Minggu, 12 Juli 2020

𝐊𝐀𝐈𝐃𝐀𝐇-𝐊𝐀𝐈𝐃𝐀𝐇 𝐈𝐌𝐀𝐌 𝐒𝐘𝐀𝐅𝐈'𝐈 𝐃𝐋𝐌 𝐌𝐄𝐍𝐓𝐀𝐑𝐉𝐈𝐇 𝐃𝐀𝐋𝐈𝐋² 𝐘𝐀𝐍𝐆 𝐁𝐄𝐑𝐓𝐄𝐍𝐓𝐀𝐍𝐆𝐀𝐍

𝐄𝐝𝐢𝐬𝐢 𝟏𝟐 𝐤𝐚𝐢𝐝𝐚𝐡 𝐤𝐞 𝟒:

(تقدم سنة القولية ثم الفعلية ثم التقريرية)

𝐒𝐮𝐧𝐧𝐚𝐡 𝐐𝐚𝐮𝐥𝐢𝐲𝐲𝐚𝐡 𝐥𝐞𝐛𝐢𝐡 𝐝𝐢𝐝𝐚𝐡𝐮𝐥𝐮𝐤𝐚𝐧, 𝐤𝐞𝐦𝐮𝐝𝐢𝐚𝐧 𝐅𝐢’𝐥𝐢𝐲𝐲𝐚𝐡 𝐤𝐞𝐦𝐮𝐝𝐢𝐚𝐧 𝐓𝐚𝐪𝐫𝐢𝐫𝐢𝐲𝐲𝐚𝐡.

   Sunnah atau hadist berasal dari kata bahasa arab yaitu سن – يسن – سنا وسننا yang berarti jalan atau cara. (Lihat kitab Lisanul Arab, 13/226). Hadist disebut sunnah karena sesuatu yang lari pada tempatnya. (Lihat kitab Maqayis Al lugho, 3/61). Di dalam kitab Tahdzib Al Lugha, dikatakan bahwa, asal kata dari Sunnah yaitu jalan yang dibuat oleh orang pertama, sehingga menjadi jalan bagi orang setelahnya. (Lihat Kitab Tahzib Al lugho, 12/210).

  Sunnah lebih umum disebut hadits, yang mempunyai beberapa arti, yaitu dekat, baru, dan berita. Dari arti-arti tersebut, maka yang sesuai untuk pembahasan ini adalah hadits dalam arti khabar. Melihat dari perbedaan mengenai pengertian Sunnah, maka Beberapa ulama mencoba memberikan definisi tentang Sunnah.

  Dari kalangan Ulama ushul fiqh mendefinisikan Sunnah adalah:

ما أُثِر عن النبي صلي الله عليه السلام غير القرآن من قولٍ أو فعلٍ أو تقرير.

“semua yang bersumber dari Nabi saw, selain Al-Qur'an baik berupa perkataan, perbuatan atau persetujuan”.

 Adapun Sunnah secara istilah menurut ulama fiqhi adalah:

السنة بما يدل على أنها حكم شرعي، فهي عندهم مرادف للمندوب والمستحب (ما طُلب فعلُه طلبًا غيرَ جازم) أو (ما يثاب فاعله ولا يعاقب تاركه) 

“Sunnah merupakan hukum syara’, yang mengandung arti mandub dan mushtahab (pekerjaan yang dianjurkan tanpa keharusan) atau (orang yang mengerjakannya mendapat pahala dan orang yang meninggalkannya tidak mendapatkan akibat atau kosekuensi). (Lihat kitab Al Ibhaj fii syarh al manhaj, 1/52).

   Oleh sebab itu, sunnah adalah suatu amal yang dianjurkan oleh syariat namun tidak mencapai derajat wajib atau suatu keharusan harus.

  Kemudian, Adapun Sunnah menurut ahli Hadist adalah:

ما نُقِل عن النبي صلي الله عليه السلام من قولٍ أو فعلٍ أو تقريرٍ أو وصفِه الخَلقي والخُلُقي، سواءٌ قبل البعثة أو بعدها 

“segala hal yang disandarkan kepada Nabi, baik itu berupa perkataan, perbuatan, taqrir (ketetapan), maupun sifat perangai atau sifat fisik. Baik sebelum diutus menjadi nabi ataupun setelahnya”. (Lihat kitab Qawaidu At Tahdist min Fununi Al Mustholahul Hadist, hal.85).

   Sedangkan, sunnah menurut ulama Al Aqidah atau ahli Tauhid adalah:

السنة بما يقابل البدعة فهي عندهم الطريقةُ المسلوكةُ في الدين المأثورةُ عن النبي أو صحابته. 

“sunnah adalah antonim atau lawan kata dari bidah. Yaitu jalan yang dilewati dalam agama yang berasal dari Nabi dan para sahabatnya” (Lihat kitab Jami’ Al Ulm wa Al Hukum fii Syarhi Khamsina Haditsan min Jawami’ Al Kalim, 2/120).

   Jadi, sunnah adalah setiap amal perbuatan yang ada contoh dan tuntunannya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bukan perkara yang diada-adakan dalam agama, maka ini masuk dalam kategori sunnah. 

 Terlepas dari pendefinisian sunnah dari beberapa golongan ulama di atas, maka hadist dari segi asalnya terbagi menjadi tiga, yaitu: sunnah Qauliyyah, sunnah Fi’liyyah dan sunnah Taqririyyah.

   Hadist Qauly, ialah segala bentuk perkataan atau ucapan yang disandarkan kepada Nabi SAW. dengan kata lain hadist tersebut berupa perkataan Nabi SAW yang berisi berbagai tuntutan dan petunjuk syara’, peristiwa-peristiwa dan kisah-kisah, baik yang berkaitan dengan aspek akidah, syari’ah maupun akhlaq. (Lihat kitab Bahru Al Muhith fii Ushul Al Fiqh,6/12).

  Hadist fi’liyah yaitu segala yang disandarkan kepada Nabi SAW berupa perbuatannya yang sampai kepada kita. (Lihat kitab Bahru Al Muhith fii Ushul Al Fiqh,6/13).

   Sedangkan hadist taqririyah yaitu hadist yang berupa ketetapan atau persetujuan Nabi SAW terhadap apa yang datang atau yang dilakukan oleh para sahabat Nabi SAW membiarkan atau mendiamkan suatu perbuatan yang dilakukan oleh para sahabatnya, tanpa memberikan penegasan, apakah beliau membenarkan atau mempersalahkannya. Sebab diamnya Nabi menandakan sebuah persetujuan terhadap hal tersebut. sebab kalau tidak setuju, maka Nabi akan menolaknya atau melarangnya.

    Inilah sikap Nabi yang demikian itu  dijadikan dasar oleh para sahabat sebagai dalil taqriri yang dapat dijadikan hujjah dan mempunyai kekuatan hukum untuk menetapkan suatu kepastian syara’.

  Oleh sebab itu, maksud dari kaidah di atas adalah bahwa, jika Sunnah Qauliyyah, Fi'liyyah dan Taqririyyah saling bertentangan satu sama lain, yang mana sunnah ta'arudh tersebut tidak bisa digabungkan (al jam'u wa taufiq), dan tidak diketahui waktu asbabul wurudnya sehingga tak memungkinkan untuk dinasakh, serta tidak ada dalil lain yang menguatkan dari salah satu hadist tersebut, maka dalam hal ini, sunnah Al Qauliyyah lebih didahulukan, kemudian sunnah Fi’liyyah kemudian sunnah Taqririyyah. Qaidah ini adalah qaidah yang dipakai oleh jumhur ulama Syafi’iyyah dalam mentarjih dalil² yang bertentangan. (lihat kitab Nihayah Al Wushul fii Dirayah Al Wushul, 5/2173).

    Pendahuluan sunnah qauliyyah dari fi'liyyah adalah sebuah kaidah yang merupakan hasil dari ijtihad Ulama yang didukung oleh dalil Naqliyyah maupun Aqliyyah. Yang menyebabkan derajat Sunnah qauliyyah berada di atas Sunnah Fi'liyyah adalah:

1. Bahwa asal atau pokok dari sebuah penjelasan adalah adanya perkataan, sebab ia mewakili apa yang terkandung dari ucapan atau perkataan tersebut. Beda halnya dengan sebuah perbuatan yang tidak bisa mewakili maksud dari perbuatan tersebut kecuali ada dalil atau qorinah yang menunjukkan hal tersebut.

2. Karena dilalah dari sebuah perkataan adalah sudah menjadi kesepakatan, beda halnya dengan dilalah sebuah perbuatan yang masih berbeda pandangan hal tersebut.

3. Karena apa yang diperbuat dan dikerjakan oleh Nabi SAW boleh jadi pengkhususan bagi dirinya sendiri sehingga tidak berlaku bagi ummatnya. beda halnya dengan perkataan beliau yang besifat universal bagi ummatnya. (Lihat kitab Al Ihkam fii Ushulil Ahkam, 1/193)

Contoh dari kaidah di atas adalah masalah doa talbiyah ketika menunaikan ibadah haji.

   Permasalahan dari contoh di atas terletak pada hadist fi’liyyah tentang doa talbiyah yang ringkas lebih didahulukan dari hadist taqririyyah tentang tambahan redaksi doa talbiyah tersebut. Adapun Hadist Fi’liyah:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُهِلُّ مُلَبِّدًا يَقُولُ: «لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالمُلْكَ، لاَ شَرِيكَ لَكَ» لاَ يَزِيدُ عَلَى هَؤُلاَءِ الكَلِمَاتِ

Diriwayatkan oleh ibnu Umar r.a, beliau berkata: saya telah mendengar Rasulullah berkata: Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu ya Allah dan tiada sekutu bagi-Mu. Sesungguhnya segala puji, nikmat, serta kekuasaaan hanya bagi-Mu tanpa sekutu apapun bagi-Mu.” Lalu ibnu Umar mengatakan: tidak ada tambahan teks doa tersebut. (HR. Bukhari)

Sedangkan Hadist Taqririyyah:

قال جابر في حكايته في حجة النبي:... وَأَهَلَّ النَّاسُ بِهَذَا الَّذِي يُهِلُّونَ بِهِ، فَلَمْ يَرُدَّ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْهِمْ شَيْئًا مِنْهُ

   Jabir berkata tentang cerita haji Nabi SAW:…dan manusia mulai membaca (talbiyah) dengan bacaan yang mereka tambahkan dan Rasulullah tidak menolak sesuatupun darinya. (HR. Muslim). 

  Walaupun hadist di atas merupakan hadist Jabir yang mengandung taqrir Nabi SAW tetapi hadist ini bertentangan dgn hadist fi'liyyah Nabi SAW yang merupakan riwayat dari beliau dalam bentuk perbuatan. Sehingga dalam masalah ini, Imam Syafi’I mengatakan:

ولا أُحب أن يزيد على هذا في التلبية حرفًا ... فإنه لا يروى عن النبي صلي الله عليه وسلم

“Saya tidak menyukai tambahan teks dalam doa talbiyah walaupun satu huruf, karena hal itu tidak diriwayatkan dari Rasulullah SAW” (lihat kitab Al Umm, 2/224).

   Jadi, Jelas dari perkataan Imam Syafi’I bahwa beliau menggunakan kaidah tentang pendahuluan sunnah qauliyyah, kemudain fi’liyyah kemudian taqririyyah.

Wallahu a'lam bishiwab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar