Jumat, 03 Juli 2020

𝐊𝐀𝐈𝐃𝐀𝐇-𝐊𝐀𝐈𝐃𝐀𝐇 𝐈𝐌𝐀𝐌 𝐒𝐘𝐀𝐅𝐈'𝐈 𝐃𝐋𝐌 𝐌𝐄𝐍𝐓𝐀𝐑𝐉𝐈𝐇 𝐃𝐀𝐋𝐈𝐋 𝐘𝐀𝐍𝐆 𝐁𝐄𝐑𝐓𝐄𝐍𝐓𝐀𝐍𝐆𝐀𝐍

𝐄𝐝𝐢𝐬𝐢 9, 𝐊𝐚𝐢𝐝𝐚𝐡 𝐩𝐞𝐫𝐭𝐚𝐦𝐚:
(النص مقدم على القياس)

"𝐍𝐚𝐬𝐡 (𝐀𝐥 𝐐𝐮𝐫’𝐚𝐧 𝐝𝐚𝐧 𝐇𝐚𝐝𝐢𝐬𝐭) 𝐥𝐞𝐛𝐢𝐡 𝐝𝐢𝐝𝐚𝐡𝐮𝐥𝐮𝐤𝐚𝐧 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐩𝐚𝐝𝐚 𝐐𝐢𝐲𝐚𝐬"

  Pada tulisan sebelumnya telah dijelaskan bahwa Imam Syafi'i mempunyai 3 metode dalam menyelesaikan dalil² yang bertentangan, yaitu:

  Metode pertama: Al jam'u wa Taufik, yaitu penggabungan antara dua dalil yang bertentangan, jika hal itu memungkinkan. 

  Metode Kedua: Metode naskh (Penghapusan hukum) adalah menghapus hukum syar'i dengan dalil yang datang kemudian. 

 Metode ketiga: Metode Tarjih, yaitu mengunggulkan salah satu dalil yang bertentangan dengan cara menganalisis dari aspek sanad, matan, dilalahnya dan illahnya. Sehingga hanya mengambil dan mengamalkan salah satu dari dalil yang bertentangan tersebut. Metode ini adalah metode terakhir yang dipakai oleh Imam Syafi'i ketika metode al jam'u wa taufik (penggabungan) dan metode naskh tidak bisa dilakukan.

   Nah, Metode tarjih inilah yang akan kita bahas pada edisi kali ini, yaitu bagaimana cara mentarjih salah satu dalil ta'arudh tersebut sehingga bisa menentukan dalil yang rajih ( kuat) dan dalil marjuh (lemah) ?...

   Adapun salah satu cara menentukan dalil yang rajih dan dalil marjuh, yaitu dengan mengetahui kaidah² tarjih yang telah diijtihadkan oleh para ulama.

Kaidah pertama: Nash (Al Qur’an dan Hadist) lebih didahulukan dari pada Qiyas.

  Adapun yang dimaksud nash disini adalah nash atau dalil yang berasal dari Al Qur’an dan Sunnah. Sebagaiman yang diungkapkan oleh Imam Subki:

إن كثيرًا من متأخري الجدليين يريدون بالنص مجرد لفظ الكتاب والسنة 

“Sesungguhnya kebanyakan dari ulama mutaakhirin, mereka mengartikan bahwa nash adalah berasal dari Al Kitab dan Al Sunnah”

 Jadi, maksud dari kaidah diatas adalah bahwasanya nash dari Al Qur’an dan Sunnah lebih didahulukan dari pada Qiyas, baik itu dari segi pengklasifikasian dalil ketika tidak terjadi ta’arud maupun dari segi pentarjihan ketika terjadi ta’arud diantara dalil-dalil tersebut. Oleh sebab itu, jika terjadi perselisihan antara dalil nash dan dalil qiyas dari segala aspek dan tidak bisa digabungkan kedua dalil tersebut, maka pada kondisi hal ini, nash lebih didahulukan dari pada qiyas, sebab yang menjadi ibrah atau patokan adalah dalil nash dan bukan dalil qiyas. Dalam hal ini Imam Syafi’I mengatakan:

لا نترك الحديثَ عن رسول الله بأن يَدخُلَه من القياس ما وصفتُ ولا أكثر، ولا موضعَ للقياس مع السنة 

“Kita tidak boleh meninggalkan Hadist dari Rasulullah SAW dengan memakai qiyas yang berkenaan dengan hal itu, sebab tidak ada tempat bagi qiyas ketika ada As Sunnah” (lihat kitab Al Umm, 7/208)

Beliau juga mengatakan:

لا يحل القياس والخبر موجود 

“qiyas itu tidak halal (tidak bisa digunakan), selama Hadist masih ada”(lihat kitab Risalah, hal.597)

 Jadi jelas bahwa Imam Syafi’I lebih mendahulukan Nash (Al Qur’an dan Sunnah) dari pada Qiyas, sebab lebih kuat pendalilannya dan derajatnya dari pada Qiyas.

Contoh: Tentang hukum perwalian dalam pernikahan bagi perempuan.

  Qiyas mengatakan bahwa perwalian dalam pernikahan bagi perempuan hukumnya tidak wajib. Dasarnya yaitu menqiyaskan nikah terhadap jual beli yang tidak mesti menggunakan perwalian. Adapaun qiyas di atas menyalahi nash dari hadist Rasulullah SAW tentang wajibnya wali bagi perempuan dalam pernikahan, yaitu:

أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل فنكاحها باطل فنكاحها باطل فإن دخل بها فلها المهر بما استحل من فرجها فإن اشتجروا فالسلطان ولي من لا ولي له

“Wanita manapun yang menikah tanpa seizin walinya, maka pernikahannya bathil, pernikahannya bathil, pernikahannya bathil. Jika seseorang menggaulinya, maka wanita itu berhak mendapatkan mahar, sehingga ia dihalalkan terhadap kemaluannya. Jika mereka terlunta-lunta (tidak mempunyai wali), maka penguasa adalah wali bagi siapa (wanita) yang tidak mempunyai wali.

  Maka dalam hal ini hadist Rasulullah diatas lebih didahulukan dari pada qiyas.

Wallahu a'alam bishowab

Senin, 29 Juni 2020

𝐌𝐄𝐓𝐎𝐃𝐎𝐋𝐎𝐆𝐈 𝐈𝐌𝐀𝐌 𝐒𝐘𝐀𝐅𝐈'𝐈 𝐃𝐋𝐌 𝐌𝐄𝐍𝐘𝐄𝐋𝐄𝐒𝐀𝐈𝐊𝐀𝐍 𝐃𝐀𝐋𝐈𝐋² 𝐘𝐀𝐍𝐆 𝐁𝐄𝐑𝐓𝐄𝐍𝐓𝐀𝐍𝐆𝐀𝐍

𝐄𝐝𝐢𝐬𝐢 𝟖: 𝐂𝐚𝐫𝐚 𝐦𝐞𝐧𝐲𝐞𝐥𝐞𝐬𝐚𝐢𝐤𝐚𝐧 𝐝𝐚𝐥𝐢𝐥 𝐓𝐚’𝐚𝐫𝐮𝐝𝐡 𝐚𝐧𝐭𝐚𝐫𝐚 𝐐𝐚𝐮𝐥𝐮 𝐀𝐥 𝐒𝐚𝐡𝐚𝐛𝐚𝐡 (𝐩𝐞𝐫𝐤𝐚𝐭𝐚𝐚𝐧 𝐬𝐚𝐡𝐚𝐛𝐚𝐭) 𝐝𝐚𝐧 𝐐𝐢𝐲𝐚𝐬.

 Imam Syafi’I mengatakan bahwa, Syarat legitimasi Qaulu Al Sahabah sebagai landasan hukum, ada tiga yaitu: 

a) Bahwa qaul/perkataan tersebut benar-benar berasal dari para sahabat Rasulullah SAW. Sebagaimana Imam Syafi’I berkata:
الأثر أحق أن يتبع من القياس، فإن كان ثابتًا فهو أولى أن يؤخذ به

“al Atsar lebih berhak untuk diikuti dari pada qiyas, jika atsar tersebut tsabit, maka ia lebih didahulukan untuk diambil”

   Dan yang dimaksud dengan atsar oleh Imam Syafi’I adalah perkataan sahabat. (Lihat kitab Al Umm, 3/234)

b) Bahwa qaulu Al Sahabah tidak menyalahi qaulu Al Sahabah yang lainnya. Maka, tidak ada qaul yang dominan dari kedua qaul sahabat yang bertentangan. Sebagaimana Ibnu Taimiyyah berkta:

وإن تنازعوا (أي الصحابة)؛ رُد ما تنازعوا فيه إلى الله والرسول، ولم يكن قول بعضهم حجة مع مخالفة بعضهم له باتفاق العلماء 

“Jika mereka (sahabat nabi), saling bertentangan, maka kembalikanlah apa yang mereka pertentangkan kepada Allah dan Rasulullah, dan tidak satupun dari perkataan mereka yang dijadikan hujjah. Hal ini disepakati oleh para ulama” (Lihat Majmu Fatawa, 20/14)

c) Bahwa qaulu As Sahabah tidak menyalahi dalil yang lebih kuat, seperti al qur’an dan Sunnah. Sebagaimana Imam Syafi’I mengatakan: 

إن حكم بعض أصحاب رسول الله إن كان يخالفه أي: الخبر عن رسول الله، فعلى الناس أن يصيروا إلى الخبر عن رسول الله وأن يتركوا ما يخالفه 

“Sesungguhnya, jika hukum yang berasal dari sahabat bertentangan dan menyelisihi hadist Rasulullah, maka wajib atas manusia untuk memegang dan mengambil hadist Rasulullaj dan meninggalkan dalil yang menyalahinya” (lihat kitab Ikhtilaful Hadist, 8/591).

  Oleh sebab itu, jika dalil Qaulu As Sahaba bertentangan dengan Qiyas yang merupakan dalil aqliyyah maka Imam Syafi’I mempunyai metode dalam menyelesaikannya sebagai berikut: 

𝟏). 𝐌𝐞𝐭𝐨𝐝𝐞 𝐏𝐞𝐫𝐭𝐚𝐦𝐚: Al Jam’u wa Taaufik (kompromi), yaitu menggabungkan kedua dalil ta'arudh tersebut dengan cara Qaulu Al Sahabah mentakhsis Qiyas atau Taqyidul Muthlaq.

 Sebagaimana pada pembahasan sebelumnya bahwa, Imam Syafi’I menggunakan qaulu Al Sahabah sebagai landasan hukum, sehingga bisa mentakhsis keumuman nash (al qur’an dan hadist). Begitupun dengan qiyas, jika qaulu al Sahabah bertentangan dengan qiyas maka metode pertama yang dilakukan oleh Imam Syafi’I adalah al jam’u wa taufiq yaitu menggabungkan keduanya yaitu dengan cara qaulu as Sahabah mentakhsis dan mentaqyid qiyas. Sehingga dalam hal ini, Imam Syafi’I membolehkan qaulu Al Sahabah mentakhsis keumuman qiyas ketika keduanya saling ta’arudh.

    Sebagai contoh, yaitu masalah boleh tidaknya membunuh pendeta pada saat peperangan. qiyas mengatakan bahwa boleh membunuh pendeta pada saat peperangan, sebab pendeta tersebut sama status kekafirannya dengan orang kafir harbi. Namun qiyas di atas ditakhsis oleh perkataan Abu Bakara, r.a yang tidak membolehkan membunuh pendeta pada saat terjadi peperangan. (Lihat kitab Al Umm, 4/253)

𝟐). 𝐌𝐞𝐭𝐨𝐝𝐞 𝐊𝐞𝐝𝐮𝐚: Qaulu Al Sahabah tersebut menunjukkan untuk meninggalkan madlul Qiyas secara keseluruhan.

   Jika Qaulu Al Sahabah tersebut menunjukkan untuk meninggalkan madlul Qiyas secara keseluruhan, disebabkan al Jam’u wa taufiq tidak bisa dilakukan, maka Imam Syafi’I tidak menggunakan metode naskh akan tetapi dengan metode tarjih diantara kedua dalil yang ta’arudh, yaitu mendahulukan qaulu Al Sahabah dan meninggalkan qiyas. 

    Adapun contohnya, yaitu Usman bin Affan, r.a mengatakan bahwa ketika hari raya lebaran jatuh pada hari jum’at, maka shalat jum’at pada hari itu tidak wajib. Perkataan sahabat nabi di atas bertentangan dengan qiyas yang mewajibkan shalat jum’at pada hari lebaran. Sebab shalat jum’at di hari raya lebaran sama status dan kedudukannya dengan hari jum’at lainnya, sehingga hukumnya wajib. (Lihat kitab Al Umm, 1/274).

  Dari contoh masalah di atas, dapat disimpulkan bahwa, qaulu Al Sahabah yaitu perkataan Usman bin Affan tentang tidak wajibnya shalat jum’at di hari lebaran, lebih didahulukan dari pada qiyas yang mewajibkan shalat jumat di hari lebaran. 

Wallahu a'alam bishowab