(الحديث المروي مقدم على رأي الراوي)
𝐇𝐚𝐝𝐢𝐬𝐭 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐝𝐢𝐫𝐢𝐰𝐚𝐲𝐚𝐭𝐤𝐚𝐧, 𝐥𝐞𝐛𝐢𝐡 𝐝𝐢𝐝𝐚𝐡𝐮𝐥𝐮𝐤𝐚𝐧 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐩𝐞𝐧𝐝𝐚𝐩𝐚𝐭 𝐩𝐞𝐫𝐚𝐰𝐢 𝐇𝐚𝐝𝐢𝐭𝐬 𝐭𝐞𝐫𝐬𝐞𝐛𝐮𝐭.
Maksud dari kaidah di atas adalah bahwa ketika seorang sahabat meriwayatkan hadist dari Rasulullah SAW, kemudian sahabat tersebut mengamalkan sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang ia riwayatkan dari Rasulullah SAW, maka al Ibrah atau patokannya adalah apa yang diriwayatkannya bukan pada pendapat perawi atau disebut atsar mauquf.
Dalam hal ini, Imam Syafi’I berkata:
وليس من الناس أحدٌ بعد رسول الله إلا وقد أُخِذ من قوله و ترِك لقول غيره من أصحاب رسول الله ولا يجوز في قول رسول الله أن يرَد لقول أحدٍ غيرِه
“dan tidaklah salah seorang setelah Rasulullah kecuali mengambil apa yang dikatakannya dan meninggalkan perkataan/pendapat para perawi sahabat Rasulullah, dan tidak boleh menolak perkataan Rasulullah dengan mengambil perkataan yang lain” (lihat kitab Ikhtilaful Hadist, 8/618)
حديث النبي إنما يعارض بحديث عن النبي ، فأما رأي رجل فلا يعارَض به حديثُ النبي
“bahwasanya hanya diantara hadist nabi saja yang dapat terjadi ta’arud, adapun pendapat seseorang itu tidak boleh menyalahi atau bertentangan dengan hadist nabi” (lihat kitab Ikhtilaful Hadist, 8/646)
Dilihat dari kaidah tarjih di atas bahwa, ketika ada dua dalil ta’arud/bertentangan, yaitu hadist marfu’ dan atsar mauquf, maka hadist marfu’ atau hadist yang diriwayatkan lebih didahulukan dari pada atsar mauquf sebab ia merupakan pendapat perawi hadist, jika keduanya tidak memungkinkan untuk di jama' atau digabungkan dan di nasakh satu sama lain. (Lihat kitab Al Umm, 3/7).
Contoh dari kaidah di atas adalah:
Sayyidah Aisyah RA meriwayatkan hadist dari Rasulullah SAW tentang hari syak yaitu hari dimana hilal tidak terlihat disebabkan dgn cuaca buruk. Pada kasus ini, Nabi tidak berpuasa di hari syak tersebut untuk memasuki bulan Ramadhan akan tetapi beliau akan berpuasa setelah genap 30 hari bulan sya'ban.
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَحَفَّظُ مِنْ شَعْبَانَ مَا لَا يَتَحَفَّظُ مِنْ غَيْرِهِ ثُمَّ يَصُومُ لِرُؤْيَةِ رَمَضَانَ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْهِ، عَدَّ ثَلَاثِينَ يَوْمًا، ثُمَّ صَامَ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan perhatian terhadap bulan Sya’ban, tidak sebagaimana perhatian beliau terhadap bulan-bulan yang lain. Kemudian beliau berpuasa ketika melihat hilal Ramadhan. Jika hilal tidak kelihatan, beliau genapkan Sya’ban sampai 30 hari, kemudian dia berpuasa" (HR. Ahmad, Abu Daud, An Nasa’i dan sanad-nya disahihkan Syaikh Syu’aib Al Arnauth).
Perawi hadist di atas adalah Sayyidah Aisyah RA. Akan tetapi Hadits tersebut bertentangan dgn pendapat atau atsar dari Aisyah sendiri. Yaitu beliau sendiri berpuasa di hari Syak tersebut. Yaitu:
عبدالله بن أبي موسى قال :أرسلني مدركٌ أوِ ابنُ مدركٍ إلى عائشةَ أسألُها عن أشياءَ فأتيتُها وسألتُها عنِ اليومِ الَّذي يختلفُ فيهِ من رمضانَ فقالت لأن أصومَ يومًا من شعبانَ أحبُّ إليَّ من أن أفطرَ يومًا من رمضان.
Abdullah bin Abi Musa berkata: Mudrik atau Ibnu Mudrik telah membawa saya ke Sayyidah Aisyah untuk menanyakan beberpa hal. Maka saya mendatanginya dan bertanya tentang hari di mana manusia tidak mengetahui tentang masuknya bulan ramadhan (atau disebut hari syak). Maka beliau berkata: saya lebih suka berpuasa di hari tersebut di bulan sya'ban dari pada saya berbuka satu hari di bulan Ramadhan. (HR. Bukhari)
Jadi, atsar mauquf dari Sayyidah Aisyah RA di atas menunjukkan bahwa beliau berpuasa di hari syak tersebut. Yang mana hal ini bertentangan dengan hadist yang Aisyah riwayatkan sendiri dari Nabi SAW tentang tak ada puasa di hari Syak dalam menyambut bulan Ramadhan. Maka dari itu, hadist yang diriwayatkan oleh Aisyah RA dari Rasulullah lebih di dahulukan dari pada pendapat perawi (Aisyah) atau atsar mauquf dari beliau sendiri.
Wallahu a'alam bishowab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar