Dalam masalah ta’arudh antara Hadist dengan hadist lainnya tidak terlepas dari segi hadist qauliyyah, fi’liyyah dan taqririyyah. Dalam masalah ini, Imam Syafi'i mempunyai metode tersendiri dalam menyelesaikan hadist- hadist yang saling bertentangan, yaitu:
๐) ๐๐๐ญ๐จ๐๐ ๐๐๐ซ๐ญ๐๐ฆ๐ : Al Jam’u wa Taaufik (kompromi).
Jika terjadi ta'arudh antara kedua hadist Rasulullah, maka metode yang pertama yang dilakukan oleh Imam Syafi’I adalah Al Jam’u wa Taufik yaitu menggabungkan dan mengamalkan kedua hadist ta’arudh tersebut jika hal itu memungkinkan. Sebagaimana Imam Syafi’I berkata:
ููุง ูุฌุนู ุนู ุฑุณูู ุงููู ุญุฏูุซูู ู
ุฎุชูููู ุฃุจุฏًุง. ุฅุฐุง ُูุฌุฏ ุงูุณุจูู ุฅูู ุฃู ููููุง ู
ุณุชุนู
ููู؛ ููุง ูุนุทِู ู
ููู
ุง ูุงุญุฏًุง
“Dan kami tidak menjadikan kedua hadist Rasulullah bertentangan selamanya, jika terdapat jalan/cara untukmenggabungkan keduanya, maka kami tidak meninggalkan salah satunya” (lihat kitab Ikhtilaful Hadist, 8/664)
Melihat dari perkataan di atas, maka Imam Syafi'i juga memiliki cara dalam merealisasikan metode penggabungan hadist-hadist yang ta'arudh (saling bertentangan). Oleh karena itu cara menggabungkan kedua hadist ta'arudh yaitu:
a). Cara pertama: menakwilkan kedua hadist tersebut dalam kondisi yang berbeda.
Sebagai contoh masalah menghadap kiblat atau membelakanginya ketika buang hajat. Dalam masalah ini, ada hadist yang membolehkan dan ada hadist yang tidak membolehkan hal tersebut.
Adapun hadist yang melarang menghadap kiblat yaitu:
ุนَْู ุฃَุจِู ุฃَُّููุจَ، ุฃََّู ุงَّููุจَِّู ุตََّูู ุงُููู ุนََِْููู َูุณََّูู
َ َูุงَู: «ุฅِุฐَุง ุฃَุชَْูุชُู
ُ ุงْูุบَุงุฆِุทَ ََููุง ุชَุณْุชَْูุจُِููุง ุงِْููุจَْูุฉَ، ََููุง ุชَุณْุชَุฏْุจِุฑَُููุง ุจِุจٍَْูู ََููุง ุบَุงุฆِุทٍ، ََِْูููู ุดَุฑُِّููุง ุฃَْู ุบَุฑِّุจُูุง.
Diriwayatkan oleh Abu Ayyub, bahwasanya Rasulullah shallallahu alaai wasallam bersabda: “ jika kalian buang hajat (BAB, kencing), maka janganlah kalian menghadap kiblat dan jangan pula membelakanginya, akan tetapi menghadap ke timurlah atau ke barat” (HR. Muslim).
Kemudian hadist tentang kebolehan hal tersebut yaitu:
ุนَِู ุงุจِْู ุนُู
َุฑَ، َูุงَู: ุฑَِููุชُ ุนََูู ุจَْูุชِ ุฃُุฎْุชِู ุญَْูุตَุฉَ، َูุฑَุฃَْูุชُ ุฑَุณَُูู ุงِููู ุตََّูู ุงُููู ุนََِْููู َูุณََّูู
َ َูุงุนِุฏًุง ِูุญَุงุฌَุชِِู، ู
ُุณْุชَْูุจَِู ุงูุดَّุงู
ِ، ู
ُุณْุชَุฏْุจِุฑَ ุงِْููุจَْูุฉِ
Diriwayatkanoleh Abdullah bin Umar, r.a, berkata: saya memanjat genteng rumah Hafsah, lalu saya melihat Nabi SAW buang hajat dalam keadaan membelakangi kiblat dan menghadap Syam. (HR.Muslim).
Secara zohir kedua hadist di atas saling bertentangan, maka salah satu cara untuk menggabungkannya, yaitu dengan cara mentakwil kedua hadist tersebut dalam kondisi yang berbeda, yaitu pelarangan pada hadist Abu Ayyub untuk tidak menghadap kiblat dan membelakanginya yaitu ketika seseorang itu buang hajat di tempat yang terbuka, sedangkan kebolehan menghadap kiblat atau membelakanginya yang terdapat pada hadist Ibnu Umar, yaitu ketika seseorang buat hajat di tempat yang tertutup oleh sekat dan dinding. Maka, kedua hadist tersebut bisa digabungkan dan diamalkan.
b). Cara kedua: Hamlul Muthlaq ‘alal Muqayyad atau Hamlul Am ‘alal Khas.
Yang dimaksud dengan Hamlul Muthlaq ‘ala Muqayyad adalah Jika sebab dan hukum yang ada dalam mutlaq sama dengan sebab dan hukum yang ada dalam muqayyad. Maka dalam hal ini hukum yang ditimbulkan oleh hadist yang mutlaq tersebut, harus ditarik atau dibawa kepada hukum hadist yang berbentuk muqayyad.
Sedangkan Hamlul Am ‘alal Khas adalah Jika sebab dan hukum yang ada dalam 'Am sama dengan sebab dan hukum yang ada dalam Khas. Maka dalam hal ini hukum yang ditimbulkan oleh hadist yang sifatnya 'Am tersebut, harus ditarik atau dibawa kepada hukum hadist yang sifanya Khas.
Contoh: Masalah shalat sunnah setelah shalat ashar. Dalam kasus ini, terdapat dua hadist yang saling bertentangan tentang hal tersebut.
Hadist tentang pelarangan adanya shalat setelah shalat ashar, yaitu:
ุนَْู ุฃَุจِู ُูุฑَْูุฑَุฉَ، ุฃََّู ุฑَุณَُูู ุงِููู ุตََّูู ุงُููู ุนََِْููู َูุณََّูู
َ «ََููู ุนَِู ุงูุตََّูุงุฉِ ุจَุนْุฏَ ุงْูุนَุตْุฑِ ุญَุชَّู ุชَุบْุฑُุจَ ุงูุดَّู
ْุณُ، َูุนَِู ุงูุตََّูุงุฉِ ุจَุนْุฏَ ุงูุตُّุจْุญِ ุญَุชَّู ุชَุทُْูุนَ ุงูุดَّู
ْุณُ
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah, r.a, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alai wsallam melarang shalat setelah ashar hingga terbenam matahari, dan melarang shalat setelah subuh hingga terbit matahari”. (HR.Muslim).
Kemudian, hadist di atas bertentangan dengan sunnah fi’liyyah Rasulullah saw, bahwa beliau shalat dua rakaat setelah ashar, yaitu: riwayat shahih dari Ummu Salamah dan ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma (yang menerangkan-red) bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat sunnah dua raka’at ba’diyah (setelah) Zhuhur sesudah shalat ‘Ashar. ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma mengatakan, “Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam merutinkannya sesudah itu.” (HR. Muslim).
Melihat dari kedua hadist di atas yang ta’arudh secara zhohir, maka cara menggabungkan keduanya dengan memakai metode Hamlul Am alal Khas, yaitu hadist abu hurairah tentang pelarangan shalat sunnah setelah ashar itu sifatnya umum, sedangkang hadist kedua yang merupakan sunnah fi'liyyah Nabi itu sifatnya khos yaitu hadist tersebut sebagail mukhassis, sehingga hadist yang sifatnya Am, harus ditarik atau dibawa kepada hukum hadist yang sifanya Khas. Maka dalam hal ini, shalat yang dibolehkan setelah shalat ashar adalah shalat yang hanya mempunyai sebab-sebab tertentu. Salah satunya yaitu Nabi SAW sholat sunnah dua rakaat setelah ashar disebabkan karena waktu itu beliau lupa sholat sunnah setelah dhuhur karena sibuk, maka beliau mengqodhonya setelah ashar.
Begitupun juga misalnya, ketika seseorang belum sholat duhur, kemudian dia mengingatnya setelah sholat ashar, maka dalam hal ini dia boleh sholat dgn niat sholat duhur disebabkan karena dia lupa sholat duhur pd waktunya. Hal ini juga ditunjang oleh dalil lain, yaitu:
ุฅุฐุง َูุณَِู ุฃุญุฏُُูู
ْ ุตูุงุฉً ุฃู ูุงู
َ، ُูููุตِّููุง ุฅุฐุง ุฐَูุฑูุง.
" jika diantara kalian lupa menunaikan Ibadah sholat atau ketiduran, maka sholatlah ketika kamu sudah mengingatnya". (HR. Muslim).
Jadi, sholat yang tidak dibolehkan setelah ashar adalah sholat yang tidak mempunyai sebab-sebab tertentu. Maka, dari kasus sunnah fi'liyyah nabi bisa digabungkan dgn hadist abu hurairah dengan cara hamlul 'am 'alal khos.
c). Cara ketiga: memalingkan salah satu dari kedua hadist ta’arudh dari kezohirannya.
Maksud dari cara ketiga di atas adalah jika dua hadist bertentangan secara zohir maka salah satu dari keduanya harus dipalingkan atau ditakwil dari kezohirannya.
Contoh: Masalah minum sambil berdiri.
Hadist pertama, menunjukkan larangan minum berdiri, yaitu:
َูุงَู ุฑَุณُُูู ุงِููู ุตََّูู ุงُููู ุนََِْููู َูุณََّูู
َ: َูุง َูุดْุฑَุจََّู ุฃَุญَุฏٌ ู
ُِْููู
ْ َูุงุฆِู
ًุง، َูู
َْู َูุณَِู ََْูููุณْุชَِูุฆْ
“Janganlah sekali-kali salah seorang di antara kalian minum sambil berdiri. Apabila dia lupa maka hendaknya dia muntahkan”. (HR. Muslim)
Hadist di atas yang menunjukka pelarangan minum sambil berdiri bertentangan dengan hadist Ibnu Abbas, yaitu:
ุนَِู ุงุจِْู ุนَุจَّุงุณٍ، َูุงَู: ุณََْููุชُ ุฑَุณَُูู ุงِููู ุตََّูู ุงُููู ุนََِْููู َูุณََّูู
َ ู
ِْู ุฒَู
ْุฒَู
َ َูุดَุฑِุจَ ََُููู َูุงุฆِู
ٌ
Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, berkata: saya memberi minum Rasulullah shallalahu alai wasallam dari air zamzam, maka beliau meminumnya dalam keadaan berdiri”
Secara zhahir, kedua hadist di atas saling ta’arudh/bertentangan, maka cara ketiga untuk menggabungkan kedua hadist ta'arudh tersebut yaitu memalingkan atau mentakwil salah satu dari hadist di atas, yaitu bahwa makna dari pelarangan minum sambil berdiri pada hadist pertama bukan pelarangan dalam makna makruh tahrim akan tetapi pelarangan dalam makna makruh tanzih, yaitu larangan sebatas pensucian saja dan bukan larangan yang bersifat mutlak yang berakibat dosa. (lihat kitab syarh al muhadzdzab, 2/363)
d). Cara keempat: menjadikan atau mentakwil salah satu dari kedua hadist ta’arudh dalam segi kekhususan.
Artinya jika kedua hadist tersebut saling bertentangan, maka cara ke empat untuk menggabungkan kedua hadist tersebut adalah dengan mentakwil salah satu dari kedua hadist tersebut ke dalam kategori hadist yang bersifat khusus.
Contoh: Masalah menyusui anak yang sudah baligh dalam menentukan status mahram (saudara sepersusuan).
Dari kasus permasalahan di atas, terdapat beberapa hadist yang ta'arudh dalam penetapan status anak yang disusui sehingga dapat menetukan status mahram terhadap saudara sepersusuannya. Atau dengan kata lain apakah anak yang sudah baligh bisa menentukan status sebagai mahram terhadap sepersusuannya jika ia menyusu?
Kita lihat, sebuah Hadist tentang penyusuan terhadap anak yang sudah baligh tidak bisa menjadi status mahram sepersusuannya, yaitu:
ุนู ุจู ุนุจุงุณ ูุงู ุฑุณูู ุงููู ุตูู ุงููู ุนููู ู ุณูู
: ูุง ุฑุถุงุน ุฅูุง ู
ุง ูุงู ูู ุงูุญูููู
Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, ia berkata : Nabi SAW bersabda, “Tidak disebut persusuan melainkan yang berlangsung dalam (usia) dua tahun” (HR. Darul Quthni).
Maksudnya adalah tidak akan berlaku status mahram dari saudara sepersusuan kecuali ketika umur anak itu belum mencapai dua tahun. Artinya jika penyusuan terhadap anak yang sudah berumur diatas dua tahun atau sudah baligh tentunya, maka hukum sepersusuan tidak berlaku, sebab syarat menjadi status mahram terhadap sepersusuan adalah ketika umur anak belum mencapai dua tahun.
Oleh karena itu, hadist di atas menjelaskan bahwa syarat penyusuan anak sehingga menjadi status mahram akibat sepersusuan yaitu hanya selama dua tahun.
Kemudian hadist Ibnu Abbas di atas bertentangan dengan hadits yang lain yang nenunjukkan kebolehan penyusuan terhadap anak yang sudah baligh menjadi status mahram akibat sepersusuan, yaitu:
ุนَْู ุฒََْููุจَ ุจِْูุชِ ุงُู
ِّ ุณََูู
َุฉَ َูุงَูุชْ: َูุงَูุชْ ุงُู
ُّ ุณََูู
َุฉَ ِูุนَุงุฆِุดَุฉَ: ุงَُِّูู َูุฏْุฎُُู ุนََِْููู ุงْูุบُูุงَู
ُ ุงْูุงََْููุนُ ุงَّูุฐِู ู
َุง ุงُุญِุจُّ ุงَْู َูุฏْุฎَُู ุนَََّูู؟ ََููุงَูุชْ ุนَุงุฆِุดَุฉُ: ุงَู
َุง َِูู ِูู ุฑَุณُِْูู ุงِููู ุต ุงُุณَْูุฉٌ ุญَุณََูุฉٌ؟ َู َูุงَูุชْ: ุงَِّู ุงู
ْุฑَุฃَุฉَ ุงَุจِู ุญُุฐََْููุฉَ َูุงَูุชْ: َูุง ุฑَุณَُْูู ุงِููู، ุงَِّู ุณَุงِูู
ًุง َูุฏْุฎُُู ุนَََّูู َู َُูู ุฑَุฌٌُู َู ِูู َْููุณِ ุงَุจِู ุญُุฐََْููุฉَ ู
ُِْูู ุดَْูุกٌ، ََููุงَู ุฑَุณُُْูู ุงِููู ุต: ุงَุฑْุถِุนِِْูู ุญَุชَّู َูุฏْุฎَُู ุนََِْููู.
Diriwayatkan oleh Zainab binti Ummu Salamah, ia berkata : Ummu Salamah berkata kepada A’isyah, “Sesungguhnya ada seorang yang sudah baligh keluar-masuk ke (rumah)mu yang aku sendiri tidak menyukai ia masuk (rumah)ku”. Lalu Aisyah menjawab, “Tidakkah pada diri Rasulullah SAW ada suri teladan yang baik bagimu ?”. Dan ‘Aisyah berkata (lagi) : Sesungguhnya istri Abu Hudzaifah pernah berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya Salim keluar masuk (rumah)-ku, sedang ia kini telah dewasa sedangkan pada diri Abu Hudzaifah ada sesuatu terhadapnya, yang demikian itu bagaimana ?”. Kemudian Rasulullah SAW bersabda, “Susuilah ia, sehingga ia (boleh) keluar masuk (rumah)mu”. (HR. Muslim).
Hadist ini menceritakan tentang Anak yang bernama Salim yang sudah baligh dan dewasa kemudian ia disusui (yaitu penyusuan secara tidak langsung) oleh istri abu Huzaifah agar ia berstatus mahram sebagai ibu susuan. Hadist ini adalah hadist tentang bolehnya menyusui anak yang sudah baligh sehingga bisa menjadi status mahram terhadap ibu yang menyususinya dan saudara sepersusuannya.
Oleh karena itu, melihat dari kedua hadist di atas sangat bertentangan, maka salah satu cara keempat untuk menggabungkan kedua hadist ta'arudh di atas adalah dengan mentakwil bahwa hadist Salim adalah hadist dalam kategori yang bersifat khusus, yaitu hadist tersebut khusus bagi Salim saja dan tidak berlaku untuk umum.
e). Cara kelima: memahami atau mentakwil kedua hadist ta’arudh dalam segi ikhtiar.
Sebagai contoh, dalam satu riwayat Rasulullah shallallahu alai wasallam membaca surah Qaff pada shalat subuh, diriwayat lain Rasulullah membaca surah At Takwir pada shalat subuh, diriwayat lain lagi beliau membaca surah Al Mu’minun pada shalat subuh. Dari berbagai riwayat di atas tentang surah yang dibaca oleh Rasulullah dapat dipahami bahwa, selama beliau hidup telah melaksanakan shalat subuh terus menerus yang jumlahnya banyak sekali, maka Rasulullah pun memilih membacanya dengan bermacam-macam surah pada shalat subuh. Hal ini bukan menandakan bahwa riwayat² tersebut saling bertentangan, akan tetapi hadist² tersebut menunjukkan kebolehan dalam bentuk ikhtiar saja, yaitu boleh membaca surah apa saja ketika sholat subuh.
๐) ๐๐๐ญ๐จ๐๐ ๐๐๐๐ฎ๐ : Hanya mengambil dan mengamalkan salah satu dari kedua hadist yang ta’arudh. Dari metode ini ada dua cara dalam merealisasikannya:
a). Cara pertama: Nasakh.
Cara ini adalah cara ketika al jam’u wa taufiq (kompromi) kedua dalil ta'arudh tidak dapat dilakukan, maka cara selanjutnya yang ditempuh adalah dengan cara naskh yaitu membatalkan dan menghapus salah satu hukum yang dikandung kedua dalil tersebut dengan terpenuhinya syarat² nasakh yang telah dijelaskan pada tulisan sebelumnya.
Sebagaimana Imam Syafi’I mengatakan bahwa, ketika kedua dalil ta’arudh/bertentangan maka salah satu metode untuk menyelesaikan adalah dengan cara menaskh dalil yang lama dengan datangnya dalil yang baru. (Lihat Kitab Ikhtilaful Hadist, 8/598). Dalam hal ini, Imam Syafi’I memakai metode naskh antara hadits yang ta’arudh, begitupun dengan antara sesama ayat al qur’an yang ta'rudh.
b) . Cara kedua: Tarjih.
Metode selanjutnya adalah metode tarjih, yaitu jika kedua hadits yang bertentangan tidak bisa digabungkan atau al jam’u wa taufiq dan juga tidak bisa di mansukh disebabkan tidak terpenuhinya syarat² nasakh, maka metode terakhir yang harus ditempuh yaitu mentarjih salah satu dari keduanya, yaitu mengamalkan salah satu dari keduanya dan meninggalkan yang lain, dengan menggunakan dalil² murajjih (penguat). (Lihat Kitab Qawati Al Adilah fiil Ushul, 1/404)
Contoh: Masalah perempuan yang murtad.
Hadits pertama, menunjukkan bahwa perempuan yang murtad, maka darahnya halal dibunuh, sebagaimana Rasulullah bersabda:
ู
َู ุจَุฏَู ุฏَِููู َูุงูุชُُููู
“Barangsiapa yang mengubah agamanya (murtad dari Islam), maka bunuhla.” (HR. Bukhari).
Jadi, hadits ini adalah perintah untuk membunuh siapa saja yang murtad dari agama Islam, baik itu laki-laki maupun perempuan.
Kemudian hadits di atas bertentangan dengan hadist Ibnu Umar tentang larangan membunuh para wanita, yaitu:
ุนَِู ุงุจِْู ุนُู
َุฑَ ุฑَุถَِู ุงَُّููู ุนَُْููู
َุง، َูุงَู: ُูุฌِุฏَุชِ ุงู
ْุฑَุฃَุฉٌ ู
َْูุชَُููุฉً ِูู ุจَุนْุถِ ู
َุบَุงุฒِู ุฑَุณُِูู ุงَِّููู ุตََّูู ุงُููู ุนََِْููู َูุณََّูู
َ، َََูููู ุฑَุณُُูู ุงَِّููู ุตََّูู ุงُููู ุนََِْููู َูุณََّูู
َ ุนَْู َูุชِْู ุงِّููุณَุงุกِ َูุงูุตِّุจَْูุงِู
Diriwayatkan oleh Ibnu Umar, r.a berkata: terdapat wanita yang dibunuh dibeberapa peperangan Rasulullah SAW, maka Rasulullah SAW melarang membunuh perempuan dan anak-anak”. (HR. Bukhari).
Jadi, secara zohir kedua hadist di atas saling bertentangan tentang boleh tidaknya membunuh seorang wanita. Maka dalam hal ini, kita mentarjih hadist pertama dari pada hadist kedua, sebab hadist pertama adalah menunjukkan lafazh umum yang bersifat muthlaq yang tidak memiliki asbab wurud, sedangkan hadist kedua adalah hadist yang lafazhnya umum yang sudah ditaqyid oleh adanya asbab wurud, yaitu bahwa perempuan tidak boleh dibunuh dalam situasi peperangan selama perempuan itu tidak melawan menggunakan senjata. maka dalam hal ini, hadist pertama, lebih didahulukan dari pada hadist kedua, sebab dilalahnya lebih kuat dan lebih khusus. Hal ini merupakan salah satu kaidah dalam menentukan pentarjihan, yaitu
ุงูุนุงู
ุงูู
ุทูู ู
ูุฏู
ุนูู ุงูุนุงู
ุงููุงุฑุฏ ุนูู ุณุจุจ.
" Dilalah yang Umumnya bersifat muthlaq lebih didahulukan dari pada Dilalah yang umumnya yang mempunyai asbab wurud"
Adapaun kaidah² pentarjihan, insyaAllah akan kita bahas pada tulisan berikutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar