Suka atau tidak, dalam dunia filsafat justru yang paling sakral adalah orang-orang yang suka mempertanyakan hal-hal yang tak lazim untuk dipertanyakan. Salah satunya adalah pertanyaan tentang Tuhan. Dalam pendefinisian sesuatu tak lepas dari kata"apa" dan " siapa". Sehingga di dalam literasi ilmu mantik, bahwa pertanyaan yang menggunakan kata "apa" itu pada umumnya bertujuan untuk menyingkap esensi sesuatu (ماهية). Sedangkan pertanyaan yang menggunakan kata "siapa" itu bertujuan untuk mengetahui atribut, sifat, identitas, atau predikat yang dimiliki oleh objek yang ditanyakan. Sebagai contoh: apa itu ahmad? Jawab: Ahmad adalah seorang manusia yang terbungkus oleh daging dan tulang. Maka kata manusia itu dengan sendirinya sudah menjelaskan esensi/hakikat utuh dari seorang Ahmad. Kemudian, ketika mempertanyakan, siapa itu Ahmad? Jawabannya tentu bisa beragam. Tergantung sejauh mana pengenalan orang yang hendak menjawab pertanyaan tersebut tentang Ahmad. Misalnya, Ahmad adalah seorang mahasiswa yang kuliah di LIPIA, yang masih berstatus lajang. Atau Ahmad adalah seorang muslim yang taat beragama, atau ahmad adalah seorang laki-laki yang sering mempermainkan hati perempaun.
Nah, begitupun halnya ketika ingin mempertanyakan Tuhan. Sebelum menjawab, yang harus diperhatikan adalah jenis pertanyaan yang akan diajukan. Apakah pertanyaan tersebut bertujuan untuk menyingkap hakikat dengan kata "apa" atau menanyakan sifat "siapa"?
Sekarang pertanyaannya adalah bolehka manusia bertanya tentang Tuhan? Tentu saja boleh, jika pertanyaan itu bertujuan untuk mengenal sifatNya. Akan tetapi, Jika pertanyaan tersebut mengarah terhadap esensi Tuhan dengan memakai kata "apa", maka itu tidak boleh. Sebab Tuhan itu tak bisa didefinisikan untuk menyingkap hakikatNya karena jika hal itu terjadi artinya esensi atau hakikat Tuhan telah tersandera dalam definisi terhadap yang mendefinisikannya. Dengan kata lain bahwa dengan adanya pendefinisian itu, maka Tuhan menjadi terbatas, dan jika sesuatu yang dianggap sebagai Tuhan itu terbatas, maka gugurlah aspek ketuhananNya. Artinya Dia sudah tidak lagi disebut sebagai Tuhan.
Yang harus kita pahami adalah bahwa Tuhan itu dinamai Tuhan karena Dia tidak diciptakan, Dialah yang menjadi sumber segala ciptaan. Oleh karena itu mungkinkah kita menjelaskan sesuatu yang tak terbatas dan tak tercipta dengan sesuatu yang terbatas yang diciptakan oleh nalar kita? Jawabannya Mustahil. Begitulah ketika manusia mengajukan pertanyaan "apa" itu Tuhan. Karena pertanyaan tersebut bertujuan untuk menyingkap hakikat/esensi, sementara Tuhan tak bisa dijangkau, maka pertanyaan itu pun pada akhirnya akan berujung dengan kesia-siaan dan ambigu. Mengapa bisa demikian? Karena memang jawabannya tidak tersedia. Bahkan di dalam Al quran pun tak ada ayat yang menjelaskan esensi atau hakikat Allah yang sesungguhnya. Yang ada hanyalah penjelasan tentang sifat-sifatNya dan perbuatanNya, bukan hakikatNya. Oleh sebab itu pertanyaan yang tepat adalah bukan "apa" itu Tuhan? Tapi, "siapa" itu Tuhan? Jika pertanyaan ini diajukan, akal pun tak sanggup memberikan jawaba. Tapi, untungnya, kita memiliki kitan suci Al Quran yang menyediakan sekian banyak jawaban. Dan dari situlah kita bisa mengenal Allah dengan asmaul HusnaNya dan segala perbuatanNya kepada hamba-hambanya.
Bahkan ketika ada pertanyaan yang bertujuan untuk meminta penjelasan tentang hakikat pun, jawaban yang diberikan Al Quran hanya berkaitan dengan sifat, bukan hakikatNya. Dalam suatu ayat, Fir'aun pernah bertanya kepada Nabi Musa tentang Tuhan yang disembahnya denga menggunakan kata من (siapa), yang tujuannya adalah mengenali sifatNya.
قَالَ فَمَن رَّبُّكُمَا يَا مُوسَىٰ. قَالَ رَبُّنَا الَّذِي أَعْطَىٰ كُلَّ شَيْءٍ خَلْقَهُ ثُمَّ هَدَىٰ
Berkata Fir'aun: "Maka siapakah Tuhanmu berdua, hai Musa?. Musa berkata: "Tuhan kami ialah (Tuhan) yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk. (Q.S Toha: 49-50)
Di ayat lain, Fir'aun lagi bertanya dengan menggunakan kata ما (apa), yang tujuannya adalah untuk menanyakan dan menyingkap esensi atau hakikat sesuatu. Tapi, meski yang ditanyakan oleh Fir'aun adalah esensi Tuhan, lagi-lagi Al quran menjawab dengan menyertakan sifat, bukan hakikatNya. Sebagaimana Allah berfirman:
قَالَ فِرْعَوْنُ وَمَا رَبُّ الْعَالَمِينَ. قَالَ رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا ۖ إِن كُنتُم مُّوقِنِينَ.
Fir'aun bertanya: "apa Tuhan semesta alam itu?" Musa menjawab: "Tuhan Pencipta langit dan bumi dan apa-apa yang di antara keduanya (Itulah Tuhanmu), jika kamu sekalian (orang-orang) mempercayai-Nya". (Q.S Asy-Syu'ara: 23-24).
Sayangnya, Al Quran terjemahan Depag menerjemahkan kata ما (apa) itu dengan kata siapa. Padahal kata ما (apa) dan من (siapa) itu adalah dua kata yang memiliki fungsi yang berbeda. Dan karena fungsinya berbeda, maka jawaban yang dihasilkan pun akan berbeda. Tetapi, baik menggunakan kata ما (apa) dan من (siapa), jawaban yang dikemukakan Al Quran sama saja, yaitu berbicara dan menjawab tentang sifat Tuhan bukan hakikatNya. Sebab, hakikat Tuhan tak bisa dijangkau oleh akal dan nalar manusia. Sementara Allah adalah _ seperti yang dijelaskan dalam Al Quran_
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ (الشورى : 11
"Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar dan Melihat."
Jadi, mendefinisikan apa itu Tuhan adalah pertanyaan yang tak memiliki arah alias rancu sebab manusia tak mampu menyingkap esensi Tuhan itu sendiri. Allah maha besar, artinya Allah itu terlalu besar untuk dipertanyakan.
Wallahu a'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar