Jumat, 26 Juni 2020

𝐌𝐄𝐓𝐎𝐃𝐎𝐋𝐎𝐆𝐈 𝐈𝐌𝐀𝐌 𝐒𝐘𝐀𝐅𝐈'𝐈 𝐃𝐋𝐌 𝐌𝐄𝐍𝐘𝐄𝐋𝐄𝐒𝐀𝐈𝐊𝐀𝐍 𝐃𝐀𝐋𝐈𝐋² 𝐘𝐀𝐍𝐆 𝐁𝐄𝐑𝐓𝐄𝐍𝐓𝐀𝐍𝐆𝐀𝐍

𝐄𝐝𝐢𝐬𝐢 𝟕: 𝐂𝐚𝐫𝐚 𝐦𝐞𝐧𝐲𝐞𝐥𝐞𝐬𝐚𝐢𝐤𝐚𝐧 𝐝𝐚𝐥𝐢𝐥 𝐓𝐚’𝐚𝐫𝐮𝐝𝐡 𝐚𝐧𝐭𝐚𝐫𝐚 𝐍𝐚𝐬𝐡 𝐝𝐚𝐧 ‘𝐔𝐫𝐟.

   Secara etimologi, kata al-'urf (العُرْف) bermakna al-khairu (الخيْر), al-ihsanu (الإحسان), dan ar-rifqu (الرِّفْق), yang semuanya bermakna kebaikan. 
  Sedangkan secara terminologi, al-'urf bermakna :

ما اعْتاد النّاسُ وسارُاوا عليْهِ فِي أُمُورِ حياتِهِمْ ومُعاملاتِهِمْ مِنْ قوْلٍ أوْ فِعْلٍ أوْ ترْكٍ

“Apa yang menjadi kebiasaan manusia dan mereka melawati kehidupan dan muamalat mereka dengan hal itu, baik berupa perkataan, perbuatan atau hal yang ditinggalkan”. (Lihat kitab At Ta'rifat, hal. 125).

   Dan terkadang al-‘urf ini juga disebut al-‘adah (العادة), atau kebiasaan yang berlaku di suatu masyarakat tertentu.

    Ibnu Sam’ani mendefinisikan al-urf , adalah :

ما اسْتقرّ فيِ النُّفُوسِ مِنْ جِهّةِ العُقُولِ و تلقّتْهُ الطِّباعُ السّلِيْمةُ بِالقبُولِ

“Apa-apa yang menempati jiwa dari segi logika dan diterima oleh tabiat yang sehat”. (Lihat kitab Al Qawati Al Adillah fiil Ushul, 1/29).

   ‘Urf atau adat adalah salah satu dalil aqliyyah yang didukung kehujjahannya oleh nash. Yang mana ‘urf tersebut bersumber dari masyarakat setempat dengan cara merwariskannya secara turun temurun dari generasi ke generasi berikutnya. dari sini dipahami bahwa ‘urf adalah salah satu qaidah fiqhiyyah mu’tabar, selama ‘urf itu tidak bertentangan dengan nash. Sehingga ‘urf atau adat yang tersebar di masyarakat bisa ditetapkan sebagai landasan hukum. Oleh sebab itu atas dasar inilah para ulama ushul membuat kaidah tentang 'Urf:

Kaidah Pertama:

العَادَةُ مُحَكَّمَةٌ

"Adat kebiasaan itu dapat ditetapkan sebagai landasan hukum." (Lihat kitab Qawaid Al Ahkam fii Masholih Al anam, hal. 564)

Kaidah Kedua:

لاَيُنْكَرُ تَغَيُّرُ الْحُكْمِ بِتَغَيُّرِ الأَمْكِنَةِ وَالأَزْمَانِ

"Tidak dapat dipungkiri bahwa perubahan hukum (berhuhungan) dengan perubahan tempat dan masa." (Lihat kitab Qawaid Al fiqhiyyah, hal.227).

  Maka dari itu, Jika ‘Urf yang tersebar di masayarakat, baik itu ‘urf yang berbentuk ucapan maupun perbuatan/adat bertentangan dengan Nash, maka Imam Syafi’I menyelesaikannya dengan menggunakan dua metode, yaitu: 

𝟏). 𝐌𝐞𝐭𝐨𝐝𝐞 𝐏𝐞𝐫𝐭𝐚𝐦𝐚: Al Jam’u wa Taaufik (kompromi), yaitu menggabungkan kedua dalil ta'arudh tersebut dengan cara ‘Urf mentakhsis keumuman Nash atau Taqyidul Muthlaq.

   Jadi, inilah metode pertama yang dilakukan oleh Imam Syafi'i ketika Nash bertentangan dengan 'Urf yaitu Al Jam’u wa taufiq jika hal tersebut memungkinkan dengan cara ‘urf mentakhsis keumuman nash dan mentaqyid kemuthlakan nash. Sehingga dalam hal ini Imam Syafi’I membolehkan ‘Urf mentakhsis keumuman nash dan begitupun mentaqyid kemuthlakan nash. (Lihat kitab Risalah, hal. 509).

    Sebagai contoh yaitu Rasulullah SAW bersabd:

أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، يَقُولُ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَوْ قَالَ: قَالَ أَبُو القَاسِمِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ

Abu Hurairah berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Berpuasalah kalian karena melihatnya, berbukalah kalian karena melihatnya. Jika -hilal- itu tertutup dari pandangan kalian, sempurnakanlah bukan say’ban menjadi tiga puluh hari” .

   Yang dimaksud dengan Ru’ya pada hadist di atas adalah Ru’yatul bashoriyyah yaitu penglihatan dengan mata kepala atau melihat langsung kemunculan hilal. Ru’yatul bashoriyyah digunakan oleh penduduk masyarakat arab yang belum memiliki teknologi dalam menentukan waktu ramadhan, sehingga hal ini bisa dihukumi bahwa Ru’yatul bashoriyyah merupakan adat masyarakat arab pada waktu itu, yang mentakhsis keumuman hadist.

  Begitupun juga pada zaman sekarang, yaitu zaman teknologi, yang juga merupakan adat masyarakat, sehingga bisa dihukumi bahwa adat masyarakat sekarang yang penuh dengan teknologi bisa mentakhsis keumuman hadist di atas dengan menetapkan hilal dengan cara hisab dengan menggunakan teknologi dan bukan dengan cara melihat langsung hilal tersebut dengan mata kepala.

𝟐). 𝐌𝐞𝐭𝐨𝐝𝐞 𝐊𝐞𝐝𝐮𝐚: Jika ‘Urf tersebut menunjukkan untuk meninggalkan madlul Nash secara keseluruhan, maka nashlah yang harus didahulukan.

   Sebagaiman telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, bahwa ‘Urf atau adat yang mu’tabar sebagai landasan hukum adalah ‘urf yang tidak menyalahi nash baik itu dari al qur’an dan sunnah, sebab ‘urf hanya merupakan dalil penunjang. Dikarenakan banyak ‘Urf pada zaman jahiliyah yang dihapus oleh datangnya Islam, seperti adat riba, adat minuman keras, adat perjudian, adat jual beli gharar, nikah syighar, dan lain-lain. (Lihat kitab Al ‘Urf wa Al ‘Amal fii Madzhab Al Maliki, hal. 168).

   Adapun maksud dari metode kedua di atas adalah Jika ‘Urf tersebut menunjukkan harus meninggalkan madlul Nash secara keseluruhan, disebabkan ta’arudh yang sangat kuat dan tidak bisa digabungkan antara keduanya, maka dalam hal ini Imam Syafi’I lebih mendahulukan nash dari pada ‘Urf yaitu mengamalkan nash dan meninggalkan atau menolak ‘Urf/adat yang tersebar di masyarakat. 

    Oleh sebab itu, dalam metode ini, Imam Syafi’I tidak lagi menggunakan metode naskh, akan tetapi langsung mentarjih nash atas ‘urf, yaitu nash lebih didahulukan dari pada ‘Urf. Seperti adat yang berbau kesyirikan dan lain-lain sebagainya yang tidak sesuai dengan Islam.

Wallahu a'lam bishowab

Selasa, 23 Juni 2020

𝐌𝐄𝐓𝐎𝐃𝐎𝐋𝐎𝐆𝐈 𝐈𝐌𝐀𝐌 𝐒𝐘𝐀𝐅𝐈'𝐈 𝐃𝐋𝐌 𝐌𝐄𝐍𝐘𝐄𝐋𝐄𝐒𝐀𝐈𝐊𝐀𝐍 𝐃𝐀𝐋𝐈𝐋² 𝐘𝐀𝐍𝐆 𝐁𝐄𝐑𝐓𝐄𝐍𝐓𝐀𝐍𝐆𝐀𝐍

𝐄𝐝𝐢𝐬𝐢 𝟔: 𝐂𝐚𝐫𝐚 𝐦𝐞𝐧𝐲𝐞𝐥𝐞𝐬𝐚𝐢𝐤𝐚𝐧 𝐝𝐚𝐥𝐢𝐥 𝐭𝐚’𝐚𝐫𝐮𝐝𝐡 𝐚𝐧𝐭𝐚𝐫𝐚 𝐍𝐚𝐬𝐡 (𝐀𝐥 𝐪𝐮𝐫𝐚𝐧 𝐝𝐚𝐧 𝐇𝐚𝐝𝐢𝐬𝐭) 𝐝𝐚𝐧 𝐐𝐢𝐲𝐚𝐬.

   Menurut bahasa Kata qiyas (قياس ) berasal dari akar kata qaasa - yaqishu - qiyaasan (قاس يقيس قياسا ), yaitu pengukuran (تقدير ). (Lihat kitab As Sihah Taju Al Lugho, 3/967).

  Sedangkan bila pengertian secara bahasa ini mau dilengkapi, Dr.Wahbah Az-zuhaily menyebutkan :

معرفة قدر الشيء بما يماثله

“Mengetahui ukuran sesuai dengan apa yang semisal dengannya”. (Lihat Kitab Al Wajiz fii Ushulil Fiqhi, hlm.57). Misalnya mengatakan bahwa Fulan mengukur panjang kain dengan menggunakan meteran.

  Senada dengan pengertian secara bahasa di atas, di dalam kamus Al-Bahrul Muhith disebutkan bahwa qiyas adalah Mengukur sesuai dengan ukuran sesuatu yang lain dan membandingkannya.

  Sedangkan, Pengertian qiyas secara terminologi terdapat beberapa definisi yang dikemukakan para ulama ushul fiqih, sekalipun redaksinya berbeda tetapi mengandunng pengertian yang sama. Sehingga diantara ulama ushul ada yang mengartikan bahwa qiyas adalah salah satu dalil tersendiri sebagai landasan hukum atau sumber hukum seperti halnya dengan dalil sumber hukum lainnya dan ada yang mengartikan bahwa qiyas adalah hasil Ijtihad para mujtahid.

  Dr. Wahbah Az-Zuhaily mengutip beberapa pendapat dari para ulama ushul menyebutkan bahwa mereka mendefisnikan pengertian qiyas sebagai :

إلحق أمر غير منصوص على حكمه الشرعي بأمر منصوص على حكمه لإشتراكهما فى علة الحكم

“Menyamakan perkara yang hukum syara’nya tidak dijelaskan dalam nash dengan perkara yang hukum syara’nya dijelaskan dalam nash, karena ada kecocokan dalam hkum illat”. (Lihat kitab Al wajiz fii Ushulil Fiqhi, hal. 603).

   Al-Qadli Abu Bakar al-Baqilani mendifinisikan al-qiyas adalah:

وهو حمل معلوم على معلوم في إثبات حكم لهما أو نفيه عنهما بأمر جامع بينهما من حكم أو صفة

“Qiyas adalah Menyatukan sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya dalam nash dengan sesuatu yang disebutkan hukumnya oleh nash, disebabkan kesatuan ‘Illat antara keduanya.” (Lihat Kitab Ilmu Ushul Fiqhi, hal. 71).

  Pendapat inilah yang di pilih oleh Jumhur Ulama Muhaqqiqin dari kalangan Mazhab Syafi’iyyah. (Lihat Kitab Al Wajiz fii Ushul Fiqhi, hal. 602).

   Perlu diperhatikan bahwa para ulama ushul dalam membuat definisi qiyas menggunakan kata ilhaq (إلحاق ), yang bermakna menjelaskan dan menyamakan, mereka tidak menggunakan kata itsbat (إثبات ) yang bermakna menetapkan. Alasannya, karena sebenarnya hukum suatu masalah yang tidak disebutkan nashnya itu pada hakikatnya sudah punya dasar hukum yang tercakup di dalam nash itu, hanya saja banyak orang yang belum mengerti dan memahami hukumnya, karena memang tidak disebutkan secara eksplisit lewat dalilnya. (Lihat kitab Qawati' Al adillah fiil Ushul, 2/134).

  Maka dari itu Qiyas mempunyai rukun tersendiri yang merupakan salah satu dalil syara' atau sumber hukum, yaitu:

1) . Rukun pertama: Al ashlu (pokok).

   Sumber hukum yang berupa nash-nash yang menjelaskan tentang hukum, atau wilayah tempat sumber hukum.Yaitu masalah yang menjadi ukuran atau tempat yang menyerupakan. Para fuqaha mendefinisikan al-ashlu sebagai objek qiyas, dimana suatu permasalahan tertentu dikiaskan kepadanya (al-maqis ‘alaihi), dan musyabbah bih (tempat menyerupakan), juga diartikan sebagai pokok, yaitu suatu peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash.

  Imam Al-Amidi dalam kitab al Ihkam mengatakan bahwa al-ashlu adalah sesuatu yang bercabang, yang bisa diketahui (hukumnya) sendiri. (Lihat Kitab Al ihkam fii Ushul Al Ahkam, 3/193)

2) . Rukun kedua: Al Far’u (cabang).

  Al-far’u adalah sesuatu yang tidak ada ketentuan nashnya. Fara' yang berarti cabang, yaitu suatu peristiwa yang belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasar. Fara' disebut juga maqis (yang diukur) atau musyabbah (yang diserupakan) atau mahmul (yang dibandingkan). (Lihat kitab Al Ihkam fii Ushul Al Ahkam, 3/199)

3) . Rukun ketiga: Al Hukm (hukum).

   Al- Hukum adalah hukum yang dipergunakan Qiyas untuk memperluas hukum dari asal ke far’u (cabang). Yaitu hukum dari ashal yang telah ditetapkan berdasar nash dan hukum itu pula yang akan ditetapkan pada fara' seandainya ada persamaan 'illatnya. (Lihat kitab Al bahru Al Muhith, 7/105)

4) . Rukun keempat: Al ‘Illat (sebab).

   Illat adalah alasan serupa antara asal (pokok) dan far’u ( cabang), yaitu suatu sifat yang terdapat pada ashl, dengan adanya sifat itulah, ashl mempunyai suatu hukum. Dengan sifat itu pula, terdapat cabang disamakan dengan hukum ashl. (Lihat kitab Al bahru Al Muhith, 7/167).

 Contoh : Minum narkotik adalah suatu perbuatan yang perlu ditetapkan hukumnya, sebab secara eksplisit tidak ada satu nashpun dari Al qur'an dan hadist yang dapat dijadikan sebagai dasar hukumnya. Untuk menetapkan hukumnya dapat ditempuh cara qiyas dengan mencari perbuatan yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash, yaitu perbuatan minum khamr, yang diharamkan berdasarkan firman Allah Swt:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ 

Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan." (QS. al-Ma’idah: 90).

Al ashlu (pokok): Khamar
Al far'u (cabang): Narkotika.
Al Illah (sifat) : memabukkan/membuat loyo dan merusak akal.
Al Hukum (Hukum): Haram.

  Maka dari itu, Antara minum narkotik dan minum khamr ada persamaan ‘illat, yaitu sama-sama berakibat memabukkan dan membuat loyo para peminumnya dan dapat merusak akal. Berdasarkan persamaan ‘illat itu, maka ditetapkanlah hukum minum narkotik yaitu haram, sebagaimana haramnya minum khamr.

  Kedudukan Qiyas merupakan salah satu dalil syara’ yang dijadikan sebagai landasan peristinbthan hukum. Sehingga kedudukan qiyas sebagai sumber hukum atau salah satu dasar beristinbath hukum yang berada setelah qaulu As Sahabah. Hal ini dijelaskan oleh Imam Syafi’I dalam kitabnya, beliau berkata:

وجهة العلم بعدُ: الكتابُ والسنةُ والإجماعُ والآثارُ وما وصفت من القياس عليها 

“ ilmu itu datang dari Al Qur’an, dan Sunnah, dan Ijma’dan Atsar ( fatwa sahabat), dan quyas” (lihat kitab Al Umm, 7/315)

 Kemudian beliau mengatakan:

والعلم طبقات شتى، الأولى: الكتاب والسنة إذا ثبتت السنة. ثم الثانية: الإجماع فيما ليس فيه كتاب ولا سنة. والثالثة: أن يقول بعض أصحاب النبي ولا نعلم له مخالفًا منهم. والرابعة: اختلاف أصحاب النبي في ذلك. الخامسة: القياس على بعض هذه الطبقات 

“ilmu itu bertingkat-tingkat, yang pertama: Al Kitab dan As Sunnah yang tsabit (sahih), kemudian kedua: Ijma’, ketika hal tersebut tidak ada nashnya di dalam Al Qur’an dan As Sunnah dan yang ketiga: perkataan sahabat (Qaulu As Sahabah), yang keempat; perbedaan para sahabat Nabi, dan yang kelima: Qiyas”. (Lihat kitab Al Umm, 7/280)

   Jadi, kesimpulan dari perkataan Imam Syafi’I di atas, jelas bahwa beliau menjadikan qiyas sebagai sumber hukum islam pada urutan kelima, yaitu setelah qaul sahabat. Oleh sebab itu Qiyas adalah hujjah Syari’yyah terhadap hukum-hukum Syara’, tentang tindakan manusia. jika tidak dijumpai hukum atas kejadian itu berdasarkan nash atau ijma’. Di samping itu harus ada kesamaan illat antara satu peristiwa atau kejadian dengan kejadian yang ada nashnya. Kemudian, dihukum seperti hukum yang terdapat pada nash pertama, dan hukum tersebut merupakan ketetapan menurut Syara’.

   Oleh sebab itu, adapun metode Imam Syafi’I dalam menyelesikan Qiyas yang bertentangan dengan nash, yaitu:

𝟏). 𝐌𝐞𝐭𝐨𝐝𝐞 𝐏𝐞𝐫𝐭𝐚𝐦𝐚: Al Jam’u wa Taaufik (kompromi), yaitu menggabungkan kedua dalil ta'arudh tersebut dengan cara Qiyas mentakhsis keumuman Nash atau Taqyidul Muthlaq.

 Di dalam kitab ulama Syafi’iyyah, banyak menggunakan metode ini, yaitu metode Qiyas sebagai Mukhassis yang terpisah dan begitupun dengan Qiyas sebagai Muqayyid terhadap lafazh nash yang mutlaq.

   Imam As Sam’ani mengatakan bahwa Imam Syafi’I dan Imam Malik serta ulama Fuqaha lainnya menerima dan membolehkan qiyas mentakhsis keumuman nash, sebab qiyas adalah dalil syara’ yang diakui kehujjahannya sebagai landasan hukum. (Lihat kitab Qawati' Al Adillah fiil Ushul, 1/190).

   Imam Al Amidi mengatakan bahwa para ulama berbeda pendapat tentang kebolehan qiyas mentakhsis nash yang lafaznya bersifat umum, namun keempat Imam Madzhab sepakat atas kebolehan qiyas mentakhsis keumuman nash. (Lihat kitab Al Ihkam fii ushul Al Ahkam, 2/337).

   Jadi, jika qiyas bertentangan dengan nash, maka metode pertama yang dilakukan oleh Imam Syafi’I adalah al jam’u wa taufiq yaitu dengan cara qiyas mentakhsis keumuman nash dan mentaqyid nash yang lafazhnya bersifat muthlaq. Jika hal ini memungkinkan dalam penggabungan kedua dalil yang ta’arudh.

 Sebagai contoh qiyas mentakhsis firman Allah SWT berfirman:

الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ

Artinya: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera”.(Q.S.Al Nur:2)

   Ayat di atas menjelaskan bahwa laki-laki dan perempaun yang berzinah maka dia akan dicambuk atau didera sebanyak seratus kali. Ayat di atas bersifat umum yaitu siapa saja dari laki-laki dan perempuan. namun budak perempuan hanya didera lima puluh kali saja sebagai bentuk pentakhsisan qiyas budak perempuan terhadap budak laki-laki yang juga hanya didera sebanyak lima puluh kali. (Lihat kitab Al Hawi Al Kabir fii Fiqhi Mazhab Imam As Syafi'i, 16/59).

𝟐). 𝐌𝐞𝐭𝐨𝐝𝐞 𝐊𝐞𝐝𝐮𝐚: Jika Qiyas tersebut menunjukkan untuk meninggalkan madlul Nash secara keseluruhan, maka Nashlah yang harus didahulukan.

  Artinya, Jika Qiyas tersebut menunjukkan untuk meninggalkan madlul Nash secara keseluruhan, disebabkan ta’arudh yang sangat kuat dan tidak bisa digabungkan antara keduanya, maka dalam hal ini, kita mendahulukan nash dari pada Qiyas yaitu mengamalkan nash dan meninggalkan atau menolak Qiyas, sebab metode qiyas adalah metode yang bersifat darurat ketika sesuatu tersebut tidak ada nasnya. (Lihat kitab Risalah, hal. 599).

  Salah satu alasan mendahulukan nash dari pada qiyas yaitu bahwa nash adalah sesuatu yang diikuti bukan sesuatu yang mengikuti, sebab nash itu adalah pokok yang berdiri sendiri dan tidak ditopang oleh dalil apapun. Beda dengan qiyas yang hanya merupakan cabang dari Al Ashl (pokok) sehingg ia hanya pengikut dan bukan yang diikuti. (Lihat kitab Ikhtilaful Hadist, 8/596).

   Oleh karena itu, dalam metode ini Imam Syafi’I tidak lagi menggunakan metode naskh, akan tetapi langsung mentarjih nash atas Qiyas.

 Contoh: Tentang hukum perwalian dalam pernikahan bagi perempuan.

  Qiyas mengatakan bahwa perwalian dalam pernikahan bagi perempuan hukumya tidak wajib. Dasarnya yaiti menqiyaskan nikah terhadap jual beli yang tidak mesti menggunakan perwalian. Adapaun qiyas di atas menyalahi nash dari hadist Rasulullah SAW tentang wajibnya wali bagi perempuan dalam pernikahan, yaitu:

أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل فنكاحها باطل فنكاحها باطل فإن دخل بها فلها المهر بما استحل من فرجها فإن اشتجروا فالسلطان ولي من لا ولي له

“Wanita manapun yang menikah tanpa seizin walinya, maka pernikahannya bathil, pernikahannya bathil, pernikahannya bathil. Jika seseorang menggaulinya, maka wanita itu berhak mendapatkan mahar, sehingga ia dihalalkan terhadap kemaluannya. Jika mereka terlunta-lunta (tidak mempunyai wali), maka penguasa adalah wali bagi siapa (wanita) yang tidak mempunyai wali.

Wallahu a'alam bishowab

Minggu, 21 Juni 2020

𝐌𝐄𝐓𝐎𝐃𝐄 𝐈𝐌𝐀𝐌 𝐒𝐘𝐀𝐅𝐈'𝐈 𝐃𝐋𝐌 𝐌𝐄𝐍𝐘𝐄𝐋𝐄𝐒𝐀𝐈𝐊𝐀𝐍 𝐃𝐀𝐋𝐈𝐋² 𝐘𝐀𝐍𝐆 𝐁𝐄𝐑𝐓𝐄𝐍𝐓𝐀𝐍𝐆𝐀𝐍

𝐄𝐝𝐢𝐬𝐢 𝟓: 𝐂𝐚𝐫𝐚 𝐦𝐞𝐧𝐲𝐞𝐥𝐞𝐬𝐚𝐢𝐤𝐚𝐧 𝐝𝐚𝐥𝐢𝐥 𝐓𝐚’𝐚𝐫𝐮𝐝𝐡 𝐚𝐧𝐭𝐚𝐫𝐚 𝐍𝐚𝐬𝐡 (𝐚𝐥 𝐪𝐮𝐫𝐚𝐧 𝐝𝐚𝐧 𝐡𝐚𝐝𝐢𝐬𝐭) 𝐝𝐚𝐧 𝐐𝐚𝐮𝐥 𝐀𝐬 𝐒𝐚𝐡𝐚𝐛𝐚𝐡 (𝐩𝐞𝐫𝐤𝐚𝐭𝐚𝐚𝐧/𝐟𝐚𝐭𝐰𝐚 𝐬𝐚𝐡𝐚𝐛𝐚𝐭).

   Ketika sahabat Rasulullah mengeluarkan fatwa, tidak lepas dari dua keadaan, yaitu ada yang tidak sependapat dan ada yang setuju dari kalangan sahabat. Jika qaulu As Sahabah itu ada yang tidak sependapat dari sahabat lain, baik qaul tersebut itu sudah tersebar dikalangan para sahabat atau tidak, maka qaul As Sahabah tersebut tidak termasuk hujjah atau sumber hukum, yang bisa dijadikan landasan hukum, sedangkan jika Qaulu As Sahabah itu tidak ada yang menetangnya atau semua para sahabat sepakat atas pendapat tersebut, baik perkataan/fatwa tersebar dikalangan mereka atau tidak, maka qaulu As Sahabah tersebut dihukumi sebagai hujjah sebagai landasan hukum. (Lihat Majmu' Fatawa, 20/14).

  Maka, dalil kehujjahan perkataan sahabat sebagai landasan hukum, yaitu firman Allah SWT:

وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

Artinya: “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar”.(Q.S.At Taubah:100).

  Maksud dari ayat di atas adalah bahwa para sahabat Rasulullah baik itu kaum muhajirin maupun kaum Anshar, merekalah yang pertama beriman dan mempercayai Rasulullah SAW, sehingga Allah ridho dan memuji mereka, baik dari segi perkataan maupun perbuatan. Oleh sebab itu, qaul as sahabah atau perkataan sahabat adalah hujjah sebagai sumber landasan hukum. Sebab tidak mungkin para sahabat mengkhianati Rasulullah SAW dan merekalah sebaik-baik ummat Muhammad SAW.

   Sebaik-baik manusia setelah Rasulullah SAW adalah para sahabatnya, sebagaimana Rasulullah telah mensinyalir dalam hadistnya:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ

Diriwayatkan oleh Abdullah –semoga Allah meridhohinya, bahwasanya Rasulullah SAW bersabd: “Sebaik-baik manusia adalah zamanku, kemudian setelahnya (zaman sahabat), kemudian setelahnya (zaman tabi’in). (HR. Bukhari) 

 Bahkan Al Hasan mengatakan:

كانوا أبر هذه الأمة قلوبًا ، وأعمقها علمًا، وأقلها تكلفًا، وأقومها هديًا ، وأحسنها حالًا 

“Mereka (sahabat nabi) adalah ummat yang mempunyai hati yang lebih bersih, yang mempunyai ilmu yang paling dalam, yang senantiasa selalu mendapat petunjuk dan yang lebih baik keadaannya” (lihat kitab Jami' Byanu al 'ilmi wa Fadhilah, 2/946)

Imam Syafi’I berkata:

القول الذي يُقبَل: ما كان في كتاب الله عز وجل، أو سنة نبيه ، أو حديث صحيح عن أحدٍ من أصحابه، أو إجماع 

“Perkataan yang diterima adalah: apa yang ada dalam kitabullah Azza wa Jalla, atau sunnah Nabinya, atau perkataan yang benar dari sahabatnya atau Ijma”. (Lihat kitab Al Umm, 5/157).

 Dari perkataan Imam Syafi’I diatas yang menunjukkan bahwa qaul Al Sahabah adalah hujjah, bukan berarti menjadikan hal tersebut di atas derajat nash (Al Qur’an dan Sunnah Nabi SAW), akan tetapi nashlah yang lebih kuat dan lebih didahulukan dari pada qaulu Al Sahabah. Sebagimana Imam Syafi’I berkata:

والأثر أضعف من السنة 

“dan Atsar (perkataan sahabat) lebih lemah dibadingkan dengan sunnah”. (Lihat kitab Al Umm, 7/22).

   Qaulu As Sahabah atau perkataan sahabat adalah salah satu sumber hukum Imam Syafi’I, yang mana beliau menempatkan qaul as Sahabah berada urutan ke empat setelah ijma’ dan sebelum qiyas, sebab para sahabat Nabi SAW mempunyai kedudukan yang tinggi dan terhormat. mereka adalah qudwah / teladan dalam perkara agama dan dunia. SehinggaPara Sahabat adalah orang-orang yang mendapat ridha Allah swt. dan itu memang pantas di dapat oleh mereka.

  Imam Asy-Syafi’i berkata: Selama seseorang mendapati Al-Quran dan As-Sunnah, maka tidak ada jalan lain baginya selain mengikutinya. Jika hukum permasalahan yang kita cari tidak ada dalam kedua kitab tersebut, maka kita harus mengambil ucapan para Sahabat atau salah seorang dari mereka, atau ucapan para Imam seperti Abu Bakar, Umar, dan Utsman r.a. Jika kita bertaqlid pada pendapat salah seorang di antara mereka, itu lebih kita sukai. (Lihat kitab Manhaj Aqidah Imam Syafi'i fii isbat Al aqidah, hal 195).

   Pendapat Sahabat didahulukan dari kajian akal mujtahid, Karena para sahabat itu lebih pintar, lebih takwa, dan lebih shaleh. Produk-produk ijtihad mereka yang dikatakan lewat ijma harus diterima secara mutlak. Sedang yang dikeluarkan lewat fatwa-fatwa individual boleh diterima dan boleh pula tidak, dengan menganalisis dasar-dasar fatwanya itu. (Lihat buku Studi Hukum Islam, hal 149).

   Jadi, kesimpulannya adalah Qaul Al Sahabah adalah salah satu dalil syara’ yang mu’tabar yang menjadi salah satu sumber hukum yang dipakai Imam Syafi’I dan ulama Syafi’iyyah, sebab qaul As Sahabah berfungsi sebagai sumber hukum ketika hukum masalah yang kita cari tidak ada nashnya dari al qur’an dan sunnah. Qaul as sahabah juga sebagai penjelasan dan penguat nash. Oleh karena itu perkatan sahabat adalah hujjah dalam pengistinbathan hukum. 

Imam Syafi’I berkata:

إنما الحجة في كتاب، أو سنة، أو أثر عن بعض أصحاب النبي ، أو قول عامة المسلمين لم يختلفوا فيه، أو قياس داخل في معنى بعض هذا 

“Sesungguhnya hujjah itu terdapat pada Al Qur’an dan As Sunnah dan Atsar/perkataan sahabat Nabi atau Ijma’ kaum muslimin yang tidak ada pertentangan di dalamnya atau qiyas yang semakna dengan (illatnya). (Lihat kitab Al Umm, 3/62).

   Maka dari itu, ketika terjadi Ta'arudh antara Nash dan qaul As sahabah, maka cara Imam Syafi'i dalam menyelesaikannya, yaitu:

𝟏). 𝐌𝐞𝐭𝐨𝐝𝐞 𝐏𝐞𝐫𝐭𝐚𝐦𝐚: Al Jam’u wa Taaufik (kompromi), yaitu menggabungkan kedua dalil ta'arudh tersebut dengan cara Qaul As Sahabah mentakhsis keumuman Nash atau Taqyidul Muthlaq.

   Jadi, ketika qaulu as sahabah bertentangan dengan nash baik itu al qur’an dan hadist, maka metode pertama yang dilakukan oleh Imam Syafi’I adalah al jam’u wa taufiq yaitu menggabungkan kedua dalil tersebut jika hal itu memungkinkan, yaitu dengan cara Qaulu Sahabah mentakhsis Nash yang lafazhnya bersifat umum atau mentaqyid lafazh nash yang sifatnya muthlaq.

   Mayoritas ulama syafi’iyyah tidak menjadikan qaul sahabah sebagai pentakhsis terhadapa nash begitupun dengan masalah tayidul muthlaq, akan tetapi Imam Syafi’I menjadikan qaulu sahabah ini adalah sebuah dalil yang mu’tabar yang lebih kuat dari pada qiyas, baik itu dalam qaulul qadim maupun qaul jadidnya, sehingga pada dasarnya Imam Syafi’I membolehkan qaul as sahabah mentakhsis keumuman nash dan mentaqyid kemuthlakan nash. Sebab Jika qiyas bisa mentakhsis keumuman nash atau mentaqyid kumuthlakan nash, maka qaulu sahabah lebih berhak atas hal itu, sebab qaulu sahabah lebih kuat dan lebih didahulukan dari pada qiyas, sebab qiyas merupakan dalil Aqliyyah sedangkan qaul as sahabah merupakan dalil Naqliyyah. Inilah yang disebut Qiyas Aulawi.

  Adapun contoh qaulu sahabah mentakhsis keumuman ayat, yaitu

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ

Artinya: “Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah”.(Q.S.Lukman:6).

  Kata “Lahwal Hadist” adalah lafazh yang bersifat umum. Lafazh tersebut ditakhsis oleh perkataan sahabat yaitu perkataan Ibnu Umar dan Ibnu Mas’ud, bahwa yang dimaksud dengan “Lahwal Hadist” (perktaan tidak berguna) yaitu termasuk nyanyian yang disertakan musik dan obrolan yang sia-sia. Sehingga Imam Asy Syirazi salah satu ulama syafi’iyyah mengharamkan semua peralatan musik yang mengundang hawa nafsu dan mengelabui akal pikiran dengan lantunan yang mengundang syahwat dan tentunya lagu² yang menimbulkan syahwat. (Lihat Kitab Tabsiroh fii Ushul Fiqhi, 3/441).

𝟐). 𝐌𝐞𝐭𝐨𝐝𝐞 𝐊𝐞𝐝𝐮𝐚: jika Qaul As Sahabah tersebut menunjukkan untuk meninggalkan madlul Nash (al quran dan hadist) secara keseluruhan, maka nashlah yang harus didahulukan.

   Jadi, maksud dari metode di atas adalah jika Qaulu As Sahabah tersebut menunjukkan untuk meninggalkan madlul Nash secara keseluruhan, disebabkan ta’arudh yang sangat kuat dan tidak bisa digabungkan antara keduanya, maka dalam hal ini, nash lebih didahulukan dari pada qaul As Sahabah yaitu mengamalkan nash dan meninggalkan atau menolak qaulu As Sahabah.

Sebagai contoh: Masalah memakai wewangian setelah tahallul pertama. 

  Adapun qaul As Sahabah yaitu Umar bin Khattab melarang memakai wewangian setelah tahallul pertama, yang mana perkataan Umar ini menyalahi dan menyelisihi sunnah fi’liyyah Rasulullah SAW, yang mana beliau memakai wewangian setelah tahalull pertama, sehingga dalam kasus ini, sunnah fi’liyyah Rasulullah lebih didahulukan dari pada perkataan Umar bin Khattab, r.a yang merupakan sahabat Rasulullah SAW. (Lihat kitab Al Umm, 2/164).

  Oleh karena itu, ketika qaulu As Sahabah bertentangan dengan haidst Rasulullah SAW, dalam bentuk Qaulu As Sahabah tersebut menunjukkan untuk meninggalkan madlul Nash secara keseluruhan, maka Imam Syafi’I tidak lagi menggunakan metode naskh, akan tetapi langsung mentarjih haidst Rasulullah SAW atas qaulu As Sahabah.