MAKALAH
Oleh :
AHMAD MUNTAZAR
PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER HUKUM ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2017
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang.
Ushul Fiqhi adalah salah satu ilmu yang mengatur kaidah-kaidah
fiqhi dalam menentukan sebuah hukum dalam suatu permasalahan, sehingga ilmu
Ushul Fiqhi suatu ilmu yang sangat dibutuhkan pada masa sekarang dalam permasalahan-permasalahan
yang baru muncul yang belum ada pada zaman Rasulullah SAW, Sahabat, maupun
tabi’in, sehingga semua persoalan dalam konteks kekinian bisa dipecahkan oleh
Ushul Fiqhi yang mana memiliki lima rumusan landasan dalam penentuan hukum dalam
suatu masalah yang disebut dengan Hukum Taklifi. Yang mana lima dasar hukum itu
atau hukum taklifi ialah wajib, mandub (sunnah), mubah, makruh dan haram.
Kelima rumusan hukum inilah
yang menentukan hukum pada persoalan-persoalan yang pada dasarnya merujuk pada Al Qur’an dan
As-Sunnah. Oleh karena itu masih banyak dikalangan masyarakat maupun mahasiswa
yang belum paham atau belum terlalu paham dalam Hukum Taklifi serta kelima
hukum tersebut. Segala amal perbuatan
manusia, perilaku dan tutur katanya tidak dapat lepas dari ketentuan hukum
syari'at, baik hukum syari'at yang tercantum di dalam Qur’an dan Sunnah, maupun
yang tidak tercantum pada keduanya, akan tetapi terdapat pada sumber lain yang
diakui syari'at.
Sebagaimana yang di katakan imam Ghazali, bahwa mengetahui hukum syara'
merupakan buah (inti) dari ilmu Fiqh dan Ushul fiqh. Sasaran kedua
disiplin ilmu ini memang mengetahui hukum syara' yang berhubungan dengan
perbuatan orang mukallaf. Meskipun dengan tinjauan yang berbeda. Ushul fiqh meninjau
hukum syara' dari segi metodologi dan sumber-sumbernya, sementara ilmu fiqh
meninjau dari segi hasil penggalian hukum syara', yakni ketetapan Allah yang
berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik berupa iqtidha
(tuntutan perintah dan larangan), takhyir (pilihan), maupun berupa wadh’i
(sebab akibat), yang dimaksud dengan ketetapan Allah ialah sifat yang telah di
berikan oleh Allah terhadap sesuatu yang berhubungan dengan orang-orang
mukallaf. Seperti hukum haram, makruh, wajib, sunnah, mubah, sah, batal,
syarat, sebab, halangan (mani') dan ungkapan lain yang akan kami jelaskan pada
makalah ini yang kesemuanya itu, kami katakan merupakan objek pembahasan ilmu
Ushul fiqh.
Dari pada itu, lewat makalah ini kami akan mencoba membahas tentang
hukum syara' yang berhubungan dengan hukum taklifi dan hukum wadhi. Keduanya
merupakan satu sub bab yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain, oleh karena
itu disini kami lebih memfokuskan pembahasan kepada Hukum taklifi yang menjadi
tugas utama kami dalam perkuliahan ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hukum Taklifi.
Hukum secara Bahasa berasal
dari kata-
حكما حكم – يحكم yaitu sebuah peraturan yang bersifat syar’i, yaitu
hukum yang berpautan dengan perbuatan manusia, yakni yang dibicarakan dalam
ilmu fiqh, bukan hukum yang berpautan dengan akidah dan akhlaq. Sehingga
dikatakan:
إثبات الشيء علي الشيء أو نفيه عنه
Artinya: Menetapkan
sesuatu atas sesuatu atau meniadakan sesuatu daripadanya.
Sedangkan menurut istilah ulama ushul
yaitu Titah
Allah (atau sabda rasuI) yang mengenal pekerjaan mukallaf (orang yang telah
baligh dan berakal), baik titah itu mengandung tuntutan, suruhan atau larangan,
atau semata-mata menerangkan kebolehan, atau menjadikan sesuatu itu sebab, atau
syarat atau penghalang bagi sesuatu hukum.[1]
Menurut istilah
ahli fiqh, yang disebut hukum ialah bekasan dari titah Allah atau sabda rasul.
Apabila disebut hukum syara', maka yang dimaksud ialah hukum yang berpautan
dengan perbuatan manusia, yakni yang dibicarakan dalam ilmu fiqh, bukan hukum
yang berpautan dengan akidah dan akhlaq.
sedangkan taklifi adalah berasal dari
kata كلف – يكلف – تكليفا yaitu beban. Yaitu orang yang
telah dibebankan untuk melakukan sesuatu perintah.
Sedangkan menurut istilah, hukum taklifi
adalah syar’i yang mengandung tuntutan
(untuk dikerjakan atau ditinggalkan oleh para mukallaf) atau yang mengandung
pilihan antara yang dikerjakan dan ditinggalkan. Dengan kata lain adalah yang
dituntut melakukannya atau tidak melakukannya atau dipersilahkan untuk memilih
antara memperbuat dan tidak memperbuat.[2]
Dengan
memperhatikan pengertian hukum sebagaimana tersebut di atas, maka nyatalah
bahwa hukum itu ada yang mengandung thalab (tuntutan), ada yang mengandung
keterangan sebab, syarat, mani' (pencegah berlakunya hukum), sah, batal,
rukhshah dan azimah.
B.
Macam-Macam Hukum Taklifi.
1.
Wajib.
a.
Pengertian Wajib.
Wajib berasal dari kata وجب – يجب – إيجابا yaitu keharusan, lazim. Sedangkan Para ahli ushul memberikan definisi wajib ialah: “Wajib menurut
syara’ ialah apa yang dituntut oleh syara’ kepada mukallaf untuk memperbuatnya
dalam tuntutan keras.”Atau menurut definisi lain ialah suatu perbuatan jika
dikerjakan akan mendapat pahala dan jika ditinggalkan akan berdosa
Wajib ini dapat
dikenal melalui lafal atau melalui tanda (qarinah) lain. Wajib yang ditunjuk
melalui lafal seperti dalam bentuk lafal amar (perintah) dalam firman Allah:
وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي
Artinya: “... dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.” (QS. Thaha:14)
Dapat juga dikenal melalui kata-kata yang tercantum dalam kalimat itu
sendiri yang menunjukkan wajib seperti dalam firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن
قَبْلِكُمْ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu ....” (QS. Al-Baqarah:
183).
Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa al-Amr bisa
diartikan sebagai perintah dari atas ke bawah untuk menuntut suatu perbuatan
untuk dilaksanakan. Lafal al-Amr adalah lafal yang
menunjukkan pengertian wajib selama al-Amr itu berada dalam kemutlakannya.
Selama tidak ada dalil atau qarinah lain yang memberi implikasi arti lain, hal
ini sesuai dengan kaedah :
الأصـل في الأمر الوجـوب.
“Asal kata perintah itu adalah wajib”
Lafal al-Amr itu, apabila
di dalamnya terkandung qarinah lain sehingga mengalihkan arti makna haqiqi kepada
makna lain, maka hukum yang terkandung dalam shigat al-Amr bisa berubah menjadi : al-nadb,
al-irsyad, al-tahdid dan al-ibahah.
Untuk mengetahui secara lengkap tentang siyagh al-Amr baik
dari segi shigat maupun kandungannya, maka penulis akan menampilkan sebagai
berikut:[3]
i.
Untuk nadb (menganjurkan), yaitu suatu
kata perintah yang menunjukan anjuran atau sunnah disebabkan dengan adanya
qarinah atau dalil yang menunjukan sesuatu itu adalah sunnah, seperti firman Allah Swt QS. Al-Nur (24):33 :
فَكَاتِبُوهُمْ إِنْ عَلِمْتُمْ فِيهِمْ خَيْرًا
“…Hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka jika kamu mengetahui
ada kebaikan pada mereka …”
ii.
Untuk irsyad (petunjuk), seperti firman
Allah Swt QS. Al-Baqarah (2): 281:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى
أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ
بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya, dan
hendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar”
iii.
Untuk ibahah (kebolehan), seperti firman
Allah Swt,:
وَكُلُوا
وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا ۚ إِنَّهُ لَا
يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
"makan
dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berlebih-lebihan".
iv.
Untuk tahdid (ancaman), seperti:
اعْبُدُوا مَا شِئْتُم مِّن دُونِهِ ۗ قُلْ إِنَّ الْخَاسِرِينَ
الَّذِينَ خَسِرُوا أَنفُسَهُمْ وَأَهْلِيهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۗ أَلَا
ذَٰلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِينُ
"Maka
sembahlah olehmu (hai orang-orang musyrik) apa yang kamu kehendaki selain Dia.
Katakanlah: "Sesungguhnya orang-orang yang rugi ialah orang-orang yang
merugikan diri mereka sendiri dan keluarganya pada hari kiamat". Ingatlah
yang demikian itu adalah kerugian yang nyata".
b.
Pembagian Wajib.
Dilihat dari
beberapa segi, wajib terbagi empat:
1)
Dilihat dari segi tertentu atau tidak tertentunya perbuatan yang
dituntut, wajib dapat dibagi dua:
Ø
Wajib mu’ayyan, yaitu wajib yang telah ditentukan macam
perbuatannya , misalnya shalat, puasa, zakat, haji, dll.
Ø
Wajib mukhayyar, yaitu yang boleh pilih salah satu dari beberapa
macam perbuatan yang telah ditentukan. Misalnya, kifarat sumpah yang memberi
tiga alternatif, memberi makan sepuluh orang miskin, atau memberi pakaian
sepuluh orang miskin, atau memerdekakan budak.[4]
لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ
وَلَٰكِن يُؤَاخِذُكُم بِمَا عَقَّدتُّمُ الْأَيْمَانَ ۖ فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ
عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ
أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ
2) Dilihat dari segi waktu
mengerjakannya dan waktu yang tersedia untukmmengerjakan yang diwajibkan.wajib yang
seperti ini dapat dibagi menjadi dua macam:
Ø Wajib muwassa’, waktu yang tersedia
untuk melaksanakan yang diwajibkan itu lebih luas atau lebih banyak dari waktu
mengerjakan kewajiban itu. Misalnya shalat zuhur. Waktu yang tersedia untuk
melaksanakan shalat zuhur jauh lebih lapang dibandingkan dengan waktu yang
terpakai untuk melaksanakan shalat zuhur. Maka wajib yang seperti ini dapat
dilaksanakan pada awal waktu atau pada pertengahan waktu atau pada akhir waktu.
Jika wajib muwassa’ ingin dikerjakan pada pertengahan atau akhir waktu maka
menurut para ulama hendaklah berniat setelah tiba waktunya (awal waktu) untuk
menunda pelaksanaannya pada waktu yang diinginkan karena kalau tidak diniatkan
maka mungkin termasuk orang yang melalaikan waktu.[5]
Ø Wajib mudhayyiq, yakni yang waktunya
yang tersedia persis sama atau sama banyak dengan waktu mengerjakan kewajiban
itu. Seperti puasa bulan Ramadhan. Puasa itu sendiri menghabiskan seluruh hari
bulan Ramadhan. Karena itulah wajib mudhayyiq tidak dapat ditunda dari waktu
yang tersedia untuk mengerjakannya.[6]
3)
Dilihat dari segi orang yang harus mengerjakannya, terbagi kepada
duambagian:
Ø
Wajib ‘ain, ialah tuntutan syara’ untuk melaksanakan sesuatu
perbuatan dari setiap mukallaf dan tidak boleh diganti oleh orang lain, seperti
kewajiban mengerjakan shalat, puasa, zakat, dan haji. Wajib ini disebut juga
fardhu ‘ain.
Ø
Wajib kifayah, ialah wajib yang dibebankan kepada sekelompok orang
dan jika ada salah seorang yang mengerjakannya maka tuntutan itu dianggap sudah
terlaksana, namun bila tidak ada seorangpun yang mengerjakannya, maka
berdosalah sekelompok orang tersebut. seperti amar ma’ruf dan nahi munkar,
shalat jenazah, mendirikan rumah sakit, sekolah, dan lain sebagainya.[7]
2.
Mandub (sunnah).
a.
Pengertian Mandub.
An- nadb (mandub) menurut bahasa yaitu anjuran untuk melakukan sesuatu.
Sedangkan menurut syara’ ialah suatu perintah yang tidak disertai dengan dosa
ketika meninggalkannya.[8]
Para ahli ushul mengatakan yang dimaksud dengan
mandub ialah:“ Yang dituntut oleh syara’ memperbuatnya dari mukallaf namun
tuntutannya tidak begitu keras.” Atau dengan kata lain segala perbuatan yang
dilakukan akan mendapatkan pahala, tetapi bila tidak dilakukan tidak akan
dikenakan siksa atau dosa (‘iqab).
Perbuatan
mandub dapat dikenal melalui lafal yang tercantum dalam nash seperti
dicantumkan kata “disunnatkan” atau “dianjurkan” atau dibawakan dalam bentuk
amar namun ditemui tanda yang menunjukkan bahwa tuntutan itu tidak keras dari
nash itu sendiri. Seperti dalam firman Allah:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila
kamu bermu’amalah (hutang piutang) tidak secara tunai hendaklah
kamu menulisnya ....” (QS. Al-Baqarah 282)
Dalam ayat lain diterangkan:
Artinya: “... maka tak ada dosa bagi kamu (jika)
kamu tidak menulisnya....” (QS. Al-Baqarah 282)
Ayat yang
kedua ini dapat dipahami bahwa menulis hutang piutang itu hanya mandub
(sunnat). Dan juga mungkin tanda yang dapat dipergunakan untuk memalingkan amar
yang mempunyai arti wajib ke arti mandub melalui kaidah umum agama atau melalui
kaidah fiqih dan mungkin juga ditunjuk oleh urutan hukuman bagi orang yang
meninggalkannya.
b.
Pembagian Mandub.
Para ulama dalam kalangan mazhab Syafi’i membagi
mandub menjadi dua macam ialah:
Ø Sunat muakkad, ialah perbuatan yang dituntut
memperbuatnya namun tidak dikenakan siksa bagi yang meninggalkannya tetapi
dicela. Contohnya perbuatan sunat yang menjadi pelengkap perbuatan wajib
seperti azan, shalat berjamaah, shalat hari raya, berkurban dan akikah, karena
perbuatan-perbuatan yang seperti itu selalu diperbuat Rasulullah SAW. hanya
sekali atau dua kali beliau tinggalkan yang menunjukkan perbuatan itu bukan
wajib namun digemari oleh beliau.
Ø Sunat Ghairu muakkad, ialah segala perbuatan yang
dituntut memperbuatnya namun tidak dicela meninggalkannya tetapi Rasulullah
SAW. sering meninggalkannya, atau dengan kata lain yaitu segala macam perbuatan
sunat yang tidak selalu dikerjakan Rasul,.
3.
Mubah.
Mubah adalah segala sesuatu yang diizinkan oleh Allah SWT dalam
mengerjakan sesuatu atau mennggalkannya yang tidak disertai dengan dosa yang
mengerjakannya dan tidak mengerjakannya.[9] Menurut para ahli Ushul Mubah adalah “apa yang diberikan kebebasan kepada para mukallaf untuk memilih
anatara memperbuat atau meninggalkannya.”
4.
Makruh.
a.
Pengertian Makruh
Makruh secara Bahasa yaitu hal yang dibenci. Makruh menurut para ahli ushul ialah:“apa yang dituntut syara’ untuk
meninggalkannya namun tidak begitu keras.” Atau dengan kata lain sesuatu yang
dilarang memperbuatnya namun tidak disiksa kalau dikerjakan. Sehingga makruh itu adalah tidak ada dosa
ketika mengerjakannya dan mendapat pahala ketika meninggalkannya.[10]
b.
Pembagian Makruh.
Pada umumnya, ulama membagi makruh kepada dua
bagian:
Ø
Makruh tanzih, yaitu segala perbuatan yang meninggalkan lebih baik
daripada mengerjakan, contoh; makan dan minum
sambal berdiri.
Ø
Makruh tahrim, yaitu segala perbuatan yang dilarang, tetapi dalil yang
melarangnya itu zhanny, bukan qath’i.
5.
Haram.
a.
Pengertian Haram
Haram adalah apa yang dituntut
oleh syara’ untuk tidak melakukannya dengan tuntutan keras. Atau dengan kata
lain dilarang memperbuatnya dan kalau diperbuat akan mendapat siksa dan kalau
ditinggalkan akan mendapat pahala. Tuntutan yang seperti ini dapat diketahui melelui
lafal nash seperti dalam firman Allah:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ
الْخِنزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ
Artinya: “diharamkan
bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi (daging) hewan yang disembelih
atas nama selain Allah... ( QS. Al-Maidah 3)
b.
Pembagian Haram.
Secara garis besarnya haram dibagi kepada dua:
Ø
Haram li zatihi, ialah haram karena perbuatan itu sendiri, atau
haram karena zatnya. Haram seperti ini pada pokoknya adalah haram yang
memang diharamkan sejak semula. Misalnya membunuh, berzina, mencuri, dan
lain-lain.
Ø Haram li gairihi, ialah Haram karena berkaitan
dengan perbuatan lain, atau haram karena faktor lain yang datang kemudian.
Misalnya, jual beli yang hukum asalnya mubah, berubah menjadi haram ketika azan
jum’at sudah berkumandang. Begitu juga dengan puasa Ramadhan yang semulanya
wajib berubah berubah menjadi haram kerena dengan berpuasa itu akan menimbulakn
sakit yang mengancam keselamatan jiwa. Begitu juga dengan lainnya[11]
Para ulama dalam kalangan mazhab Hanafi membagi
haram ini menjadi dua macam yang dilihat dari segi kekuatan dalil yang
menetapkan ialah:
Ø Haram yang ditetapkan melalui dalil qath’i ialah
harm dari Al quran, Sunnah Mutawatir dan Ijma. Haram yang ditetapkan melalui
dalil qath’i ini sebagi kebalikan fardhu. Contohnya seperti larangan
berbuat zina seperti yang diterangakan dalam ayat 32 Surah Al Isra’.
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً
وَسَاءَ سَبِيلًا
Ø Haram yang ditetapkan
melalui dalil zanni seperti hadis Ahad dan kias dan haram seperti ini sebagai
kebalikan wajib atau juga dinamakan karahiyatut tahrim. Contohnya seperti
larangan bagi kaum pria memakai perhiasan emas dan kain sutra murni yang
diterangkan dalam hadis ahad yang diantaranya:
“kedua ini haram atas umatku yang lelaki”(HR Abu
Daud, Ahmad dan Nasai dari Ali bin Thalib)
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan.
1.
Wajib adalah ketika dikerjakan dapat pahala sedangkan tidak
mengerjakannya mendapat dosa.
2.
Mandub adalah ketika dikerjakan mendapat pahala sedangkan tidak
mengerjakannya tidak mendapat pahala dan tidak mendapat dosa.
3.
Mubah adalah pilihan antara mengerjakan atau tidak mengerjakan yaitu
tidak mendapatkan pahala dan dosa ketika dikerjakan atau tidak dikerjkan.
4.
Makruh adalah ketika dikerjakan tidak mendapat dosa sedangkan
meninggalkannya mendapat pahala.
5.
Haram adalah ketika dikerjakan mendapat dosa sedangkan meninggalkannya
mendapat pahala.
B. Saran.
Semoga pembaca bisa mengetahui definisi Hukum Taklif dan
pembagian-pembagiannya serta contoh-contohnya sehingga dapat mengeluarkan
istinbath hukum dalam berbagai persoalan, dan semoga pembaca juga diberikan
ilmu yang bermanfaat dari makalah ini.
Makalah inipun tidak
luput dari kesalahan dan kekurangan maupun target yang ingin dicapai. Adapun
kiranya terdapat kritik, saran maupun teguran digunakan sebagai penunjang pada
makalah ini. Sebelim dan sesudahnya kami ucapkan terimah kasi.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman Dahlan, Ushul Fiqh,
Jakarta: Amzah, 2010.
Abu Zahrd, Kaidah-Kaidah
hukum Islam, Jakarta: CV Rajawali, 1993.
Ali bin
Sa’di, Fathul Wali An Nashir, Riyadh: Darul Ibnu Jauzy.
Dr. Abdul
Karim bin Ali, Ithaf Dzawil Basoir, Riyad: Darul ‘Ashima, 1996.
https://jurnaltahkim.wordpress.com/2009/05/15/memahami-kalimat-perintah-dan-larangan-dalam-teks-hukum-islam/, diakses pada pukul 19:15, Senin 09
Oktober 2017
Muhammad
Sidqi bin Ahmad, Kasyfu As Satir, hijaz: Darul Ar Risalah ‘Alamiyah, 2013.
Rachmat Syafei, Ilmu Ushul Fiqh,
Bandung: CV Pustaka Setia, 1999.
Wahbah al-Zuhaili, Ushulu
al-Fiqhi al-islamiy, Beirut: Dar al-Fikr, 1986,
hal: 43
[3] https://jurnaltahkim.wordpress.com/2009/05/15/memahami-kalimat-perintah-dan-larangan-dalam-teks-hukum-islam/, diakses pada pukul 19:15, Senin 09 Oktober
2017
[11] Rachmat Syafei, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: CV Pustaka Setia,
1999.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar