(النص مقدم على الظاهر)
"𝐍𝐚𝐬𝐡 𝐥𝐞𝐛𝐢𝐡 𝐝𝐢𝐝𝐚𝐡𝐮𝐥𝐮𝐤𝐚𝐧 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐩𝐚𝐝𝐚 𝐙𝐡𝐨𝐡𝐢𝐫"
Nash menurut etimologi adalah raf’u asy-syai’ atau munculnya segala sesuatu yang tampak. (Lihat kitab Maqayis Lugho, 5/356). Oleh sebab itu dalam mimbar nash ini sering disebut manashahat. (Lihat kitab Ushul Fiqhi, Rahmat Syafi'i, hal. 153). Bahkan para ulama ushul berbeda dalam merumuskan definisinya, di antaranya Menurut Ulama Hanafiyah, nash adalah:
هُوَ مَا دَلَّ بِنَفْسِ صِيْغَتِهِ عَلَى الْمَعْنَى الْمَقْصُوْدِ أَصَالَةً عَلَى مَا سِيْقَ لَهُ وَ يَحْتَمِلُ التَّأْوِيْلِ
“Lafazh yang dengan sighatnya sendiri menunjukkan makna yang dimaksud secara langsung menurut apa yang diungkapkan, dan ada kemungkinan ditakwilkan” (lihat buku Ushul Fiqhi, Arif Syarifuddin, 2/4).
Sedangkan nash menurut Ulama Syafi’iyah adalah:
مَادَلَّ عَلىَ مَعْنَى دُوْنَ اَنْ يَحْتَمِلَ مَعْنَى اّخَرَ
“Lafal yang menunjukkan kepada sesuatu pengertian yang tidak menerima makna yang lain”. (Lihat kamus ushul Fiqhi, hal.256).
Adapun yang dimaksud dengan zhohir secara bahasa yaitu sesuatu yang nampak. Sedangkan menurut istilah di antaranya:
Menurut Sarkhasi, zhahir adalah
مَا يُفْهَمُ الْمُرَادُ مِنْهُ بِنَفْسِ السَّمَاعِ مِنْ غَيْرِ تَأَمُّلٍ
“Dari apa-apa yang didengar meskipun tanpa pemahaman yang mendalam dapat diketahui apa sebenarnya yang dimaksud oleh pembicara dengan lafaz itu”. (lihat buku Ushul Fiqhi, Arif Syarifuddin, 2/4)
Menurut Bazdawi memeberikan definisi zhahir :
اِسْمٌ لِكُلِّ كَلاَمٍ ظَهْرٍ الْمُرَادُ بِهِ لِلسَّامِعِ بِصِيغَتِهِ
“Suatu nama bagi seluruh perkataan yang jelas maksudnya bagi pendengar, melalui bentuk lafazh itu sendiri”.
Dari definisi di atas tampak jelas bahwa memahami zhahir itu tidak bergantung pada petunjuk lain , tetapi bisa diambil langsung dari rumusan Lafazh itu sendiri. akan tetapi Lafazh tersebut tetap mempunyai kemungkinan lain.
Jadi dapat disimpulkan bahwa Zahir adalah apa yang menunjukkan maksud dari padanya itu dengan sighat itu sendiri, tanpa menghentikan faham maksudnya itu terhadap urusan luar.
Oleh sebab itu, Maksud dari kaidah tarjih di atas adalah bila dalil nash bertentangan dengan dalil yang sifatnya zhahir, maka nash lebih didahulukan dari dalil yang zhahir, sebab nash adalah qhat’I, yang tidak menerima makna yang lain. Berbeda halnya dengan zhahir yang menerima makna lain. Oleh Karena itu dilalah nash lebih kuat dibandingkan dengan dalil yang zhahir.
Contoh: Masalah perwaliam dalam pernikahan, Rasulullah SAW bersabda:
عن عائشة قالت: قال رسولُ الله - صلَّى الله عليه وسلم -: "أيُّما امرأةٍ نكَحَتْ بغيرِ إذن مَوَاليها فنِكاحُهَا بَاطِلٌ
Diriwayatkan oleh Aisya, r.a berkata: Rasulullah bersabda: “setiap perempuan yang menikah tanpa seizing walinya, maka nikahnya tidak sah” (HR. Abu Dawud).
Hadist di atas adalah dalil nash yang menunjukkan batalnya pernikahan seorang perempuan tanpa seizin walinya. yang mana hadist tersebut bertentangan dengan kezhahiran ayat, yaitu:
فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّىٰ تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ
Artinya: “jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain”. (Q.S.Al Baqarah:230) .
Kalau kita cermati dari Ayat di atas, secara zhahir menjelaskan bolehnya menikah seorang perempuan tanpa seizin walinya sebab zohir ayat tersebut seolah² siperempuan yang mendapat hak mutlak saja dalam mengenai urusan pernikahannya. Maka dalam hal ini, bahwa dilalah nash yaitu hadist, lebih didahulukan dari pada dilalah zohir ayat, sebab dilalah ayat tersebut mengandung takwil yaitu menerima makna lainnya.
Wallahu a'lam bishowab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar