Minggu, 03 Desember 2017

KLASIFIKASI HADITS DARI SEGI KUANTITAS SANAD




MAKALAH





Oleh:
AHMAD MUNTAZAR





PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER HUKUM ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2017






BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
           Hadits merupakan salah satu sumber hukum islam setelah Al-Qur’an. Yang mana kita ketahui bahwa sumber hukum yang telah disepakati oleh jumhur ulama yaitu ada empat: Al-Qur’an, Hadits, Ijma, dan Qiyas. Adapun sumber hukum yang masih dalam perdebatan ulama yaitu Istihsan, Istishab, Maslahah al mursalah, Urf, Saddudz dzarî’ah, Syar’u man Qablana, Qaul Sahabi. Jadi segala sesuatu permasalahan tidak keluar dari sumber hukum baik itu yang telah disepakati oleh para ulama maupun sumber yang dipersilisihkan oleh ulama. Kemudian sumber hukum Islam ke-dua setelah Al-Qur’an adalah Hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam oleh karena itu, Hadits diriwayatkan ole para perawi dengan sangat hati-hati dan teliti, sebagaimana sabda Nabi SAW :
من كذب علي متعمدا فليتبؤا مقعده من النار
          Artinya : “Barang siapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka tempatnya dalam neraka disediakan”.
              Adapun Hujjiyah Hadits sebagai sumber Hukum yaitu (QS An Najm:3-4):
  وما ينطق عن الهوي إن هو إلا وحي يوحى
“dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur-an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan”..Di ayat lain (QS Al Hasyr: 7)
وما اّتاكم الرسول فخذوه وما نهاكم عنه فانتهوا. واتقوا الله إن الله شديد العقاب
“…Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.”
           Inilah beberapa dalil yang menjelaskan tetang kehujjiaan Hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sebagi sumber penetapan hukum.
           Tidak seperti Al-Qur'an, dalam penerimaan Hadits dari Nabi Muhammad SAW banyak mengandalkan hafalan para sahabatnya, dan hanya sebagian saja yang ditulis oleh mereka. Dengan demikian, Hadits-hadits yang ada pada para sahabat, yang kemudian diterima oleh para tabi'in, memungkinkan ditemukan adanya redaksi yang berbeda-beda. Karena ada yang meriwayatkannya sesuai atau sama benar dengan lafal yang diterima dari Nabi SAW, dan ada yang hanya sesuai makna atau maksudnya saja, sedangkan redaksinya tidak sama.
           Oleh karena untuk memahami hadits secara universal, diantara beberapa jalan, salah satu diantaranya adalah dengan melihat Hadits dari segi kuantitas atau jumlah banyaknya pembawa hadits (Sanad) itu.
           Berangkat dari hal tersebut di atas, maka untuk memahami hadits ditinjau dari kuantitas sanad, maka dalam makalah ini akan dikemukakan pembagian hadits ditinjau dari segi kuantitas sanadnya.


BAB II
PEMBAHASAN

  A . klasifikasi Hadits ditinjau dari segi kuantitas sanadnya
         Macam-macam hadits sangat banyak. Sebagian orang bingung melihat pembagian hadits yang banyak dan beragam tersebut. Kebingungan tersebut menjadi hilang dengan banyaknya buku atau kitab yang menjelaskan pembagian hadits dengan terperinci dan gamblang dari berbagai segi dan sudut pandang. Hadits dari segi kuantitas sanad terbagi menjadi dua macam, yaitu Hadits Mutawatir dan Hadits Ahad.[1]
         Para ulama berbeda pendapat tentang pembagian hadist yang ditinjau dari segi kuantitas atau jumlah rawi yang menjadi sumber berita. Di antara mereka ada yang mengelompokkan menjadi tiga bagian, yakni hadist mutawatir, masyhur, dan ahad, dan ada juga yamg membaginya menjadi dua, yakni hadist mutawatir dan ahad. Ulama golongan pertama, yang menjadikan hadist masyhur berdiri sendiri dan tidak termasuk bagian dari hadist ahad dianut oleh sebagian ulama ushul, diantaranya adalah Abu Bakar Al-Jashshah (305-370 H). Adapun ulama kalam. Menurut mereka, hadist masyhur bukan merupakan hadist yang berdiri sendiri, tetapi merupakan bagian dari hadist ahad. Itulah sebabnya mereka membagi hadist menjadi dua bagian, yaitu mutawatir dan ahad. Dan jumhur ulama telah membagi Hadits dari segi kuantitas sanadnya menjadi Mutawatir dan Ahad, yang mana hadis Masyhur mereka memasukkan ke dalam hadist Ahad.[2]
B. pengertian, syarat, macam-macam Hadits Mutawatir.
1.      Pengertian Mutawatir
         Secara bahas Kata Mutawatir adalah merupakan isim fai’l dari kata Attawatur (التواتر,) yaitu berurutan. Adapun secara istilah Hadits Mutawatir adalah hadist yang diriwayatkan oleh perawi yang banyak pada setiap tingkatan senadnya , menurut akal tidak mungkin para perawi tersebut sepakat untuk berdusta dan memalsukan hadist dan mereka bersandarkan dalam meriwayatkan pada sesuatu yang dapat dikeahui dengan indera seperti pendengarannya dan semacamnya.[3]
          Sehingga Hadis Mutawatir betul-betul bersumber dari Nabi s.a.w. Hadis Mutawatir sama dengan Al-Quran dalam hal keutentikannya karena keduanya qat’iul wurud (sesuatu yang pasti datangnya). Dan para ulama sepakat bahwa hadis Mutawatir wajib diamalkan dalam seluruh aspek, termasuk dalam bidang akidah. Apabila perawi itu berjumlah banyak dan secara mudah dapat diketahui bahwa sekian banyak perawi itu tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, maka penyampaian itu secara mutawatir.
2.      Syarat-Syarat Hadits Mutawatir.
Adapun syarat-syarat Hadits Mutawatir yaitu sebagi berikut:
a.       Diriwayatkan oleh jumlah yang banyak.
      Salah satu syarat Hadits Mutawatir yaitu jumlah periwayatannya banyak. Sehingga ulama berbeda pendapat dalam penetapan jumlah periwayatannya. Ada yang mengatakan bahwa Hadits Mutawatir diriwayatkan 4 perawi, ada yang mengatakan 5 perawi, ada yang mengatakan 10 perawi, 20 perawi, 40 perawi, hingga 70 perawi. Akan tetapi pendapat yang lebih kuat 10 perawi sehingga dikatakan Hadits Mutawatir.[4]
b.      Jumlah yang banyak berada pada semua tingkatan (thabaqat) sanad.
      Dengan demikian, bila jumlah perawi pada thabaqah pertama sekitar 10 orang, maka pada thabaqah-thabaqah lainnya juga harus sekitar 10 orang.
c.       Menurut kebiasaan tidak mungkin mereka bersekongkol bersepakat untuk berdusta.
d.      Sandaran hadist mereka dengan menggunakan panca indera mereka.[5]
       Sehingga jika sandaran mereka dengan menggunakan akal, maka tidak dapat dikatakan sebagai hadist mutawatir karena tidak menggunakan panca indra dalam mengambil hadist dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
3.      Macam-macam Hadits Mutawatir.
        Para ahli membagi hadis Mutawatir menjadi dua bagian yakni Mutawatir Lafdhy dan Mutawatir Ma’nawy.
a)      Mutawatir Lafadzi.
       Yaitu hadis Mutawatir yang lafazh dan maknanya sesuai antara riwayat satu dengan lainnya,yaitu lafadz dan maknannya sama. Sehingga hadits mutawatir lafdzi sedikit  jumlahnya. Contoh  :
من كذب علي متعمدا فليتبؤا مقعده من النار

”Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku (Rasulullah SAW.) maka hendaknya menempati tempat duduknya di api neraka”.[6]
   
       Hadits diatas adalah contoh dari hadist Mutawatir Lafadzi yang mana jumlah yang meriwayatkan sebanyak 70 perawi.

b)      Mutawatir Ma’nawi.
       Yatu hadits mutawatir yang berasal dari beberapa hadits yang diriwayatkan dengan lafadz berbeda tetapi apabila dikumpulkan mempunyai makna umum yang sama, yaitu lafadz yang dinukil oleh para sahabat berbeda-beda akan tetapi maknanya sama dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Misalnya, hadits-hadits tentang mengangkat tangan ketika berdoa.
ما رفع رسول الله صلي الله عليه وسلم يديه حتى رؤي بياض ابطيه في شيء من دعا ئه إلا في الإستسقاء
Artinya:
“Rasulullah tidak mengangkat kedua tangan beliau sampai nampak putih putih kedua ketiak beliau dalam doa-doa beliau, kecuali doa shalat istisqa’ (HR. Bukhari Muslim).

         Menurut Imam al-Syuyuti Hadits yang semakna dengan hadits ini telah diriwayatkan dari Nabi sekitar 100 macam hadits tentang mengangkat tangan ketika berdo’a dalam berbagai kesempatan. Dan setiap hadits tersebut berbeda kasusnya dari hadits yang lain. Sedangkan setiap kasus belum mencapai derajat mutawatir. Namun bisa menjadi mutawatir karena adanya beberapa jalan dan persamaan antara hadits-hadits tersebut, yaitu tentang mengangkat tangan ketika berdo’a.[7]

C. Pengertian dan macam-macam Hadits Ahad
1.      Pengertian Ahad.
         Terdapat banyak pengertian tentang hadis Ahad, yang antara satu dengan yang lain tidak jauh berbeda.
          Secara etimologi, kata "ahad" merupakan bentuk jama' dari wahid yang berarti satu. Maka Hadits Ahad atau Khobar Wahid adalah suatu berita yang disampaikan oleh satu orang. Sedangkan secara terminologi, Hadits Ahad adalah :
الحديث الاحد هو الحديث الذي لم يبلغ رواته مبلغ الحديث المتواتر سواء كان الراوي واحد أو اثنين أو ثلاثة أو أربعة أو الخمسة إلي غير ذلك من العدد التي لا تشعر بأن الحديث دخل في خبر المتواتر

Artinya : “Hadits ahad adalah hadits yang para rawinya tidak mencapai jumlah rawi hadits mutawatir, baik rawinya itu satu, dua, tiga, empat, atau seterusnya. Tetapi jumlahnya tidak memberi pengertian bahwa hadits dengan jumlah rawi tersebut masuk dalam kelompok hadits mutawatir”.[8]

        Ada juga yang mengartikan Hadits Ahad sebagai berikut :
الذي لم يبلغ رواته عدد المتواتر
 “Hadits Ahad ialah hadits yang jumlah rawinya tidak mencapai jumlah mutawatir”[9]
        Ketika Nabi Muhammad shallallahualaihi wasallam menyampaikan suatu perkataan didepan para sahabatnya yang mana hadis tersebut berkaitan dengan taklif kemudian para sahabat yang mendengar Hadits tersebut sedikit sehingga tidak mencapai  target Mutawatir maka Hadits tersebut adalah hadits ahad. Oleh Karena itu hadis Ahad ini jelas tidak mencapai derajat Mutawatir, maka keterikatan orang Islam terhadap hadis Ahad ini tergantung pada kualitas periwayatnya dan kualitas persambungan sanadnya. Bila sanad hadis itu tidak dapat mengikat orang Islam untuk untuk mempergunakannya sebagai dasar beramal. Sebaliknya, bila sanadnya bersambung dan kualitas periwayatnya bagus maka menurut Jumhur, hadis itu harus dijadikan dasar.
2.      Macam-macam Hadits Ahad
         Hadits Ahad dibagi menjadi tiga, yaitu hadits masyhur, hadits aziz dan hadits gharib.
a.       Hadits Masyhur.
        Adapun yang dimaksud dengan Hadits Masyhur adalah :
ما رواه الثلاثة فأكثر ما لم يصل حد التواتر
“Hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih, serta belum mencapai derajat Mutawatir”

      .Hadis Masyhur tersebut juga disebut hadis Mustafidh, walaupun terdapat perbedaan, yakni bahwa pada hadis mustafidh jumlah rawinya tiga orang atau lebih, sejak tingkatan pertama, kedua sampai terakhir. Sedang hadis Masyhur jumlah rawinya untuk tiap tingkatan tidak harus tiga orang. Jadi hadis yang pada tingkatan selanjutnya diriwayatkan oleh banyak rawi, maka hadis itu adalah termasuk juga hadis Masyhur, sebagai Contoh dalam Hadits Rasulullah :
العجلة من الشيطان
 “Bercepat-cepat itu adalah perbuatan syaitan”
        Tingkatan hadis Masyhur tidak setinggi Mutawatir. Kalau riwayat mutawatir mendatangkan ilmu yakin, maka riwayat hadis Masyhur membuat hati tenang, karena orang yakin bahwa informasinya berasal dari Nabi.
b.      Hadits Aziz.
        Kata aziz menurut bahasa adalah jarang atau sedikit. Menurut istilah hadits aziz adalah
هو الحديثُ الذي لا يقلُّ رُواته عن اثنين في أيِّ طبقةٍ مِن طبقاتِ السَّند
 “ hadits yang pada semua thabaqah sanadnya tidak kurang dari dua orang periwayat”.[10]

          Berdasar pengertian tersebut bahwa hadis Azis bukan yang hanya diriwayatkan oleh dua orang rawi pada setiap  thabaqah, tetapi selagi pada salah satu thabaqah saja, didapati dua orang rawi sudah bisa dikatakan hadis Azis. Ibnu Hibban Al-Busty berpendapat bahwa hadis Azis yang hanya diriwayatkan oleh dan kepada dua orang perawi, sejak dari lapisan pertama sampai pada lapisan terakhir tidak sekali-kali terjadi. Kemungkinan terjadi memang ada, hanya saja sulit untuk dibuktikan.Oleh karena itu bisa terjadi suatu hadis yang pada mulanya tergolong sebagai hadis Azis, karena hanya diriwayatkan oleh dua rawi, tapi berubah menjadi hadis Masyhur, karena perawi pada thabaqat– thabaqat seterusnya berjumlah banyak.
Contoh hadits aziz adalah:
عن أبي هريرة أن رسول الله صلي الله عليه وسلم قال: لايؤمن احدكم حتى اكون احب اليه من والده وولده والناس أجمعين     
  
 “Dari abu hurairah r.a. bahwa rasulullah SAW. Bersabda: “Tidaklah beriman seseorang diantara kalian hingga aku lebih dicintainya daripada ayahnya, anaknya, dan seluruh manusia.” (HR. Bukhari Muslim).

       Hadis Azis ada yang shahih, hasan dan dhaif tergantung kepada terpenuhi atau tidaknya ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan hadis shahih, hasan dan dhaif. Sebgaimana halnya hadis Masyhur.
c.       Hadits Gharib.
          Kata gharib secara bahasa berarti menyendiri atau jauh dari kerabatnya. Hadits gharib sama juga dengan hadits fard karena keduanya sinonim. Adapun menurut istilah hadits gharib adalah
ما ينفرد بروايته راو واحد
 “Hadits yang diriwayatkan secara sendirian oleh seorang periwayat.”
         Adapun maksud daripada penyendirian perawi, bisa berarti : mengenai personnya yaitu tidak ada orang lain yang meriwayatkan selain dia sendiri. Atau mengenai sifat dan keadaan perawi, yakni perawi itu berbeda dengan sifat dan keadaan perawi-perawi lain yang juga meriwayatkan hadis itu. Dilihat dari bentuk penyendirian perawi tersebut, perawi tersebut, maka hadis gharib dapat digolongkan menjadi dua, yaitu gharib mutlak dan gharib Nisbi. Dikategorikan sebagai gharib mutlak bila penyendiriannya itu mengenai personalianya, sekalipun penyendirian tersebut hanya terdapat dalam satu thabaqat. Penyendirian hadis gharib mutlak ini harus berpangkal di tempat asli sanad, yakni Tabii, bukan sahabat, sehingga dalam periwayatan Hadits dalam keadaan perawi berumlah seorang perawi sampai tobhaqot terakhir. Contoh hadis gharib mutlak, :
حدثنا الحميدي عبد الله بن الزبير قال: حدثنا سفيان قال: حدثنا يحيى بن سعيد الأنصاري قال: أخبرني محمد بن إبراهيم التميمي أنه سمع عقلمة بن الوقاص الليثي يقول: سمعت عمر بن الخطاب علي المنبر قال: إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرئ ما نوى[11]

 “ Hanyasanya amal-amal itu dengan niat dan hanya bagi tiap-tiap seseorang itu memperoleh apa yang ia niatkan “

        Adapun  yang dimaksud dengan Gharib Nisbi yaitu apabila hadits yang kegharibanya berada dipertengahan sanadnya, artinya semula diriwayatkan oleh lebih dari seorang rawi  dalam asal sanadnya kemudian secara sendirian diriwayatkan oleh satu orang rawi dari mereka para perawi tersebut.
D. Kedudukan Hadits Mutawatir dan Hadits Ahad.
1)      Kedudukan Hadits Mutawatir.
         Hadits Mutawatir jumlahnya banyak sekali dan sudah pasti shahih, sehingga tidak dibahas lagi dalam ilmu isnad/musthalahul Hadits, karena ilmu Hadits membahas siapakah perawi Hadits itu, seorang muslim, adil, dhabith ataukah tidak, bersambung-sambung sanadnya atau tidak dan seterusnya. Hanya yang perlu dibahas di dalam Hadits Mutawatir adalah apakah jumlah perawi yang meriwayatkan itu sudah cukup banyak atau belum, mungkinkah yang sama memberitakan itu atau tidak, baik berdusta dengan jalan mufakat atau karena kebetulan saja, demikian pula keadaan yang melatarbelakangi berita itu, terutama kalau bilangan perawi itu tidak begitu banyak jumlahnya. Karena hadits mutawatir sudah pasti shahih, wajib diamalkan tanpa ragu-ragu, baik dalam masalah aqidah/keimanan maupun dalam bidang amaliyah, yakni baik mengenai ubudiyah maupun mu'amalah. Dan Hadits Mutawatir memberikan faedah qath'i.
2)      Kedudukan Hadits Ahad.
         Sedangkan Hadits Ahad memberikan faedah dhanni (diduga keras akan kebenarannya) wajib diamalkan kalau sudah diakui akan keshahihannya dalam ilmu Hadits dan Ushul Fiqh. Para muhaqqin menetapkan bahwa Hadits Ahad yang shahih diamalkan dalam bidang amaliah, baik masalah-masalah ubudiyah maupun masalah-masalah mu'amalah, tidak di dalam bidang aqidah/keimanan, karena keimanan atau keyakinan harus ditegakkan atas dasar atau dalil yang qath'i, sedangkan Hadits Ahad hanya memberikan faedah dhanni. Oleh karena itu, mempercayai suatu i'tikad yang hanya berdasarkan dalil zhanni tidak dapat dipersalahkan. Dan Hadits Ahad tidak dapat menghapuskan hukum dari al-Qur'an, karena al-Qur'an adalah Mutawatir, demikian pendapat imam Syafi'i.[12] Dan menurut Ahlu al-Zhahir (pengikut madzhab az-Zahahiri) bahwa Hadits Ahad juga tidak boleh dipakai untuk mentakhsiskan ayat-ayat al-Qur'an yang 'am, pendapat ini dikuti oleh sebagian ulama' pengikut Hambali.

BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan
·         Hadits dilihat dari segi kuantitas sanadnya dibagi menjadi dua, yaitu Mutawatir dan Hadits Ahad.
·         Hadits Mutawatir dibagi menjadi dua yaitu mutawatir lafdzi dan mutawatir ma’nawi.
·         Syarat hadits mutawatir antara lain ada tiga, yaitu:
a.  Harus diriwayatkan oleh banyak jalur perawi.
b.  Menurut adat kebiasaan tidak muungkin sepakat berdusta.
c.  Periwayatan yang dilakukan harus berdasarkan panca indra.
·         Hadits Ahad dibagi menjadi tiga, yaitu Hadits Masyhur, Hadits Aziz dan Hadits Gharib.
·         Hadits Mutawatir yang memberikan faedah qath'i (yakin), wajib diamalkan tanpa ragu-ragu, baik dalam masalah aqidah/keimanan maupun dalam bidang amaliyah, yakni baik mengenai ubudiyah maupun mu'amalah.
·         Hadits Ahad memberikan faedah dhanni wajib diamalkan, baik dalam bidang amaliah, masalah-masalah ubudiyah maupun masalah-masalah mu'amalah, tidak di dalam bidang aqidah/keimanan, karena keimanan atau keyakinan harus ditegakkan atas dasar atau dalil yang qath'i, sedangkan Hadits Ahad hanya memberikan faedah zhanni.

B.     Saran
        Dalam penyusunan makalah ini maupun dalam penyajiaannya kami selaku manusia biasa menyadari adanya beberapa kesalahan oleh karena itu kami  mengharapkan kritik maupun saran bagi kami yang bersifat membantu agar kami tidak melakaukan kesalahan yang sama dalam penyusunan makalah yang akan datang .








DAFTAR PUSTAKA
https://nurfajry.wordpress.com/2012/11/24/hadits-mutawatir-dan-hadits-ahad/, diakses pada pukul 18:23, hari kamis, tanggal 23 Maret 2017.
Majid Khon, Abdul, Ulumul Hadits Cet Ii, (Jakarta: Amzah, 2009),
Drs.H.Mudasur.Ilmu Hadist.(Bandung: CV Pustaka Setia.1999).
At-Tohan, Dr. Mahmud, Taisir Mustholah Al Hadits,( Bairut : Darul fikri 1979).
As-Suyuti, Al Hafidz Jalaluddin, Tadrib Ar rawi fii Syarhi Taqriib An-Nawawi, (Bairut: Darul   Ibnu Hazm: 2009).
Suryadilaga, M. Alfatih, Ulumul Hadits, (Yogyakarta: Teras, 2010).
Sayyid Muhammad bin ‘ulwi Al-Maliki, Syarhu Mandzumatul waroqah,( Bairut :Darul Kutub Al ‘ilmiyyah 2011).
Al-Asqolani, Imam Hajar, Fathulbari bi Syarhi Shohih Bukhari, , (Kairo: Darul Hadis, 2003).
Ar Rumy, Dr. Fahd Bin Abdurrahman, Dirosat Uumul quran al karim, ( Riyad: 1426 H.).



[1] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits Cet Ii, (Jakarta: Amzah, 2009), h. 128.
[2] Drs.H.Mudasur.Ilmu Hadist.(Bandung: CV Pustaka Setia.1999) .hal 113
[3] Dr. Mahmud At-Tohan, Taisir Mustholah Al Hadits,( Bairut : Darul fikri 1979). Hal. 19
[4] Al Hafidz Jalaluddin As-Suyuti, Tadrib Ar rawi fii Syarhi Taqriib An-Nawawi, (Bairut: Darul Ibnu Hazm: 2009), hal. 313
[5] Dr. Mahmud At-Tohan, Taisir Mustholah Al Hadits, Hal. 20
[6] https://nurfajry.wordpress.com/2012/11/24/hadits-mutawatir-dan-hadits-ahad/, diakses pada pukul 18:23, hari kamis, tanggal 23 Maret 2017.
[7] Al Hafidz Jalaluddin As-Suyuti, Tadrib Ar rawi fii Syarhi Taqriib An-Nawawi, hal. 315
[8] M. Alfatih Suryadilaga, Ulumul Hadits, (Yogyakarta: Teras, 2010), hal. 229
[9] Sayyid Muhammad bin ‘ulwi Al-Maliki, Syarhu Mandzumatul waroqah,( Bairut :Darul Kutub Al ‘ilmiyyah 2011),hal.116
[10] Dr. Mahmud At-Tohan, Taisir Mustholah Al Hadits, Hal. 26

[11] Imam Hajar Al-Asqolani, Fathulbari bi Syarhi Shohih Bukhari, , (Kairo: Darul Hadis, 2003), jilid I, hal. 11
[12] Dr. Fahd Bin Abdurrahman Ar Rumy, Dirosat Uumul quran al karim, ( Riyad: 1426 H.) hal. 411

Tidak ada komentar:

Posting Komentar