MAKALAH
Oleh:
AHMAD MUNTAZAR
PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER HUKUM ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
JAKARTA
2017
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Hadits merupakan salah satu sumber
hukum islam setelah Al-Qur’an. Yang mana kita ketahui bahwa sumber hukum yang
telah disepakati oleh jumhur ulama yaitu ada empat: Al-Qur’an, Hadits, Ijma,
dan Qiyas. Adapun sumber hukum yang masih dalam perdebatan ulama yaitu
Istihsan, Istishab, Maslahah al mursalah, Urf, Saddudz dzarî’ah, Syar’u man
Qablana, Qaul Sahabi. Jadi segala sesuatu permasalahan tidak keluar dari sumber
hukum baik itu yang telah disepakati oleh para ulama maupun sumber yang
dipersilisihkan oleh ulama. Kemudian sumber hukum Islam ke-dua setelah
Al-Qur’an adalah Hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam oleh karena itu,
Hadits diriwayatkan ole para perawi dengan sangat hati-hati dan teliti,
sebagaimana sabda Nabi SAW :
من كذب علي متعمدا فليتبؤا مقعده من النار
Artinya : “Barang siapa berdusta
atas namaku dengan sengaja, maka tempatnya dalam neraka disediakan”.
Adapun Hujjiyah Hadits sebagai
sumber Hukum yaitu (QS An Najm:3-4):
وما
ينطق عن الهوي إن هو إلا وحي يوحى
“dan
tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur-an) menurut kemauan hawa nafsunya.
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan”..Di ayat lain (QS Al
Hasyr: 7)
وما اّتاكم الرسول فخذوه وما نهاكم عنه
فانتهوا. واتقوا الله إن الله شديد العقاب
“…Apa yang
diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka
tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras
hukuman-Nya.”
Inilah beberapa dalil yang
menjelaskan tetang kehujjiaan Hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
sebagi sumber penetapan hukum.
Tidak seperti Al-Qur'an, dalam
penerimaan Hadits dari Nabi Muhammad SAW banyak mengandalkan hafalan para
sahabatnya, dan hanya sebagian saja yang ditulis oleh mereka. Dengan demikian,
Hadits-hadits yang ada pada para sahabat, yang kemudian diterima oleh para
tabi'in, memungkinkan ditemukan adanya redaksi yang berbeda-beda. Karena ada
yang meriwayatkannya sesuai atau sama benar dengan lafal yang diterima dari
Nabi SAW, dan ada yang hanya sesuai makna atau maksudnya saja, sedangkan
redaksinya tidak sama.
Oleh karena untuk memahami hadits
secara universal, diantara beberapa jalan, salah satu diantaranya adalah dengan
melihat Hadits dari segi kuantitas atau jumlah banyaknya pembawa hadits (Sanad)
itu.
Berangkat dari hal tersebut di atas,
maka untuk memahami hadits ditinjau dari kuantitas sanad, maka dalam makalah
ini akan dikemukakan pembagian hadits ditinjau dari segi kuantitas sanadnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A . klasifikasi Hadits ditinjau dari segi
kuantitas sanadnya
Macam-macam hadits sangat banyak.
Sebagian orang bingung melihat pembagian hadits yang banyak dan beragam
tersebut. Kebingungan tersebut menjadi hilang dengan banyaknya buku atau kitab
yang menjelaskan pembagian hadits dengan terperinci dan gamblang dari berbagai
segi dan sudut pandang. Hadits dari segi kuantitas sanad terbagi menjadi dua
macam, yaitu Hadits Mutawatir dan Hadits Ahad.[1]
Para ulama berbeda pendapat tentang
pembagian hadist yang ditinjau dari segi kuantitas atau jumlah rawi yang
menjadi sumber berita. Di antara mereka ada yang mengelompokkan menjadi tiga
bagian, yakni hadist mutawatir, masyhur, dan ahad, dan ada juga yamg membaginya
menjadi dua, yakni hadist mutawatir dan ahad. Ulama golongan pertama, yang
menjadikan hadist masyhur berdiri sendiri dan tidak termasuk bagian dari hadist
ahad dianut oleh sebagian ulama ushul, diantaranya adalah Abu Bakar Al-Jashshah
(305-370 H). Adapun ulama kalam. Menurut mereka, hadist masyhur bukan merupakan
hadist yang berdiri sendiri, tetapi merupakan bagian dari hadist ahad. Itulah
sebabnya mereka membagi hadist menjadi dua bagian, yaitu mutawatir dan ahad.
Dan jumhur ulama telah membagi Hadits dari segi kuantitas sanadnya menjadi
Mutawatir dan Ahad, yang mana hadis Masyhur mereka memasukkan ke dalam hadist Ahad.[2]
B.
pengertian, syarat, macam-macam Hadits Mutawatir.
1. Pengertian Mutawatir
Secara bahas Kata Mutawatir adalah merupakan
isim fai’l dari kata Attawatur (التواتر,) yaitu berurutan. Adapun secara istilah Hadits Mutawatir
adalah hadist yang diriwayatkan oleh perawi yang banyak pada setiap tingkatan
senadnya , menurut akal tidak mungkin para perawi tersebut sepakat untuk berdusta
dan memalsukan hadist dan mereka bersandarkan dalam meriwayatkan pada sesuatu
yang dapat dikeahui dengan indera seperti pendengarannya dan semacamnya.[3]
Sehingga Hadis Mutawatir betul-betul
bersumber dari Nabi s.a.w. Hadis Mutawatir sama dengan Al-Quran dalam hal
keutentikannya karena keduanya qat’iul wurud (sesuatu yang pasti datangnya).
Dan para ulama sepakat bahwa hadis Mutawatir wajib diamalkan dalam seluruh
aspek, termasuk dalam bidang akidah. Apabila perawi itu berjumlah banyak dan
secara mudah dapat diketahui bahwa sekian banyak perawi itu tidak mungkin
bersepakat untuk berdusta, maka penyampaian itu secara mutawatir.
2. Syarat-Syarat Hadits Mutawatir.
Adapun syarat-syarat
Hadits Mutawatir yaitu sebagi berikut:
a. Diriwayatkan oleh jumlah yang banyak.
Salah satu syarat Hadits Mutawatir yaitu
jumlah periwayatannya banyak. Sehingga ulama berbeda pendapat dalam penetapan
jumlah periwayatannya. Ada yang mengatakan bahwa Hadits Mutawatir diriwayatkan
4 perawi, ada yang mengatakan 5 perawi, ada yang mengatakan 10 perawi, 20
perawi, 40 perawi, hingga 70 perawi. Akan tetapi pendapat yang lebih kuat 10
perawi sehingga dikatakan Hadits Mutawatir.[4]
b. Jumlah yang banyak berada pada semua
tingkatan (thabaqat) sanad.
Dengan demikian, bila jumlah perawi pada
thabaqah pertama sekitar 10 orang, maka pada thabaqah-thabaqah lainnya juga
harus sekitar 10 orang.
c. Menurut kebiasaan tidak mungkin mereka
bersekongkol bersepakat untuk berdusta.
d. Sandaran hadist mereka dengan menggunakan
panca indera mereka.[5]
Sehingga jika sandaran mereka dengan
menggunakan akal, maka tidak dapat dikatakan sebagai hadist mutawatir karena
tidak menggunakan panca indra dalam mengambil hadist dari Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam.
3. Macam-macam Hadits Mutawatir.
Para
ahli membagi hadis Mutawatir menjadi dua bagian yakni Mutawatir Lafdhy dan
Mutawatir Ma’nawy.
a) Mutawatir Lafadzi.
Yaitu hadis Mutawatir yang lafazh dan
maknanya sesuai antara riwayat satu dengan lainnya,yaitu lafadz dan maknannya
sama. Sehingga hadits mutawatir lafdzi sedikit
jumlahnya. Contoh :
من كذب علي
متعمدا فليتبؤا مقعده من النار
”Barangsiapa yang sengaja berdusta atas
namaku (Rasulullah SAW.) maka hendaknya menempati tempat duduknya di api
neraka”.[6]
Hadits
diatas adalah contoh dari hadist Mutawatir Lafadzi yang mana jumlah yang
meriwayatkan sebanyak 70 perawi.
b) Mutawatir Ma’nawi.
Yatu hadits mutawatir yang berasal dari
beberapa hadits yang diriwayatkan dengan lafadz berbeda tetapi apabila dikumpulkan
mempunyai makna umum yang sama, yaitu lafadz yang dinukil oleh para sahabat berbeda-beda
akan tetapi maknanya sama dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Misalnya,
hadits-hadits tentang mengangkat tangan ketika berdoa.
ما
رفع رسول الله صلي الله عليه وسلم يديه حتى رؤي بياض ابطيه في شيء من دعا ئه إلا
في الإستسقاء
Artinya:
“Rasulullah tidak mengangkat kedua tangan
beliau sampai nampak putih putih kedua ketiak beliau dalam doa-doa beliau,
kecuali doa shalat istisqa’ (HR. Bukhari Muslim).
Menurut
Imam al-Syuyuti Hadits yang semakna dengan hadits ini telah diriwayatkan dari
Nabi sekitar 100 macam hadits tentang mengangkat tangan ketika berdo’a dalam
berbagai kesempatan. Dan setiap hadits tersebut berbeda kasusnya dari hadits
yang lain. Sedangkan setiap kasus belum mencapai derajat mutawatir. Namun bisa
menjadi mutawatir karena adanya beberapa jalan dan persamaan antara
hadits-hadits tersebut, yaitu tentang mengangkat tangan ketika berdo’a.[7]
C.
Pengertian dan macam-macam Hadits Ahad
1. Pengertian Ahad.
Terdapat banyak pengertian tentang
hadis Ahad, yang antara satu dengan yang lain tidak jauh berbeda.
Secara etimologi, kata "ahad"
merupakan bentuk jama' dari wahid yang berarti satu. Maka Hadits Ahad atau
Khobar Wahid adalah suatu berita yang disampaikan oleh satu orang. Sedangkan
secara terminologi, Hadits Ahad adalah :
الحديث الاحد هو الحديث الذي لم يبلغ رواته
مبلغ الحديث المتواتر سواء كان الراوي واحد أو اثنين أو ثلاثة أو أربعة أو الخمسة
إلي غير ذلك من العدد التي لا تشعر بأن الحديث دخل في خبر المتواتر
Artinya :
“Hadits ahad adalah hadits yang para rawinya tidak mencapai jumlah rawi hadits
mutawatir, baik rawinya itu satu, dua, tiga, empat, atau seterusnya. Tetapi
jumlahnya tidak memberi pengertian bahwa hadits dengan jumlah rawi tersebut
masuk dalam kelompok hadits mutawatir”.[8]
Ada juga yang mengartikan Hadits Ahad
sebagai berikut :
الذي لم يبلغ رواته عدد المتواتر
“Hadits Ahad ialah hadits yang jumlah rawinya tidak
mencapai jumlah mutawatir”[9]
Ketika Nabi Muhammad shallallahualaihi
wasallam menyampaikan suatu perkataan didepan para sahabatnya yang mana hadis
tersebut berkaitan dengan taklif kemudian para sahabat yang mendengar Hadits
tersebut sedikit sehingga tidak mencapai
target Mutawatir maka Hadits tersebut adalah hadits ahad. Oleh Karena
itu hadis Ahad ini jelas tidak mencapai derajat Mutawatir, maka keterikatan
orang Islam terhadap hadis Ahad ini tergantung pada kualitas periwayatnya dan
kualitas persambungan sanadnya. Bila sanad hadis itu tidak dapat mengikat orang
Islam untuk untuk mempergunakannya sebagai dasar beramal. Sebaliknya, bila
sanadnya bersambung dan kualitas periwayatnya bagus maka menurut Jumhur, hadis
itu harus dijadikan dasar.
2. Macam-macam Hadits Ahad
Hadits Ahad dibagi menjadi tiga, yaitu
hadits masyhur, hadits aziz dan hadits gharib.
a. Hadits Masyhur.
Adapun yang dimaksud dengan Hadits
Masyhur adalah :
ما
رواه الثلاثة فأكثر ما لم يصل حد التواتر
“Hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang
atau lebih, serta belum mencapai derajat Mutawatir”
.Hadis Masyhur tersebut juga disebut
hadis Mustafidh, walaupun terdapat perbedaan, yakni bahwa pada hadis mustafidh jumlah
rawinya tiga orang atau lebih, sejak tingkatan pertama, kedua sampai terakhir.
Sedang hadis Masyhur jumlah rawinya untuk tiap tingkatan tidak harus tiga
orang. Jadi hadis yang pada tingkatan selanjutnya diriwayatkan oleh banyak
rawi, maka hadis itu adalah termasuk juga hadis Masyhur, sebagai Contoh dalam
Hadits Rasulullah :
العجلة
من الشيطان
“Bercepat-cepat itu
adalah perbuatan syaitan”
Tingkatan hadis Masyhur tidak setinggi
Mutawatir. Kalau riwayat mutawatir mendatangkan ilmu yakin, maka riwayat hadis
Masyhur membuat hati tenang, karena orang yakin bahwa informasinya berasal dari
Nabi.
b. Hadits Aziz.
Kata aziz menurut bahasa adalah jarang
atau sedikit. Menurut istilah hadits aziz adalah
هو الحديثُ
الذي لا يقلُّ رُواته عن اثنين في أيِّ طبقةٍ مِن طبقاتِ السَّند
Berdasar pengertian tersebut bahwa
hadis Azis bukan yang hanya diriwayatkan oleh dua orang rawi pada setiap thabaqah, tetapi selagi pada salah satu thabaqah
saja, didapati dua orang rawi sudah bisa dikatakan hadis Azis. Ibnu Hibban
Al-Busty berpendapat bahwa hadis Azis yang hanya diriwayatkan oleh dan kepada
dua orang perawi, sejak dari lapisan pertama sampai pada lapisan terakhir tidak
sekali-kali terjadi. Kemungkinan terjadi memang ada, hanya saja sulit untuk
dibuktikan.Oleh karena itu bisa terjadi suatu hadis yang pada mulanya tergolong
sebagai hadis Azis, karena hanya diriwayatkan oleh dua rawi, tapi berubah
menjadi hadis Masyhur, karena perawi pada thabaqat– thabaqat seterusnya
berjumlah banyak.
Contoh
hadits aziz adalah:
عن
أبي هريرة أن رسول الله صلي الله عليه وسلم قال: لايؤمن احدكم حتى اكون احب اليه
من والده وولده والناس أجمعين
“Dari abu hurairah r.a. bahwa rasulullah SAW.
Bersabda: “Tidaklah beriman seseorang diantara kalian hingga aku lebih
dicintainya daripada ayahnya, anaknya, dan seluruh manusia.” (HR. Bukhari
Muslim).
Hadis Azis ada yang shahih, hasan dan
dhaif tergantung kepada terpenuhi atau tidaknya ketentuan-ketentuan yang berkaitan
dengan hadis shahih, hasan dan dhaif. Sebgaimana halnya hadis Masyhur.
c. Hadits Gharib.
Kata gharib secara bahasa berarti
menyendiri atau jauh dari kerabatnya. Hadits gharib sama juga dengan hadits
fard karena keduanya sinonim. Adapun menurut istilah hadits gharib adalah
ما
ينفرد بروايته راو واحد
“Hadits yang diriwayatkan
secara sendirian oleh seorang periwayat.”
Adapun maksud daripada penyendirian
perawi, bisa berarti : mengenai personnya yaitu tidak ada orang lain yang
meriwayatkan selain dia sendiri. Atau mengenai sifat dan keadaan perawi, yakni
perawi itu berbeda dengan sifat dan keadaan perawi-perawi lain yang juga
meriwayatkan hadis itu. Dilihat dari bentuk penyendirian perawi tersebut,
perawi tersebut, maka hadis gharib dapat digolongkan menjadi dua, yaitu gharib
mutlak dan gharib Nisbi. Dikategorikan sebagai gharib mutlak bila
penyendiriannya itu mengenai personalianya, sekalipun penyendirian tersebut
hanya terdapat dalam satu thabaqat. Penyendirian hadis gharib mutlak ini harus
berpangkal di tempat asli sanad, yakni Tabii, bukan sahabat, sehingga dalam
periwayatan Hadits dalam keadaan perawi berumlah seorang perawi sampai tobhaqot
terakhir. Contoh hadis gharib mutlak, :
حدثنا
الحميدي عبد الله بن الزبير قال: حدثنا سفيان قال: حدثنا يحيى بن سعيد الأنصاري
قال: أخبرني محمد بن إبراهيم التميمي أنه سمع عقلمة بن الوقاص الليثي يقول: سمعت
عمر بن الخطاب علي المنبر قال: إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرئ ما نوى[11]
“
Hanyasanya amal-amal itu dengan niat dan hanya bagi tiap-tiap seseorang itu
memperoleh apa yang ia niatkan “
Adapun
yang dimaksud dengan Gharib Nisbi yaitu apabila hadits yang kegharibanya
berada dipertengahan sanadnya, artinya semula diriwayatkan oleh lebih dari
seorang rawi dalam asal sanadnya
kemudian secara sendirian diriwayatkan oleh satu orang rawi dari mereka para
perawi tersebut.
D.
Kedudukan Hadits Mutawatir dan Hadits Ahad.
1) Kedudukan Hadits Mutawatir.
Hadits Mutawatir jumlahnya banyak
sekali dan sudah pasti shahih, sehingga tidak dibahas lagi dalam ilmu
isnad/musthalahul Hadits, karena ilmu Hadits membahas siapakah perawi Hadits
itu, seorang muslim, adil, dhabith ataukah tidak, bersambung-sambung sanadnya
atau tidak dan seterusnya. Hanya yang perlu dibahas di dalam Hadits Mutawatir
adalah apakah jumlah perawi yang meriwayatkan itu sudah cukup banyak atau
belum, mungkinkah yang sama memberitakan itu atau tidak, baik berdusta dengan
jalan mufakat atau karena kebetulan saja, demikian pula keadaan yang
melatarbelakangi berita itu, terutama kalau bilangan perawi itu tidak begitu
banyak jumlahnya. Karena hadits mutawatir sudah pasti shahih, wajib diamalkan
tanpa ragu-ragu, baik dalam masalah aqidah/keimanan maupun dalam bidang
amaliyah, yakni baik mengenai ubudiyah maupun mu'amalah. Dan Hadits Mutawatir
memberikan faedah qath'i.
2) Kedudukan Hadits Ahad.
Sedangkan Hadits Ahad memberikan faedah dhanni (diduga keras akan
kebenarannya) wajib diamalkan kalau sudah diakui akan keshahihannya dalam ilmu
Hadits dan Ushul Fiqh. Para muhaqqin menetapkan bahwa Hadits Ahad yang shahih
diamalkan dalam bidang amaliah, baik masalah-masalah ubudiyah maupun
masalah-masalah mu'amalah, tidak di dalam bidang aqidah/keimanan, karena
keimanan atau keyakinan harus ditegakkan atas dasar atau dalil yang qath'i,
sedangkan Hadits Ahad hanya memberikan faedah dhanni. Oleh karena itu,
mempercayai suatu i'tikad yang hanya berdasarkan dalil zhanni tidak dapat
dipersalahkan. Dan Hadits Ahad tidak dapat menghapuskan hukum dari al-Qur'an,
karena al-Qur'an adalah Mutawatir, demikian pendapat imam Syafi'i.[12] Dan
menurut Ahlu al-Zhahir (pengikut madzhab az-Zahahiri) bahwa Hadits Ahad juga
tidak boleh dipakai untuk mentakhsiskan ayat-ayat al-Qur'an yang 'am, pendapat
ini dikuti oleh sebagian ulama' pengikut Hambali.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
·
Hadits
dilihat dari segi kuantitas sanadnya dibagi menjadi dua, yaitu Mutawatir dan
Hadits Ahad.
·
Hadits
Mutawatir dibagi menjadi dua yaitu mutawatir lafdzi dan mutawatir ma’nawi.
·
Syarat
hadits mutawatir antara lain ada tiga, yaitu:
a. Harus diriwayatkan oleh banyak jalur perawi.
b. Menurut adat kebiasaan tidak muungkin sepakat
berdusta.
c. Periwayatan yang dilakukan harus berdasarkan
panca indra.
·
Hadits
Ahad dibagi menjadi tiga, yaitu Hadits Masyhur, Hadits Aziz dan Hadits Gharib.
·
Hadits
Mutawatir yang memberikan faedah qath'i (yakin), wajib diamalkan tanpa
ragu-ragu, baik dalam masalah aqidah/keimanan maupun dalam bidang amaliyah, yakni
baik mengenai ubudiyah maupun mu'amalah.
·
Hadits
Ahad memberikan faedah dhanni wajib diamalkan, baik dalam bidang amaliah,
masalah-masalah ubudiyah maupun masalah-masalah mu'amalah, tidak di dalam
bidang aqidah/keimanan, karena keimanan atau keyakinan harus ditegakkan atas
dasar atau dalil yang qath'i, sedangkan Hadits Ahad hanya memberikan faedah
zhanni.
B.
Saran
Dalam penyusunan makalah ini maupun
dalam penyajiaannya kami selaku manusia biasa menyadari adanya beberapa
kesalahan oleh karena itu kami
mengharapkan kritik maupun saran bagi kami yang bersifat membantu agar
kami tidak melakaukan kesalahan yang sama dalam penyusunan makalah yang akan
datang .
DAFTAR PUSTAKA
https://nurfajry.wordpress.com/2012/11/24/hadits-mutawatir-dan-hadits-ahad/,
diakses pada pukul 18:23, hari kamis, tanggal 23 Maret 2017.
Majid Khon, Abdul, Ulumul Hadits Cet Ii, (Jakarta: Amzah, 2009),
Drs.H.Mudasur.Ilmu Hadist.(Bandung: CV Pustaka Setia.1999).
At-Tohan, Dr. Mahmud, Taisir Mustholah Al Hadits,( Bairut : Darul fikri 1979).
As-Suyuti, Al Hafidz Jalaluddin, Tadrib Ar rawi fii Syarhi Taqriib
An-Nawawi, (Bairut: Darul Ibnu
Hazm: 2009).
Suryadilaga, M. Alfatih, Ulumul Hadits, (Yogyakarta: Teras,
2010).
Sayyid Muhammad bin ‘ulwi Al-Maliki, Syarhu Mandzumatul waroqah,( Bairut
:Darul Kutub Al ‘ilmiyyah 2011).
Al-Asqolani, Imam Hajar, Fathulbari bi Syarhi Shohih Bukhari, ,
(Kairo: Darul Hadis, 2003).
Ar Rumy, Dr. Fahd Bin Abdurrahman, Dirosat Uumul quran al karim, ( Riyad:
1426 H.).
[1] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits
Cet Ii, (Jakarta: Amzah, 2009), h. 128.
[2] Drs.H.Mudasur.Ilmu Hadist.(Bandung:
CV Pustaka Setia.1999) .hal 113
[3] Dr. Mahmud At-Tohan, Taisir
Mustholah Al Hadits,( Bairut : Darul fikri 1979). Hal. 19
[4] Al Hafidz Jalaluddin As-Suyuti, Tadrib
Ar rawi fii Syarhi Taqriib An-Nawawi, (Bairut: Darul Ibnu Hazm: 2009), hal.
313
[5] Dr. Mahmud At-Tohan, Taisir
Mustholah Al Hadits, Hal. 20
[6] https://nurfajry.wordpress.com/2012/11/24/hadits-mutawatir-dan-hadits-ahad/,
diakses pada pukul 18:23, hari kamis, tanggal 23 Maret 2017.
[7] Al Hafidz Jalaluddin As-Suyuti,
Tadrib Ar rawi fii Syarhi Taqriib An-Nawawi, hal. 315
[8] M. Alfatih Suryadilaga, Ulumul Hadits, (Yogyakarta: Teras, 2010), hal.
229
[9] Sayyid Muhammad bin ‘ulwi Al-Maliki, Syarhu Mandzumatul waroqah,( Bairut :Darul Kutub Al ‘ilmiyyah
2011),hal.116
[10] Dr. Mahmud At-Tohan, Taisir
Mustholah Al Hadits, Hal. 26
[11] Imam Hajar Al-Asqolani, Fathulbari
bi Syarhi Shohih Bukhari, , (Kairo: Darul Hadis, 2003), jilid I, hal. 11
[12] Dr. Fahd Bin Abdurrahman Ar Rumy, Dirosat
Uumul quran al karim, ( Riyad: 1426 H.) hal. 411

Tidak ada komentar:
Posting Komentar