tashawuf juga muncul ulama-ulama yang terkenal pada masa pemerintahn Daulah Bani Abbasiyah. Imam Al-Ghazali sebagai seorang ulama sufi pada masa Daulah Bani Abbasiyah meninggalkan karyanya yang masih beredar sampai sekarang yaitu buku Ihya’ Al-Din, yang terdiri dari lima jilid. Al-Hallaj (858-922 M) menulis buku tentang Tashawuf yang berjudul Al-Thawasshin, Al-Thusi menulis buku al-lam’u fi al-Tashawuf, Al-Qusyairi (465 H) dengan bukunya al-risalat al-Qusyairiyat fi’il al-Tashawuf.
5)      Ilmu Matematika
         Terjemahan dari bahasa asing ke bahasa Arab menghasilkan karya dibidang matematika. Diantara ahli matematika islam yang terkenal adalah Al-Khawarizmi, adalah seorang pengarang kitab Al-Jabar wal Muqabalah (ilmu hitung) dan penemu angka Nol. Tokoh lainnya adalah Abu Al-Wafa Muhammad Bin Muhammad Bin Ismail Bin Al-Abbas terkenal sebagi ahli ilmu matematika.
6)      Ilmu Farmasi
        Diantara ahli farmasi pada masa Bani Abbasiyah adalah Ibnu Baithar, karyanya yang terkenal adalah Al-Mughni (berisi tentang obat-obatan), jami’ al-mufradat al-adawiyah (berisi tentang obat-obatan dan makanan bergizi).
        Dan masih banyak lagi ilmu yang berkembang pada masa Bani Abbasiyah berkuasa, hal ini terlihat bahwa saat Khalifah Al-Mustansir (1226-1242 M) memerintah ia mendirikan Universitas Mustansiriah di Baghdad yang dapat dibanggakan karena telah mampu melampaui Universitas di Eropa. Mereke mempunyai Fakultas-fakultas yang sempurna, mahaguru digaji berdasarkan banyak mahasiswa yang terdapat dalam Fakultasnya, setiap Mahasiswa dan Mahaguru mendapatkan satu dinar emas setiap bulannya, dan rata-rata setiap Fakultas tidak ada yang kurang dari 3000 Mahasiswa didalamnya.
C.    Pemerintahan Dinasti Bani Abbasiyah pada masa Disintegrasi
          Periode disintegrasi ditandai dengan menurunya kekuasaan Khalifah di bidang politik karena dilanda perpecahan. Politik sentral Khalifah telah berpindah ke daerah-daerah. Pemerintahan Daulah Abbasiyah banyak melakukan tidakan yang tidak menyenangkan rakyat yang mengakibatkan rakyat menjauhkan diri dari pemerintahan pusat dan mendirikan pemerintahan-pemerntahan kecil di daerah, akibatnya kekuasaan sentral pusat menjadi hilang peranannya kalau tidak diktakan lumpuh, maka Khalifah hanya sebagai lambang belaka. Adapun penyebab masa Disintegrasi Bani Abbasiyah antaralain:
1.      Pemberontakan Zinj (255-270 H/828-883 M)
         Orang-orang Zinj merupak sekelompok budak asal Afrika. Menimbulkan rasa takut dan ancaman terhadap pemerintahan Abbasiyah selama empat belas tahun. Dipimpin seorang Persia bernama Ali bin Muhammad yang mengaku keturunan dari Ali Zainul Abidin ibnul-Husen.  Ia membebaskan banyak budak  dan membuat kota bernama al-Mukhatarah.
           Dalam beberapa kali peperangan dia berhasil mengalahkan pasukan Abbasiyah. Menguasai beberapa kota di wilayah Bani Abbasiyah sehingga khalifah Al-Mu’tamid keluar dan memimpin langsung pasukannya. Al-Mukhatarah dikepung dan berhasil dihancurkan. Pemberontakan berakhir 270 H/883 M. Peperangan menelan korban hingga 2.500.000 menurut Ibnu Thaba Thaba al-Fajhri, dan 1.500.000 menurut Imam as-Suyuthi.[13]
2.      Gerakan Qaramithah (277-470 H/890-1077 M)
        Mereka adalah sekte keagamaan yang beraliran kebatinan. Dasar pemikirannya mengemukakan bahwa pada setiap yang zhahir itu ada sesuatu yang batin. Sehingga ayat-ayat al-Qur’an menurut meraka memiliki suatu yang lahir dan batin. Dan tidak ada seorang pun  yang mengetahui yang batin ini kecuali Imam dan keturunan Ali. Dan ini akar dari pemikiran Persia yang sesat. Pada masa gerakan ini menyerang mekkah dan madinah. Mereka masuk ke kota mekkah pada musim haji dan membantai jamaah haji secara besar-besaran. jasad korban pembantaian dimasukkan kedalam sumur Zamzam. Dan Hajar Aswad dibawa ke kota Ihsa’ selama dua puluh tahun.[14]
3.      Dominasi Negeri-Negeri Syiah.
        Masa ini memiliki ciri utama yakni dominasi kalangan syiah terhadap kawasan yang demikian luas dimana mereka telah banyak mendirikan kerajaan- kerajaan kecil. Pada masa ini dibuat pokok-pokok dan prinsip-prinsip syiah. Mereka membuat perkataan-perkataan yang dinisbatkan kepada ahli bait yang sama sekali tidak berasal darimereka. Ini terjadi karena mereka berkuasa pada saat itu, sehingga banyak peperangan yang muncul dan fitnah semakin subur diantara kalangan Sunni dan Syiah.
4.      Perebutan Kekuasaan.
      Faktor lain yang menyebabkan peran politik Bani Abbas menurun adalah perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan. Hal ini terjadi bahkan sejak masa sebelumnya. Tapi yang terjadi pada masa Bani Abbas berbeda dengan sebelumnya.
         Pada masa awal pemerintahan Bani Abbasiyah, perebutan kekuasaan sering terjadi. Namun pada masa periode kedua, para khalifah semakin tidak berdaya dalam menghadapi pemberontakan. Terlebih ketika tentara Turki berhasil merebut kekuasaan Bani Abbas, secara tidak langsung daulat Abbasiyah berada di bawah kekuasaan Bani Buwaih. Pada masa ini khalifah Abbasiyah tinggal namanya saja.
Kekuasaan ini tidak berlangsung lama, Bani Buwaih snediri hancur akibat perebutan kekuasaan akibat perebutan kekuasaan oleh ketiga anak pendiri Bani Buwaih (Izz Al-Daulah Bakhtiar dengan Adhad Al-Daulah). Dan kemudian terjadi pertentangan di dalam militer Bani Buwaih itu sendiri. Kemudian Bani Buwaih digantikan oleh Seljuk dan sebagai tanda awal periode keempat khilafah Abbasiyah. Pemimpinnya yang pertama adalah Thugrul Bek. Dinasti Seljuk menggantikan posisi Bani Buwaih. Dalam hal agama, kembali dari ajaran Syiah ke Sunni.
v  Serangan Mongolia dan Akhir Pemerintahan Bani Abbasiyah (656 H/1258 M).
      Orang-orang Mongolia adalah bangsa yang berasal dari Asia Tenggara, yang mana Mongolia ini sebuah kawasan terjauh di China. Mereka adalah manusia-manusia suka perang, haus darah, merampok, serta menyembah berhala, bintang-bintang, dan matahari.
a)      Penghancuran Baghdad dan Pembunuhan Khalifah
        Hulaku dan pasukannya menyerang Baghdad dengan pasukan yang sangat besar. Kemudian para pemimpin dan fukaha juga keluar, sehingga Baghdad kosong dari orang-orang yang mempertahankan kota, sehingga bangsa mongol membunuh khalifah dan orang-orang yang datang bersamanya. Perlu diketahui bersama bahwa perang busuk ini adalah dimainkan oleh seorang syiah Rafidha yakni Ibnu ‘Alqam, menteri al Mu’tashim yang mana dia bekerja sama dengan orang-orang Mongolia dalam menghancurkan kota Baghdad dan pemerintahan Abbasiyah pada tahun 656H/1258 M.
b)      Sebab-sebab dan faktor Hancurrnya Pemerintahan Bani Abbasiyah
Adapun Sebab-sebab kehancuran Bani Abbasiyah, antara lain :
·         Munculnya pemberontakan keagamaan, seperti pemberontakan Zinj, gerakan Qaramithah, Hasyasyiyyun, serta munculnya pemerintahan Ubaidiyah dan gerakan kebatinan.
·         Adanya dominasi militer atas khilafah dan kekuasaan mereka sehingga banyak menghinakan dan merendahkan para khilafah dan rakyat.
·         Munculnya kesenangan terhadap materi karena kemudahan hidup yang tersedia pada saat itu.
·         Mereka telah melupakan salah satu pilar terpenting dari ajaran Islam yaitu Jihad, aandaikan mereka mengarahkan potensi dan energi ummat islam untuk melawan orang-orang salib maka tidak akan muncul pemberontakan-pemberontakan yang muncul di dalam negeri.
·         Akhirnya muncul serangan orang-orang Mongolia yang mengakhiri semua perjalanan dan perjuangan pemerintahan Bani Abbasiyah.[15]
                 

       

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
        Dinasti Abbasiyah adalah pengubah peradaban dunia Islam setelah Dinasti Ummawiyah. Yakni selama lima abad, dari 750-1258 M. Dinasti ini pun berasal dari nama keluarga Bani Hasyim, yang seketurunan dengan nabi Muhammad SAW. Pada zaman Abbasiyah konsep kekhalifahan (pemerintahan) berkembang sebagai sistem politik. Pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, ekonomi dan budaya. Selama lima abad, pemerintahan ini pun ada 37 khalifah yang menjalankan amanah menjadi pemimpin muslimin. Pemerintahan Dinasti Abbasiyah dapat dibagi menjadi 2 masa, atau 2 periode, yakni periode Integrasi dan periode Disintegrasi. Yang mana periode Integrasi ini adalah periode masa kejayaan pemerintahan Bani Abbasiyah dalam bidang pemerintahan, pembangunan, Ekonomi serta Ilmu pengetahuan, sehingga ada 3 khilafah yang telah berjasa besar dalam pembentukan dan Kemajuan Bani Abbasiyah setelah Khalifah Abu Abbas al-Safah yaitu Ja’far Al Mansur, Harun Ar Rosyid Serta Al Makmun. Adapun pada masa Disintegrasi yaitu masa dimana pemerintahan Bani Abbasiyah mengalami kemunduran disebabkan banyaknya pemberontakan di dalam Negeri sehingga Khalifah kewalahan dalam menghadapi semua pemberontak tersebut. Kemudian pada masa akhir pemerintahan Bani Abbasiyah bangsa Mongol berhasil merebut kekuasaan mereka serta menghancurkan semua peradaban kota Baghdad sehingga Pemerintahan Dinasti Bani Abbasiyah hancur ditangan mereka.
B.     Saran
       Semoga pembaca bisa mengetahui Pemerintahan Dinasti Bani Abbasiyah mulai berdirinya sampai pada akhir masa pemerintahan Bani Abbasiyah, dan semoga pembaca juga diberikan ilmu yg bermanfaat dari makalah ini.
         Makalah inipun tak luput dari kesalahan dan kekurangan maupun target yang ingin dicapai. Adapun kiranya terdapat kritik, saran maupun teguran digunakan sebagai penunjang pada makalah ini. Sebelum dan sesudahnya kami ucapkan terima kasih.


DAFTAR PUSTAKA

A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan  Islam 2,( Jakarta : PT. Al Husna Zikra, 1995).
 Al Usairy, Ahmad, Sejarah Islam, (Jakarta : Akbar Media 2013).
http://majelispenulis.blogspot.co.id/2012/04/kemajuan-ekonomi-daulah-bani-abbasiyah.html?m=1, diakses pada pukul 19:11, hari sabtu, tanggal 8 April 2017.
Ibrahim Hasan, Hasan, Sejarah dan kebudayaan Islam, Jilid 3 (Yogyakarta: Kota kembang,1989).
N. Abbas, Wahid dan Suratno, Khazanah Sejarah Kebudaan Islam, (Solo: PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2009).
Nasution, Syamruddin, Sejarah Peradaban Islam, (Pekanbaru: Yayasan Pusaka Riau, 2013).
Teks Books, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jilid 1 (Ujung Pandang: IAIN Alaudin, 1981-1982).
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,1993).




[1] Prof. Dr. A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan  Islam 2,( Jakarta : PT. Al Husna Zikra, 1995) , hlm. 175.

[3] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan kebudayaan Islam, Jilid 3 (Yogyakarta: Kota kembang,1989), h.42.
[4] Teks Books, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jilid 1 (Ujung Pandang: IAIN Alaudin, 1981-1982), h. 116.
[5] Dr. Syamruddin Nasution, M.Ag, Sejarah Peradaban Islam, (Pekanbaru: Yayasan Pusaka Riau, 2013), hal. 188
[6] Dr. Syamruddin Nasution, M.Ag, Sejarah Peradaban Islam, hal. 192
[8] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,1993), hal. 278
[9] Dr. Syamruddin Nasution, M.Ag, Sejarah Peradaban Islam, hal. 194
[10] Dr. Syamruddin Nasution, M.Ag, Sejarah Peradaban Islam, hal. 197
[11] Wahid, N. Abbas dan Suratno, Khazanah Sejarah Kebudaan Islam, (Solo: PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2009), hal  55

[12] Wahid, N. Abbas dan Suratno, Khazanah Sejarah Kebudaan Islam, hal  57
[14] Ahmad al Usairy, Sejarah Islam, (Jakarta : Akbar Media 2013). Hal 252
[15] Ahmad al Usairy, Sejarah Islam, hal. 259

Tidak ada komentar:

Posting Komentar