Selasa, 25 Desember 2018

PANGGUNG SEJARAH INTELEKTUAL ISLAM

   Bertolak dari sabda Nabi Muhammad SAW bahwa senantiasa akan muncul dalam setiap kurun waktu seratus tahun seorang pembaharu agama yang diutus oleh Allah untuk ummat ini. (HR Abu Dawud). 
  Dua pertanyaan penting mendesak untuk dijawab. Pertama : untuk apa dan mengapa perlu ada pembaruan? Kedua : apakah yang perlu diperbarui dari agama ini? 
    Yang harus kita pahami bahwa tajdid tidaklah sama dengan mengada-ada atau biasa disebut ibtida' (bid'ah). Seorang mujaddid tidak mengubah apalagi sampai membongkar fondasi dan struktur bangunan agama. Logisnya laksana gedung, agama ditempati dan dipelihara, lalu secara berkala dibersihkan agar tidak tampak usang dan kembali seperti kondisi semula: kokoh, indah dan nyaman bagi penghuni maupun pengunjung.
   Seorang pembaharu atau biasa disebut Mujaddid adalah renovator (pengubah yang usang menjadi baru) bukan innovator (pembuat yang belum pernah ada selama ini). Ia adalah renewer ( yang mengembalikan kepada keadaan semula) dan reformer (yang menata ulang) dan bukan deformer (yang merombak dan merusak tatanan). Ia tidak hadir untuk mengubah dengan mengurangi atau menambah apatalagi membuat agama dalam Agama. Seorang pembaharu hanyalah memperjelas yang kabur dan menjernihkan yang keruh mengangkat yang terlupakan atau terabaikan dan memurnikan yang tercemar. Upaya inilah yang dilakukan oleh ulama sekaligus intelektual Islam semisal ibnu Taymiyyah.  
    Kita ketahui bahwa ibnu Taymiyyah hidup saat Imperium Islam di Timur Tengah dan sekitarnya mengalami krisis multidimensi. Yaitu serangan kaum salib, ancaman tentara tartar, perang saudara, konflik antar mazhab dan maraknya aliran-aliran sesat. Sehingga Ibnu Taymiyyah berusaha melawan arus dan mengecam keras sakralisasi Mazhab dan pengkudusan tokoh. Ia juga menolak dikotomi yang mempertentangkan akal dan wahyu atau menceraikan politik dari Agama.
    Panggung sejarah Intelektual Islam sungguh tak pernah sepi dari polemik dan kontroversi. Perdebatan sengit telah hadir sejak kurun pertama hijriah. Di abad selanjutnya muncul seorang Intelektual muslim yaitu Imam Al Ghazali yang mengguncang dunia perfilsafatan dengan kitabnya Tahafutul Al Falasifah. Dengan piawai disingkapnya pelbagai kerancuan dan percanggahan dalam pemikiran al Farabi dan ibnu Sina yang mana dua sosok ini berpengaruh pada zamannya. Menurut beliau ada tiga titik ajaran mereka (al Farabi dan Ibnu Sina) yang berimplikasi kufur. Pertama: bahwa alam semesta ini kekal abadi. Kedua: mengatakan bahwa Allah tidak mengetahui perkara-perkara detil. Dan ketiga: mengingkari kebangkitan jasad pada hari kiamat. Sehingga Imam Al Ghazali membantah dan menguliti habis-habisan terhadap apa yang mereka yakini. Akan tetapi Imam Al Ghazali tidak menyebut kedua filsuf tersebut kafir. Sebab sasaran kritiknya semata-mata pemikiran mereka yang dinilainya keliru, bukan isi hati  atau pribadi mereka. Sebab, bagi Imam Al Ghazali, selagi seseorang itu mengakui ketuhanan Allah dan meyakini kenabian Muhammad SAW, maka iya tidak boleh dianggap kafir. 
     Maka muncullah Ibnu Rusyd, sebagai intelektual islam dan filsuf sekaligus faqih yang juga berprofesi sebagai dokter istana Cordoba,ia  membantah penilaian Imam Al Ghazali dan tidak menerima begitu saja sebagai dogma. Sehingga Ibnu Rusyd berhasil membuyarkan mitos bahwa kebenaran filsafat mustahil bersanding dengan kebenaran agama.
    Oleh karena itu khazanah Intelektual Islam masa lampau yang kaya dan gamblang menayangkan dialektika sudah semestinya menggugah kita untuk berani bersikap kritis dan objektif agar terhindar dari kejumudan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar