Senin, 15 Juni 2020

𝐌𝐄𝐓𝐎𝐃𝐎𝐋𝐎𝐆𝐈 𝐈𝐌𝐀𝐌 𝐒𝐘𝐀𝐅𝐈'𝐈 𝐃𝐋𝐌 𝐌𝐄𝐍𝐘𝐄𝐋𝐄𝐒𝐀𝐈𝐊𝐀𝐍 𝐃𝐀𝐋𝐈𝐋² 𝐘𝐀𝐍𝐆 𝐁𝐄𝐑𝐓𝐄𝐍𝐓𝐀𝐍𝐆𝐀𝐍

𝐄𝐝𝐢𝐬𝐢 𝟏: 𝐏𝐞𝐧𝐝𝐚𝐡𝐮𝐥𝐮𝐚𝐧

    Masalah khilafiah merupakan persoalan yang terjadi dalam realitas kehidupan manusia yang berkaitan dengan masalah furu’iyyah. Di antara masalah khilafiah tersebut ada yang menyelesaikannya dengan cara yang sederhana dan mudah, karena ada saling pengertian berdasarkan akal sehat. Tetapi dibalik itu masalah khilafiah dapat menjadi ganjalan untuk menjalin keharmonisan di kalangan umat Islam karena sikap taasub (fanatik) yang berlebihan, tidak berdasarkan pertimbangan akal sehat dan sebagainya.

    Perbedaan pendapat dalam lapangan hukum sebagai hasil penelitian (ijtihad), tidak perlu dipandang sebagai faktor yang melemahkan kedudukan hukum Islam, bahkan sebaliknya bisa memberikan kelonggaran kepada orang banyak, memperkaya khazanah islam dan memberikan kemudahan apabila disikapi secara dewasa.

sebagaimana yang diharapkan Nabi :

اختلاف في أمتى رحمة

“Perbedaan pendapat di kalangan umatku adalah rahmat”.(HR. Baihaqi).

  Berbicara tentang hukum dalam islam khususnya dalam masalah furuiyyah tidak lepas dari pandangan atau pendapat dari berbagai mazhab yang ada, sehingga tidak sedikit terjadi silang pendapat antar mazhab terhadap suatu perkara dalam masalah fiqih, sehingga kita lihat bahwa rata-rata penduduk Indonesia adalah warga negara yang menyandang status muslim. Bahkan riset membuktikan bahwa jumlah muslim terbanyak di seluruh dunia salah satunya adalah negara Indonesia dan mayoritas dari mereka bermazhab pada Imam Syafi’i.

 Perbedaan pendapat dalam berbagai permasalahan agama Islam bukanlah sesuatu yang baru yang perlu dibesar-besarkan, ia merupakan sesuatu yang telah ada sejak masa-masa awal berkembangnya Islam bahkan telah ada dan terjadi pada masa Nabi Muhammad masih hidup. Hanya saja yang menarik dari perbedaan pendapat yang terjadi pada masa hidupnya Rasul dan para sahabat adalah tumbuhnya sikap toleransi dan saling menghargai di antara mereka, sekalipun mereka sama-sama menimba ilmu dan mendengar Hadis dari Rasulullah. Sehingga perkataan “perbedaan di antara umatku adalah rahmat” dapat terlihat jelas dalam sikap dan pengamalan mereka terhadap agama.

   Berbeda dengan yang terjadi akhir-akhir ini, perbedaan pendapat malah menjadi bibit permusuhan, anarkisme, maupun kontak fisik. Tiap-tiap golongan mengklaim kebenaran hanya ada di pihaknya saja, sedang yang lainnya sesat, bahkan tak jarang satu sama lain begitu berani dan lantangnya mengkafirkan saudaranya dengan argumentasi “dalilnya lemah” , “dalilnya palsu”, “pelaku bid‟ah”, dan lain-lain. Sikap ini jika dipahami sebenarnya muncul dari ketidakpahaman secara utuh oleh segolongan kaum muslimin terhadap warisan Rasulullah berupa Alquran dan Sunah. Sebagian mereka ada yang hanya melihat tekstualnya nas, sebagian ada yang melihat illahnya, sebagian ada yang menggiringnya kepada keadaan masa kini (kontestualisasi).

  Sebagaimana diketahui bahwa ada empat mazhab yang paling masyhur dalam Islam yaitu Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafi’I dan Mazhab Hanbali. Masing-masing Mazhab mempunyai metode sendiri dalam menyelesaikan suatu masalah serta dalil-dalil yang bertentangan dengan merujuk kepada Al Kitab dan Al Hadist. Oleh karena itu dengan adanya polarisasi mazhab disitulah sering terjadi perbedaan-perbedaan pandangan hukum dalam menyikapi suatu permasalahan yang ada, sehingga tidak sedikit dari kaum muslimin yang berbeda pandangan dengan kaum muslimin lainnya disebabkan dengan adanya metode masing-masing mazhab yang mereka pakai dalam meyelesaikan suatu masalah dalam cabang furuiyyah.

    Perlu dipahami bahwa ta'arudh al adillah itu mustahil terjadi sebab keduanya bersumber dari wahyu Allah SWT, yaitu terlepas dari kecacatan, kekurangan bahkan perselisihan diantara dalil-dalil yang bertentangan tersebut. Adapun ayat-ayat atau hadis-hadis yang dianggap bertentangan oleh sebagian orang, itu hanyalah persangkaan dan ketidak cukupan ilmu seseorang dan para ulama sudah mendudukan nash-nash tersebut pada tempatnya, sehingga tidak lagi bertentangan.

  Maka dari itu, Adapun Imam Syafi'i mengklasifikasi dalil-dalil ta'arudh kedalam 2 bagian:

1. Ta'rudh antara sesama dalil Naqliyyah. mencakup :
- Ta'rudh antara Alquran dan Hadist.
- Ta'rudh antara hadist dan hadist.
- Ta'rudh antara Ijma' dan Nash (Al quran dan Hadist)
- Ta'rudh antara Nash dan Qaul As Sahabah (Perkataan Sahabat).

2. Ta'rudh antara dalil Naqliyyah dan Aqliyyah, mencakup:
- Ta'rudh antara Nash dan Qiyas.
- Ta'rudh antara Nash dan 'Urf
- Ta'rudh antara Perkataan sahabat dan Qiyas.

(Dari pengklasifikasian diatas, insyaAllah akan kita bahas dan kupas satu persatu pada edisi berikutnya).

   Melihat dari pengklasifikasian diatas, maka secara umum Imam Syafi'i memiliki 3 metode dlm menyelesaikan dalil-dalil yang bertentangan tersebut. Adapun Metode Imam Syafi'i antaralain:

   Metode pertama: Al jam'u wa Taufik, yaitu penggabungan antara dua dalil yang bertentangan, jika hal itu memungkinkan. Jadi, ketika ada dua dalil yang saling bertentangan baik itu dalil naqliyyah maupun aqliyyah, maka metode pertama yang dilakukan oleh Imam Syafi'i adalah penggabungan kedua dalil ta'arudh tersebut, sehingga kedua-duanya bisa diamalkan dan tidak mengambil atau mengamalkan salah satunya saja.

   Metode Kedua: Metode naskh (Penghapusan hukum) adalah menghapus hukum syar'i dengan dalil yang datang kemudian. Maka, jika sendainya nashk yang di nashk kan tidak datang maka tentulah hukum pertama masih berlaku. Metode ini adalah metode kedua yang dipakai oleh Imam Syafi'i ketika kedua dalil bertentangan tersebut tidak bisa digabungkan atau dikompromikan. Metode ini juga mempunyai syarat- syarat tertentu untuk membatalkan dan menghapus hukum sebelumnya dengan datangnya hukum baru. Dari syarat-syarat tersebut yaitu:
  1. Hukum yang mansuukh adalah hukum syara’ 
  2. Dalil penghapusan hukum tersebut adalah khithab syar’i yang datang lebih kemudian dari khithab yang hukumnya mansuukh.
  3. Khithab yang mansuukh hukumnya tidak terikat (dibatasi) dengan waktu tertentu. Sebab jika tidak demikian maka hukum akan berakhir dengan berakhirnya waktu tersebut, dan itu tidak dinamakan naskh.  
 Metode ketiga: Metode Tarjih, yaitu mengunggulkan salah satu dalil yang bertentangan dengan cara menganalisis dari aspek sanad, matan, dilalahnya dan illahnya. Sehingga hanya mengambil dan mengamalkan salah satu dari dalil yang bertentangan tersebut. Metode ini adalah metode ketiga yang dipakai oleh Imam Syafi'i ketika metode al jam'u wa taufik (penggabungan) dan metode naskh tidak bisa dilakukan. Metode tarjih ini, juga mempunyai qaidah-qaidah tertentu dalam menyelesaikan pergolakan kedua dalil ta'arudh sehingga bisa menentukan dalil yang rajih ( kuat) dan dalil marjuh (lemah). Adapun Qaidah-qaidah Tarjih, insyaAllah akan dibahas pada edisi berikutnya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar