Jumat, 19 Juni 2020

𝐌𝐄𝐓𝐎𝐃𝐎𝐋𝐎𝐆𝐈 𝐈𝐌𝐀𝐌 𝐒𝐘𝐀𝐅𝐈'𝐈 𝐃𝐋𝐌 𝐌𝐄𝐍𝐘𝐄𝐋𝐄𝐒𝐀𝐈𝐊𝐀𝐍 𝐃𝐀𝐋𝐈𝐋² 𝐘𝐀𝐍𝐆 𝐁𝐄𝐑𝐓𝐄𝐍𝐓𝐀𝐍𝐆𝐀𝐍

𝐄𝐝𝐢𝐬𝐢 𝟒: 𝐂𝐚𝐫𝐚 𝐦𝐞𝐧𝐲𝐞𝐥𝐞𝐬𝐚𝐢𝐤𝐚𝐧 𝐝𝐚𝐥𝐢𝐥 𝐓𝐚’𝐚𝐫𝐮𝐝𝐡 𝐚𝐧𝐭𝐚𝐫𝐚 𝐈𝐣𝐦𝐚’ 𝐝𝐚𝐧 𝐍𝐚𝐬𝐡 (𝐀𝐥 𝐐𝐮𝐫’𝐚𝐧 𝐝𝐚𝐧 𝐇𝐚𝐝𝐢𝐬𝐭).

   Secara bahasa kata Ijma’ (الإجماع ) merupakan bentuk mashdar dari kata kerja ( أَجْمَعَ – يُجْمِعُ ) yang memiliki dua arti, yaitu pertama: ‘Azam, yaitu Niat dari seseorang untuk melakukan sesuatu dan memutuskannnya (العزم على الشيء ). (Lihat kitab Maqayis Al Lugho, 1/479) dan ( Lihat Kitab Lisanul Arab, 13/226)

Firman Allah:

فَأَجْمِعُوا أَمْرَكُمْ وَشُرَكَاءَكُمْ ثُمَّ لَا يَكُنْ أَمْرُكُمْ عَلَيْكُمْ غُمَّةً ثُمَّ اقْضُوا إِلَيَّ وَلَا تُنْظِرُونِ 

Artinya:“…karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku). Kemudian janganlah keputusanmu itu dirahasiakan, lalu lakukanlah terhadap diriku, dan janganlah kamu memberi tangguh kepadaku.”(Q.S.Yunus:71)

   Kedua, Ijma’ juga bermakna Ittifaq, yaitu Kesepakatan beberapa orang untuk melakukan sesuatu (الاتفاق ). Contohnya : ‘ ( أجمع القوم على كذا ) artinya kaum itu bersepakat dalam sebuah urusan tertentu. (Lihat kitab Al qamus Al muhith, 3/15).

   Perbedaan dua makna di atas adalah terletak pada jumlah pelaku, dimana makna pertama dilakukan oleh seseorang saja sedangkan makna kedua harus ada lebih dari satu orang yang melakukan sebuah kesepakatan.

   Adapun secara istilah, Ijma’ menurut mayoritas ulama ushul fiqih adalah :

اتفاق المجتهدين من أمة محمد بعد وفاته في عصر من العصور على حكم شرعي

“Kesepakatan para mujtahid dari ummat Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam- setelah wafatnya beliau pada suatu masa mengenai hukum syar’i.” (lihat kitab Al Mushtashfah, 1/110).

   Dari pengertian Ijma’ diatas, bahwa Ijma’ itu berlaku setelah nabi SAW wafat. Banyak ulama yang salah dalam mengartikan Ijma’ dengan tidak menyebutkan zaman setelah wafatnya Rasulullah. (Lihat kitab Raf'ul Al hajib 'an mukhtashar Ibnu Hajib, 2/137).

   Oleh karena itu melihat dari makna ijma di atas, maka dapat dikristalkan sebagai kesimpulan bahwa ijma memiliki syarat² tertentu sebagai sumber hukum, yaitu: 

1. Adanya kesepakatan. Jadi, Jika belum terjadi kesepakatan maka belum dihukumi sebagai Ijma'.

2. Ijma' tersebut dibawah naungan sumber tasyri' yang shohih (Al quran dan hadist) yaitu Ijma' lahir dari ijtihad para mujtahid yang menjadikan Al quran dan Hadist sebagai sumber pengistinbatan hukum.

3. Ijma' dilakukan oleh para Mujtahid adil dan terpercaya sebagai spesialis dalam berijtihad. Oleh karenanya, jika ada sekelompok orang awam atau orang² fasiq atau para ustaz dan para muqallidnya, yang kemudian mereka berijma' (bersepakat) dalam urusan hukum agama, maka hal itu tidak termasuk dalam kategori Ijma sebagai sumber hukum.

4. Menguasai Ilmu Al Qur’an, Ilmu Al Hadist, ilmu ushul, Ilmu bhs Arab, dan semisalnya. Oleh karenanya, Jika ada sekelompok orang yang ahli dalam bidang politik, ahli dlm bidang ekonomi, atau ahli dlm bidang kedokteran saja dan semisalnya, yang kemudian mereka berijma' dalam urusan hukum agama, maka hal ini tidak termasuk dlm kategori Ijma sebagai sumber hukum.

5. Mengetahui adanya Ijma’ sebelumnya. Yaitu ketika para ulama mujtahid ingin berijma, maka mereka harus mengetahui Ijma' para ulama terdahulu tentang permasalahan yang mereka ingin sepakati hukumnya. Yaitu apakah permasalah yang mereka ingin sepakati hukumnya sudah ada Ijma'nya dari Ulama terdahulu atau tidak. Jikalau masalah yang mereka ingin tentukan hukumnya sudah ada pada Ijma sebelumnya, maka mereka wajib mengikuti Ijma ulama terdahulu itu.

6. Yang berijma' adalah Ummat Muhammad bukan Ummat lain. Jikalau Sekolompok orang kafir berijma' dalam hukum agama islam, maka Ijma'nya tidak diakui alias batal.

7. Setelah wafatnya Rasulullah. Sebab ketika beliau masih hidup maka para sahabat langsung bertanya kepada Rasulullah dalam masalah² hukum. 

8. Dasar pendalilan sebagai sumber hukum.

    Maka dari itu, Ijma’ adalah salah satu sumber hukum atau landasan hukum yang dipakai oleh Imam Syafi’I dalam istinbath hukum. keberadaan dan fungsi Ijma’ sebagai sumber hukum, bukan hanya pada zaman Sahabat Rasulullah SAW akan tetapi mecakup semua zaman dan tempat. Sehingga Al Quran telah melegitimasi Ijma' sebagai sumber hukum yang bisa dijadikan sebagai sumber dalam pengistinbatan hukum. Sebagaimana Allah SWT berfirman:

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

Artinya: “Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”.(Q.S.Al Nisa:115).
  
   Yang dimaksud dengan mengikuti selain jalan yang ditempuh mu’minin adalah mengikuti pendapat atau fatwa yang menyelisihi pendapat dan fatwa mereka (Ijma'). Maka jika hal tersebut diharamkan, tentu saja mengikuti jalan yang ditempu mu’minin adalah suatu kewajiban.” (lihat kitab Irsyad Al fuhul ila Tahqiq Al Haq min Al 'Ilmi Al Ushul, 1/293).

   Dalam hal ini, Imam Syafi’I memakai metode dalam menyelesaikan dalil ta’arudh antara Ijma dan Nash yaitu:

1) Metode Pertama: Al Jam’u wa Taaufik (kompromi), yaitu menggabungkan kedua dalil ta'rudh tersebut dengan cara Ijma mentakhsis keumuman Nash atau Taqyidul Muthlaq.

  Di dalam kitab ulama Syafi’iyyah, banyak menggunakan metode ini, yaitu metode Ijma’ sebagai Mukhassis yang terpisah dan begitupun dengan Ijma’ sebagai Muqayyid terhadap lafazh yang mutlaq. 

Imam Syafi’I mengatakan :

القرآن عربي كما وصفتُ ، والأحكام فيه على ظاهرها وعمومها، ليس لأحد أن يحيل منها ظاهرًا إلى باطن، ولا عامًّ ا إلى خاص، إلا بدلالة من كتاب الله، فإن لم تكن فسنة رسول الله تدل على أنه خاص دون عام أو باطن دون ظاهر، أو إجماع من عامة العلماء الذين لا يجهلون كلهم كتابًا ولا سنة ، وهكذا السنة 

“ Al Qur’an adalah berasal dari bahasa arab, sebagaimana saya telah mensifatinya, dan segala hukum yang ada di dalamnya menunjukkan kezhahirannya dan keumumannya, tidak seorangpun yang merubahnya dari zhahir ke bathinnya dan tidak pula dari umum ke khusus kecuali dengan petunjuk dari Al qur’an, jika tidak ada, maka sunnah Rasulullah yang menunjukkan bahwa lafazhnya bersifat khusus dan bukan bersifat umum atau bersifat bathin dan bukan bersifat zhahir, atau dengan melalui petunjuk Ijma’ menurut mayoritas ulama yang tidak bodoh dalam masalah Al Kitab dan Sunnah, dan begitulah Sunnah.” (lihat kitab Ikhtilaful hadist, 8/592)

 Kemudian beliau juga berkata:

وكل ما حكم به رسول الله فهو عام حتى يأتي عنه دلالة على أنه أراد به خاصًّا، أو عن جماعة المسلمين 

“Dan segala apa yang telah dihukumi oleh Rasulullah adalah bersifat umum hingga ada dalil nash yang menunjukkan kekhususannya atau Ijma’ kaum muslimin”.( lihat kitab Al umm, 4/264).

 Perkataan Imam Syafi’I di atas, bisa disimpulkan bahwa Ijma’ adalah dalil syara’ yang bisa mentakhsis keumuman nash (al qur’an dan hadist) dan mentaqyid nash yang bersifat muthlaq. Inilah metode Imam Syafi’I dalam menyelesaikan dalil yang bertentangan antara Ijma’ dan Nash. 

  Oleh karena itu, Ijma dalam mentakhsis keumuman Nash atau Taqyidul Muthlaq adalah salah satu metode untuk menggabungkan antara kedua dalil yang bertentangan jika hal itu memungkinkan, sehingga mengamalkan kedua-duanya tanpa ada yang ditinggalkan satu sama lain.

  Adapun contoh dari metode di atas adalah, sebagaimana Allah SWT berfirman:

يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ

Artinya: “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan.”(Q.S.An Nisa:11).

  Ayat di atas adalah ayat tentang hukum pembagian harta warisan kepada anak laki-laki dan perempuan yang sifatnya umum dengan ukuran 2:1 (dua banding satu). Yang mana ayat di atas ditakhsis oleh Ijma’ yang mengatakan bahwa seorang hamba sahaya atau budak tidak mendapatkan warisan. Sebab ulama telah berijma' (sepakat) bahwa hamba sahaya atau budak tidak mendapatkan hak warisan. Maka dalam hal ini, Ijma sebagai mukhassis terhadap ayat warisan yang bersifat umum sehingga keduanya bisa digabungkan. (Lihat kitab Qawati' al adillah fiil Ushul, 1/188).

2) Metode kedua: Ijma tersebut menunjukkan untuk meninggalkan madlul Nash secara keseluruhan.

   Ulama Syafi’iyyah menggunakan metode di atas dalam kitab-kitabnya, baik itu kitab ushuliyyah maupun kitab fiqhiyyah. jika Ijma’ menunjukkan untuk meninggalkan madlul Nash secara keseluruhan, maka ijma yang lebih didahulukan dari pada nash, sebab nash bisa dinaskh dengan hukum nash lainnya. Beda dengan Ijma’ yang tidak bisa dinaskh atau dihapus dan dibatalkan kelegitimasiannya, disebabkan bahwa ummat Muhammad tidak akan pernah bersepakat dalam kebathilan. (Lihat kitab al burhan fiil ushul, 2/579).

  Dan bahkan ada beberapa ulama yang menempatkan Ijma' di urutan pertama sebelum Al Quran dan Hadist sebagai sumber hukum, sebab Ijma' adalah merupakan interpretasi dari semua pihak ulama Mujtahid yang telah berijtihad dengan menganalisis dan mengkristalkan suatu masalah dengan menghubungkan sumber² hukum yang ada, yaitu Al quran, Hadist, qiyas, hujjah sahabat, maslaha mursalah, istishab, istihsan, syar'u man qablana dan seterusnya.

  Oleh sebab itu, Inilah yang menjadi dasar bahwa Ijma’ lebih didahulukan dari pada nash, ketika keduanya tidak bisa digabungkan (al jam’u wa taufiq).

   Adapun contohnya adalah masalah pelarangan berkabung lebih dari tiga hari bagi perempuan yang suaminya meninggal.

Sebagaimana Nash dari hadist Nabi SAW:

حديث أسماء بنت عميس زوجة جعفر بن أبي طالب, قالت: دخل علَي رسول الله اليوم الثالث من قتل جعفر فقال: "لَا تُحِدِي بعدَ يومِكِ هَذَا

Hadist yang diriwayatkan oleh Asma binti ‘Umais Istri Abu Ja’far bin Abi Tholib, dia berkata: Rasulullah masuk menemuiku pad hari ketiga kematian Abu Ja’far, dan beliau bersabda: janganlah kamu berkabung lagi setelah hari ini. (HR.Ahmad). 

   Hadist di atas menujukkan bahwa tidak ada kewajiban bagi perempuan yang suaminya meningggal untuk berkabung lebih dari tiga hari. Sedangkan Ijma' ulama mewajibkan bagi perempuan yang suaminya meninggal untuk berkabung dalam masa iddah selama empat puluh hari. Sehingga dilalah dari Nash hadits di atas bertentangan dengan Ijma’ ulama yang mewajibkan bagi perempuan untuk berkabung selama 40 hari setelah kematian suaminya. Maka dari itu, permasalahan di atas Ijma' lah yang di dahulukan dari pada nash hadist.

Sebagaimana hadist Nabi SAW:

قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لاَ يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ أَنْ تُحِدَّ فَوْقَ ثَلاَثٍ إِلَّا عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا 

"Nabi SAW bersabda: tidak halal Seorang wanita yang mengaku beriman kepada Allah dan hari kiamat berkabung atas kematian seseorang di atas tiga hari, kecuali yang meninggal adalah suaminya, maka ia harus berkabung selama empat bulan sepuluh hari. (HR.Muttafaqun Alaihi).

Wallahu 'alam bisshowab.


Rabu, 17 Juni 2020

𝐌𝐄𝐓𝐎𝐃𝐎𝐋𝐎𝐆𝐈 𝐈𝐌𝐀𝐌 𝐒𝐘𝐀𝐅𝐈'𝐈 𝐃𝐋𝐌 𝐌𝐄𝐍𝐘𝐄𝐋𝐄𝐒𝐀𝐈𝐊𝐀𝐍 𝐃𝐀𝐋𝐈𝐋² 𝐘𝐀𝐍𝐆 𝐁𝐄𝐑𝐓𝐄𝐍𝐓𝐀𝐍𝐆𝐀𝐍

𝐄𝐝𝐢𝐬𝐢 𝟑: 𝐂𝐚𝐫𝐚 𝐦𝐞𝐧𝐲𝐞𝐥𝐞𝐬𝐚𝐢𝐤𝐚𝐧 𝐝𝐚𝐥𝐢𝐥 𝐭𝐚'𝐚𝐫𝐮𝐝𝐡 𝐚𝐧𝐭𝐚𝐫𝐚 𝐇𝐚𝐝𝐢𝐬𝐭 𝐝𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐇𝐚𝐝𝐢𝐬𝐭

   Dalam masalah ta’arudh antara Hadist dengan hadist lainnya tidak terlepas dari segi hadist qauliyyah, fi’liyyah dan taqririyyah. Dalam masalah ini, Imam Syafi'i mempunyai metode tersendiri dalam menyelesaikan hadist- hadist yang saling bertentangan, yaitu:

𝟏) 𝐌𝐞𝐭𝐨𝐝𝐞 𝐏𝐞𝐫𝐭𝐚𝐦𝐚 : Al Jam’u wa Taaufik (kompromi).

  Jika terjadi ta'arudh antara kedua hadist Rasulullah, maka metode yang pertama yang dilakukan oleh Imam Syafi’I adalah Al Jam’u wa Taufik yaitu menggabungkan dan mengamalkan kedua hadist ta’arudh tersebut jika hal itu memungkinkan. Sebagaimana Imam Syafi’I berkata: 

ولا نجعل عن رسول الله حديثين مختلفين أبدًا. إذا وُجد السبيل إلى أن يكونا مستعملين؛ فلا نعطِل منهما واحدًا 

“Dan kami tidak menjadikan kedua hadist Rasulullah bertentangan selamanya, jika terdapat jalan/cara untukmenggabungkan keduanya, maka kami tidak meninggalkan salah satunya” (lihat kitab Ikhtilaful Hadist, 8/664)

   Melihat dari perkataan di atas, maka Imam Syafi'i juga memiliki cara dalam merealisasikan metode penggabungan hadist-hadist yang ta'arudh (saling bertentangan). Oleh karena itu cara menggabungkan kedua hadist ta'arudh yaitu:

a). Cara pertama: menakwilkan kedua hadist tersebut dalam kondisi yang berbeda.

   Sebagai contoh masalah menghadap kiblat atau membelakanginya ketika buang hajat. Dalam masalah ini, ada hadist yang membolehkan dan ada hadist yang tidak membolehkan hal tersebut.

  Adapun hadist yang melarang menghadap kiblat yaitu:

عَنْ أَبِي أَيُّوبَ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «إِذَا أَتَيْتُمُ الْغَائِطَ فَلَا تَسْتَقْبِلُوا الْقِبْلَةَ، وَلَا تَسْتَدْبِرُوهَا بِبَوْلٍ وَلَا غَائِطٍ، وَلَكِنْ شَرِّقُوا أَوْ غَرِّبُوا.

Diriwayatkan oleh Abu Ayyub, bahwasanya Rasulullah shallallahu alaai wasallam bersabda: “ jika kalian buang hajat (BAB, kencing), maka janganlah kalian menghadap kiblat dan jangan pula membelakanginya, akan tetapi menghadap ke timurlah atau ke barat” (HR. Muslim).

  Kemudian hadist tentang kebolehan hal tersebut yaitu:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: رَقِيتُ عَلَى بَيْتِ أُخْتِي حَفْصَةَ، فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَاعِدًا لِحَاجَتِهِ، مُسْتَقْبِلَ الشَّامِ، مُسْتَدْبِرَ الْقِبْلَةِ

Diriwayatkanoleh Abdullah bin Umar, r.a, berkata: saya memanjat genteng rumah Hafsah, lalu saya melihat Nabi SAW buang hajat dalam keadaan membelakangi kiblat dan menghadap Syam. (HR.Muslim).

  Secara zohir kedua hadist di atas saling bertentangan, maka salah satu cara untuk menggabungkannya, yaitu dengan cara mentakwil kedua hadist tersebut dalam kondisi yang berbeda, yaitu pelarangan pada hadist Abu Ayyub untuk tidak menghadap kiblat dan membelakanginya yaitu ketika seseorang itu buang hajat di tempat yang terbuka, sedangkan kebolehan menghadap kiblat atau membelakanginya yang terdapat pada hadist Ibnu Umar, yaitu ketika seseorang buat hajat di tempat yang tertutup oleh sekat dan dinding. Maka, kedua hadist tersebut bisa digabungkan dan diamalkan.

b). Cara kedua: Hamlul Muthlaq ‘alal Muqayyad atau Hamlul Am ‘alal Khas.

   Yang dimaksud dengan Hamlul Muthlaq ‘ala Muqayyad adalah Jika sebab dan hukum yang ada dalam mutlaq sama dengan sebab dan hukum yang ada dalam muqayyad. Maka dalam hal ini hukum yang ditimbulkan oleh hadist yang mutlaq tersebut, harus ditarik atau dibawa kepada hukum hadist yang berbentuk muqayyad.

   Sedangkan Hamlul Am ‘alal Khas adalah Jika sebab dan hukum yang ada dalam 'Am sama dengan sebab dan hukum yang ada dalam Khas. Maka dalam hal ini hukum yang ditimbulkan oleh hadist yang sifatnya 'Am tersebut, harus ditarik atau dibawa kepada hukum hadist yang sifanya Khas.

   Contoh: Masalah shalat sunnah setelah shalat ashar. Dalam kasus ini, terdapat dua hadist yang saling bertentangan tentang hal tersebut.

  Hadist tentang pelarangan adanya shalat setelah shalat ashar, yaitu:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «نَهَى عَنِ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغْرُبَ الشَّمْسُ، وَعَنِ الصَّلَاةِ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah, r.a, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alai wsallam melarang shalat setelah ashar hingga terbenam matahari, dan melarang shalat setelah subuh hingga terbit matahari”. (HR.Muslim).

    Kemudian, hadist di atas bertentangan dengan sunnah fi’liyyah Rasulullah saw, bahwa beliau shalat dua rakaat setelah ashar, yaitu: riwayat shahih dari Ummu Salamah dan ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma (yang menerangkan-red) bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat sunnah dua raka’at ba’diyah (setelah) Zhuhur sesudah shalat ‘Ashar. ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma mengatakan, “Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam merutinkannya sesudah itu.” (HR. Muslim).

   Melihat dari kedua hadist di atas yang ta’arudh secara zhohir, maka cara menggabungkan keduanya dengan memakai metode Hamlul Am alal Khas, yaitu hadist abu hurairah tentang pelarangan shalat sunnah setelah ashar itu sifatnya umum, sedangkang hadist kedua yang merupakan sunnah fi'liyyah Nabi itu sifatnya khos yaitu hadist tersebut sebagail mukhassis, sehingga hadist yang sifatnya Am, harus ditarik atau dibawa kepada hukum hadist yang sifanya Khas. Maka dalam hal ini, shalat yang dibolehkan setelah shalat ashar adalah shalat yang hanya mempunyai sebab-sebab tertentu. Salah satunya yaitu Nabi SAW sholat sunnah dua rakaat setelah ashar disebabkan karena waktu itu beliau lupa sholat sunnah setelah dhuhur karena sibuk, maka beliau mengqodhonya setelah ashar.

  Begitupun juga misalnya, ketika seseorang belum sholat duhur, kemudian dia mengingatnya setelah sholat ashar, maka dalam hal ini dia boleh sholat dgn niat sholat duhur disebabkan karena dia lupa sholat duhur pd waktunya. Hal ini juga ditunjang oleh dalil lain, yaitu:

إذا نَسِيَ أحدُكُمْ صلاةً أو نامَ، فليُصلِّها إذا ذكَرها.
" jika diantara kalian lupa menunaikan Ibadah sholat atau ketiduran, maka sholatlah ketika kamu sudah mengingatnya". (HR. Muslim).

  Jadi, sholat yang tidak dibolehkan setelah ashar adalah sholat yang tidak mempunyai sebab-sebab tertentu. Maka, dari kasus sunnah fi'liyyah nabi bisa digabungkan dgn hadist abu hurairah dengan cara hamlul 'am 'alal khos.

c). Cara ketiga: memalingkan salah satu dari kedua hadist ta’arudh dari kezohirannya.

    Maksud dari cara ketiga di atas adalah jika dua hadist bertentangan secara zohir maka salah satu dari keduanya harus dipalingkan atau ditakwil dari kezohirannya.

Contoh: Masalah minum sambil berdiri.

   Hadist pertama, menunjukkan larangan minum berdiri, yaitu:

قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا يَشْرَبَنَّ أَحَدٌ مِنْكُمْ قَائِمًا، فَمَنْ نَسِيَ فَلْيَسْتَقِئْ

“Janganlah sekali-kali salah seorang di antara kalian minum sambil berdiri. Apabila dia lupa maka hendaknya dia muntahkan”. (HR. Muslim)

  Hadist di atas yang menunjukka pelarangan minum sambil berdiri bertentangan dengan hadist Ibnu Abbas, yaitu:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: سَقَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ زَمْزَمَ فَشَرِبَ وَهُوَ قَائِمٌ

Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, berkata: saya memberi minum Rasulullah shallalahu alai wasallam dari air zamzam, maka beliau meminumnya dalam keadaan berdiri” 

  Secara zhahir, kedua hadist di atas saling ta’arudh/bertentangan, maka cara ketiga untuk menggabungkan kedua hadist ta'arudh tersebut yaitu memalingkan atau mentakwil salah satu dari hadist di atas, yaitu bahwa makna dari pelarangan minum sambil berdiri pada hadist pertama bukan pelarangan dalam makna makruh tahrim akan tetapi pelarangan dalam makna makruh tanzih, yaitu larangan sebatas pensucian saja dan bukan larangan yang bersifat mutlak yang berakibat dosa. (lihat kitab syarh al muhadzdzab, 2/363)

d). Cara keempat: menjadikan atau mentakwil salah satu dari kedua hadist ta’arudh dalam segi kekhususan.

  Artinya jika kedua hadist tersebut saling bertentangan, maka cara ke empat untuk menggabungkan kedua hadist tersebut adalah dengan mentakwil salah satu dari kedua hadist tersebut ke dalam kategori hadist yang bersifat khusus. 

Contoh: Masalah menyusui anak yang sudah baligh dalam menentukan status mahram (saudara sepersusuan).

   Dari kasus permasalahan di atas, terdapat beberapa hadist yang ta'arudh dalam penetapan status anak yang disusui sehingga dapat menetukan status mahram terhadap saudara sepersusuannya. Atau dengan kata lain apakah anak yang sudah baligh bisa menentukan status sebagai mahram terhadap sepersusuannya jika ia menyusu?

   Kita lihat, sebuah Hadist tentang penyusuan terhadap anak yang sudah baligh tidak bisa menjadi status mahram sepersusuannya, yaitu:

عن بن عباس قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : لا رضاع إلا ما كان في الحولين

Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, ia berkata : Nabi SAW bersabda, “Tidak disebut persusuan melainkan yang berlangsung dalam (usia) dua tahun” (HR. Darul Quthni).

   Maksudnya adalah tidak akan berlaku status mahram dari saudara sepersusuan kecuali ketika umur anak itu belum mencapai dua tahun. Artinya jika penyusuan terhadap anak yang sudah berumur diatas dua tahun atau sudah baligh tentunya, maka hukum sepersusuan tidak berlaku, sebab syarat menjadi status mahram terhadap sepersusuan adalah ketika umur anak belum mencapai dua tahun.

  Oleh karena itu, hadist di atas menjelaskan bahwa syarat penyusuan anak sehingga menjadi status mahram akibat sepersusuan yaitu hanya selama dua tahun. 

 Kemudian hadist Ibnu Abbas di atas bertentangan dengan hadits yang lain yang nenunjukkan kebolehan penyusuan terhadap anak yang sudah baligh menjadi status mahram akibat sepersusuan, yaitu:

عَنْ زَيْنَبَ بِنْتِ اُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ: قَالَتْ اُمُّ سَلَمَةَ لِعَائِشَةَ: اِنَّهُ يَدْخُلُ عَلَيْكِ اْلغُلاَمُ اْلاَيْفَعُ الَّذِى مَا اُحِبُّ اَنْ يَدْخُلَ عَلَيَّ؟ فَقَالَتْ عَائِشَةُ: اَمَا لَكِ فِى رَسُوْلِ اللهِ ص اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ؟ وَ قَالَتْ: اِنَّ امْرَأَةَ اَبِى حُذَيْفَةَ قَالَتْ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، اِنَّ سَالِمًا يَدْخُلُ عَلَيَّ وَ هُوَ رَجُلٌ وَ فِى نَفْسِ اَبِى حُذَيْفَةَ مِنْهُ شَيْءٌ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: اَرْضِعِيْهِ حَتَّى يَدْخُلَ عَلَيْكِ. 

Diriwayatkan oleh Zainab binti Ummu Salamah, ia berkata : Ummu Salamah berkata kepada A’isyah, “Sesungguhnya ada seorang yang sudah baligh keluar-masuk ke (rumah)mu yang aku sendiri tidak menyukai ia masuk (rumah)ku”. Lalu Aisyah menjawab, “Tidakkah pada diri Rasulullah SAW ada suri teladan yang baik bagimu ?”. Dan ‘Aisyah berkata (lagi) : Sesungguhnya istri Abu Hudzaifah pernah berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya Salim keluar masuk (rumah)-ku, sedang ia kini telah dewasa sedangkan pada diri Abu Hudzaifah ada sesuatu terhadapnya, yang demikian itu bagaimana ?”. Kemudian Rasulullah SAW bersabda, “Susuilah ia, sehingga ia (boleh) keluar masuk (rumah)mu”. (HR. Muslim).

   Hadist ini menceritakan tentang Anak yang bernama Salim yang sudah baligh dan dewasa kemudian ia disusui (yaitu penyusuan secara tidak langsung) oleh istri abu Huzaifah agar ia berstatus mahram sebagai ibu susuan. Hadist ini adalah hadist tentang bolehnya menyusui anak yang sudah baligh sehingga bisa menjadi status mahram terhadap ibu yang menyususinya dan saudara sepersusuannya.

   Oleh karena itu, melihat dari kedua hadist di atas sangat bertentangan, maka salah satu cara keempat untuk menggabungkan kedua hadist ta'arudh di atas adalah dengan mentakwil bahwa hadist Salim adalah hadist dalam kategori yang bersifat khusus, yaitu hadist tersebut khusus bagi Salim saja dan tidak berlaku untuk umum.

e).  Cara kelima: memahami atau mentakwil kedua hadist ta’arudh dalam segi ikhtiar.

   Sebagai contoh, dalam satu riwayat Rasulullah shallallahu alai wasallam membaca surah Qaff pada shalat subuh, diriwayat lain Rasulullah membaca surah At Takwir pada shalat subuh, diriwayat lain lagi beliau membaca surah Al Mu’minun pada shalat subuh. Dari berbagai riwayat di atas tentang surah yang dibaca oleh Rasulullah dapat dipahami bahwa, selama beliau hidup telah melaksanakan shalat subuh terus menerus yang jumlahnya banyak sekali, maka Rasulullah pun memilih membacanya dengan bermacam-macam surah pada shalat subuh. Hal ini bukan menandakan bahwa riwayat² tersebut saling bertentangan, akan tetapi hadist² tersebut menunjukkan kebolehan dalam bentuk ikhtiar saja, yaitu boleh membaca surah apa saja ketika sholat subuh.

𝟐) 𝐌𝐞𝐭𝐨𝐝𝐞 𝐊𝐞𝐝𝐮𝐚 : Hanya mengambil dan mengamalkan salah satu dari kedua hadist yang ta’arudh. Dari metode ini ada dua cara dalam merealisasikannya:

a). Cara pertama: Nasakh.

    Cara ini adalah cara ketika al jam’u wa taufiq (kompromi) kedua dalil ta'arudh tidak dapat dilakukan, maka cara selanjutnya yang ditempuh adalah dengan cara naskh yaitu membatalkan dan menghapus salah satu hukum yang dikandung kedua dalil tersebut dengan terpenuhinya syarat² nasakh yang telah dijelaskan pada tulisan sebelumnya.

   Sebagaimana Imam Syafi’I mengatakan bahwa, ketika kedua dalil ta’arudh/bertentangan maka salah satu metode untuk menyelesaikan adalah dengan cara menaskh dalil yang lama dengan datangnya dalil yang baru. (Lihat Kitab Ikhtilaful Hadist, 8/598). Dalam hal ini, Imam Syafi’I memakai metode naskh antara hadits yang ta’arudh, begitupun dengan antara sesama ayat al qur’an yang ta'rudh.

b) . Cara kedua: Tarjih.

    Metode selanjutnya adalah metode tarjih, yaitu jika kedua hadits yang bertentangan tidak bisa digabungkan atau al jam’u wa taufiq dan juga tidak bisa di mansukh disebabkan tidak terpenuhinya syarat² nasakh, maka metode terakhir yang harus ditempuh yaitu mentarjih salah satu dari keduanya, yaitu mengamalkan salah satu dari keduanya dan meninggalkan yang lain, dengan menggunakan dalil² murajjih (penguat). (Lihat Kitab Qawati Al Adilah fiil Ushul, 1/404)

  Contoh: Masalah perempuan yang murtad.

 Hadits pertama, menunjukkan bahwa perempuan yang murtad, maka darahnya halal dibunuh, sebagaimana Rasulullah bersabda:

مَن بَدلَ دِينَه فَاقتُلُوه

“Barangsiapa yang mengubah agamanya (murtad dari Islam), maka bunuhla.” (HR. Bukhari).

 Jadi, hadits ini adalah perintah untuk membunuh siapa saja yang murtad dari agama Islam, baik itu laki-laki maupun perempuan.

   Kemudian hadits di atas bertentangan dengan hadist Ibnu Umar tentang larangan membunuh para wanita, yaitu:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: وُجِدَتِ امْرَأَةٌ مَقْتُولَةً فِي بَعْضِ مَغَازِي رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَنَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ قَتْلِ النِّسَاءِ وَالصِّبْيَانِ

Diriwayatkan oleh Ibnu Umar, r.a berkata: terdapat wanita yang dibunuh dibeberapa peperangan Rasulullah SAW, maka Rasulullah SAW melarang membunuh perempuan dan anak-anak”. (HR. Bukhari).

   Jadi, secara zohir kedua hadist di atas saling bertentangan tentang boleh tidaknya membunuh seorang wanita. Maka dalam hal ini, kita mentarjih hadist pertama dari pada hadist kedua, sebab hadist pertama adalah menunjukkan lafazh umum yang bersifat muthlaq yang tidak memiliki asbab wurud, sedangkan hadist kedua adalah hadist yang lafazhnya umum yang sudah ditaqyid oleh adanya asbab wurud, yaitu bahwa perempuan tidak boleh dibunuh dalam situasi peperangan selama perempuan itu tidak melawan menggunakan senjata. maka dalam hal ini, hadist pertama, lebih didahulukan dari pada hadist kedua, sebab dilalahnya lebih kuat dan lebih khusus. Hal ini merupakan salah satu kaidah dalam menentukan pentarjihan, yaitu

العام المطلق مقدم على العام الوارد على سبب.

" Dilalah yang Umumnya bersifat muthlaq lebih didahulukan dari pada Dilalah yang umumnya yang mempunyai asbab wurud"

   Adapaun kaidah² pentarjihan, insyaAllah akan kita bahas pada tulisan berikutnya.

Senin, 15 Juni 2020

𝐌𝐄𝐓𝐎𝐃𝐎𝐋𝐎𝐆𝐈 𝐈𝐌𝐀𝐌 𝐒𝐘𝐀𝐅𝐈'𝐈 𝐃𝐋𝐌 𝐌𝐄𝐍𝐘𝐄𝐋𝐄𝐒𝐀𝐈𝐊𝐀𝐍 𝐃𝐀𝐋𝐈𝐋² 𝐘𝐀𝐍𝐆 𝐁𝐄𝐑𝐓𝐄𝐍𝐓𝐀𝐍𝐆𝐀𝐍

𝐄𝐝𝐢𝐬𝐢 𝟐: 𝐂𝐚𝐫𝐚 𝐦𝐞𝐧𝐲𝐞𝐥𝐞𝐬𝐚𝐢𝐤𝐚𝐧 𝐝𝐚𝐥𝐢𝐥 𝐓𝐚'𝐚𝐫𝐮𝐝𝐡 𝐚𝐧𝐭𝐚𝐫𝐚 𝐀𝐥 𝐐𝐮𝐫'𝐚𝐧 𝐝𝐚𝐧 𝐇𝐚𝐝𝐢𝐬𝐭.

 Perlu dipahami bahwa, ta’arudh atau pertentangan antara dalil Al Qur’an dan Hadist itu adalah mustahil terjadi, sebab keduanya bersumber dari wahyu Allah SWT, yaitu terlepas dari kecacatan, kekurangan bahkan perselisihan diantara kedua dalil tersebut, sebagaimana Firman Allah SWT:

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ ۚ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرً

 Artinya: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya”.(Q.S.An Nisa:82)

  Ayat di atas jelas bahwa Al Qur’an adalah wahyu Allah SWT yang tidak ada keraguan didalamnya sehingga tidak ada kontraversi didalamnya. Sama halnya dengan Hadist, yang juga merupakan wahyu Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW, sebagaiman firman Allah:

وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَىٰ. إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَىٰ. 

Artinya: “Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”.(Q.S.An Najm:3-4)

  Jadi, jelas bahwa Hadist Nabi itu adalah penguat dan penjelasan terhadap Al Qur’an yang bersifat mujmal. 

 Imam Syafi’I berkata:

وليس يخالف القرآنَ الحديثُ 

“Tidak akan pernah Hadist bertentangan dengan Al Qur’an” (lihat kitab Al Umm, 7/360)

إن سنة رسول الله لا تكون مخالفة لكتاب الله بحال 

“Sesungguhnya Sunnah Rasulullah SAW tidak akan bertentangan dengan Kitabullah dan itu mustahil” (lihat Kitab Risalah, 227)

كل ما سن رسول الله مع كتاب الله من سنة، فهي موافقة كتابَ الله 

“Segala apa yang disunnahkan oleh Rasulullah, maka pasti sesuai dengan Al Qur’an” (Lihat kitab Risalah, 212)

    Memahami dari perktaan Imam syafi’I bahwa, Tidak ada ayat Alquran yang bertentangan dengan hadis sahih karena Alquran adalah sesuatu yang pasti benar, dan hadis sahih adalah sesuatu yang pasti benar pula, sedangkan kebenaran itu tidak akan bertentangan satu sama lain. Sumber keduanya sama, yaitu Allah SWT, keduanya sama-sama wahyu Allah, dan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam hanyalah menyampaikan wahyu dari Allah SWT. Jadi, dengan demikian, tidak boleh menolak sebagian nash (ayat atau hadis sahih) dengan alasan bertentangan dengan nash yang lain, karena hal ini berarti mendustakan sebagian kebenaran. Meski ada ayat-ayat atau hadis-hadis yang dianggap bertentangan oleh sebagian orang, namun hal itu hanyalah persangkaan dan ketidak cukupan ilmu. Para ulama sudah mendudukan nash-nash tersebut pada tempatnya, sehingga tidak lagi bertentangan.

  Oleh sebab itu, adapun metode Imam Syafi’I dalam menyelesaikan dalil ta’arudh antara Al Qur’an dan Hadist adalah:

1)  𝐌𝐞𝐭𝐨𝐝𝐞 𝐩𝐞𝐫𝐭𝐚𝐦𝐚: Al Jam’u wa Taaufik (kompromi), yaitu dengan cara Hadist mentakhsis keumuman Al Qur’an atau taqyidul muthlaq.

    Telah dijelaskan bahwa mayoritas ulama telah sepakat bahwa lafazh yang ‘Am (umum) menunjukan kepada setiap satuan yang dicakupnya, sekalipun mereka berselisih dalam hal kekuatan penunjukan dalamnya terhadap setiap yang dicakup itu; apakah qath’i atau dzanny, disamping telah diterangkan bentuk perselisihan.

 Sedangkan takhsisul umum adalah mengeluarkan atau mengkhususkan sebagian dari lafazh yang sifatnya umum. Jadi, Hadits berfungsi sebagai mengkhusukan ayat-ayat al-Qur’an yang lafazhnya bersifat umum.( lihat kitab Al Mahshul fii Ushulil Fiqhi, 3/7)

   Adapun kata mutlaq secara bahasa, berarti tidak terkait dengan ikatan atau terlepas. (Lihat kitab Ibnu Manzdum 10/227), Sedangkan menurut ulama ushul fiqh, muthlaq ialah:“Suatu lafadz tertentu yang belum ada ikatan atau batasan dengan lafadz lain yang mengurangi keseluruhan jangkauannya. atau “Lafaz yang menunujukkan sesuatu hakikat, tanpa ada satu ikatan dari (beberapa) ikatannya.” (lihat Kitab Ushul Fiqh, Basiq djalil, hlm 94), Sedangkaan Muqayyad secara bahasa artinya sesuatu yang diikat atau yang diikatkan kepada sesuatu. (Lihat kitab Maqayis Lugho, 5/44). Adapun secara istilah ialah suatu lafal yang menunjukkan arti yang sebenarnya dengan dibatasi oleh sesuatu hal dari batasan-batasan tertentu, baik berupa sifat, keadaan, atau dengan syarat tertentu. Batas tertentu itu disebut Al-Qaid atau Qayid. (Lihat kitab Raudhotu An Nadzir, 2/102)

    Jadi, yang dimaksud dengan taqyidul muthlaq adalah fungsi hadits yang membatasi kemuthlakan ayat-ayat al-Qur’an. Dalam artian bahwa keterangan yang ada dalam al-Qur’an yang bersifat mutlaq, kemudian ditakhsish dengan keterangan Hadits yang khusus.

 Imam Syafi’I berkata:

إن سنة رسول الله لا تكون مُخالفة لِكتاب الله بِحَالٍ، ولكن ها مُبَينَة عا مه وخا صه 

“Sesungguhnya sunnah Rasulullah tidak bertentangan dengan Kitabullah, hanya saja Hadist tersebut menjadi penjelasan keumuman Al Qur’an dan mengkhususkannya” ( lihat kitan Risalah, hlm 226)

    Adapun contoh dari metode al jam'u wa Taufik dengan takhsisul umum yaitu Allah berfirman:

يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ

Artinya: “Allah mensyariatkan bagimu tentang (bagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang perempuan (QS. Al-Nisa’ : 11)

  ayat di atas menjelaskan pembagian harta terhadap para ahli waris, baik anak lelaki, perempuan dan lain sebagainya. Ayat di atas masih bersifat umum tanpa ada batasan, kemudian dikhususkan dengan hadits Nabi yang melarang mewarisi harta peningglan para Nabi, berlainan agama, dan pembunuh. sebagaimana dalam sabda-Nya :

لا يرث القاتل 
“Pembunuh tidak dapat mewarisi harta pusaka”. (HR. At-Tirmidzi)

لا يرث المسلم الكافر، ولا الكافر المسلم

" seorang Muslim tidak dapat mewarisi harta seorang kafir dan seorang kafir terhadap muslim" (HR. Bukhari).

   Jadi, Kedua Hadist diatas merupakan sebagai pentakhsis keumuman ayat tentang hukum waris yang masih bersifat umum, sehingga jelas bahwa ketika ada anak sengaja membunuh orang tuanya maka dia tidak berhak mendapat harta warisan dari org tuanya. Begitupun dengan anak dan orang tua yang berbeda agama, maka keduanya tidak berhak saling mewarisi satu sama lain.

   Kemudian, Adapun contoh dari al jam'u wa Taufik dengan cara Taqyidul Muthlaq, Sebagaimana Allah berfirman:

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Artinya: “ laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.(Q.S.Al Maidah:38)

   Ayat di atas menjelaskan tentang hukum qishas, yaitu pemotongan tangan bagi pencuri tanpa adanya penjelasan yang lebih lanjut batas jumlah yang dicuri. Kemudian jumlah itu baru diketahui dan dijelaskan ketika ketika Rasulullah bersabda:

عَنْ عَائِشَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: تُقْطَعُ يَدُ السَّارِقِ فِي رُبُعِ دِينَارٍ فصاعدا

Diriwayatkan oleh Aisyah, r.a dari Nabi Shallallahu alai wassalam bersabda: “tangan pencuri itu dipotong ketika sampai sperempat dinar dan keatasnya” (HR. Bukhori).

    Imam Syafi’I mengatakan bahwa, hadist di atas mentaqyid ayat potong tangan yang sifatnya muthlaq yang menunjukkan potong tangan bagi siapa saja yang mencuri sedikit maupun banyak. Sehingga hadist ini datang dan menunjukkan bahwa tidak semua yang mencuri tangannya dipotong, akan tetapi hanya yang mencapai nishob dan takaran saja, yaitu seperempat dan keatasnya. (Lihat kitab Ikhtilaful hadist, 8/596)

2)  𝐌𝐞𝐭𝐨𝐝𝐞 𝐤𝐞𝐝𝐮𝐚: Hadist tersebut menunjukkan untuk meninggalkan madlul Al Qur’an secara keseluruhan dengan cara tarjih.

   Metode diatas adalah metode kedua apabila dengan cara al jam’u wa taufiq (kompromi) kedua dalil ta'arudh tersebut tidak dapat dilakukan. 

    Pada umumnya Imam Syafi’I memakai metode naskh dan mansukh ketika terjadi ta’arudh, sebagaimana beliau mengatakan bahwa, ketika kedua dalil ta’arudh/bertentangan maka salah satu metode untuk menyelesaikan adalah dengan cara menaskh dalil yang lama dengan datangnya dalil yang baru. (Lihat kitab Ikhtilaful Hadist, 8/598).

  Secara umum penghapusan hukum terbagi beberapa kondisi, yaitu kondisi Al Qur’an menasakh Al Qur’an, kondisi Hadist menasakh Hadist, kondisi Al Qur’an menaskh Hadist, dan kondisi Hadist menasakh ayat Al Qur’an. 

  Namun, yang perlu diketahui bahwa Imam Syafi’I tidak membolehkan Al Qur’an dinaskh/dihapus oleh hadist dan begitupun sebaliknya yaitu hadist dinaskh/dihapus oleh al qur’an, sebab hadist sebagai penjelasan dan penguat terhadap makna ayat. Sebagaimana beliau berkata:

وأبان الله لهم أنه إنما نسخ ما نسخ من الكتاب بالكتاب، وأن السنة لا ناسخة للكتاب، وإنما هي تبع للكتاب بمثل ما نزل نصًّا، ومفسرة معنى ما أنزل الله منه جملا...فإن قال قائل: هل تنسَخ السنة بالقُرَآن؟ قيل: لو نُسخَت السنة بالقُرَآن، كانت للنبي فيه سنة تبُينُ أن سنته الأولى منسوخة بسُنته الآخِرة حتى تقوم الحجة على الناس، بأن الشيء ينسَخ بِمِث له 

“Dan yang Allah jelaskan kepada mereka adalah bahwasanya sesungguhnya naskh itu terjadi hanya sesama ayat al qur’an, dan bahwasanya sunnah tidak menghapus hukum al qur’an, akan tetapi ia hanya mengikuti al qur’an, dan sebagai mufassirah/penjelasan terhadap makna yang Allah turunkan secara ijmalan (umum). Dan jika ada orang yang bertanya: apakah sunnah boleh dihapus oleh Al Qur’an? Maka, dikatakan: jika sekiranya sunnah dinaskh oleh al qur’an, maka Rasulullah akan menjelaskan bahwa, yang pertama menjadi penghapusan hukum adalah sunnahnya, sehingga menjadi hujjah bagi manusia, dan bahwasanya sesuatu hanya dinaskh oleh semisalnya/sederajat” (lihat kitab Risalah, hlm. 107)

 Kemudian beliau berdalil, sebagaiman firman Allah SWT:

مَا نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا ۗ أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

Artinya: “Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”.(Q.S.Al Baqarah:106).

    Jadi, objek yang dinaksh, harus sebanding atau semisal dengannya, oleh sebab itu bahwa penghapusan hukum terhadap al qur’an hanya terjadi dengan al qur’an saja.

    Maka dari itu dapat dipahami bahwa, menurut Imam Syafi’I, tidak mungkin sunnah tersebut menunjukkan untuk meninggalkan madlul Al Qur’an secara keseluruhan dengan metode naskh, disebabkan ketidak bolehan al qur’an menaskh hadist dan sebaliknya.

  Oleh karena itu ketika Imam Syafi' tidak membolehkan cara nasakh antara Al quran dan hadist, maka beliau menggunakan metode tarjih sebagai cara menunjukkan untuk meninggalkan madlul Al quran secara keseluruhan.

  Walaupun dikalangan para ulama ushul berbeda pendapat tentang metode tersebut, yaitu: pertama, al qur’an lebih didahulukan dari hadist, disebabkan ketsubutannya yang qhat’I. kedua, sunnah lebih didahulukan dari pada al qur’an sebagai penjelasan terhadap al qur’an. Ketiga, melakukan pentarjihan diantara keduanya, dan inilah yang dikuatkan oleh Al Juwaini, salah satu ulama Syafi’iyyah. (Lihat kitab Qawati Al Adillah fii Ushul, 1/449).

 Bahkan beberapa ulama syafi'yyah membolehkan dan menggunakan metode naskh sebagai bentuk dalam menyelesaikan dalil² yang bertentangan antara al quran dan hadist, jika al jam'u wa Taufik tak bisa dilakukan, baik itu Al quran menaskh hadist maupun sebaliknya. Mereka berdalil dengan kasus pemindahan kiblat dari Baitul Maqdis ke Mesjidil haram.  Sebagaimana Hadist Rasulullah tentang sholat menghadap baitul maqdis:

عبدالله بن عباس :كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يصلي بمكة نحو بيت المقدس والكعبة بين يديه.

" Dari Abdullah bin Abbas: bahwasanya Rasulullah sholat disekitar ka'bah menghadap Baitul maqdis, sedangkan Ka'ba berada disisinya". (Lihat Al ahkam Al kabir, 2/156).

   Kemudian, setelah satu tahun lebih turunlah firman Allah sebagai hukum baru untuk mengganti dan menghapus hukum lama yang terdapat dlm hadist di atas, sebagai bentuk final dari kiblat kaum muslimin.

قَدْ نَرَىٰ تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِى ٱلسَّمَآءِ ۖ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَىهَا ۚ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ ٱلْمَسْجِدِ ٱلْحَرَامِ ۚ وَحَيْثُ مَا كُنتُمْ فَوَلُّوا۟ وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُۥ ۗ وَإِنَّ ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْكِتَٰبَ لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ ٱلْحَقُّ مِن رَّبِّهِمْ ۗ وَمَا ٱللَّهُ بِغَٰفِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ

"Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan" (Al Baqarah: 144).

   Kasus pemindahan arah kiblat ini, juga menjadi dalil dari pihak ulama yang hanya membolehkan Al quran menaskh hadist saja dan tidak sebaliknya. Akan tetapi, kalau kita melihat dan menganalisis lagi lebih mendalam, bahwa jalur penghapusan hukum di atas yaitu antara al quran dan hadist kurang tepat karena ada ayat lain yang menjadi objek mansukh (penghapusan) dari ayat di atas, sebab nasakh (penghapusan hukum) itu terjadi ketika keduanya semisal dan sederajat, yaitu ayat menaskh ayat lain, hadist menaskh hadist lain.

 Ayat yang menjadi objek penghapusan hukumnya dari ayat di atas, yaitu ayat tentang kiblat pertama kaum muslimin ketika itu

وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ
(Lihat syarhu ibnu majah, 3/641)

   Jadi, kesimpulan dalam metode menyelesaikan dalil ta’arudh (bertentangan) antara al qur’an dan sunnah menurut Imam Syafi’I adalah pertama, al Jam’u wa taufiq (kompromi) yaitu menggabungkan kedua dalil tersebut dengan menggunakan metode takhsisul umum dan taqyidul muthlaq. Kemudian kedua, jika tidak memungkinkan penggabungan antara keduanya, maka cara selanjutnya adalah dengan menggunakan metode tarjih dan tidak menggunakan metode naskh kecuali semisalnya atau sebandingnya. 

   Contoh dari metode tarjih antara al quran dan hadist yang bertentangan adalah masalah wanita yang menunaikan haji tanpa didampingi oleh mahramnya.

Allah berfirman:

وَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلْبَيْتِ مَنِ ٱسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا

"Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah"

   Secara zohir Ayat ini adalah sebuah perintah untuk bepergian dalam menunaikan haji ke baitullah baik laki² maupun perempuan yang mampu secara fisik dan harta. Ayat ini juga menunjukkan kebolehan wanita bepergian untuk menjalankan ibadah haji tanpa didampingi oleh mahramnya. Nah, secara zohir ayat di atas bertentangan dengan hadist yang mengharuskan adanya mahram yang mendampinginya ketika wanita itu bepergian.

قول رسول الله صلى الله عليه وسلم: لا يحلُّ لامرَأةٍ تؤمِنُ باللَّهِ واليومِ الآخِرِ ، تُسافرُ مَسيرةَ يومٍ وليلةٍ إلَّا معَ ذي مَحرَمٍ.

" tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhirat untuk bepergian sehari semalam tanpa didampingi oleh mahramnya" (HR. Bukhari dan Muslim).

   Secara zohir Hadist di atas jelas mengatakan bahwa wanita tidak boleh bepergian jika tidak ada mahramnya yang mendapinginya. Maka, Melihat dari kasus ta'arudh antara al quran dan hadist di atas, Imam Syafi menggunakan metode tarjih dalam menyelesaikannya, yaitu beliau mendahulukan kezohiran al quran dari pada kezohiran hadist tersebut, sehingga wanita boleh bepergian untuk menjalankan ibadah haji tanpa didampingi oleh mahramnya, sebab pelarangan bepergian dalam hadist tersebut adalah pelarangan bepergian yang tidak lazim bagi perempuan bukan pelarangan bepergian untuk menunaikan ibadah haji. (Lihat Ikhtilaful Hadist, 8/624)

𝐌𝐄𝐓𝐎𝐃𝐎𝐋𝐎𝐆𝐈 𝐈𝐌𝐀𝐌 𝐒𝐘𝐀𝐅𝐈'𝐈 𝐃𝐋𝐌 𝐌𝐄𝐍𝐘𝐄𝐋𝐄𝐒𝐀𝐈𝐊𝐀𝐍 𝐃𝐀𝐋𝐈𝐋² 𝐘𝐀𝐍𝐆 𝐁𝐄𝐑𝐓𝐄𝐍𝐓𝐀𝐍𝐆𝐀𝐍

𝐄𝐝𝐢𝐬𝐢 𝟏: 𝐏𝐞𝐧𝐝𝐚𝐡𝐮𝐥𝐮𝐚𝐧

    Masalah khilafiah merupakan persoalan yang terjadi dalam realitas kehidupan manusia yang berkaitan dengan masalah furu’iyyah. Di antara masalah khilafiah tersebut ada yang menyelesaikannya dengan cara yang sederhana dan mudah, karena ada saling pengertian berdasarkan akal sehat. Tetapi dibalik itu masalah khilafiah dapat menjadi ganjalan untuk menjalin keharmonisan di kalangan umat Islam karena sikap taasub (fanatik) yang berlebihan, tidak berdasarkan pertimbangan akal sehat dan sebagainya.

    Perbedaan pendapat dalam lapangan hukum sebagai hasil penelitian (ijtihad), tidak perlu dipandang sebagai faktor yang melemahkan kedudukan hukum Islam, bahkan sebaliknya bisa memberikan kelonggaran kepada orang banyak, memperkaya khazanah islam dan memberikan kemudahan apabila disikapi secara dewasa.

sebagaimana yang diharapkan Nabi :

اختلاف في أمتى رحمة

“Perbedaan pendapat di kalangan umatku adalah rahmat”.(HR. Baihaqi).

  Berbicara tentang hukum dalam islam khususnya dalam masalah furuiyyah tidak lepas dari pandangan atau pendapat dari berbagai mazhab yang ada, sehingga tidak sedikit terjadi silang pendapat antar mazhab terhadap suatu perkara dalam masalah fiqih, sehingga kita lihat bahwa rata-rata penduduk Indonesia adalah warga negara yang menyandang status muslim. Bahkan riset membuktikan bahwa jumlah muslim terbanyak di seluruh dunia salah satunya adalah negara Indonesia dan mayoritas dari mereka bermazhab pada Imam Syafi’i.

 Perbedaan pendapat dalam berbagai permasalahan agama Islam bukanlah sesuatu yang baru yang perlu dibesar-besarkan, ia merupakan sesuatu yang telah ada sejak masa-masa awal berkembangnya Islam bahkan telah ada dan terjadi pada masa Nabi Muhammad masih hidup. Hanya saja yang menarik dari perbedaan pendapat yang terjadi pada masa hidupnya Rasul dan para sahabat adalah tumbuhnya sikap toleransi dan saling menghargai di antara mereka, sekalipun mereka sama-sama menimba ilmu dan mendengar Hadis dari Rasulullah. Sehingga perkataan “perbedaan di antara umatku adalah rahmat” dapat terlihat jelas dalam sikap dan pengamalan mereka terhadap agama.

   Berbeda dengan yang terjadi akhir-akhir ini, perbedaan pendapat malah menjadi bibit permusuhan, anarkisme, maupun kontak fisik. Tiap-tiap golongan mengklaim kebenaran hanya ada di pihaknya saja, sedang yang lainnya sesat, bahkan tak jarang satu sama lain begitu berani dan lantangnya mengkafirkan saudaranya dengan argumentasi “dalilnya lemah” , “dalilnya palsu”, “pelaku bid‟ah”, dan lain-lain. Sikap ini jika dipahami sebenarnya muncul dari ketidakpahaman secara utuh oleh segolongan kaum muslimin terhadap warisan Rasulullah berupa Alquran dan Sunah. Sebagian mereka ada yang hanya melihat tekstualnya nas, sebagian ada yang melihat illahnya, sebagian ada yang menggiringnya kepada keadaan masa kini (kontestualisasi).

  Sebagaimana diketahui bahwa ada empat mazhab yang paling masyhur dalam Islam yaitu Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafi’I dan Mazhab Hanbali. Masing-masing Mazhab mempunyai metode sendiri dalam menyelesaikan suatu masalah serta dalil-dalil yang bertentangan dengan merujuk kepada Al Kitab dan Al Hadist. Oleh karena itu dengan adanya polarisasi mazhab disitulah sering terjadi perbedaan-perbedaan pandangan hukum dalam menyikapi suatu permasalahan yang ada, sehingga tidak sedikit dari kaum muslimin yang berbeda pandangan dengan kaum muslimin lainnya disebabkan dengan adanya metode masing-masing mazhab yang mereka pakai dalam meyelesaikan suatu masalah dalam cabang furuiyyah.

    Perlu dipahami bahwa ta'arudh al adillah itu mustahil terjadi sebab keduanya bersumber dari wahyu Allah SWT, yaitu terlepas dari kecacatan, kekurangan bahkan perselisihan diantara dalil-dalil yang bertentangan tersebut. Adapun ayat-ayat atau hadis-hadis yang dianggap bertentangan oleh sebagian orang, itu hanyalah persangkaan dan ketidak cukupan ilmu seseorang dan para ulama sudah mendudukan nash-nash tersebut pada tempatnya, sehingga tidak lagi bertentangan.

  Maka dari itu, Adapun Imam Syafi'i mengklasifikasi dalil-dalil ta'arudh kedalam 2 bagian:

1. Ta'rudh antara sesama dalil Naqliyyah. mencakup :
- Ta'rudh antara Alquran dan Hadist.
- Ta'rudh antara hadist dan hadist.
- Ta'rudh antara Ijma' dan Nash (Al quran dan Hadist)
- Ta'rudh antara Nash dan Qaul As Sahabah (Perkataan Sahabat).

2. Ta'rudh antara dalil Naqliyyah dan Aqliyyah, mencakup:
- Ta'rudh antara Nash dan Qiyas.
- Ta'rudh antara Nash dan 'Urf
- Ta'rudh antara Perkataan sahabat dan Qiyas.

(Dari pengklasifikasian diatas, insyaAllah akan kita bahas dan kupas satu persatu pada edisi berikutnya).

   Melihat dari pengklasifikasian diatas, maka secara umum Imam Syafi'i memiliki 3 metode dlm menyelesaikan dalil-dalil yang bertentangan tersebut. Adapun Metode Imam Syafi'i antaralain:

   Metode pertama: Al jam'u wa Taufik, yaitu penggabungan antara dua dalil yang bertentangan, jika hal itu memungkinkan. Jadi, ketika ada dua dalil yang saling bertentangan baik itu dalil naqliyyah maupun aqliyyah, maka metode pertama yang dilakukan oleh Imam Syafi'i adalah penggabungan kedua dalil ta'arudh tersebut, sehingga kedua-duanya bisa diamalkan dan tidak mengambil atau mengamalkan salah satunya saja.

   Metode Kedua: Metode naskh (Penghapusan hukum) adalah menghapus hukum syar'i dengan dalil yang datang kemudian. Maka, jika sendainya nashk yang di nashk kan tidak datang maka tentulah hukum pertama masih berlaku. Metode ini adalah metode kedua yang dipakai oleh Imam Syafi'i ketika kedua dalil bertentangan tersebut tidak bisa digabungkan atau dikompromikan. Metode ini juga mempunyai syarat- syarat tertentu untuk membatalkan dan menghapus hukum sebelumnya dengan datangnya hukum baru. Dari syarat-syarat tersebut yaitu:
  1. Hukum yang mansuukh adalah hukum syara’ 
  2. Dalil penghapusan hukum tersebut adalah khithab syar’i yang datang lebih kemudian dari khithab yang hukumnya mansuukh.
  3. Khithab yang mansuukh hukumnya tidak terikat (dibatasi) dengan waktu tertentu. Sebab jika tidak demikian maka hukum akan berakhir dengan berakhirnya waktu tersebut, dan itu tidak dinamakan naskh.  
 Metode ketiga: Metode Tarjih, yaitu mengunggulkan salah satu dalil yang bertentangan dengan cara menganalisis dari aspek sanad, matan, dilalahnya dan illahnya. Sehingga hanya mengambil dan mengamalkan salah satu dari dalil yang bertentangan tersebut. Metode ini adalah metode ketiga yang dipakai oleh Imam Syafi'i ketika metode al jam'u wa taufik (penggabungan) dan metode naskh tidak bisa dilakukan. Metode tarjih ini, juga mempunyai qaidah-qaidah tertentu dalam menyelesaikan pergolakan kedua dalil ta'arudh sehingga bisa menentukan dalil yang rajih ( kuat) dan dalil marjuh (lemah). Adapun Qaidah-qaidah Tarjih, insyaAllah akan dibahas pada edisi berikutnya.