(الحديث الأكثر رواة مقدم على الأقل)
𝐇𝐚𝐝𝐢𝐬𝐭 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐩𝐞𝐫𝐚𝐰𝐢𝐧𝐲𝐚 𝐛𝐚𝐧𝐲𝐚𝐤 𝐥𝐞𝐛𝐢𝐡 𝐝𝐢𝐝𝐚𝐡𝐮𝐥𝐮𝐤𝐚𝐧 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐩𝐚𝐝𝐚 𝐡𝐚𝐝𝐢𝐬𝐭 𝐩𝐞𝐫𝐚𝐰𝐢𝐧𝐲𝐚 𝐬𝐞𝐝𝐢𝐤𝐢𝐭.
Maksud dari kaidah tarjih di atas adalah apabila ada dua hadist ta'rudh (bertentangan) yaitu hadist yang perawinya banyak dan hadist perawinya sedikit, maka hadist yang perawinya banyak lebih didahulukan dibandingkan hadist yang perawinya sedikit. Kaidah ini adalah kaidah tarjih ketika kedua dalil ta'rudh tersebut tidak bisa digabungkan atau di nasakh satu sama lain.
Yang dimaksud dari perawi disini adalah Al Rowi al a'la yaitu perawi yang berada ditingkat teratas sperti para istri² nabi dan para sahabat radhiallahu anhum. Merekalah yang pertama meriwayatkan hadist-hadist Rasulullah SAW baik itu dari segi qauliyyah (perkataan), fi'liyyah (perbuatan) maupun taqririyyah (persetujuan). Kemudian dari situlah generasi para tabi'in sebagai perawi tingkat kedua meriwayatkan hadist Rasulullah melalui para sahabat. Kemudain datanglah generasi selanjutnya yaitu tabi' tabi'in yang juga meriwayatkan hadist Rasululullah melalui generasi tabi'in dari jalan para sahabat.
Oleh sebab itu dalam hal ini Imam Syafi’I berkata:
إن النفس مع حديث الأكثر أطيب؛ لأنهم أشبه أن يحفظوا من الأقل
“sesungguhnya jiwa lebih tenang dengan hadist yang perawinya (Al Rowi al a'la) lebih banyak, sebab mereka senantiasa menjaga dari yang sedikit” (lihat kitab Ikhtilaf Al Hadist, 8/642).
Menilik dari perkataan Imam Syafi’I di atas, bahwa hadist yang perawinya lebih banyak harus didahulukan terlebih dahulu, sebab perawi yang banyak lebih kuat dalam periwayatan hadist.
Contoh: Imam Syafi’I mendahulukan hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas tentang shalat gerhana dengan dua ruku setiap rakaat dari pada hadist tentang shalat gerhana dengan 3 ruku dalam setiap rakaat. Sebab hadist tentang dua kali ruku dalam setiap rakaat, perawinya lebih banyak dibandingkan dengan riwayat yang kedua. (lihat kitab Ikhtilaf Al Hadist, 8/639).
Begitupun dengan hadist tentang wajibnya mencuci kedua kaki, lebih didahulukan dari pada hadist yang hanya mengusap kedua kaki ketika wudhu sebab perawinya lebih banyak.
Contoh lain: Masalah Nabi dalam keadaan Junub di pagi hari pada bulan Ramadhan.
عن عائشة وأم سلمة قالتا: إنْ كانَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ لَيُصْبِحُ جُنُبًا مِن جِمَاعٍ، غيرِ احْتِلَامٍ في رَمَضَانَ، ثُمَّ يَصُومُ. (رواه مسلم).
"Dari Aisyah RA dan Ummu Salamah RA, Nabi Muhammad SAW pernah pagi hari dalam kondisi junub karena jimak (di malam harinya), bukan karena mimpi basah di bulan Ramadhan, kemudian beliau mandi dan terus berpuasa.” (HR. Muslim).
Jadi, Puasa seseorang tetap sah meskipun mandi junub dilakukan sehabis fajar terbit. Oleh sebab itu, Mandi junub setelah terbitnya fajar ternyata tidak membatalkan puasa. Hadist di atas adalah hadist yang memiliki 2 perawi a'la yaitu Aisya dan Ummu Salamah Radhiallahu Anhuma para istri Rasulullah SAW. Hadist yang diriwayatkan oleh 2 perawi di atas bertentangan dgn hadist yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi saja yaitu Abu Hurairah, yang menganggap bahwa jika seseorang dlm keadaan junub di pagi hari maka puasanya batal.
عن أبو هريرة قال: لا وربِّ الكعبةِ ما أنا قلتُ مَن أصبحَ وَهوَ جنُبٌ فليُفطِرْ محمَّدٌ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ قالهُ. (رواه الألباني)
"Dari Abi Hurairah RA berkata: Demi Tuhan pemilik Ka'ba, saya tidak mengatakan bahwa barangsiapa yang mendapati pagi hari dalam keadaan Junub maka hendaklah ia berbuka (puasanya batal), hal tersebut Muhammadlah yang mengatakannya. ( HR. Al Albani).
Melihat dari kasus di atas, maka hadist Aisyah dan Ummu Salamah yang berhak didahulukan dari pada hadist Abu Hurairah yang hanya sebagai perawi tunggal.
Wallahu a'lam bishowab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar