Jumat, 19 Juni 2020

𝐌𝐄𝐓𝐎𝐃𝐎𝐋𝐎𝐆𝐈 𝐈𝐌𝐀𝐌 𝐒𝐘𝐀𝐅𝐈'𝐈 𝐃𝐋𝐌 𝐌𝐄𝐍𝐘𝐄𝐋𝐄𝐒𝐀𝐈𝐊𝐀𝐍 𝐃𝐀𝐋𝐈𝐋² 𝐘𝐀𝐍𝐆 𝐁𝐄𝐑𝐓𝐄𝐍𝐓𝐀𝐍𝐆𝐀𝐍

𝐄𝐝𝐢𝐬𝐢 𝟒: 𝐂𝐚𝐫𝐚 𝐦𝐞𝐧𝐲𝐞𝐥𝐞𝐬𝐚𝐢𝐤𝐚𝐧 𝐝𝐚𝐥𝐢𝐥 𝐓𝐚’𝐚𝐫𝐮𝐝𝐡 𝐚𝐧𝐭𝐚𝐫𝐚 𝐈𝐣𝐦𝐚’ 𝐝𝐚𝐧 𝐍𝐚𝐬𝐡 (𝐀𝐥 𝐐𝐮𝐫’𝐚𝐧 𝐝𝐚𝐧 𝐇𝐚𝐝𝐢𝐬𝐭).

   Secara bahasa kata Ijma’ (الإجماع ) merupakan bentuk mashdar dari kata kerja ( أَجْمَعَ – يُجْمِعُ ) yang memiliki dua arti, yaitu pertama: ‘Azam, yaitu Niat dari seseorang untuk melakukan sesuatu dan memutuskannnya (العزم على الشيء ). (Lihat kitab Maqayis Al Lugho, 1/479) dan ( Lihat Kitab Lisanul Arab, 13/226)

Firman Allah:

فَأَجْمِعُوا أَمْرَكُمْ وَشُرَكَاءَكُمْ ثُمَّ لَا يَكُنْ أَمْرُكُمْ عَلَيْكُمْ غُمَّةً ثُمَّ اقْضُوا إِلَيَّ وَلَا تُنْظِرُونِ 

Artinya:“…karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku). Kemudian janganlah keputusanmu itu dirahasiakan, lalu lakukanlah terhadap diriku, dan janganlah kamu memberi tangguh kepadaku.”(Q.S.Yunus:71)

   Kedua, Ijma’ juga bermakna Ittifaq, yaitu Kesepakatan beberapa orang untuk melakukan sesuatu (الاتفاق ). Contohnya : ‘ ( أجمع القوم على كذا ) artinya kaum itu bersepakat dalam sebuah urusan tertentu. (Lihat kitab Al qamus Al muhith, 3/15).

   Perbedaan dua makna di atas adalah terletak pada jumlah pelaku, dimana makna pertama dilakukan oleh seseorang saja sedangkan makna kedua harus ada lebih dari satu orang yang melakukan sebuah kesepakatan.

   Adapun secara istilah, Ijma’ menurut mayoritas ulama ushul fiqih adalah :

اتفاق المجتهدين من أمة محمد بعد وفاته في عصر من العصور على حكم شرعي

“Kesepakatan para mujtahid dari ummat Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam- setelah wafatnya beliau pada suatu masa mengenai hukum syar’i.” (lihat kitab Al Mushtashfah, 1/110).

   Dari pengertian Ijma’ diatas, bahwa Ijma’ itu berlaku setelah nabi SAW wafat. Banyak ulama yang salah dalam mengartikan Ijma’ dengan tidak menyebutkan zaman setelah wafatnya Rasulullah. (Lihat kitab Raf'ul Al hajib 'an mukhtashar Ibnu Hajib, 2/137).

   Oleh karena itu melihat dari makna ijma di atas, maka dapat dikristalkan sebagai kesimpulan bahwa ijma memiliki syarat² tertentu sebagai sumber hukum, yaitu: 

1. Adanya kesepakatan. Jadi, Jika belum terjadi kesepakatan maka belum dihukumi sebagai Ijma'.

2. Ijma' tersebut dibawah naungan sumber tasyri' yang shohih (Al quran dan hadist) yaitu Ijma' lahir dari ijtihad para mujtahid yang menjadikan Al quran dan Hadist sebagai sumber pengistinbatan hukum.

3. Ijma' dilakukan oleh para Mujtahid adil dan terpercaya sebagai spesialis dalam berijtihad. Oleh karenanya, jika ada sekelompok orang awam atau orang² fasiq atau para ustaz dan para muqallidnya, yang kemudian mereka berijma' (bersepakat) dalam urusan hukum agama, maka hal itu tidak termasuk dalam kategori Ijma sebagai sumber hukum.

4. Menguasai Ilmu Al Qur’an, Ilmu Al Hadist, ilmu ushul, Ilmu bhs Arab, dan semisalnya. Oleh karenanya, Jika ada sekelompok orang yang ahli dalam bidang politik, ahli dlm bidang ekonomi, atau ahli dlm bidang kedokteran saja dan semisalnya, yang kemudian mereka berijma' dalam urusan hukum agama, maka hal ini tidak termasuk dlm kategori Ijma sebagai sumber hukum.

5. Mengetahui adanya Ijma’ sebelumnya. Yaitu ketika para ulama mujtahid ingin berijma, maka mereka harus mengetahui Ijma' para ulama terdahulu tentang permasalahan yang mereka ingin sepakati hukumnya. Yaitu apakah permasalah yang mereka ingin sepakati hukumnya sudah ada Ijma'nya dari Ulama terdahulu atau tidak. Jikalau masalah yang mereka ingin tentukan hukumnya sudah ada pada Ijma sebelumnya, maka mereka wajib mengikuti Ijma ulama terdahulu itu.

6. Yang berijma' adalah Ummat Muhammad bukan Ummat lain. Jikalau Sekolompok orang kafir berijma' dalam hukum agama islam, maka Ijma'nya tidak diakui alias batal.

7. Setelah wafatnya Rasulullah. Sebab ketika beliau masih hidup maka para sahabat langsung bertanya kepada Rasulullah dalam masalah² hukum. 

8. Dasar pendalilan sebagai sumber hukum.

    Maka dari itu, Ijma’ adalah salah satu sumber hukum atau landasan hukum yang dipakai oleh Imam Syafi’I dalam istinbath hukum. keberadaan dan fungsi Ijma’ sebagai sumber hukum, bukan hanya pada zaman Sahabat Rasulullah SAW akan tetapi mecakup semua zaman dan tempat. Sehingga Al Quran telah melegitimasi Ijma' sebagai sumber hukum yang bisa dijadikan sebagai sumber dalam pengistinbatan hukum. Sebagaimana Allah SWT berfirman:

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

Artinya: “Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”.(Q.S.Al Nisa:115).
  
   Yang dimaksud dengan mengikuti selain jalan yang ditempuh mu’minin adalah mengikuti pendapat atau fatwa yang menyelisihi pendapat dan fatwa mereka (Ijma'). Maka jika hal tersebut diharamkan, tentu saja mengikuti jalan yang ditempu mu’minin adalah suatu kewajiban.” (lihat kitab Irsyad Al fuhul ila Tahqiq Al Haq min Al 'Ilmi Al Ushul, 1/293).

   Dalam hal ini, Imam Syafi’I memakai metode dalam menyelesaikan dalil ta’arudh antara Ijma dan Nash yaitu:

1) Metode Pertama: Al Jam’u wa Taaufik (kompromi), yaitu menggabungkan kedua dalil ta'rudh tersebut dengan cara Ijma mentakhsis keumuman Nash atau Taqyidul Muthlaq.

  Di dalam kitab ulama Syafi’iyyah, banyak menggunakan metode ini, yaitu metode Ijma’ sebagai Mukhassis yang terpisah dan begitupun dengan Ijma’ sebagai Muqayyid terhadap lafazh yang mutlaq. 

Imam Syafi’I mengatakan :

القرآن عربي كما وصفتُ ، والأحكام فيه على ظاهرها وعمومها، ليس لأحد أن يحيل منها ظاهرًا إلى باطن، ولا عامًّ ا إلى خاص، إلا بدلالة من كتاب الله، فإن لم تكن فسنة رسول الله تدل على أنه خاص دون عام أو باطن دون ظاهر، أو إجماع من عامة العلماء الذين لا يجهلون كلهم كتابًا ولا سنة ، وهكذا السنة 

“ Al Qur’an adalah berasal dari bahasa arab, sebagaimana saya telah mensifatinya, dan segala hukum yang ada di dalamnya menunjukkan kezhahirannya dan keumumannya, tidak seorangpun yang merubahnya dari zhahir ke bathinnya dan tidak pula dari umum ke khusus kecuali dengan petunjuk dari Al qur’an, jika tidak ada, maka sunnah Rasulullah yang menunjukkan bahwa lafazhnya bersifat khusus dan bukan bersifat umum atau bersifat bathin dan bukan bersifat zhahir, atau dengan melalui petunjuk Ijma’ menurut mayoritas ulama yang tidak bodoh dalam masalah Al Kitab dan Sunnah, dan begitulah Sunnah.” (lihat kitab Ikhtilaful hadist, 8/592)

 Kemudian beliau juga berkata:

وكل ما حكم به رسول الله فهو عام حتى يأتي عنه دلالة على أنه أراد به خاصًّا، أو عن جماعة المسلمين 

“Dan segala apa yang telah dihukumi oleh Rasulullah adalah bersifat umum hingga ada dalil nash yang menunjukkan kekhususannya atau Ijma’ kaum muslimin”.( lihat kitab Al umm, 4/264).

 Perkataan Imam Syafi’I di atas, bisa disimpulkan bahwa Ijma’ adalah dalil syara’ yang bisa mentakhsis keumuman nash (al qur’an dan hadist) dan mentaqyid nash yang bersifat muthlaq. Inilah metode Imam Syafi’I dalam menyelesaikan dalil yang bertentangan antara Ijma’ dan Nash. 

  Oleh karena itu, Ijma dalam mentakhsis keumuman Nash atau Taqyidul Muthlaq adalah salah satu metode untuk menggabungkan antara kedua dalil yang bertentangan jika hal itu memungkinkan, sehingga mengamalkan kedua-duanya tanpa ada yang ditinggalkan satu sama lain.

  Adapun contoh dari metode di atas adalah, sebagaimana Allah SWT berfirman:

يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ

Artinya: “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan.”(Q.S.An Nisa:11).

  Ayat di atas adalah ayat tentang hukum pembagian harta warisan kepada anak laki-laki dan perempuan yang sifatnya umum dengan ukuran 2:1 (dua banding satu). Yang mana ayat di atas ditakhsis oleh Ijma’ yang mengatakan bahwa seorang hamba sahaya atau budak tidak mendapatkan warisan. Sebab ulama telah berijma' (sepakat) bahwa hamba sahaya atau budak tidak mendapatkan hak warisan. Maka dalam hal ini, Ijma sebagai mukhassis terhadap ayat warisan yang bersifat umum sehingga keduanya bisa digabungkan. (Lihat kitab Qawati' al adillah fiil Ushul, 1/188).

2) Metode kedua: Ijma tersebut menunjukkan untuk meninggalkan madlul Nash secara keseluruhan.

   Ulama Syafi’iyyah menggunakan metode di atas dalam kitab-kitabnya, baik itu kitab ushuliyyah maupun kitab fiqhiyyah. jika Ijma’ menunjukkan untuk meninggalkan madlul Nash secara keseluruhan, maka ijma yang lebih didahulukan dari pada nash, sebab nash bisa dinaskh dengan hukum nash lainnya. Beda dengan Ijma’ yang tidak bisa dinaskh atau dihapus dan dibatalkan kelegitimasiannya, disebabkan bahwa ummat Muhammad tidak akan pernah bersepakat dalam kebathilan. (Lihat kitab al burhan fiil ushul, 2/579).

  Dan bahkan ada beberapa ulama yang menempatkan Ijma' di urutan pertama sebelum Al Quran dan Hadist sebagai sumber hukum, sebab Ijma' adalah merupakan interpretasi dari semua pihak ulama Mujtahid yang telah berijtihad dengan menganalisis dan mengkristalkan suatu masalah dengan menghubungkan sumber² hukum yang ada, yaitu Al quran, Hadist, qiyas, hujjah sahabat, maslaha mursalah, istishab, istihsan, syar'u man qablana dan seterusnya.

  Oleh sebab itu, Inilah yang menjadi dasar bahwa Ijma’ lebih didahulukan dari pada nash, ketika keduanya tidak bisa digabungkan (al jam’u wa taufiq).

   Adapun contohnya adalah masalah pelarangan berkabung lebih dari tiga hari bagi perempuan yang suaminya meninggal.

Sebagaimana Nash dari hadist Nabi SAW:

حديث أسماء بنت عميس زوجة جعفر بن أبي طالب, قالت: دخل علَي رسول الله اليوم الثالث من قتل جعفر فقال: "لَا تُحِدِي بعدَ يومِكِ هَذَا

Hadist yang diriwayatkan oleh Asma binti ‘Umais Istri Abu Ja’far bin Abi Tholib, dia berkata: Rasulullah masuk menemuiku pad hari ketiga kematian Abu Ja’far, dan beliau bersabda: janganlah kamu berkabung lagi setelah hari ini. (HR.Ahmad). 

   Hadist di atas menujukkan bahwa tidak ada kewajiban bagi perempuan yang suaminya meningggal untuk berkabung lebih dari tiga hari. Sedangkan Ijma' ulama mewajibkan bagi perempuan yang suaminya meninggal untuk berkabung dalam masa iddah selama empat puluh hari. Sehingga dilalah dari Nash hadits di atas bertentangan dengan Ijma’ ulama yang mewajibkan bagi perempuan untuk berkabung selama 40 hari setelah kematian suaminya. Maka dari itu, permasalahan di atas Ijma' lah yang di dahulukan dari pada nash hadist.

Sebagaimana hadist Nabi SAW:

قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لاَ يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ أَنْ تُحِدَّ فَوْقَ ثَلاَثٍ إِلَّا عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا 

"Nabi SAW bersabda: tidak halal Seorang wanita yang mengaku beriman kepada Allah dan hari kiamat berkabung atas kematian seseorang di atas tiga hari, kecuali yang meninggal adalah suaminya, maka ia harus berkabung selama empat bulan sepuluh hari. (HR.Muttafaqun Alaihi).

Wallahu 'alam bisshowab.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar