𝐄𝐝𝐢𝐬𝐢 𝟖: 𝐂𝐚𝐫𝐚 𝐦𝐞𝐧𝐲𝐞𝐥𝐞𝐬𝐚𝐢𝐤𝐚𝐧 𝐝𝐚𝐥𝐢𝐥 𝐓𝐚’𝐚𝐫𝐮𝐝𝐡 𝐚𝐧𝐭𝐚𝐫𝐚 𝐐𝐚𝐮𝐥𝐮 𝐀𝐥 𝐒𝐚𝐡𝐚𝐛𝐚𝐡 (𝐩𝐞𝐫𝐤𝐚𝐭𝐚𝐚𝐧 𝐬𝐚𝐡𝐚𝐛𝐚𝐭) 𝐝𝐚𝐧 𝐐𝐢𝐲𝐚𝐬.
Imam Syafi’I mengatakan bahwa, Syarat legitimasi Qaulu Al Sahabah sebagai landasan hukum, ada tiga yaitu:
الأثر أحق أن يتبع من القياس، فإن كان ثابتًا فهو أولى أن يؤخذ به
“al Atsar lebih berhak untuk diikuti dari pada qiyas, jika atsar tersebut tsabit, maka ia lebih didahulukan untuk diambil”
Dan yang dimaksud dengan atsar oleh Imam Syafi’I adalah perkataan sahabat. (Lihat kitab Al Umm, 3/234)
b) Bahwa qaulu Al Sahabah tidak menyalahi qaulu Al Sahabah yang lainnya. Maka, tidak ada qaul yang dominan dari kedua qaul sahabat yang bertentangan. Sebagaimana Ibnu Taimiyyah berkta:
وإن تنازعوا (أي الصحابة)؛ رُد ما تنازعوا فيه إلى الله والرسول، ولم يكن قول بعضهم حجة مع مخالفة بعضهم له باتفاق العلماء
“Jika mereka (sahabat nabi), saling bertentangan, maka kembalikanlah apa yang mereka pertentangkan kepada Allah dan Rasulullah, dan tidak satupun dari perkataan mereka yang dijadikan hujjah. Hal ini disepakati oleh para ulama” (Lihat Majmu Fatawa, 20/14)
c) Bahwa qaulu As Sahabah tidak menyalahi dalil yang lebih kuat, seperti al qur’an dan Sunnah. Sebagaimana Imam Syafi’I mengatakan:
إن حكم بعض أصحاب رسول الله إن كان يخالفه أي: الخبر عن رسول الله، فعلى الناس أن يصيروا إلى الخبر عن رسول الله وأن يتركوا ما يخالفه
“Sesungguhnya, jika hukum yang berasal dari sahabat bertentangan dan menyelisihi hadist Rasulullah, maka wajib atas manusia untuk memegang dan mengambil hadist Rasulullaj dan meninggalkan dalil yang menyalahinya” (lihat kitab Ikhtilaful Hadist, 8/591).
Oleh sebab itu, jika dalil Qaulu As Sahaba bertentangan dengan Qiyas yang merupakan dalil aqliyyah maka Imam Syafi’I mempunyai metode dalam menyelesaikannya sebagai berikut:
𝟏). 𝐌𝐞𝐭𝐨𝐝𝐞 𝐏𝐞𝐫𝐭𝐚𝐦𝐚: Al Jam’u wa Taaufik (kompromi), yaitu menggabungkan kedua dalil ta'arudh tersebut dengan cara Qaulu Al Sahabah mentakhsis Qiyas atau Taqyidul Muthlaq.
Sebagaimana pada pembahasan sebelumnya bahwa, Imam Syafi’I menggunakan qaulu Al Sahabah sebagai landasan hukum, sehingga bisa mentakhsis keumuman nash (al qur’an dan hadist). Begitupun dengan qiyas, jika qaulu al Sahabah bertentangan dengan qiyas maka metode pertama yang dilakukan oleh Imam Syafi’I adalah al jam’u wa taufiq yaitu menggabungkan keduanya yaitu dengan cara qaulu as Sahabah mentakhsis dan mentaqyid qiyas. Sehingga dalam hal ini, Imam Syafi’I membolehkan qaulu Al Sahabah mentakhsis keumuman qiyas ketika keduanya saling ta’arudh.
Sebagai contoh, yaitu masalah boleh tidaknya membunuh pendeta pada saat peperangan. qiyas mengatakan bahwa boleh membunuh pendeta pada saat peperangan, sebab pendeta tersebut sama status kekafirannya dengan orang kafir harbi. Namun qiyas di atas ditakhsis oleh perkataan Abu Bakara, r.a yang tidak membolehkan membunuh pendeta pada saat terjadi peperangan. (Lihat kitab Al Umm, 4/253)
𝟐). 𝐌𝐞𝐭𝐨𝐝𝐞 𝐊𝐞𝐝𝐮𝐚: Qaulu Al Sahabah tersebut menunjukkan untuk meninggalkan madlul Qiyas secara keseluruhan.
Jika Qaulu Al Sahabah tersebut menunjukkan untuk meninggalkan madlul Qiyas secara keseluruhan, disebabkan al Jam’u wa taufiq tidak bisa dilakukan, maka Imam Syafi’I tidak menggunakan metode naskh akan tetapi dengan metode tarjih diantara kedua dalil yang ta’arudh, yaitu mendahulukan qaulu Al Sahabah dan meninggalkan qiyas.
Adapun contohnya, yaitu Usman bin Affan, r.a mengatakan bahwa ketika hari raya lebaran jatuh pada hari jum’at, maka shalat jum’at pada hari itu tidak wajib. Perkataan sahabat nabi di atas bertentangan dengan qiyas yang mewajibkan shalat jum’at pada hari lebaran. Sebab shalat jum’at di hari raya lebaran sama status dan kedudukannya dengan hari jum’at lainnya, sehingga hukumnya wajib. (Lihat kitab Al Umm, 1/274).
Dari contoh masalah di atas, dapat disimpulkan bahwa, qaulu Al Sahabah yaitu perkataan Usman bin Affan tentang tidak wajibnya shalat jum’at di hari lebaran, lebih didahulukan dari pada qiyas yang mewajibkan shalat jumat di hari lebaran.
Wallahu a'alam bishowab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar