(النص مقدم على القياس)
"𝐍𝐚𝐬𝐡 (𝐀𝐥 𝐐𝐮𝐫’𝐚𝐧 𝐝𝐚𝐧 𝐇𝐚𝐝𝐢𝐬𝐭) 𝐥𝐞𝐛𝐢𝐡 𝐝𝐢𝐝𝐚𝐡𝐮𝐥𝐮𝐤𝐚𝐧 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐩𝐚𝐝𝐚 𝐐𝐢𝐲𝐚𝐬"
Pada tulisan sebelumnya telah dijelaskan bahwa Imam Syafi'i mempunyai 3 metode dalam menyelesaikan dalil² yang bertentangan, yaitu:
Metode pertama: Al jam'u wa Taufik, yaitu penggabungan antara dua dalil yang bertentangan, jika hal itu memungkinkan.
Metode Kedua: Metode naskh (Penghapusan hukum) adalah menghapus hukum syar'i dengan dalil yang datang kemudian.
Metode ketiga: Metode Tarjih, yaitu mengunggulkan salah satu dalil yang bertentangan dengan cara menganalisis dari aspek sanad, matan, dilalahnya dan illahnya. Sehingga hanya mengambil dan mengamalkan salah satu dari dalil yang bertentangan tersebut. Metode ini adalah metode terakhir yang dipakai oleh Imam Syafi'i ketika metode al jam'u wa taufik (penggabungan) dan metode naskh tidak bisa dilakukan.
Nah, Metode tarjih inilah yang akan kita bahas pada edisi kali ini, yaitu bagaimana cara mentarjih salah satu dalil ta'arudh tersebut sehingga bisa menentukan dalil yang rajih ( kuat) dan dalil marjuh (lemah) ?...
Adapun salah satu cara menentukan dalil yang rajih dan dalil marjuh, yaitu dengan mengetahui kaidah² tarjih yang telah diijtihadkan oleh para ulama.
Kaidah pertama: Nash (Al Qur’an dan Hadist) lebih didahulukan dari pada Qiyas.
Adapun yang dimaksud nash disini adalah nash atau dalil yang berasal dari Al Qur’an dan Sunnah. Sebagaiman yang diungkapkan oleh Imam Subki:
إن كثيرًا من متأخري الجدليين يريدون بالنص مجرد لفظ الكتاب والسنة
“Sesungguhnya kebanyakan dari ulama mutaakhirin, mereka mengartikan bahwa nash adalah berasal dari Al Kitab dan Al Sunnah”
Jadi, maksud dari kaidah diatas adalah bahwasanya nash dari Al Qur’an dan Sunnah lebih didahulukan dari pada Qiyas, baik itu dari segi pengklasifikasian dalil ketika tidak terjadi ta’arud maupun dari segi pentarjihan ketika terjadi ta’arud diantara dalil-dalil tersebut. Oleh sebab itu, jika terjadi perselisihan antara dalil nash dan dalil qiyas dari segala aspek dan tidak bisa digabungkan kedua dalil tersebut, maka pada kondisi hal ini, nash lebih didahulukan dari pada qiyas, sebab yang menjadi ibrah atau patokan adalah dalil nash dan bukan dalil qiyas. Dalam hal ini Imam Syafi’I mengatakan:
لا نترك الحديثَ عن رسول الله بأن يَدخُلَه من القياس ما وصفتُ ولا أكثر، ولا موضعَ للقياس مع السنة
“Kita tidak boleh meninggalkan Hadist dari Rasulullah SAW dengan memakai qiyas yang berkenaan dengan hal itu, sebab tidak ada tempat bagi qiyas ketika ada As Sunnah” (lihat kitab Al Umm, 7/208)
Beliau juga mengatakan:
لا يحل القياس والخبر موجود
“qiyas itu tidak halal (tidak bisa digunakan), selama Hadist masih ada”(lihat kitab Risalah, hal.597)
Jadi jelas bahwa Imam Syafi’I lebih mendahulukan Nash (Al Qur’an dan Sunnah) dari pada Qiyas, sebab lebih kuat pendalilannya dan derajatnya dari pada Qiyas.
Contoh: Tentang hukum perwalian dalam pernikahan bagi perempuan.
Qiyas mengatakan bahwa perwalian dalam pernikahan bagi perempuan hukumnya tidak wajib. Dasarnya yaitu menqiyaskan nikah terhadap jual beli yang tidak mesti menggunakan perwalian. Adapaun qiyas di atas menyalahi nash dari hadist Rasulullah SAW tentang wajibnya wali bagi perempuan dalam pernikahan, yaitu:
أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل فنكاحها باطل فنكاحها باطل فإن دخل بها فلها المهر بما استحل من فرجها فإن اشتجروا فالسلطان ولي من لا ولي له
“Wanita manapun yang menikah tanpa seizin walinya, maka pernikahannya bathil, pernikahannya bathil, pernikahannya bathil. Jika seseorang menggaulinya, maka wanita itu berhak mendapatkan mahar, sehingga ia dihalalkan terhadap kemaluannya. Jika mereka terlunta-lunta (tidak mempunyai wali), maka penguasa adalah wali bagi siapa (wanita) yang tidak mempunyai wali.
Maka dalam hal ini hadist Rasulullah diatas lebih didahulukan dari pada qiyas.
Wallahu a'alam bishowab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar