MAKALAH
DISUSUN
OLEH :
NAMA
: AHMAD MUNTAZAR
PROGRAM MAGISTER STUDI
ISLAM KOSENTRASI HUKUM ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
JAKARTA
2017
BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang.
AL-Qur’an adalah kalamullah
yaitu perkataan Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu
alaihi wasallam melalui perantara malaikat jibril as. Sebagaimana kita ketahui
bahwa al-Qur’an adalah pedoman atau petunjuk bagi ummat islam yang mengarahkan
manusia ke jalan yang benar dan membedakan antara yang haq dan yang batil,
membedakan yang baik dan buruk.
Oleh karena itu AL-Qur’an yang
diturunkan oleh Allah SWT adalah salah satu sumber hukum yang tertinggi dalam
menentukan perkara-perkara yang belum diketahui oleh manusia baik itu dalam
urusan duniawi maupun ukhrawi. Al-Qur’an salah satu mu’jizat nabi Muhammad
shallallahu alaihi wasallam yang tidak diturunkan kepada Nabi- nabi sebelumnya,
yang mana kita ketahui bahwa Allah SWT telah menurunkan kitab-kitabnya sebelum
Alquran diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasalla, seperti
Kitab Zabur diturunkan kepada Nabi Daud A.S, kitab Taurat diturunkan kepada
Nabi Musa A.S, kitab Injil diturunkan kepada Nabi Isa. A.S dan yang terakhir
Alquran diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihiwasallam. Dari
keempat kitab ini adalah perkataan Allah SWT untuk dijadikan pedoman hidup pada
masanya masing-masing, yang mana menjelaskan tentang ketauhidan Allah SWT
bahwasanya tidak ada yang patut disembah kecuali Allah SWT (lailaha illallah) .
Inilah kalimat tauhid yang senantiasa dasar da’wa para Nabi dan Rasul yang
telah diutus oleh Allah SWT di permukaan bumi ini.
Oleh karena itu, AL-Qur’an adalah
dasar hukum tertinggi yang harus dijadikan pedoman bagi seluruh manusia.
Sehingga di dalam memahami isi kandungan Alquran (kalamullah) harus melalui
penafsiran ayat-ayat Alquran yang telah ditafsirkan oleh ulama-ulama yang berkiprah
dalam bidang penafsiran, baik itu Tafsir klasik maupun kontemporer.
Para sahabat Nabi telah
menyaksikan turunnya wahyu kepada Nabi Muhammad shallallahualaihi wasallam
sehingga meraka benar-benar mengetahui maksud isi kandungan Alquran Akan tetapi
tidak semua sahabat mengetahui makna yang terkandung dalam al-Qur’an, antara satu
dengan yang lainnya sangat variatif dalam memahami isi dan kandungan al-Qur’an.
Sebagai orang yang paling mengetahui makna al-Qur’an, Rasulullah selalu
memberikan penjelasan kepada sahabatnya. Metode penafsiran Al-Qur’an pada masa
Nabi adalah penjelasan secara langsung oleh beliau sendiri, sebab orang yang
paling memahami Al-Qur’an adalah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, ketika
para sahabat menanyakan tentang suatu makna dari suatu ayat tertentu, maka
Rasullulah yang langsung memberikan penjelasan kepada para sahabat. Keadaan ini
terus berlangsung sampai Nabi wafat. [1]
Sebagaimana Allah SWT berfirman: (QS An-Nhl: 44)
وأنزلنا
إليك الذكر لتبين للناس مانزل إليهم ولعلهم يتفكرون
Artinya: ” ...Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada
umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan”.
Dalam penafsiran tersebut ada dua
metode dalam penafsiran Al-Qur’an yaitu Tafsir bil ma’tsur dan Tafsir bil
ro’yi, yang mana tafsir bil ma’tsur disebut
juga dengan tafsir bir riwayah sedangkan tafsir bil ro’yi disebut juga tafsir
bid diroyah. Dalam pembahasan berikutnya akan dijelaskan mengenai pengertian kedua
metode tafsir tersebut , karakteristiknya, ciri-cirinya dan juga contoh-contoh
kitab tafsir yang menggunakan bentuk tafsir bi ma’tsur dan tafsir bil ro’yi.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Tafsir bil ma’tsur.
1.
Pengertian
Sebelum kita mengetahui Definisi Tafsir
bil ma’tsur terlebih dahulu kita harus apa yang dimaksud dengan tafsir. Tafsir
berasal dari bahasa Arab, fassara-yufassiru-tafsiran yang berarti penjelasan,
pemahaman, dan perincian.. Tafsir dapat juga diartikan al-idlah wa al-tabyin,
yaitu penjelasan dan keterangan.
Pendapat lain menyebutkan bahwa kata
‘Tafsir‘ sejajar dengan timbangan (wazan) kata taf’il, diambil dari kata
al-fasr yang berarti al-bayan (penjelasan) dan al-kasyf yang berarti membuka
atau menyingkap, dan dapat pula diambil dari kata al-tafsarah, yaitu istilah
yang digunakan untuk suatu alat yang biasa digunakan oleh dokter untuk
mengetahui penyakit. Dalam Alquran, kata “tafsir” diartikan sebagai
“penjelasan”, hal ini sesuai dengan lafal tafsir yang terulang hanya satu kali,
yakni dalam QS. Al-Furqan[25]: 33
يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلَّا جِئْنَاكَ
بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا وَلَا
Artinya: Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang
ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik
penjelasannya.[2]
Para ulama berbeda pendapat tentang
pengertian Tafsir secara bahasa dalam lafadz tafsir:
a. Ada yang mengatakan bahwa lafadz tafsir (التفسير) berasal dari kata al fasr (الفسر) yaitu sesuatu yang tampak.[3] Sebagaimana
firman Allah SWT dalam surah al furqon ayat 33:
يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلَّا جِئْنَاكَ
بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا وَلَا
Artinya: “Tidaklah orang-orang kafir itu datang
kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu
yang benar dan yang paling baik penjelasanny”.
b. Ada yang mengatakan bahwa lafadz tafsir (التفسير) berasal dari kata safara (سفر) yaitu sesuatu yang tampak.[4]
Tafsir menurut istilah, tafsir
didefinisikan para ulama dengan rumusan yang berbeda, namun dengan arah dan
tujuan yang sama. Misalnya, al-Zarkasyi mengatakan Tafsir dalam menurut istilah
atau syara’ adalah suatu ilmu untuk mengetahui pemahaman kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.,
dengan menjelaskan makna-makna dan mengeluarkan hukum-hukum serta hikmah-hikmah
yang terkandung di dalamnya.[5]Adapun
Menurut Al-Ghandur, tafsir adalah suatu ilmu yang menyingkap atau menjelaskan pengertian
al- Qur’an dan menerangkan maksud-maksudnya mencakup lafadz musykil dan yang
tidak, pengertian dzahir dan tidak dzahir. Dan adapun menurut Abd. Al-Azhim
al-Zarqani, tafsir adalah ilmu yang membahas al-Qur’an al-Karim, dari segi
pengertian-pengertiannya sesuai dengan yang dikehendaki Allah dan kesanggupan
manusia biasa.[6]
Dari pengertian diatas yang telah
dikemukakan oleh beberapa ulama tentang pengertian Tafsir secara istilah maka
bisa diambil kesimpulan bahwa Tafsir adalah suatu ilmu yang untuk mengetahui isi kandungan Alquran yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam, menerangkan dan
menjelaskan makna-maknanya serta mengeluarkan segala hukum dan hikma dan hikmah
di dalam al-Qur’an.
Tafsir bil ma’tsur adalah salah satu
metode penafsiran Al-Qur’an yang menjelaskan dan menerangkan makna ayat yang
bersumber dari kitabullah atau sunnah Rasulullah shallallahu
alaihiwasallam atau perkataan para
sahabat yang hudup pada zaman Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam.
Sehingga tafsir bil ma’tsur ini juga disebut dengan tafsir bir riwaya, yang
mana Metode ini mengharuskan mufasir menelusuri shahih tidaknya riwayat yang
digunakannya dengan konsep pengutipan yang benar.[7]
Oleh karena itu metode penafsiran
ini adalah metode penafsiran yang paling afdhol karena tafsir bil ma’tsur
dengan cara menafsirkan Alquran dengan Alquran yaitu menjelaskan Alquran dengan
kalamullah karena Allah SWT yang lebih mengetahui maksudnya atau menafsirkan
Alquran dengan Hadits yaitu perkataan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
atau menafsirkan Alquran dengan perkataan atau atsar para sahabat yang mana
mereka telah menyaksikan langsung turunnya Alquran dan meraka para ahli al
kalam, akan tetapi penafsiran Al-Qur’an dengan Hadits Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam dan dengan perkataan para sahabat itu harus dengan syarat
melalui sanad yang shahih dari Rasulullah dan para sahabat.
2. Contoh Tafsir
bil ma’tsur dari segi sumbernya
Adapun contoh Tafsir bil ma’tsur dari
segi sumbernya adalah sebagai berikut:
a) Penafsiran Al-Qur’an dengan Alquran.
Yaitu penafsiran beberapa ayat-ayat
Al-Qur’an dengan ayat-ayat yang ada dalam
Al-Qur’an juga. Karena Al-Qur’an pada dasarnya saling menafsirkan ayat yang
ada, ayat yang global yang terdapat dalam Al-Qur’an ditafsirkan oleh ayat yang
ada di tempat lain, dan apa yang disebut
secara ringkas dalam Al-Qur’an ditafsir
secara mendetail pada ayat yang lain. Contoh:
Allah
SWT berfirman : (Q.S Al-Baqarah:37)
فَتَلَقَّىٰ
آدَم مِنُ رَّبِّه كَلِمَاتٍ فَتَابَ َعلَيْه, إِنَّهُ ُهُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
“kemudian
Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya, sesungguhnya Allah
Maha Penrima Taubat lagi Maha Penyayang”
Dan
firman Allah SWT (Q.S Al –‘Araf: 23)
قَالَا رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنفُسَنَا وَإِن
لم تَغْفِرْ َلنَا وَتَرْحَمْنَا لنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“keduanya berkata: “ Ya Tuhan kami, kami telah
mendzholimi diri kami sendiri dan jika Engkau tidak mengampuni kami mmaka kami
termasuk orang-orang yang rugi”[8]
b) Penafsiran Al-Qur’an dengan Hadits.
Yaitu jika tidak ditemukan penjelasan
tentang suatu ayat dalam Al-qur’an pada Al-Qur’an itu sendiri, maka hendaklah
penjelasan atau tafsir tersebut di cari pada sesuatu yang terdapat pada sunnah
atau Hadist Rasullah Saw, karena fungsi dari Sunnah adalah sebagai penjelas
atau penerang dari Al-Qur’an . Contoh:
Firman
Allah SWT (Q.S Al fatiha: 7)
صِرَاطَ
الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوبِ َعلَيْهِم وَلَا الضَّالِّينَ
“(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau
beri nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula
jalan) mereka yang sesat”
Dari ayat diatas adalah ayat yang
ditafsirkan oleh hadis Nabi shallallahu alaihi wasallam yang mana maksud dari ( الْمَغْضُوبِ) yaitu orang-orang Yahudi sedangkan (الضَّالِّينَ) yaitu orang-orang Nashrani.
c) Penafsiran Al-Qur’an dengan perkataan sahabat.
Penafsiran Al-Qur’an dengan perkataan
sahabat dilakukan dengan jika tidak terdapat penjelasan tentang suatu ayat dalam Al-Qur’an atau juga
tidak terdapat dalam suatu sunnah atau
dibandingkan dengan kita, dimana mereka mendapatkan penjelasan langsung tentang
makna-makna tersebut dari nabi dengan cara menjelasankan ayat-ayat yang gelobal
atuapun dengan cara menghilangkan problematikanya. Selain itu mereka (para
sahabat) juga hidup dan menyaksikan situasi dan kondisi yang meliputi turunnya
Al-Qur’an, sehingga meraka memiliki pemahaman bagus, ilmu yang matang, amal
yang baik dan hati yang memancarkan sinar, serta otak yang cerdas.
d) Penafsiran Al-Qur’an dengan perkataan
Tabi’in.
Pada jenis penafsiran ini para ulama
berbeda pendapat tentang penafsiran dengan perkataan para Tabi’in jika
penafsiran tidak ditemukan di Al-Qur’an atau perkataan Nabi Muhammad
shallallahu alaihi wasallam atau perkataan para sahabat, maka diantara mereka
ada yang mengatakan bahwa penafsiran Al-Qur’an dengan perkataan Tabi’in sama
halnya dengan penafsiran Al-Qur’an dengan perkataan sahabat, Sebagaimana Nabi
Muhammad SAW, bersabda:
خير أمتي قرني ثم
الذين يلونهم ثم الذين يلونهم
“Sebaik-baik umatku adalah pd masaku, kemudia org2
setelah merka, kemudia org2 setelah mrk”
Dan ada yang mengatakan
bahwa penafsiran tersebut sama halnya dengan perkataan para ulama.[9]
Adapun Tafsir bil ma’tsur seperti tafsir ibnu katsir, tafsir Ad Darul Mantsur
karya As suyuti, Tafsir At-Tabhari
karya Muhammad bin Jarir Thabari. Tafsir Samarkandi, karya Nashr bin Muhammad
Samarkandi. Tafsir Baghawy, karya Husein bin Mas’ud Baghawi, Tafsir Suyuti,
karya Jalaluddin Suyuti, dll.
3. Kelebihan.
Adapun kelebihan Tafisr bil ma'tsur
ini lebih banyak memakai riwayat ketimbang tasfir bir ra'yi. Selain itu tafsir
bil ma'tsur ini diterima dan diriwayatkan dari Nabi, sahabat, dan tabi'in dari
mulut ke mulut dengan menyebutkan para perawinya mulai Nabi SAW terus kepada
perawi terakhir. kemudian memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika
menyampaikan pesan-pesannya mengikat mufasir dalam bingkai teks ayat-ayat,
sehingga membatasinya terjerumus dalam subjektivitas berlebihan.[10]
B. Tafsir
bil ro’yi.
1.
Pengertian.
Setelah berakhir masa salaf sekitar
abad ke-3 H. dan peradaban Islam semakin maju dan berkembang, maka
berkembanglah berbagai mazhab dan aliran di kalangan umat Islam, sehingga
lahirla metode penafsiran bil ro’y.
Secara bahasa al-ra'yu berarti
al-I'tiqadu (keyakinan) ,al-'aqlu (akal) dan al-tadbiru ( perenungan). Adapun
secara istilah adalah upaya untuk memahami nash al-Qur'an atas dasar ijtihad
seorang ahli tafsir (mufassir ) yang memahami betul bahasa Arab dari segala
sisinya, mengerti betul lafadz-lafadznya dan dalalahnya, mengerti syair syair
Arab sebagai dasar pemaknaan, mengetahui betul ashab nuzul, mengerti nasikh dan
mansukh di dalam al-Qur'an, dan menguasai juga ilmu-ilmu lain yang dibutuhkan
seorang mufassir.[11]
Tafsir bil ro’yi terbagi menjadi 2
bagian yaitu:
a) Tafsir bil ro’yi yang terpuji. Yaitu
menafsirkan Alquran dengan ijtihad tapi dibawah naungan Al-Qur’an dan Hadits
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, yang memahami betul bahasa Arab,
uslub-uslubnya, dan kaidah- kaidah syariah. Penafsiran jenis ini adalah
penafsiran yang dibolehkan secara hukum, sebagaimana Allah SWT berfirman: (Q.S
Muhammad:24)
أَفَلَا
يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أم عَلَىٰ قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا
“Apakah mereka tidak memperhatikan
Al-Qur’an atau hati mmereka terkunci”
Ayat ini menunjukkan agar kita
mentadabburi atau memperhatikan makna-makna ayat yang terdapat di dalamnya.
b) Tafsir bil ro’yi yang tercela. Yaitu
menafsirkan Alquran dengan pendapatnya yang disertai dengan hawa nafsu serta
berlepas dari naungan Al-Qur’an dan Hadits. Kebanyakan dari mereka menafsirkan
Alquran yaitu dari ahli bid’ah yang menganut pemahaman yang batil dan sesat
sehingga mereka tidak mempunyai sanad dan dalil. Mereka menafsirkan Alquran dengan
kebutuhan mereka sendiri yang disertai dengan hawa nafsu. Penafsiran ini adalah
penafsiran yang tidak dibolehkan secara hukum dan haram secara mutlak.
Sebagaimana firman Aallah SWT: (Q.S Al-Baqarah: 169)
إِنَّمَا
يَأْمُرُكُم بِالسُّوءِ وَالْفَحْشَاءِ وَأَن تَقُولُوا علي الله لا تَعْلَمُونَ
“Sesungguhnya
syaitan itu menyuruh kalian kepada perbuatan yang keji dan jahat agar supaya
kalian mengatakan terhadap Allah apa yang kamu tidak ketahui”.
وَلَا تَقْفُ
ما لَيْسَ لَكَ به عِلْم
“janganlah kamu mengatakan sesuatu tanpa
dengan ilmu yang kamu miliki”
Sebagaimana Rasulullah
shallallahu alaihi wasalla bersabda:”Barangsiapa yang menafsirkan Alquran tanpa
dengan ilmu maka dia berhak mendapatkan tempat di neraka”[12]
Adapun tafsir bil ro’yi yang terpuji
seperti tafsir Al kassyaf karya Az Zamakhsyari, tafsir mafatihul gaib karya
Fakhrurrozi, tafsir fi dzilalil quran karya Sayyid Qutb, dll.
2.
Contoh Tafsir bil ro’yi
Adapun contoh dari penafsiran Al-Qur’an
dengan metode bil ijtihad atau bil ro’yi yang telah disepakati oleh para ulama yaitu
sebagaimana firman Allah SWT dalam surah Al Fatiha ayat 7:
صِرَاطَ
الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوبِ َعلَيْهِم وَلَا الضَّالِّينَ
“(yaitu)
jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka, bukan (jalan)
mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat”
Kalimat عَلَيْهِمْ أَنْعَمْتَ (orang-orang
yang telah diberi nikmat) itu masih bersifat mujmal artinya kita tidak tahu
siapakah mereka yang telah diberi nikmat oleh Allah swt? Sehingga dijelaskan di
dalam surah An Nisa: 69 :
ِ وَالشُّهَدَاء وَالصَّالِحِينَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ أَنْعَمَ
اللَّهُ َعلَيْهِم مِّنَ الَّذِينَ
“yaitu Orang-orang yang diberi nikmat oleh
Allah dari golongan para Nabi, para sshiddiqin, para syuhada, dan para
orang-orang sholeh.”
Meskipun penafsiran ini ayat dengan ayat, tapi
ia tetap masuk kategori tafsir bi al-ra’yi karena tafsiran tersebut tidak
diwarisi dari Nabi saw atau sahabat beliau, melainkan berasal dari ijtihad
ulama tafsir.[13]
Kemudian contoh yang lain adalah firman Allah SWT (QS. Al-Isra’: 72):
وَمَنْ
كَانَ فِي هَذِه أَعْمَى فَهُوَ فِي الاَخِرَةِ أَعْمَى وَأَضَلُّ سَبِيْلاً
"barangsipa yang buta (hati) di
(dunia) ini, niscayaia akan buta pula di akhirat dan lebih sesat
jalannya".
Orang tidak paham akan berpendapat
bahwa setiap orang yang buta akan mengalami nasib celaka, rugi, dan masuk
neraka. Padahal yang dimaksudkan buta disini bukanlah buta mata, melainkan buta
hati berdasarkan firman Allah SWT (QS. Al-Hajj: 46) :
فَإِنَّهَا
لا تَعْمَى الاَبْصَارُ وَلَكِن تَعْمَى اْلُقُلُوْبُ الَّتِيْ فِي الصُّدُوْرِ
“sesungguhnya mereka bukanlah buta mata,
tetapi buta hati yang dalam dada ".[14]
3.
Kelebihan dan kekurangan
Adapun
kelebihan Tafisr bil ro’yi adalah antaralain :
§ Sesungguhnya Allah SWT memerintahkan kita
untuk merenungi serta mentadabburi ayat-ayat Al-Qur’an sehingga merenung dan
berpikir tidaklah akan terwujud melainkan dengan menyelami rahasia-rahasia
al-Qur'an dan berijtihad untuk memahami makna-maknanya. Allah memerintahkan
kepada orang-orang yang hendak menggali hukum agar kembali kepada ulama'.
sebagaimana telah dijelaskan dalam firman Allah SWT (QS An-Nisa:83):
مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِيْنَ يَسْتَنْبِظُوْنَهُ وَلَوْ رَدُّوْهُ إِلَى الرَّسُوْلِ وإلي أُولِى ْلاَمْرمِنْهُمْ
“kalau mereka serahkan hal itu kepada
rasul atau pada orang yang mempunyai urusan di anatar mereka, niscaya orang-orang yang meneliti di antara
mereka mengetahui akan hal ini”
Istinbath berarti menggali dan mengeluarkan
makna-makna yang mendalam yang terdapat di lubuk hati. Istinbath itu hanya bisa
dilakukan dengan ijtihad dan menyelami rahasia-rahasia Al-Qur'an.
§ Mufassir bisa memberikan cakrawala yang
luas dalam menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan kondisi dan situasi.
§ Menjadikan tafsir al-Qur’an dapat
berkembang dalam menjawab segala permasalahan yang timbul seiring dengan
kehidupan umat islam spanjang masa.
Adapun kekurangan Tafsir bil ro’yi adalah
sebagai berikut:
§ Mufasir menjustifikasikan pendapatnya
dengan al-Qur’an padahal al-Qur’an tidak demikian.
§ Mufassir akan menafsirkan al-Qur’an dengan
penafsiran yang salah, karena kedangkalan ilmu pengetahuan mufassir atau tidak
memenuhi persyaratan sebagai mufassir.[15]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Setelah
mengetahui tafsir bi ma’tsur dan tafsir bil ro’yi dengan segala kelebihan dan
kekurangannya, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwasannya problematika
kehidupan umat manusia semakin berkembang dan kompleks, sementara tafsir bi
al-ma’tsur sangan terbatas, maka untuk menghadapi masyarakat modern yang
dinamis ini penafsiran dengan metode bi al-ra’yi atau ijtihad sangat
diperlukan, namun tentu saja harus melalui syarat-syarat yang sudah disepakati
oleh para ulama, yaitu harus memperhatikan teks-teks al-Qur’an dan hadist yang
shahih, juga harus sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa arab, dan tidak mengikuti
hawa nafsu atau kesenangan pribadi. Akan tetapi Penulis sependapat dengan
argumen yang mengatakan bahawa tafsir bil ma’tsur derajatnya lebih tinggi dari
pada tafsir bir ra’yi karena tafsir bil ma’tsur ini lebih mengedepankan riwayat
dan tidak mengedepankan akal sehingga kevalidan tafsir tersebut lebih bisa
dikatakan mendekati kebenarannya
B.
Saran.
Semoga
pembaca bisa mengetahui bentuk dan macam-macam Tafsir Al-Qur’an yg telah di
ciptakan, guna untuk mepermudah kaum muslimin untuk mepelajari kitab suci
Al-Qur;an tersebut serta mentadabburi ayat-ayatnya, dan semoga pembaca juga
diberikan ilmu yg bermanfaat dari makalah ini.
Makalah inipun tak luput dari
kesalahan dan kekurangan maupun target yang ingin dicapai. Adapun kiranya
terdapat kritik, saran maupun teguran digunakan sebagai penunjang pada makalah
ini. Sebelum dan sesudahnya kami ucapkan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Al
Azhari, Abu Mansur, Tahzib Al lugho,(mesir:
Darulqumiyyah: 1964 M).
Al-Zarkasyi, Badruddin, Al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an, (Mesir:
Isa al-Babi al-Halabi, 1975).
Al-Zarqani, Abd.
Al-Azhim, Manahil al-Irfan fi ulum
al-Qur’an,( Mesir: Isa al-Babi al-Halabi, t.th.,).
Amin
Suma, Muhammad, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an, (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2001).
Ar Rumy, Fahd Bin Abdurrahman, Dirasah ulumul Qur’an Al Karim,( Riyad:
1427 H).
http://baituna123.blogspot.co.id/2008/12/tafsir-bir-rayi.html?m=1 diakses
pada pukul 09:51, Ahad, 19 Maret 2017.
http://menulis-makalah.blogspot.co.id/2015/11/pengertian-ilmu-tafsir-metode-hukum-dan.html?m=1, diakses
pada pukul 23.00, hari kamis tanggal 16 Maret 2017
http://mumuhmuslihat91.blogspot.co.id/2013/04/tafsir-bil-matsur-dan-tasfir-bir
rayi.html?m=1 diakses pada pukul 10:12, Ahad, 19 Maret
2017.
LAL, Anshori, Tafsir bir Ra'yi, (Jakarta: GP Pres,
2010).
Shihab, Quraish, Membumikan al-Qur'an ( bandung:Mizan, 1999).
Zaini, Muhammad, Ulumul Quran Suatu
Pengantar
( Banda Aceh:Yayasan Pena Banda Aceh,2005).
[2]
http://menulis-makalah.blogspot.co.id/2015/11/pengertian-ilmu-tafsir-metode-hukum-dan.html?m=1,
diakses pada pukul 23.00, hari kamis tanggal 16 Maret 2017
[4] Al-Zarkasyi, Al-Burhan fi ‘Ulum
al-Qur’an, (Mesir: Isa al-Babi al-Halabi, 1975) , jilid II, hal 147
[5] Al-Zarkasyi, al-Burhan fi ‘Ulum
al-Qur’an, , Jilid II, hal. 147
[6] Abd. Al-Azhim al-Zarqani, Manahil
al-Irfan fi ulum al-Qur’an,( Mesir: Isa al-Babi
al-Halabi, t.th.,), Jilid II, hlm. 3
[7] Fahd Bin Abdurrahman, Dirasah
ulumul Qur’an Al Karim,( Riyad: 1427 H). Hal. 165
[9] Fahd Bin Abdurrahman, Dirasah
ulumul Qur’an Al Karim, Hal. 167
[10] Quraish Shihab, Membumikan
al-Qur'an ( bandung:Mizan, 1999) hal. 84
[11] Anshori LAL, Tafsir bir Ra'yi,
(Jakarta: GP Pres, 2010) hal. 5
[12] Fahd Bin Abdurrahman, Dirasah
ulumul Qur’an Al Karim, Hal. 176
[13] http://baituna123.blogspot.co.id/2008/12/tafsir-bir-rayi.html?m=1
diakses pada pukul 09:51, Ahad, 19 Maret 2017.
[14] http://mumuhmuslihat91.blogspot.co.id/2013/04/tafsir-bil-matsur-dan-tasfir-bir-rayi.html?m=1
diakses pada pukul 10:12, Ahad, 19 Maret 2017.
[15] Prof Dr. H. Muhammad Amin Suma MA., Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), jilid
II, hal. 93
Tidak ada komentar:
Posting Komentar