𝐄𝐝𝐢𝐬𝐢 𝟔: 𝐂𝐚𝐫𝐚 𝐦𝐞𝐧𝐲𝐞𝐥𝐞𝐬𝐚𝐢𝐤𝐚𝐧 𝐝𝐚𝐥𝐢𝐥 𝐭𝐚’𝐚𝐫𝐮𝐝𝐡 𝐚𝐧𝐭𝐚𝐫𝐚 𝐍𝐚𝐬𝐡 (𝐀𝐥 𝐪𝐮𝐫𝐚𝐧 𝐝𝐚𝐧 𝐇𝐚𝐝𝐢𝐬𝐭) 𝐝𝐚𝐧 𝐐𝐢𝐲𝐚𝐬.
Menurut bahasa Kata qiyas (قياس ) berasal dari akar kata qaasa - yaqishu - qiyaasan (قاس يقيس قياسا ), yaitu pengukuran (تقدير ). (Lihat kitab As Sihah Taju Al Lugho, 3/967).
Sedangkan bila pengertian secara bahasa ini mau dilengkapi, Dr.Wahbah Az-zuhaily menyebutkan :
معرفة قدر الشيء بما يماثله
“Mengetahui ukuran sesuai dengan apa yang semisal dengannya”. (Lihat Kitab Al Wajiz fii Ushulil Fiqhi, hlm.57). Misalnya mengatakan bahwa Fulan mengukur panjang kain dengan menggunakan meteran.
Senada dengan pengertian secara bahasa di atas, di dalam kamus Al-Bahrul Muhith disebutkan bahwa qiyas adalah Mengukur sesuai dengan ukuran sesuatu yang lain dan membandingkannya.
Sedangkan, Pengertian qiyas secara terminologi terdapat beberapa definisi yang dikemukakan para ulama ushul fiqih, sekalipun redaksinya berbeda tetapi mengandunng pengertian yang sama. Sehingga diantara ulama ushul ada yang mengartikan bahwa qiyas adalah salah satu dalil tersendiri sebagai landasan hukum atau sumber hukum seperti halnya dengan dalil sumber hukum lainnya dan ada yang mengartikan bahwa qiyas adalah hasil Ijtihad para mujtahid.
Dr. Wahbah Az-Zuhaily mengutip beberapa pendapat dari para ulama ushul menyebutkan bahwa mereka mendefisnikan pengertian qiyas sebagai :
إلحق أمر غير منصوص على حكمه الشرعي بأمر منصوص على حكمه لإشتراكهما فى علة الحكم
“Menyamakan perkara yang hukum syara’nya tidak dijelaskan dalam nash dengan perkara yang hukum syara’nya dijelaskan dalam nash, karena ada kecocokan dalam hkum illat”. (Lihat kitab Al wajiz fii Ushulil Fiqhi, hal. 603).
Al-Qadli Abu Bakar al-Baqilani mendifinisikan al-qiyas adalah:
وهو حمل معلوم على معلوم في إثبات حكم لهما أو نفيه عنهما بأمر جامع بينهما من حكم أو صفة
“Qiyas adalah Menyatukan sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya dalam nash dengan sesuatu yang disebutkan hukumnya oleh nash, disebabkan kesatuan ‘Illat antara keduanya.” (Lihat Kitab Ilmu Ushul Fiqhi, hal. 71).
Pendapat inilah yang di pilih oleh Jumhur Ulama Muhaqqiqin dari kalangan Mazhab Syafi’iyyah. (Lihat Kitab Al Wajiz fii Ushul Fiqhi, hal. 602).
Perlu diperhatikan bahwa para ulama ushul dalam membuat definisi qiyas menggunakan kata ilhaq (إلحاق ), yang bermakna menjelaskan dan menyamakan, mereka tidak menggunakan kata itsbat (إثبات ) yang bermakna menetapkan. Alasannya, karena sebenarnya hukum suatu masalah yang tidak disebutkan nashnya itu pada hakikatnya sudah punya dasar hukum yang tercakup di dalam nash itu, hanya saja banyak orang yang belum mengerti dan memahami hukumnya, karena memang tidak disebutkan secara eksplisit lewat dalilnya. (Lihat kitab Qawati' Al adillah fiil Ushul, 2/134).
Maka dari itu Qiyas mempunyai rukun tersendiri yang merupakan salah satu dalil syara' atau sumber hukum, yaitu:
1) . Rukun pertama: Al ashlu (pokok).
Sumber hukum yang berupa nash-nash yang menjelaskan tentang hukum, atau wilayah tempat sumber hukum.Yaitu masalah yang menjadi ukuran atau tempat yang menyerupakan. Para fuqaha mendefinisikan al-ashlu sebagai objek qiyas, dimana suatu permasalahan tertentu dikiaskan kepadanya (al-maqis ‘alaihi), dan musyabbah bih (tempat menyerupakan), juga diartikan sebagai pokok, yaitu suatu peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash.
Imam Al-Amidi dalam kitab al Ihkam mengatakan bahwa al-ashlu adalah sesuatu yang bercabang, yang bisa diketahui (hukumnya) sendiri. (Lihat Kitab Al ihkam fii Ushul Al Ahkam, 3/193)
2) . Rukun kedua: Al Far’u (cabang).
Al-far’u adalah sesuatu yang tidak ada ketentuan nashnya. Fara' yang berarti cabang, yaitu suatu peristiwa yang belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasar. Fara' disebut juga maqis (yang diukur) atau musyabbah (yang diserupakan) atau mahmul (yang dibandingkan). (Lihat kitab Al Ihkam fii Ushul Al Ahkam, 3/199)
3) . Rukun ketiga: Al Hukm (hukum).
Al- Hukum adalah hukum yang dipergunakan Qiyas untuk memperluas hukum dari asal ke far’u (cabang). Yaitu hukum dari ashal yang telah ditetapkan berdasar nash dan hukum itu pula yang akan ditetapkan pada fara' seandainya ada persamaan 'illatnya. (Lihat kitab Al bahru Al Muhith, 7/105)
4) . Rukun keempat: Al ‘Illat (sebab).
Illat adalah alasan serupa antara asal (pokok) dan far’u ( cabang), yaitu suatu sifat yang terdapat pada ashl, dengan adanya sifat itulah, ashl mempunyai suatu hukum. Dengan sifat itu pula, terdapat cabang disamakan dengan hukum ashl. (Lihat kitab Al bahru Al Muhith, 7/167).
Contoh : Minum narkotik adalah suatu perbuatan yang perlu ditetapkan hukumnya, sebab secara eksplisit tidak ada satu nashpun dari Al qur'an dan hadist yang dapat dijadikan sebagai dasar hukumnya. Untuk menetapkan hukumnya dapat ditempuh cara qiyas dengan mencari perbuatan yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash, yaitu perbuatan minum khamr, yang diharamkan berdasarkan firman Allah Swt:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan." (QS. al-Ma’idah: 90).
Al ashlu (pokok): Khamar
Al far'u (cabang): Narkotika.
Al Illah (sifat) : memabukkan/membuat loyo dan merusak akal.
Al Hukum (Hukum): Haram.
Maka dari itu, Antara minum narkotik dan minum khamr ada persamaan ‘illat, yaitu sama-sama berakibat memabukkan dan membuat loyo para peminumnya dan dapat merusak akal. Berdasarkan persamaan ‘illat itu, maka ditetapkanlah hukum minum narkotik yaitu haram, sebagaimana haramnya minum khamr.
Kedudukan Qiyas merupakan salah satu dalil syara’ yang dijadikan sebagai landasan peristinbthan hukum. Sehingga kedudukan qiyas sebagai sumber hukum atau salah satu dasar beristinbath hukum yang berada setelah qaulu As Sahabah. Hal ini dijelaskan oleh Imam Syafi’I dalam kitabnya, beliau berkata:
وجهة العلم بعدُ: الكتابُ والسنةُ والإجماعُ والآثارُ وما وصفت من القياس عليها
“ ilmu itu datang dari Al Qur’an, dan Sunnah, dan Ijma’dan Atsar ( fatwa sahabat), dan quyas” (lihat kitab Al Umm, 7/315)
Kemudian beliau mengatakan:
والعلم طبقات شتى، الأولى: الكتاب والسنة إذا ثبتت السنة. ثم الثانية: الإجماع فيما ليس فيه كتاب ولا سنة. والثالثة: أن يقول بعض أصحاب النبي ولا نعلم له مخالفًا منهم. والرابعة: اختلاف أصحاب النبي في ذلك. الخامسة: القياس على بعض هذه الطبقات
“ilmu itu bertingkat-tingkat, yang pertama: Al Kitab dan As Sunnah yang tsabit (sahih), kemudian kedua: Ijma’, ketika hal tersebut tidak ada nashnya di dalam Al Qur’an dan As Sunnah dan yang ketiga: perkataan sahabat (Qaulu As Sahabah), yang keempat; perbedaan para sahabat Nabi, dan yang kelima: Qiyas”. (Lihat kitab Al Umm, 7/280)
Jadi, kesimpulan dari perkataan Imam Syafi’I di atas, jelas bahwa beliau menjadikan qiyas sebagai sumber hukum islam pada urutan kelima, yaitu setelah qaul sahabat. Oleh sebab itu Qiyas adalah hujjah Syari’yyah terhadap hukum-hukum Syara’, tentang tindakan manusia. jika tidak dijumpai hukum atas kejadian itu berdasarkan nash atau ijma’. Di samping itu harus ada kesamaan illat antara satu peristiwa atau kejadian dengan kejadian yang ada nashnya. Kemudian, dihukum seperti hukum yang terdapat pada nash pertama, dan hukum tersebut merupakan ketetapan menurut Syara’.
Oleh sebab itu, adapun metode Imam Syafi’I dalam menyelesikan Qiyas yang bertentangan dengan nash, yaitu:
𝟏). 𝐌𝐞𝐭𝐨𝐝𝐞 𝐏𝐞𝐫𝐭𝐚𝐦𝐚: Al Jam’u wa Taaufik (kompromi), yaitu menggabungkan kedua dalil ta'arudh tersebut dengan cara Qiyas mentakhsis keumuman Nash atau Taqyidul Muthlaq.
Di dalam kitab ulama Syafi’iyyah, banyak menggunakan metode ini, yaitu metode Qiyas sebagai Mukhassis yang terpisah dan begitupun dengan Qiyas sebagai Muqayyid terhadap lafazh nash yang mutlaq.
Imam As Sam’ani mengatakan bahwa Imam Syafi’I dan Imam Malik serta ulama Fuqaha lainnya menerima dan membolehkan qiyas mentakhsis keumuman nash, sebab qiyas adalah dalil syara’ yang diakui kehujjahannya sebagai landasan hukum. (Lihat kitab Qawati' Al Adillah fiil Ushul, 1/190).
Imam Al Amidi mengatakan bahwa para ulama berbeda pendapat tentang kebolehan qiyas mentakhsis nash yang lafaznya bersifat umum, namun keempat Imam Madzhab sepakat atas kebolehan qiyas mentakhsis keumuman nash. (Lihat kitab Al Ihkam fii ushul Al Ahkam, 2/337).
Jadi, jika qiyas bertentangan dengan nash, maka metode pertama yang dilakukan oleh Imam Syafi’I adalah al jam’u wa taufiq yaitu dengan cara qiyas mentakhsis keumuman nash dan mentaqyid nash yang lafazhnya bersifat muthlaq. Jika hal ini memungkinkan dalam penggabungan kedua dalil yang ta’arudh.
Sebagai contoh qiyas mentakhsis firman Allah SWT berfirman:
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ
Artinya: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera”.(Q.S.Al Nur:2)
Ayat di atas menjelaskan bahwa laki-laki dan perempaun yang berzinah maka dia akan dicambuk atau didera sebanyak seratus kali. Ayat di atas bersifat umum yaitu siapa saja dari laki-laki dan perempuan. namun budak perempuan hanya didera lima puluh kali saja sebagai bentuk pentakhsisan qiyas budak perempuan terhadap budak laki-laki yang juga hanya didera sebanyak lima puluh kali. (Lihat kitab Al Hawi Al Kabir fii Fiqhi Mazhab Imam As Syafi'i, 16/59).
𝟐). 𝐌𝐞𝐭𝐨𝐝𝐞 𝐊𝐞𝐝𝐮𝐚: Jika Qiyas tersebut menunjukkan untuk meninggalkan madlul Nash secara keseluruhan, maka Nashlah yang harus didahulukan.
Artinya, Jika Qiyas tersebut menunjukkan untuk meninggalkan madlul Nash secara keseluruhan, disebabkan ta’arudh yang sangat kuat dan tidak bisa digabungkan antara keduanya, maka dalam hal ini, kita mendahulukan nash dari pada Qiyas yaitu mengamalkan nash dan meninggalkan atau menolak Qiyas, sebab metode qiyas adalah metode yang bersifat darurat ketika sesuatu tersebut tidak ada nasnya. (Lihat kitab Risalah, hal. 599).
Salah satu alasan mendahulukan nash dari pada qiyas yaitu bahwa nash adalah sesuatu yang diikuti bukan sesuatu yang mengikuti, sebab nash itu adalah pokok yang berdiri sendiri dan tidak ditopang oleh dalil apapun. Beda dengan qiyas yang hanya merupakan cabang dari Al Ashl (pokok) sehingg ia hanya pengikut dan bukan yang diikuti. (Lihat kitab Ikhtilaful Hadist, 8/596).
Oleh karena itu, dalam metode ini Imam Syafi’I tidak lagi menggunakan metode naskh, akan tetapi langsung mentarjih nash atas Qiyas.
Contoh: Tentang hukum perwalian dalam pernikahan bagi perempuan.
Qiyas mengatakan bahwa perwalian dalam pernikahan bagi perempuan hukumya tidak wajib. Dasarnya yaiti menqiyaskan nikah terhadap jual beli yang tidak mesti menggunakan perwalian. Adapaun qiyas di atas menyalahi nash dari hadist Rasulullah SAW tentang wajibnya wali bagi perempuan dalam pernikahan, yaitu:
أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل فنكاحها باطل فنكاحها باطل فإن دخل بها فلها المهر بما استحل من فرجها فإن اشتجروا فالسلطان ولي من لا ولي له
“Wanita manapun yang menikah tanpa seizin walinya, maka pernikahannya bathil, pernikahannya bathil, pernikahannya bathil. Jika seseorang menggaulinya, maka wanita itu berhak mendapatkan mahar, sehingga ia dihalalkan terhadap kemaluannya. Jika mereka terlunta-lunta (tidak mempunyai wali), maka penguasa adalah wali bagi siapa (wanita) yang tidak mempunyai wali.
Wallahu a'alam bishowab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar