Minggu, 05 Juli 2020

๐Š๐€๐ˆ๐ƒ๐€๐‡-๐Š๐€๐ˆ๐ƒ๐€๐‡ ๐ˆ๐Œ๐€๐Œ ๐’๐˜๐€๐…๐ˆ'๐ˆ ๐ƒ๐‹๐Œ ๐Œ๐„๐๐“๐€๐‘๐‰๐ˆ๐‡ ๐ƒ๐€๐‹๐ˆ๐‹² ๐˜๐€๐๐† ๐๐„๐‘๐“๐„๐๐“๐€๐๐†๐€๐

๐„๐๐ข๐ฌ๐ข ๐Ÿ๐ŸŽ ๐Š๐š๐ข๐๐š๐ก ๐ค๐ž ๐Ÿ:

(ุงู„ู†ุต ุงู„ู‚ุทุนูŠ ู…ู‚ุฏู… ุนู„ู‰ ุงู„ู†ุต ุงู„ุธู†ูŠ)

"๐๐š๐ฌ๐ก ๐๐ก๐š๐ญ’๐ˆ, ๐ฅ๐ž๐›๐ข๐ก ๐๐ข๐๐š๐ก๐ฎ๐ฅ๐ฎ๐ค๐š๐ง ๐๐š๐ซ๐ข ๐ฉ๐š๐๐š ๐ง๐š๐ฌ๐ก ๐ƒ๐ณ๐จ๐ง๐ง๐ข"

   Dalam Ushul Fiqih, istilah qath’i dan zhanni digunakan untuk menyatakan tingkat kekuatan suatu dalil. Kata qath’i adalah sinonim dari kata-kata dharuri, yakin, pasti, absolut, dan mutlak. Sedangkan kata zhanni adalah sinonim dari kata-kata hadari, dugaan, relatif, dan nisbi. (Lihat buku Rekonstruksi Konsep Qath’iy dan Zhanniy Menurut al-Syatibi, hlm. 10).

  Secara terminologis, Abdul Wahhab Khallaf mendefinisikan dalil qath’i sebagaimana berikut:

ู…ุง ุฏู„ ุนู„ู‰ ู…ุนู†ู‰ ู…ุชุนูŠู† ูู‡ู…ู‡ ู…ู†ู‡ ูˆู„ุง ูŠุญุชู…ู„ ุชุฃูˆูŠู„ุง ูˆู„ุง ู…ุฌุงู„ ู„ูู‡ู… ู…ุนู†ู‰ ุบูŠุฑู‡ ู…ู†ู‡ 

“Dalil yang menunjukkan kepada suatu makna tertentu yang harus dipahami dari teks (ayat al-Qur’an atau hadits), dan tidak mengandung kemungkinan ta’wil atau pengalihan dari makna asal kepada makna lain, serta tidak ada peluang untuk memahami makna selain makna yang ditunjukkan oleh teks.” (lihat kitab Ilmu Ushul Fiqhi, hal. 35)

  Contoh dari dalil yang dipahami secara qath’i, Sebagaimana firman-Nya:

ูˆَุงู„َّุฐِูŠู†َ ูŠُุชَูˆَูَّูˆْู†َ ู…ِู†ْูƒُู…ْ ูˆَูŠَุฐَุฑُูˆู†َ ุฃَุฒْูˆَุงุฌًุง ูŠَุชَุฑَุจَّุตْู†َ ุจِุฃَู†ْูُุณِู‡ِู†َّ ุฃَุฑْุจَุนَุฉَ ุฃَุดْู‡ُุฑٍ ูˆَุนَุดْุฑًุง ูَุฅِุฐَุง ุจَู„َุบْู†َ ุฃَุฌَู„َู‡ُู†َّ ูَู„َุง ุฌُู†َุงุญَ ุนَู„َูŠْูƒُู…ْ ูِูŠู…َุง ูَุนَู„ْู†َ ูِูŠ ุฃَู†ْูُุณِู‡ِู†َّ ุจِุงู„ْู…َุนْุฑُูˆูِ ูˆَุงู„ู„َّู‡ُ ุจِู…َุง ุชَุนْู…َู„ُูˆู†َ ุฎَุจِูŠุฑٌ 

Artinya:“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari (4 bulan 10 hari). Kemudian apabila telah habis 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” (QS. al Baqarah: 234).

   Ayat di atas menjelaskan bahwa ‘iddah wanita yang ditinggal wafat suaminya adalah 4 bulan 10 hari. Maka makna dari angka 4 bulan 10 hari hanya bisa dipahami secara qath’i dengan angka tersebut dan tidak ada ruang untuk memultitafsirkan angka tersebut.   

Sedangkan definisi dari dalil zhanni yaitu:

ู…ุง ุฏู„ ุนู„ู‰ ู…ุนู†ูŠ ูˆู„ูƒู† ูŠุญุชู…ู„ ุฃู† ูŠุคูˆู„ ูˆูŠุตุฑู ุนู† ู‡ุฐุง ุงู„ู…ุนู†ู‰ ูˆูŠุฑุงุฏ ู…ู†ู‡ ู…ุนู†ูŠ ุบูŠุฑู‡ 

“Dalil yang menunjukkan makna tertentu yang harus dipahami dari teks al-Qur’an dan hadits yang mengandung kemungkinan ta’wil atau pengalihan dari makna asal kepada makna lain, serta masih adanya peluang untuk memahami makna lain selain makna yang ditunjukkan oleh teks.”(lihat kitab Ilmu Ushul Fiqhi, hal. 35).

 Contoh firman Allah SWT:

ูŠَุง ุฃَูŠُّู‡َุง ุงู„َّุฐِูŠู†َ ุขู…َู†ُูˆุง ุฅِู†َّู…َุง ุงู„ْู…ُุดْุฑِูƒُูˆู†َ ู†َุฌَุณٌ ูَู„َุง ูŠَู‚ْุฑَุจُูˆุง ุงู„ْู…َุณْุฌِุฏَ ุงู„ْุญَุฑَุงู…َ ุจَุนْุฏَ ุนَุงู…ِู‡ِู…ْ ู‡َุฐَุง ูˆَุฅِู†ْ ุฎِูْุชُู…ْ ุนَูŠْู„َุฉً ูَุณَูˆْูَ ูŠُุบْู†ِูŠูƒُู…ُ ุงู„ู„َّู‡ُ ู…ِู†ْ ูَุถْู„ِู‡ِ ุฅِู†ْ ุดَุงุกَ ุฅِู†َّ ุงู„ู„َّู‡َ ุนَู„ِูŠู…ٌ ุญَูƒِูŠู…ٌ 

Artinya:”Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjid al Haram sesudah tahun ini. Dan jika kamu khawatir menjadi miskin, maka Allah nanti akan memberimu kekayaan kepadamu dari karuniaNya, jika Dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. at Taubah: 28).

   Ayat di atas adalah contoh dari dalil yang dipahami secara zhanni, yang menjelaskan tentang najisnya orang-orang musyrik, apakah najis yang dimaksud adalah najisnya badan mereka secara hakiki, atau najisnya akidah yang mereka yakini. Maka, dalam hal ini mengandung kemungkinan ta’wil atau pengalihan dari makna asal kepada makna lain, serta masih adanya peluang untuk memahami makna lain selain makna yang ditunjukkan oleh teks.”

   Oleh karena itu, Dalil-dalil sumber hukum bermacam-macam tingkatannya dan kekuatannya, seperti halnya dengan nash qhat’I dan nash dzanni. Dalam hal ini, ketika dalil nash qhat’I bertentangan dengan dalil nash dzanni dan kedua-duanya tidak bisa digabungkan dan juga tidak memenuhi syarat konsep naskh wa mansukh, maka nash yang sifatnya qat’I lebih didahulukan dari nash yang sifatnya dzanni, baik itu dari segi tsubutnya maupun dilalahnya. Kaidah ini disinyalir oleh Imam Razi salah satu ulama Syafi’iyyah dalam kitab Al Mahshul. (Lihat kitab Al Mahsul fii Ushulil Fiqhi, 5/413).

 Contoh: Masalah mengangkat kedua tangan ketika hendak ruku dan setelah ruku dalam sholat.

ุฃَู†َّ ุงุจْู†َ ุนُู…َุฑَ ูƒَุงู†َ ุฅِุฐَุง ุฏَุฎَู„َ ูِู‰ ุงู„ุตَّู„ุงَุฉِ ูƒَุจَّุฑَ ، ูˆَุฑَูَุนَ ูŠَุฏَูŠْู‡ِ ูˆَุฅِุฐَุง ุฑَูƒَุนَ ุฑَูَุนَ ูŠَุฏَูŠْู‡ِ ، ูˆَุฅِุฐَุง ู‚َุงู„َ ุณَู…ِุนَ ุงู„ู„َّู‡ُ ู„ِู…َู†ْ ุญَู…ِุฏَู‡ُ ุฑَูَุนَ ูŠَุฏَูŠْู‡ِ ، ูˆَุฅِุฐَุง ู‚َุงู…َ ู…ِู†َ ุงู„ุฑَّูƒْุนَุชَูŠْู†ِ ุฑَูَุนَ ูŠَุฏَูŠْู‡ِ 

“Sesungguhnya Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma biasanya jika hendak memulai shalatnya beliau bertakbir dan mengangkat kedua tangannya. Jika hendak ruku’ juga mengangkat kedua tangannya. Jika beliau mengucapkan, ”Sami’allรขhu liman hamidah” juga mengangkat kedua tangannya. Jika berdiri dari rakaat kedua juga mengangkat kedua tangannya” (HR.Bukhari)

ู‚ุงู„ ุนุจุฏ ุงู„ู„ู‡ ุจู† ู…ุณุนูˆุฏ: ุฃู„ุง ุฃُุตู„ูŠ ุจูƒู… ุตู„ุงุฉَ ุฑุณูˆู„ِ ุงู„ู„ู‡- ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู… -؟ ู‚ุงู„: ูุตู„ّู‰ ูู„ู… ูŠุฑูุน ูŠَุฏَูŠู‡ِ ุฅู„ุง ู…ุฑَّุฉً

Abdullah bin Mas’ud berkata: maukah aku mengimami kalian dengan cara shalat Rasulullah? Beliau berkata lagi: dia shalat dan tidak mengangkat kedua tangannya kecuali sekali saja (yaitu ketika takbiratulihram saja). (HR. Abu Dawud).

  Melihat dari kedua hadist di atas saling ta'arudh, yaitu hadist Abdullah bin umar mengharuskan mengangkat tangan ketika hendak ruku dan setelah ruku, sedangkan hadist Abdullah bin Mas'ud meniadakan mengangkat tangan kecuali pada saat takbiratul Ihram saja.

  maka dari itu, melihat kedua hadist ta'arudh tersebut, maka hadist Abdullah bin Umar lebih didahulukan sebab hadist tersebut merupakan hadist mutawatir yang sifatnya qat’i . Sedangkan hadist ibnu mas’ud adalah hadist ahad yang sifatnya zhanni yang tidak mensunnahkan mengangkat tangan ketika hendak ruku dan setelah ruku.

Wallahu a'lam bishowab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar