Kamis, 24 Oktober 2019

METODOLOGI IMAM SYAFI'I DALAM MENYELESAIKAN DALIL-DALIL YANG BERTENTANGAN



Dari segi pengklompokan dalil-dalil yang bertentangan, metode Imam Syafi’I terbagi menjadi dua, yaitu:
1. Metode Imam Syafi’I dalam menyelesaikan dalil-dalil naqliyyah yang bertentangan.
Adapun metode Imam Syafi’I dalam menyelesaikan dalil-dalil naqliyyah yang bertentangan, yaitu mencakup:
a. Ta’arudh antara nash al qur’an dan hadist.
1) Metode pertama: Al Jam’u wa Taaufik (kompromi), yaitu Sunnah mentakhsis keumuman Al Qur’an atau taqyidul muthlaq.
Sebagaimana Imam Syafi’I berkata: 
إن سنة رسول الله لا تكون مُخالفة لِكتاب الله بِحَالٍ، ولكن ها مُبَينَة عا مه وخا صه 
“Sesungguhnya sunnah Rasulullah tidak bertentangan dengan Kitabullah, hanya saja Hadist tersebut menjadi penjelasan keumuman Al Qur’an dan mengkhususkannya”
2) Metode kedua: Sunnah tersebut menunjukkan untuk meninggalkan madlul Al Qur’an secara keseluruhan.
   Yang perlu diketahui bahwa Imam Syafi’I tidak membolehkan Al Qur’an dinaskh/dihapus oleh hadist dan begitupun sebaliknya yaitu hadist dinaskh/dihapus oleh al qur’an. Sebagaimana beliau berkata:
وأبان الله لهم أنه إنما نسخ ما نسخ من الكتاب بالكتاب، وأن السنة لا ناسخة للكتاب، وإنما هي تبع للكتاب بمثل ما نزل نصًّا، ومفسرة معنى ما أنزل الله منه جملا...فإن قال قائل: هل تنسَخ السنة بالقُرَآن؟ قيل: لو نُسخَت السنة بالقُرَآن، كانت للنبي فيه سنة تبُينُ أن سنته الأولى منسوخة بسُنته الآخِرة حتى تقوم الحجة على الناس، بأن الشيء ينسَخ بِمِث له 
“Dan yang Allah jelaskan kepada mereka adalah bahwasanya sesungguhnya naskh itu terjadi hanya sesama ayat al qur’an, dan bahwasanya sunnah tidak menghapus hukum al qur’an, akan tetapi ia hanya mengikuti al qur’an, dan sebagai mufassirah/penjelasan terhadap makna yang Allah turunkan secara ijmalan yaitu umum. Dan jika ada orang yang bertanya: apakah sunnah boleh dihapus oleh Al Qur’an? Maka, dikatakan: jika sekiranya sunnah dinaskh oleh al qur’an, maka Rasulullah akan menjelaskan bahwa, yang pertama menjadi penghapusan hukum adalah sunnahnya, sehingga menjadi hujjah bagi manusia, dan bahwasanya sesuatu hanya dinaskh oleh semisalnya/sederajat”
Kemudian beliau berdalil, sebagaiman firman Allah SWT:
مَا نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا ۗ أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Artinya: “Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”.(Q.S.Al Baqarah:106)
Oleh karena itu, jika tidak memungkinkan penggabungan antara keduanya, maka cara selanjutnya adalah dengan menggunakan metode tarjih dan tidak menggunakan metode naskh dalam permasalahan ta’arudh antara Al qur’an dan sunnah.
b. Ta’arudh antara hadist dan hadist.
1) Metode pertama: Al Jam’u wa Taaufik (kompromi). Adapun cara atau metode Imam Syafi’I dalam menggabungkan kedua hadist ta’arudh jika hal itu memungkinkan, yaitu:
a) Cara pertama: menakwilkan kedua hadist tersebut dalam kondisi yang berbeda.
b) Cara kedua: Hamlul Muthlaq ‘alal Muqayyad atau Hamlul Am ‘alal Khas.
c) Cara ketiga: memalingkan salah satu dari kedua hadist ta’arudh dari kezhahirannya.
d) Cara keempat: menjadikan atau menakwilkan salah satu dari kedua hadist ta’arudh dalam sifat kekhususan.
e) Cara kelima: memahami atau menakwilkan kedua hadist ta’arudh dalam masalah ikhtiar.
2) Metode kedua: Mengamalkan salah satu dari kedua hadist yang ta’arudh
a) Cara pertama: Naskh. Cara ini adalah cara ketika al jam’u wa taufiq (kompromi) kedua dalil itu tidak dapat dilakukan. Sebagaimana Imam Syafi’I mengatakan bahwa, ketika kedua dalil ta’arudh/bertentangan maka salah satu metode untuk menyelesaikan adalah dengan cara menaskh dalil yang lama dengan datangnya dalil yang baru.  Dalam hal ini, Imam Syafi’I memakai metode naskh antara hadits  yang ta’arudh, begitupun dengan antara ayat al qur’an.
b) Cara kedua: Tarjih. yaitu jika kedua hadits yang bertentangan tidak bisa digabungkan dan juga tidak bisa di mansukh disebabkan ketidak tahuan waktu dan tempatnya, maka metode terakhir yang ditempuh yaitu mentarjih salah satu dari keduanya, yaitu mengamalkan salah satu dari keduanya dan meninggalkan yang lain.  
c. Ta’arudh antara nash (al quran dan hadist) dan ijma’.
1) Metode Pertama: Al Jam’u wa Taaufik (kompromi), yaitu Ijma mentakhsis keumuman Nash atau Taqyidul Muthlaq.
Sebagaimana Imam Syafi’I mengatakan:
وكل ما حكم به رسول الله فهو عام حتى يأتي عنه دلالة على أنه   أراد به خاصًّا، أو عن جماعة المسلمين 
“Dan segala apa yang telah dihukumi oleh Rasulullah adalah bersifat umum hingga ada dalil nash yang menunjukkan kekhususannya atau Ijma’ kaum muslimin”.
2) Metode kedua: Ijma tersebut menunjukkan untuk meninggalkan madlul Nash secara keseluruhan dengan cara tarjih.
Jika Ijma’ menunjukkan untuk meninggalkan madlul Nash secara keseluruhan, maka ijma yang lebih didahulukan, sebab nash bisa dinaskh dengan hukum nash lainnya. Beda dengan Ijma’ yang tidak bisa dinaskh atau dihapus dan dibatalkan kelegitimasiannya, disebabkan bahwa ummat Muhammad tidak akan pernah bersepakat dalam kebathilan.  Inilah yang menjadi dasar bahwa Ijma’ lebih didahulukan dari pada nash, ketika keduanya tidak bisa digabungkan (al jam’u wa taufiq).
d. Ta’arudh antara nash dan qaulu Al Sahabah.
1) Metode pertama: Al Jam’u wa Taaufik (kompromi), yaitu Qaulu As Sahabah mentakhsis keumuman Nash atau Taqyidul Muthlaq.
Qaulu Al Sahabah adalah salah satu dalil syara’ yang mu’tabar yang menjadi salah satu sumber hukum Imam Syafi’I dan ulama Syafi’iyyah, sebab qaulu Al Sahabah atau perkatan sahabat berfungsi sebagai dalil syara’ ketika tidak ada nash dari al qur’an dan sunnah, juga sebagai penjelasan dan penguat nash. Sebagaimana Imam Syafi’I berkata:
إنما الحجة في كتاب، أو سنة، أو أثر عن بعض أصحاب النبي ، أو قول عامة المسلمين لم يختلفوا فيه، أو قياس داخل في معنى بعض هذا 
“Sesungguhnya hujjah itu terdapat pada Al Qur’an dan Al Sunnah dan Atsar/perkataan sahabat Nabi atau Ijma’ kaum muslimin yang tidak ada pertentangan di dalamnya atau qiyas yang semakna dengan (illatnya)”
2) Qaulu Al Sahabah tersebut menunjukkan untuk meninggalkan madlul Nash secara keseluruhan.
Jika Qaulu Al Sahabah tersebut menunjukkan untuk meninggalkan madlul Nash secara keseluruhan, disebabkan ta’arudh yang sangat kuat dan tidak bisa digabungkan antara keduanya, maka dalam hal ini Imam Syafi’I lebih mendahulukan nash dari pada qaulu Al Sahabah yaitu mengamalkan nash dan meninggalkan atau menolak qaulu Al Sahabah. Sebagimana Imam Syafi’I berkata:
والأثر أضعف من السنة  
“dan Atsar (perkataan sahabat) lebih lemah dibadingkan dengan sunnah”
2. Metode dalam menyelesaikan dalil-dalil yang bertentangan antara dalil naqliyyah dan aqliyyah. 
Adapaun metode Imam Syafi’I dalam menyelesaikan dalil-dalil yang bertentangan antara dalil naqliyyah dan aqliyyah, yaitu mencakup:
a. Ta’arudh antara nash (al quran dan hadist) dan qiyas.
1) Metode pertama: Al Jam’u wa Taaufik (kompromi), yaitu Qiyas mentakhsis keumuman Nash atau Taqyidul Muthlaq.
Imam Sam’ani mengatakan bahwa Imam Syafi’I dan Imam Malik serta ulama Fuqaha lainnya menerima dan membolehkan qiyas mentakhsis keumuman nash, sebab qiyas adalah dalil syara’ yang diakui kehujjahannya sebagai landasan hukum. 
2) Metode kedua: Qiyas tersebut menunjukkan untuk meninggalkan madlul Nash secara keseluruhan.
Jika Qiyas tersebut menunjukkan untuk meninggalkan madlul Nash secara keseluruhan, disebabkan ta’arudh yang sangat kuat dan tidak bisa digabungkan antara keduanya, maka dalam hal ini Imam Syafi’I lebih menggunakan metode tarjih, yaitu mendahulukan nash dari pada Qiyas yaitu mengamalkan nash dan meninggalkan atau menolak Qiyas, sebab metode qiyas adalah metode yang bersifat darurat ketika sesuatu tersebut tidak ada nasnya.  Salah satu alasan Imam Syafi’I mendahulukan nash dari pada qiyas yaitu bahwa nash adalah sesuatu yang diikuti bukan sesuatu yang mengikuti, sebab nash itu adalah pokok yang berdiri sendiri dan tidak ditopang oleh dalil apapun. Beda dengan qiyas yang hanya merupakan cabang dari Al Ashl (pokok) sehingg ia hanya pengikut dan bukan yang diikuti. 
b. Ta’arudh antara nash dan urf’.
1) Metode pertama: Al Jam’u wa Taaufik (kompromi), yaitu ‘Urf mentakhsis keumuman Nash atau Taqyidul Muthlaq. 
2) Metode kedua: ‘Urf  tersebut menunjukkan untuk meninggalkan madlul Nash secara keseluruhan.
Adapun maksud dari metode diatas adalah Jika ‘Urf tersebut menunjukkan untuk meninggalkan madlul Nash secara keseluruhan, disebabkan ta’arudh yang sangat kuat dan tidak bisa digabungkan antara keduanya, maka dalam hal ini Imam Syafi’I lebih mendahulukan nash dari pada ‘Urf yaitu mengamalkan nash dan meninggalkan atau menolak ‘Urf/adat yang tersebar di masyarakat.
c. Ta’arudh antara qaulu al sahabah dan qiyas.
1) Metode pertama: Al Jam’u wa Taaufik, yaitu Qaulu Al Sahabah mentakhsis Qiyas atau Taqyidul Muthlaq. 
2) Metode kedua: Qaulu Al Sahabah tersebut menunjukkan untuk meninggalkan madlul Qiyas secara keseluruhan.
Jika Qaulu Al Sahabah tersebut menunjukkan untuk meninggalkan madlul Qiyas secara keseluruhan, disebabkan al Jam’u wa taufiq tidak bisa dilakukan, maka Imam Syafi’I tidak menggunakan metode naskh akan tetapi dengan metode tarjih diantara kedua dalil yang ta’arudh, yaitu mendahulukan qaulu Al Sahabah dan meninggalkan qiyas. 
3. Kaidah-kaidah Imam Syafi’I dalam Mentarjih Dalil yang bertentangan.
a. Nash (Al Qur’an dan Hadist) lebih didahulukan dari pada Qiyas. 
b. Nash yang Qhat’I, lebih didahulukan dari pada nash Dzonni. 
c. Nash lebih didahulukan dari pada Zhohir.
d. Sunnah Al Qauliyyah lebih didahulukan, kemudian Fi’liyyah kemudian Taqririyyah. 
e. Hadist Mutawatir lebih didahulukan dari pada Hadits Ahad. 
f. Hadist Musnad lebih didahulukan dari pada Hadits Mursal. 
g. Hadist yang diriwayatkan, lebih didahulukan dari pendapat perawi Hadits tersebut. 
h. Hadist yang perawinya banyak lebih didahulukan dari pada perawinya sedikit. 
i. Hadist yang diriwayatkan oleh Syaikhan lebih didahulukan dari pada Hadist lainnya. 
j. Riwayat sahabat yang langsung berkaitan dengan kejadian, lebih didahulukan dari riwayat sahabat yang lainnya. 
k. Qiyas Al Jali, lebih didahulukan dari pada Qiyas Al Khafii. 
l. Az Zhahir, lebih didahulukan dari pada Al Muawwal. 
m. Al Khas lebih didahulukan dari pada Al ‘Am. 
n. Al ‘Am yang belum ditakhsis, lebih didahulukan dari pada Al ‘Am yang sudah ditakhsis. 
o. Al ‘Am yang Muthlaq lebih didahulukan dari pada Al ‘Am yang dipengaruhi oleh sebab.
p. Mantuq lebih didahulukan dari pada Mafhum. 
q. Penetapan lebih didahulukan dari pada peniadaan. 
r. Larangan lebih didahulukan dari pada Mubah.