Perlu dipahami bahwa, ta’arudh atau pertentangan antara dalil Al Qur’an dan Hadist itu adalah mustahil terjadi, sebab keduanya bersumber dari wahyu Allah SWT, yaitu terlepas dari kecacatan, kekurangan bahkan perselisihan diantara kedua dalil tersebut, sebagaimana Firman Allah SWT:
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ ۚ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرً
Artinya: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya”.(Q.S.An Nisa:82)
Ayat di atas jelas bahwa Al Qur’an adalah wahyu Allah SWT yang tidak ada keraguan didalamnya sehingga tidak ada kontraversi didalamnya. Sama halnya dengan Hadist, yang juga merupakan wahyu Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW, sebagaiman firman Allah:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَىٰ. إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَىٰ.
Artinya: “Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”.(Q.S.An Najm:3-4)
Jadi, jelas bahwa Hadist Nabi itu adalah penguat dan penjelasan terhadap Al Qur’an yang bersifat mujmal.
Imam Syafi’I berkata:
وليس يخالف القرآنَ الحديثُ
“Tidak akan pernah Hadist bertentangan dengan Al Qur’an” (lihat kitab Al Umm, 7/360)
إن سنة رسول الله لا تكون مخالفة لكتاب الله بحال
“Sesungguhnya Sunnah Rasulullah SAW tidak akan bertentangan dengan Kitabullah dan itu mustahil” (lihat Kitab Risalah, 227)
كل ما سن رسول الله مع كتاب الله من سنة، فهي موافقة كتابَ الله
“Segala apa yang disunnahkan oleh Rasulullah, maka pasti sesuai dengan Al Qur’an” (Lihat kitab Risalah, 212)
Memahami dari perktaan Imam syafi’I bahwa, Tidak ada ayat Alquran yang bertentangan dengan hadis sahih karena Alquran adalah sesuatu yang pasti benar, dan hadis sahih adalah sesuatu yang pasti benar pula, sedangkan kebenaran itu tidak akan bertentangan satu sama lain. Sumber keduanya sama, yaitu Allah SWT, keduanya sama-sama wahyu Allah, dan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam hanyalah menyampaikan wahyu dari Allah SWT. Jadi, dengan demikian, tidak boleh menolak sebagian nash (ayat atau hadis sahih) dengan alasan bertentangan dengan nash yang lain, karena hal ini berarti mendustakan sebagian kebenaran. Meski ada ayat-ayat atau hadis-hadis yang dianggap bertentangan oleh sebagian orang, namun hal itu hanyalah persangkaan dan ketidak cukupan ilmu. Para ulama sudah mendudukan nash-nash tersebut pada tempatnya, sehingga tidak lagi bertentangan.
Oleh sebab itu, adapun metode Imam Syafi’I dalam menyelesaikan dalil ta’arudh antara Al Qur’an dan Hadist adalah:
1) 𝐌𝐞𝐭𝐨𝐝𝐞 𝐩𝐞𝐫𝐭𝐚𝐦𝐚: Al Jam’u wa Taaufik (kompromi), yaitu dengan cara Hadist mentakhsis keumuman Al Qur’an atau taqyidul muthlaq.
Telah dijelaskan bahwa mayoritas ulama telah sepakat bahwa lafazh yang ‘Am (umum) menunjukan kepada setiap satuan yang dicakupnya, sekalipun mereka berselisih dalam hal kekuatan penunjukan dalamnya terhadap setiap yang dicakup itu; apakah qath’i atau dzanny, disamping telah diterangkan bentuk perselisihan.
Sedangkan takhsisul umum adalah mengeluarkan atau mengkhususkan sebagian dari lafazh yang sifatnya umum. Jadi, Hadits berfungsi sebagai mengkhusukan ayat-ayat al-Qur’an yang lafazhnya bersifat umum.( lihat kitab Al Mahshul fii Ushulil Fiqhi, 3/7)
Adapun kata mutlaq secara bahasa, berarti tidak terkait dengan ikatan atau terlepas. (Lihat kitab Ibnu Manzdum 10/227), Sedangkan menurut ulama ushul fiqh, muthlaq ialah:“Suatu lafadz tertentu yang belum ada ikatan atau batasan dengan lafadz lain yang mengurangi keseluruhan jangkauannya. atau “Lafaz yang menunujukkan sesuatu hakikat, tanpa ada satu ikatan dari (beberapa) ikatannya.” (lihat Kitab Ushul Fiqh, Basiq djalil, hlm 94), Sedangkaan Muqayyad secara bahasa artinya sesuatu yang diikat atau yang diikatkan kepada sesuatu. (Lihat kitab Maqayis Lugho, 5/44). Adapun secara istilah ialah suatu lafal yang menunjukkan arti yang sebenarnya dengan dibatasi oleh sesuatu hal dari batasan-batasan tertentu, baik berupa sifat, keadaan, atau dengan syarat tertentu. Batas tertentu itu disebut Al-Qaid atau Qayid. (Lihat kitab Raudhotu An Nadzir, 2/102)
Jadi, yang dimaksud dengan taqyidul muthlaq adalah fungsi hadits yang membatasi kemuthlakan ayat-ayat al-Qur’an. Dalam artian bahwa keterangan yang ada dalam al-Qur’an yang bersifat mutlaq, kemudian ditakhsish dengan keterangan Hadits yang khusus.
Imam Syafi’I berkata:
إن سنة رسول الله لا تكون مُخالفة لِكتاب الله بِحَالٍ، ولكن ها مُبَينَة عا مه وخا صه
“Sesungguhnya sunnah Rasulullah tidak bertentangan dengan Kitabullah, hanya saja Hadist tersebut menjadi penjelasan keumuman Al Qur’an dan mengkhususkannya” ( lihat kitan Risalah, hlm 226)
Adapun contoh dari metode al jam'u wa Taufik dengan takhsisul umum yaitu Allah berfirman:
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ
Artinya: “Allah mensyariatkan bagimu tentang (bagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang perempuan (QS. Al-Nisa’ : 11)
ayat di atas menjelaskan pembagian harta terhadap para ahli waris, baik anak lelaki, perempuan dan lain sebagainya. Ayat di atas masih bersifat umum tanpa ada batasan, kemudian dikhususkan dengan hadits Nabi yang melarang mewarisi harta peningglan para Nabi, berlainan agama, dan pembunuh. sebagaimana dalam sabda-Nya :
لا يرث القاتل
“Pembunuh tidak dapat mewarisi harta pusaka”. (HR. At-Tirmidzi)
لا يرث المسلم الكافر، ولا الكافر المسلم
" seorang Muslim tidak dapat mewarisi harta seorang kafir dan seorang kafir terhadap muslim" (HR. Bukhari).
Jadi, Kedua Hadist diatas merupakan sebagai pentakhsis keumuman ayat tentang hukum waris yang masih bersifat umum, sehingga jelas bahwa ketika ada anak sengaja membunuh orang tuanya maka dia tidak berhak mendapat harta warisan dari org tuanya. Begitupun dengan anak dan orang tua yang berbeda agama, maka keduanya tidak berhak saling mewarisi satu sama lain.
Kemudian, Adapun contoh dari al jam'u wa Taufik dengan cara Taqyidul Muthlaq, Sebagaimana Allah berfirman:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Artinya: “ laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.(Q.S.Al Maidah:38)
Ayat di atas menjelaskan tentang hukum qishas, yaitu pemotongan tangan bagi pencuri tanpa adanya penjelasan yang lebih lanjut batas jumlah yang dicuri. Kemudian jumlah itu baru diketahui dan dijelaskan ketika ketika Rasulullah bersabda:
عَنْ عَائِشَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: تُقْطَعُ يَدُ السَّارِقِ فِي رُبُعِ دِينَارٍ فصاعدا
Diriwayatkan oleh Aisyah, r.a dari Nabi Shallallahu alai wassalam bersabda: “tangan pencuri itu dipotong ketika sampai sperempat dinar dan keatasnya” (HR. Bukhori).
Imam Syafi’I mengatakan bahwa, hadist di atas mentaqyid ayat potong tangan yang sifatnya muthlaq yang menunjukkan potong tangan bagi siapa saja yang mencuri sedikit maupun banyak. Sehingga hadist ini datang dan menunjukkan bahwa tidak semua yang mencuri tangannya dipotong, akan tetapi hanya yang mencapai nishob dan takaran saja, yaitu seperempat dan keatasnya. (Lihat kitab Ikhtilaful hadist, 8/596)
2) 𝐌𝐞𝐭𝐨𝐝𝐞 𝐤𝐞𝐝𝐮𝐚: Hadist tersebut menunjukkan untuk meninggalkan madlul Al Qur’an secara keseluruhan dengan cara tarjih.
Metode diatas adalah metode kedua apabila dengan cara al jam’u wa taufiq (kompromi) kedua dalil ta'arudh tersebut tidak dapat dilakukan.
Pada umumnya Imam Syafi’I memakai metode naskh dan mansukh ketika terjadi ta’arudh, sebagaimana beliau mengatakan bahwa, ketika kedua dalil ta’arudh/bertentangan maka salah satu metode untuk menyelesaikan adalah dengan cara menaskh dalil yang lama dengan datangnya dalil yang baru. (Lihat kitab Ikhtilaful Hadist, 8/598).
Secara umum penghapusan hukum terbagi beberapa kondisi, yaitu kondisi Al Qur’an menasakh Al Qur’an, kondisi Hadist menasakh Hadist, kondisi Al Qur’an menaskh Hadist, dan kondisi Hadist menasakh ayat Al Qur’an.
Namun, yang perlu diketahui bahwa Imam Syafi’I tidak membolehkan Al Qur’an dinaskh/dihapus oleh hadist dan begitupun sebaliknya yaitu hadist dinaskh/dihapus oleh al qur’an, sebab hadist sebagai penjelasan dan penguat terhadap makna ayat. Sebagaimana beliau berkata:
وأبان الله لهم أنه إنما نسخ ما نسخ من الكتاب بالكتاب، وأن السنة لا ناسخة للكتاب، وإنما هي تبع للكتاب بمثل ما نزل نصًّا، ومفسرة معنى ما أنزل الله منه جملا...فإن قال قائل: هل تنسَخ السنة بالقُرَآن؟ قيل: لو نُسخَت السنة بالقُرَآن، كانت للنبي فيه سنة تبُينُ أن سنته الأولى منسوخة بسُنته الآخِرة حتى تقوم الحجة على الناس، بأن الشيء ينسَخ بِمِث له
“Dan yang Allah jelaskan kepada mereka adalah bahwasanya sesungguhnya naskh itu terjadi hanya sesama ayat al qur’an, dan bahwasanya sunnah tidak menghapus hukum al qur’an, akan tetapi ia hanya mengikuti al qur’an, dan sebagai mufassirah/penjelasan terhadap makna yang Allah turunkan secara ijmalan (umum). Dan jika ada orang yang bertanya: apakah sunnah boleh dihapus oleh Al Qur’an? Maka, dikatakan: jika sekiranya sunnah dinaskh oleh al qur’an, maka Rasulullah akan menjelaskan bahwa, yang pertama menjadi penghapusan hukum adalah sunnahnya, sehingga menjadi hujjah bagi manusia, dan bahwasanya sesuatu hanya dinaskh oleh semisalnya/sederajat” (lihat kitab Risalah, hlm. 107)
Kemudian beliau berdalil, sebagaiman firman Allah SWT:
مَا نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا ۗ أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Artinya: “Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”.(Q.S.Al Baqarah:106).
Jadi, objek yang dinaksh, harus sebanding atau semisal dengannya, oleh sebab itu bahwa penghapusan hukum terhadap al qur’an hanya terjadi dengan al qur’an saja.
Maka dari itu dapat dipahami bahwa, menurut Imam Syafi’I, tidak mungkin sunnah tersebut menunjukkan untuk meninggalkan madlul Al Qur’an secara keseluruhan dengan metode naskh, disebabkan ketidak bolehan al qur’an menaskh hadist dan sebaliknya.
Oleh karena itu ketika Imam Syafi' tidak membolehkan cara nasakh antara Al quran dan hadist, maka beliau menggunakan metode tarjih sebagai cara menunjukkan untuk meninggalkan madlul Al quran secara keseluruhan.
Walaupun dikalangan para ulama ushul berbeda pendapat tentang metode tersebut, yaitu: pertama, al qur’an lebih didahulukan dari hadist, disebabkan ketsubutannya yang qhat’I. kedua, sunnah lebih didahulukan dari pada al qur’an sebagai penjelasan terhadap al qur’an. Ketiga, melakukan pentarjihan diantara keduanya, dan inilah yang dikuatkan oleh Al Juwaini, salah satu ulama Syafi’iyyah. (Lihat kitab Qawati Al Adillah fii Ushul, 1/449).
Bahkan beberapa ulama syafi'yyah membolehkan dan menggunakan metode naskh sebagai bentuk dalam menyelesaikan dalil² yang bertentangan antara al quran dan hadist, jika al jam'u wa Taufik tak bisa dilakukan, baik itu Al quran menaskh hadist maupun sebaliknya. Mereka berdalil dengan kasus pemindahan kiblat dari Baitul Maqdis ke Mesjidil haram. Sebagaimana Hadist Rasulullah tentang sholat menghadap baitul maqdis:
عبدالله بن عباس :كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يصلي بمكة نحو بيت المقدس والكعبة بين يديه.
" Dari Abdullah bin Abbas: bahwasanya Rasulullah sholat disekitar ka'bah menghadap Baitul maqdis, sedangkan Ka'ba berada disisinya". (Lihat Al ahkam Al kabir, 2/156).
Kemudian, setelah satu tahun lebih turunlah firman Allah sebagai hukum baru untuk mengganti dan menghapus hukum lama yang terdapat dlm hadist di atas, sebagai bentuk final dari kiblat kaum muslimin.
قَدْ نَرَىٰ تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِى ٱلسَّمَآءِ ۖ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَىهَا ۚ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ ٱلْمَسْجِدِ ٱلْحَرَامِ ۚ وَحَيْثُ مَا كُنتُمْ فَوَلُّوا۟ وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُۥ ۗ وَإِنَّ ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْكِتَٰبَ لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ ٱلْحَقُّ مِن رَّبِّهِمْ ۗ وَمَا ٱللَّهُ بِغَٰفِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ
"Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan" (Al Baqarah: 144).
Kasus pemindahan arah kiblat ini, juga menjadi dalil dari pihak ulama yang hanya membolehkan Al quran menaskh hadist saja dan tidak sebaliknya. Akan tetapi, kalau kita melihat dan menganalisis lagi lebih mendalam, bahwa jalur penghapusan hukum di atas yaitu antara al quran dan hadist kurang tepat karena ada ayat lain yang menjadi objek mansukh (penghapusan) dari ayat di atas, sebab nasakh (penghapusan hukum) itu terjadi ketika keduanya semisal dan sederajat, yaitu ayat menaskh ayat lain, hadist menaskh hadist lain.
Ayat yang menjadi objek penghapusan hukumnya dari ayat di atas, yaitu ayat tentang kiblat pertama kaum muslimin ketika itu
وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ
(Lihat syarhu ibnu majah, 3/641)
Jadi, kesimpulan dalam metode menyelesaikan dalil ta’arudh (bertentangan) antara al qur’an dan sunnah menurut Imam Syafi’I adalah pertama, al Jam’u wa taufiq (kompromi) yaitu menggabungkan kedua dalil tersebut dengan menggunakan metode takhsisul umum dan taqyidul muthlaq. Kemudian kedua, jika tidak memungkinkan penggabungan antara keduanya, maka cara selanjutnya adalah dengan menggunakan metode tarjih dan tidak menggunakan metode naskh kecuali semisalnya atau sebandingnya.
Contoh dari metode tarjih antara al quran dan hadist yang bertentangan adalah masalah wanita yang menunaikan haji tanpa didampingi oleh mahramnya.
Allah berfirman:
وَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلْبَيْتِ مَنِ ٱسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا
"Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah"
Secara zohir Ayat ini adalah sebuah perintah untuk bepergian dalam menunaikan haji ke baitullah baik laki² maupun perempuan yang mampu secara fisik dan harta. Ayat ini juga menunjukkan kebolehan wanita bepergian untuk menjalankan ibadah haji tanpa didampingi oleh mahramnya. Nah, secara zohir ayat di atas bertentangan dengan hadist yang mengharuskan adanya mahram yang mendampinginya ketika wanita itu bepergian.
قول رسول الله صلى الله عليه وسلم: لا يحلُّ لامرَأةٍ تؤمِنُ باللَّهِ واليومِ الآخِرِ ، تُسافرُ مَسيرةَ يومٍ وليلةٍ إلَّا معَ ذي مَحرَمٍ.
" tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhirat untuk bepergian sehari semalam tanpa didampingi oleh mahramnya" (HR. Bukhari dan Muslim).
Secara zohir Hadist di atas jelas mengatakan bahwa wanita tidak boleh bepergian jika tidak ada mahramnya yang mendapinginya. Maka, Melihat dari kasus ta'arudh antara al quran dan hadist di atas, Imam Syafi menggunakan metode tarjih dalam menyelesaikannya, yaitu beliau mendahulukan kezohiran al quran dari pada kezohiran hadist tersebut, sehingga wanita boleh bepergian untuk menjalankan ibadah haji tanpa didampingi oleh mahramnya, sebab pelarangan bepergian dalam hadist tersebut adalah pelarangan bepergian yang tidak lazim bagi perempuan bukan pelarangan bepergian untuk menunaikan ibadah haji. (Lihat Ikhtilaful Hadist, 8/624)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar