Minggu, 21 Juni 2020

𝐌𝐄𝐓𝐎𝐃𝐄 𝐈𝐌𝐀𝐌 𝐒𝐘𝐀𝐅𝐈'𝐈 𝐃𝐋𝐌 𝐌𝐄𝐍𝐘𝐄𝐋𝐄𝐒𝐀𝐈𝐊𝐀𝐍 𝐃𝐀𝐋𝐈𝐋² 𝐘𝐀𝐍𝐆 𝐁𝐄𝐑𝐓𝐄𝐍𝐓𝐀𝐍𝐆𝐀𝐍

𝐄𝐝𝐢𝐬𝐢 𝟓: 𝐂𝐚𝐫𝐚 𝐦𝐞𝐧𝐲𝐞𝐥𝐞𝐬𝐚𝐢𝐤𝐚𝐧 𝐝𝐚𝐥𝐢𝐥 𝐓𝐚’𝐚𝐫𝐮𝐝𝐡 𝐚𝐧𝐭𝐚𝐫𝐚 𝐍𝐚𝐬𝐡 (𝐚𝐥 𝐪𝐮𝐫𝐚𝐧 𝐝𝐚𝐧 𝐡𝐚𝐝𝐢𝐬𝐭) 𝐝𝐚𝐧 𝐐𝐚𝐮𝐥 𝐀𝐬 𝐒𝐚𝐡𝐚𝐛𝐚𝐡 (𝐩𝐞𝐫𝐤𝐚𝐭𝐚𝐚𝐧/𝐟𝐚𝐭𝐰𝐚 𝐬𝐚𝐡𝐚𝐛𝐚𝐭).

   Ketika sahabat Rasulullah mengeluarkan fatwa, tidak lepas dari dua keadaan, yaitu ada yang tidak sependapat dan ada yang setuju dari kalangan sahabat. Jika qaulu As Sahabah itu ada yang tidak sependapat dari sahabat lain, baik qaul tersebut itu sudah tersebar dikalangan para sahabat atau tidak, maka qaul As Sahabah tersebut tidak termasuk hujjah atau sumber hukum, yang bisa dijadikan landasan hukum, sedangkan jika Qaulu As Sahabah itu tidak ada yang menetangnya atau semua para sahabat sepakat atas pendapat tersebut, baik perkataan/fatwa tersebar dikalangan mereka atau tidak, maka qaulu As Sahabah tersebut dihukumi sebagai hujjah sebagai landasan hukum. (Lihat Majmu' Fatawa, 20/14).

  Maka, dalil kehujjahan perkataan sahabat sebagai landasan hukum, yaitu firman Allah SWT:

وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

Artinya: “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar”.(Q.S.At Taubah:100).

  Maksud dari ayat di atas adalah bahwa para sahabat Rasulullah baik itu kaum muhajirin maupun kaum Anshar, merekalah yang pertama beriman dan mempercayai Rasulullah SAW, sehingga Allah ridho dan memuji mereka, baik dari segi perkataan maupun perbuatan. Oleh sebab itu, qaul as sahabah atau perkataan sahabat adalah hujjah sebagai sumber landasan hukum. Sebab tidak mungkin para sahabat mengkhianati Rasulullah SAW dan merekalah sebaik-baik ummat Muhammad SAW.

   Sebaik-baik manusia setelah Rasulullah SAW adalah para sahabatnya, sebagaimana Rasulullah telah mensinyalir dalam hadistnya:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ

Diriwayatkan oleh Abdullah –semoga Allah meridhohinya, bahwasanya Rasulullah SAW bersabd: “Sebaik-baik manusia adalah zamanku, kemudian setelahnya (zaman sahabat), kemudian setelahnya (zaman tabi’in). (HR. Bukhari) 

 Bahkan Al Hasan mengatakan:

كانوا أبر هذه الأمة قلوبًا ، وأعمقها علمًا، وأقلها تكلفًا، وأقومها هديًا ، وأحسنها حالًا 

“Mereka (sahabat nabi) adalah ummat yang mempunyai hati yang lebih bersih, yang mempunyai ilmu yang paling dalam, yang senantiasa selalu mendapat petunjuk dan yang lebih baik keadaannya” (lihat kitab Jami' Byanu al 'ilmi wa Fadhilah, 2/946)

Imam Syafi’I berkata:

القول الذي يُقبَل: ما كان في كتاب الله عز وجل، أو سنة نبيه ، أو حديث صحيح عن أحدٍ من أصحابه، أو إجماع 

“Perkataan yang diterima adalah: apa yang ada dalam kitabullah Azza wa Jalla, atau sunnah Nabinya, atau perkataan yang benar dari sahabatnya atau Ijma”. (Lihat kitab Al Umm, 5/157).

 Dari perkataan Imam Syafi’I diatas yang menunjukkan bahwa qaul Al Sahabah adalah hujjah, bukan berarti menjadikan hal tersebut di atas derajat nash (Al Qur’an dan Sunnah Nabi SAW), akan tetapi nashlah yang lebih kuat dan lebih didahulukan dari pada qaulu Al Sahabah. Sebagimana Imam Syafi’I berkata:

والأثر أضعف من السنة 

“dan Atsar (perkataan sahabat) lebih lemah dibadingkan dengan sunnah”. (Lihat kitab Al Umm, 7/22).

   Qaulu As Sahabah atau perkataan sahabat adalah salah satu sumber hukum Imam Syafi’I, yang mana beliau menempatkan qaul as Sahabah berada urutan ke empat setelah ijma’ dan sebelum qiyas, sebab para sahabat Nabi SAW mempunyai kedudukan yang tinggi dan terhormat. mereka adalah qudwah / teladan dalam perkara agama dan dunia. SehinggaPara Sahabat adalah orang-orang yang mendapat ridha Allah swt. dan itu memang pantas di dapat oleh mereka.

  Imam Asy-Syafi’i berkata: Selama seseorang mendapati Al-Quran dan As-Sunnah, maka tidak ada jalan lain baginya selain mengikutinya. Jika hukum permasalahan yang kita cari tidak ada dalam kedua kitab tersebut, maka kita harus mengambil ucapan para Sahabat atau salah seorang dari mereka, atau ucapan para Imam seperti Abu Bakar, Umar, dan Utsman r.a. Jika kita bertaqlid pada pendapat salah seorang di antara mereka, itu lebih kita sukai. (Lihat kitab Manhaj Aqidah Imam Syafi'i fii isbat Al aqidah, hal 195).

   Pendapat Sahabat didahulukan dari kajian akal mujtahid, Karena para sahabat itu lebih pintar, lebih takwa, dan lebih shaleh. Produk-produk ijtihad mereka yang dikatakan lewat ijma harus diterima secara mutlak. Sedang yang dikeluarkan lewat fatwa-fatwa individual boleh diterima dan boleh pula tidak, dengan menganalisis dasar-dasar fatwanya itu. (Lihat buku Studi Hukum Islam, hal 149).

   Jadi, kesimpulannya adalah Qaul Al Sahabah adalah salah satu dalil syara’ yang mu’tabar yang menjadi salah satu sumber hukum yang dipakai Imam Syafi’I dan ulama Syafi’iyyah, sebab qaul As Sahabah berfungsi sebagai sumber hukum ketika hukum masalah yang kita cari tidak ada nashnya dari al qur’an dan sunnah. Qaul as sahabah juga sebagai penjelasan dan penguat nash. Oleh karena itu perkatan sahabat adalah hujjah dalam pengistinbathan hukum. 

Imam Syafi’I berkata:

إنما الحجة في كتاب، أو سنة، أو أثر عن بعض أصحاب النبي ، أو قول عامة المسلمين لم يختلفوا فيه، أو قياس داخل في معنى بعض هذا 

“Sesungguhnya hujjah itu terdapat pada Al Qur’an dan As Sunnah dan Atsar/perkataan sahabat Nabi atau Ijma’ kaum muslimin yang tidak ada pertentangan di dalamnya atau qiyas yang semakna dengan (illatnya). (Lihat kitab Al Umm, 3/62).

   Maka dari itu, ketika terjadi Ta'arudh antara Nash dan qaul As sahabah, maka cara Imam Syafi'i dalam menyelesaikannya, yaitu:

𝟏). 𝐌𝐞𝐭𝐨𝐝𝐞 𝐏𝐞𝐫𝐭𝐚𝐦𝐚: Al Jam’u wa Taaufik (kompromi), yaitu menggabungkan kedua dalil ta'arudh tersebut dengan cara Qaul As Sahabah mentakhsis keumuman Nash atau Taqyidul Muthlaq.

   Jadi, ketika qaulu as sahabah bertentangan dengan nash baik itu al qur’an dan hadist, maka metode pertama yang dilakukan oleh Imam Syafi’I adalah al jam’u wa taufiq yaitu menggabungkan kedua dalil tersebut jika hal itu memungkinkan, yaitu dengan cara Qaulu Sahabah mentakhsis Nash yang lafazhnya bersifat umum atau mentaqyid lafazh nash yang sifatnya muthlaq.

   Mayoritas ulama syafi’iyyah tidak menjadikan qaul sahabah sebagai pentakhsis terhadapa nash begitupun dengan masalah tayidul muthlaq, akan tetapi Imam Syafi’I menjadikan qaulu sahabah ini adalah sebuah dalil yang mu’tabar yang lebih kuat dari pada qiyas, baik itu dalam qaulul qadim maupun qaul jadidnya, sehingga pada dasarnya Imam Syafi’I membolehkan qaul as sahabah mentakhsis keumuman nash dan mentaqyid kemuthlakan nash. Sebab Jika qiyas bisa mentakhsis keumuman nash atau mentaqyid kumuthlakan nash, maka qaulu sahabah lebih berhak atas hal itu, sebab qaulu sahabah lebih kuat dan lebih didahulukan dari pada qiyas, sebab qiyas merupakan dalil Aqliyyah sedangkan qaul as sahabah merupakan dalil Naqliyyah. Inilah yang disebut Qiyas Aulawi.

  Adapun contoh qaulu sahabah mentakhsis keumuman ayat, yaitu

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ

Artinya: “Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah”.(Q.S.Lukman:6).

  Kata “Lahwal Hadist” adalah lafazh yang bersifat umum. Lafazh tersebut ditakhsis oleh perkataan sahabat yaitu perkataan Ibnu Umar dan Ibnu Mas’ud, bahwa yang dimaksud dengan “Lahwal Hadist” (perktaan tidak berguna) yaitu termasuk nyanyian yang disertakan musik dan obrolan yang sia-sia. Sehingga Imam Asy Syirazi salah satu ulama syafi’iyyah mengharamkan semua peralatan musik yang mengundang hawa nafsu dan mengelabui akal pikiran dengan lantunan yang mengundang syahwat dan tentunya lagu² yang menimbulkan syahwat. (Lihat Kitab Tabsiroh fii Ushul Fiqhi, 3/441).

𝟐). 𝐌𝐞𝐭𝐨𝐝𝐞 𝐊𝐞𝐝𝐮𝐚: jika Qaul As Sahabah tersebut menunjukkan untuk meninggalkan madlul Nash (al quran dan hadist) secara keseluruhan, maka nashlah yang harus didahulukan.

   Jadi, maksud dari metode di atas adalah jika Qaulu As Sahabah tersebut menunjukkan untuk meninggalkan madlul Nash secara keseluruhan, disebabkan ta’arudh yang sangat kuat dan tidak bisa digabungkan antara keduanya, maka dalam hal ini, nash lebih didahulukan dari pada qaul As Sahabah yaitu mengamalkan nash dan meninggalkan atau menolak qaulu As Sahabah.

Sebagai contoh: Masalah memakai wewangian setelah tahallul pertama. 

  Adapun qaul As Sahabah yaitu Umar bin Khattab melarang memakai wewangian setelah tahallul pertama, yang mana perkataan Umar ini menyalahi dan menyelisihi sunnah fi’liyyah Rasulullah SAW, yang mana beliau memakai wewangian setelah tahalull pertama, sehingga dalam kasus ini, sunnah fi’liyyah Rasulullah lebih didahulukan dari pada perkataan Umar bin Khattab, r.a yang merupakan sahabat Rasulullah SAW. (Lihat kitab Al Umm, 2/164).

  Oleh karena itu, ketika qaulu As Sahabah bertentangan dengan haidst Rasulullah SAW, dalam bentuk Qaulu As Sahabah tersebut menunjukkan untuk meninggalkan madlul Nash secara keseluruhan, maka Imam Syafi’I tidak lagi menggunakan metode naskh, akan tetapi langsung mentarjih haidst Rasulullah SAW atas qaulu As Sahabah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar